- Home
- Amagi Brilliant Park LN
- Volume 1 Chapter 1 Bahasa Indonesia - Tipikal Tempat Kencan yang Buruk
1: Tipikal Tempat Kencan yang Buruk
Translator : HanaRen
Editor : MEIONOVEL.ID
Profreader : CHGAI
Minggu tiba.
Stasiun Amagi di Jalur Toto adalah tempat bertemunya dengan Sento Isuzu. Saat Seiya melewati gerbang tiket, ia melihat pos polisi di dekatnya dan berhenti di depannya, memikirkan sesuatu. Seorang petugas paruh baya menyadarinya, dan bertanya padanya: “Ada masalah, Nak?”
“Tidak…” Seiya menggelengkan kepalanya. Untuk sesaat, membayangkan apa yang akan terjadi jika ia mengatakan apa yang ada di pikirannya kepada petugas:
“Siswi pindahan aneh ini mengajakku berkencan di bawah ancaman tembakan musket! Ya Pak, dia punya musket. Ya, seperti senapan di ‘The Three Musketeers.’ Senjata itu juga cukup terkenal sebagai senjata gadis penyihir saat ini. Tolong, kau harus menangkapnya!”
Petugas itu tidak akan menanggapinya dengan serius.
Tidak hanya petugas saja. Selama tiga hari ini, Seiya ragu-ragu apakah ia harus memberitahu guru dan pamannya tentang apa yang terjadi atau tidak. Setiap kali ia memberitahukannya, ia sampai pada satu kesimpulan, dan berakhir tidak mengatakan apapun.
“……?” Petugas itu segera menatapnya dengan tajam. Merasa canggung, Seiya menjauhkan dirinya dari pos polisi, berjalan ke arah sebaliknya menuju toserba kecil yang ada di sebelah.
Ia iseng mengecek pakaiannya di pantulan kaca. Oh, ya. Lihatlah dirimu, tampan!
Ia memakai jaket berwarna gelap dan celana panjang, dengan kaos v-neck1 yang sama polosnya; pakaiannya menekankan bahwa dia ramping, dengan otot-ototnya yang dipertegas. Rambutnya dilicinkan dan berkilap untuk memberi kesan hanya sedikit gerakan yang terjadi. Ia memiliki alis dan mata yang panjang dan tipis, dan wajahnya tertahan pada 45 derajat yang menyombongkan kecerdasan dan kemurnian.
Ahh, bahkan aku akan jatuh cinta pada orang yang ada di cermin itu! Dengan penampilanku yang menakjubkan, ditambah nilai terbaik di sekolah, tidak mengejutkan jika seorang siswi pindahan yang belum pernah kuajak bicara mengajakku berkencan…
…Masalahnya ada pada ancaman “Jika kau menolak, aku akan membunuhmu”. Gadis itu… ya, dia adalah salah satunya—tipe “yandere” yang banyak kudengar! Cintanya yang besar padaku menyebabkannya hancur secara emosional. Seorang wanita dengan kondisi mental yang buruk berhak mendapat rasa iba lebih dari apapun…
(Tidak, tidak, tidak…)
Mana mungkin aku akan mengasihaninya ketika dia mengayun-ayunkan senapan itu. Jika itu adalah pisau buah, pisau ukir, pemecah es—jenis senjata yang ada di film thriller bermutu rendahan—mungkin aku bisa mengerti …
Tapi jika dipikir-pikir… dari mana dia mengeluarkan senjata itu? Dia memanggilku pertama kali dengan tangan kosong, Seiya sadar. Senapan itu muncul entah dari mana ketika aku bertanya, “Ada apa?” padanya. Mungkin itu hal pertama yang seharusnya kupertanyakan…
“Di sana kau rupanya,” ucap Isuzu.
“Hngah?!” Suara tiba-tiba yang datang dari belakang Seiya mengeluarkannya dari lamunannya.
Panik, ia berbalik dan bersiap untuk menghadapi apapun yang akan datang, tapi Sento Isuzu telah sampai di titik pertemuan tanpa senjata.
Hebat! Dan yang paling hebat adalah, dia tidak membawa musket-nya!
“Ayo pergi,” Isuzu berkata, tanpa basa-basi.
“Ke mana?”
“AmaBuri.”
“Er?” Seiya kebingungan.
“AmaBuri,” jelas Isuzu, “Amagi Brilliant Park.”
Amagi Brilliant Park. Itu adalah taman hiburan tua, sekitar sepuluh menit dari stasiun menggunakan bus.
“Bus-nya berhenti di terminal kedua. Ikuti aku.” Isuzu berjalan menjauh dengan cepat, tapi ia menghentikannya.
“Tunggu, Sento—”
“Berhenti mengulur waktu,” tentunya.
“—tunggu sebentar. Kenapa kita pergi ke taman bermain itu?”
“Itu bukan taman bermain. Itu adalah taman hiburan.”
“Aku tidak peduli. Tidak bisakah kau memberitahuku apa yang sedang terjadi? Kenapa dua orang yang nyaris tidak saling kenal harus pergi ke taman bermain yang mencurigakan bersama?” Seiya bertanya, frustasinya bertambah.
“Mencurigakan…?” Dalam sekejap mata, Isuzu sudah mengeluarkan musket-nya dari bawah rok berlipatnya, memutarnya hingga persis 260 derajat, dan mengarahkannya ke selangkangan Seiya.
Seorang wanita dan anaknya di dekat mereka berhenti dan mematung.
Anaknya berkata, “Mama, perempuan itu memakai celana dalam biru bergaris. Itu sangat biasa…” Yang mana wanita itu membalas, “Hus! Jadilah anggota model masyarakat dan berpura-puralah kau tidak melihatnya!”
Seiya tidak berada di posisi yang tepat untuk mengidentifikasi apakah pernyataan anak itu tepat atau tidak, tapi melihat ia menganggap celana dalam biru bergaris sebagai “sangat biasa” membuat Seiya takut akan jadi apa ia saat dewasa nanti. Tapi… tidak, tidak, jangan pikirkan itu sekarang…
Sebaliknya, Seiya berbicara: “Kenapa kau marah?”
“……”
“…Ada banyak hal yang ingin kumintai penjelasan padamu,” ucapnya, “termasuk dari mana kau mengeluarkan senjata aneh itu.”
“Ayo.”
Ia diabaikan.
Isuzu menyingkirkan musket-nya, memanfaatkan hukum fisika apapun yang tidak dapat dijelaskan, yang dia gunakan untuk mengeluarkannya.
Terletak di Amagi, sebuah kota komuter di bagian barat Tokyo, taman hiburan itu mungkin memerlukan sedikit penjelasan:
Amagi Brilliant Park. Orang bodoh mana yang memberikan sebutan sepayah itu—”brilliant?” Amagi Brilliant Park (alias AmaBuri) dibangun pada tahun 1980-an, sebuah taman hiburan (mereka bersikukuh pada tema taman hiburan) berdiri di tengah-tengah gelombang dari kelebihan gelembung ekonomi terbesar.
Tahun 1980-an. Itu adalah era di mana anak-anak nakal memiliki potongan rambut seperti haluan kapal tempur luar angkasa; idol dengan potongan rambut menyerupai jamur sangatlah populer; dan anime dipenuhi dengan bayangan bergaris hitam dan pose karakter yang ekstrem.
Reputasi AmaBuri cukup buruk jika dibandingkan dengan taman hiburan kelas dunia lainnya. Sebutan dari orang-orang bermacam-macam. Beberapa menyebutnya, “Sebuah warisan yang meragukan dari gelembung ekonomi.” Beberapa menyebutnya, “Penghancur hubungan yang pasti bagi para pasangan yang datang untuk berkencan di sana.” Beberapa menyebutnya, “Peninggalan yang akan membingungkan arkeologis di masa depan yang kebetulan menggali Kota Amagi.” Dan di antara para pemuda di bagian barat Tokyo, AmaBuri dikenal sebagai “Tipikal tempat kencan yang buruk.”
Seiya merasa ia sudah pernah pergi ke sana dengan seseorang ketika ia masih kecil, tapi sekarang ketika ia SMA, ia nyaris tidak mengingatnya.
Mereka sudah berada di bus selama kurang lebih lima menit. Mereka telah melewati area perumahan yang biasa saja dan keluar di daerah berbukit yang dibalut dengan warna hijau pada awal musim semi, dan sekarang sebuah kastil bisa terlihat di balik pepohonan. Itu adalah kastil yang indah, dicat dengan warna biru pastel.
Wow. Lebih mengesankan daripada yang kukira… pikir Seiya. Ia menduga taman hiburan tua itu akan terlihat hancur, tapi bahkan pewarnaannya memiliki kepekaan yang bagus dan modern. Di luar dugaannya, tempat itu terlihat sangat luar biasa.
Kastil dari kejauhan perlahan mendekat.
“Pemberhentian selanjutnya adalah Amagi Brilliant Park. Penumpang yang turun, tolong—” Seiya baru saja akan menekan bel, ketika Sento Isuzu, duduk di sebelahnya, dan menggenggam erat lengan bajunya.
“Ada apa?”
“Satu pemberhentian lagi, jawab Isuzu.
“Huh? Tapi kita akan pergi ke Amagi Brilliant Park, kan?” Seiya bertanya. “Bukannya kastil itu gerbang depannya?”
“……tel.” Isuzu menggumamkan sesuatu, tapi ia tidak bisa mendengarnya karena bisingnya suara mesin bus.
“Aku tidak bisa mendengarmu.”
“…hotel.”
“Aku bilang aku tidak bisa mendengarmu.”
Dengan rasa pasrah yang mendalam, Isuzu akhirnya bergerak mendekat ke Seiya dan berbisik ke telinganya. “Itu adalah hotel cinta. Itu tidak ada hubungannya dengan taman hiburan.”
“Be…Begitu,” ia tergagap.
“Itu adalah kesalahan umum. AmaBuri ada di pemberhentian selanjutnya,” jelas Isuzu. “Gerbang depan dulunya ada di sini, tapi dipindahkan selama renovasi sekitar sepuluh tahun lalu. Bagaimanapun, stasiun bus-nya menetap, dan mereka membangun ini, ah… ‘kastil’ di dekatnya.”
Baca di meionovel.id dan bantu kami dengan donasi di meionovel.id/donasi
Saat mereka semakin dekat, tampak sebuah tanda besar di sebelah kastil; itu bertuliskan “Hotel Alamo”. Di sebelahnya ada papan tanda listrik dengan jelas menyatakan “Ada Ruangan”.
…Alamo? Itu konyol! pikir Seiya. Alamo bukanlah sebuah kastil melainkan sebuah benteng. Dan itu juga tidak berstruktur barok; itu berstruktur defensif, terkhususkan selama bentrokan antara Republik Texas dengan tentara Meksiko. Itu adalah tempat darah dan bubuk mesiu berasap, bukan hanya sekadar kastil dongeng di mana korban kekerasan rumah tangga dengan bodohnya kehilangan sepatu kacanya!
Uh, sungguh menyesatkan. Dan itu memaksanya untuk berpikiran yang tidak semestinya dipikirkan. Kau sebaiknya melakukan sesuatu yang bagus untukku, dasar kastil sialan!
Tapi Seiya berhasil menahan berbagai keinginan terselubungnya, dan dengan sepenuhnya tenang menyatakan: “Sungguh menyebalkan. Kenapa mereka tidak mengganti nama pemberhentiannya?”
“Taman sudah mengajukan petisi penggantian ke Kota Amagi beberapa kali, tapi selalu ditunda dengan berbagai alasan,” jawab Isuzu. “Banyak tamu tanpa sengaja turun di sini dan terpaksa berjalan ke stasiun selanjutnya.”
“Tamu?”
“Para pengunjung taman. Kebanyakan taman hiburan menyebut mereka dengan sebutan ‘Tamu’ dan para pekerjanya disebut ‘Pemeran’. Ingat itu.”
“Oh, benarkah? Itu adalah hal yang aneh untuk diketahui.”
Isuzu tidak merespon observasinya—dia hanya mengabaikannya sekali lagi.
Bus lewat di depan Hotel Alamo dan sampai di pemberhentian selanjutnya, “Futomaru Barat.” Ia berasumsi bahwa ini adalah nama dari area perumahan lokal.
“Kita sampai,” Isuzu memberitahu.
Ia mengikutinya turun dari bus.
Tujuan mereka kurang lebih 80 meter dari pemberhentian bus, menaiki tanjakan landai, dan ketika mendekati puncak, gerbang depan taman hiburan bisa terlihat. Trotoar nya retak. Gerbangnya memudar. Tanda berkarat bertuliskan “Selamat Datang di Tanah Keajaiban, Amagi Brilliant Park!”
Walaupun, tidak ada sambutan yang ramah, pikir Seiya. Itu lebih terasa seperti orang tua pemilik toko ramen tua mengatakan “Apakah itu seorang pengunjung? Jika kau mau, aku akan membuatnya… tapi, apa kau yakin?” Jujur, hotel cinta sebelumnya terasa jauh lebih luar biasa.
Ia mengambil tiket masuk seharian yang sudah Isuzu siapkan untuknya, melewati gerbang depan dan menuju ke dalam taman. Di balik gerbang, ia disambut oleh air mancur plaza berukuran besar.
“……”
Kolam di tengah air mancur plaza benar-benar mengering. Tidak ada air yang menembak ke atas dari sana… faktanya, tidak ada air sama sekali, hanya sekelompok patung bulat yang tertutupi oleh lumut coklat kotor.
Dari kejauhan di balik plaza tampak sebuah benteng besar—bukan sebuah kastil, sebuah benteng. Sama sekali tidak ada keajaiban cerita dongeng di dalamnya. Itu lebih terasa seperti benda yang dibangun di Kerajaan Jerusalem selama Perang Salib; sebuah tempat berbau kematian, diisi oleh tentara yang siap memberikan nyawanya untuk mengusir tentara sesat.
Ia menyadari bahwa tempat ini jarang pengunjung; padahal itu hari Minggu. Seiya memang tidak sering datang ke taman hiburan, tapi meski begitu, ia belum pernah melihat bagian depan plaza seterlantar ini. Terlihat seperti mereka tidak membersihkannya dengan benar.
“Ada banyak sekali sampah di tanah…” Seiya berbisik pelan ketika tiba-tiba Isuzu berbalik dan bicara.
“Ke mana kita akan pergi?”
Putaran itu menyebabkan rok berlipatnya berdesir. Itu akan jadi pemandangan yang cukup menarik jika mereka benar-benar di sini untuk berkencan, tapi—
“Kau yang membawaku ke sini,” omelnya. “Kau yang pilih.”
Sebagai balasan, Isuzu meletakkan tangannya di dagunya dan berpikir. “…Kalau begitu ayo pergi ke Bukit Penyihir.”
“Bukit Penyihir?”
“Itu adalah salah satu dari lima tempat bertema di AmaBuri. Kerajaan dongeng penuh keajaiban, rumah bagi para maskot dari alam magis, Maple Land.”
“Nadamu yang datar tidak menunjukkan adanya keajaiban di sana,” ujar Seiya.
“Ikuti aku,” perintahnya. Dia mulai berjalan ke utara—di labeli dengan nama Bukit Penyihir di pamflet.
“Haaaah…”
Dia sedingin es. Bagaimana ini bisa disebut kencan? “Berbangga diri” adalah rencana awal Seiya, tapi bahkan ia mulai menyadari fakta bahwa Sento Isuzu tidak memiliki rasa apapun terhadapnya.
Lalu kenapa? Ia terus berpikir, tapi tetap tidak menemukan jawabannya. Sepertinya ia tidak punya pilihan lain selain berkeliling dengannya untuk sementara.
Mengelilingi taman hiburan yang meragukan ini…
Seperti yang sudah Isuzu gambarkan, Bukit Penyihir punya semacam tema cerita dongeng: Hampir semua di dalamnya berasal dari buku, mulai dari pola berwarna pastel hingga bermacam-macam atraksi, peluncur, dan komedi putar.
Pemberhentian pertama Isuzu adalah atraksi ‘peluncur mendebarkan’. Seiya tampak sedikit tak nyaman, dan dia melihatnya dengan pandangan ragu.
“Kau tidak takut, kan?” tanyanya.
“Tentu saja tidak,” cibir Seiya. “Aku hanya berpikir bahwa ini terlihat seperti sesuatu yang tidak seharusnya dinaiki seorang pria dewasa.”
“Begitu. Pokoknya ayo naik.”
Dengan ekspresi suram, Seiya dan Isuzu duduk bersebelahan di peluncur kosong lainnya. Keriuhan aneh terdengar dan keretanya berangkat. Kecepatannya tetap pada laju yang nyaman dari awal sampai akhir. Tidak banyak yang bisa dilihat di jalur terjal, bahkan belokan tertajam tidak memberikan apapun selain sedikit ayunan. Untuk sebuah “peluncur mendebarkan,” tidak banyak debaran yang bisa ditemukan.
Saat mereka keluar dari peluncur, Isuzu berbicara: “Apa kau bersenang-senang?”
“Tidak.”
“Begitu,” ujarnya. “Kalau begitu, ayo lanjut.” Dia dengan cepat berjalan ke tujuan baru.
Tanpa mengatakan apapun, Seiya mengikuti dalam diam.
Pemberhentian mereka selanjutnya adalah sebuah atraksi bernama “Petualangan Bunga Tiramii.” Sebuah bangunan seukuran GOR sekolah, dengan tumbuhan dalam dongeng tercetak di dinding. Di pintu masuknya ada patung dari maskot yang sedikit terlihat seperti Pomerania2: Mata kancing berbentuk bundar, dan tubuh bundar-gemuk yang berdiri setinggi kurang lebih tiga kepala. Desain yang cukup imut, mempertimbangkan keseluruhan. Maskot ini, simpulnya, pasti “Tiramii.”
Atraksinya sendiri adalah menaiki mobil empat orang di lintasan, yang akan mengantarmu berkeliling taman dongeng yang dibuat oleh Tiramii. Yang ini, juga—“Mengerikan.”
Bagian terburuknya adalah mobilnya terlihat kurang melekat pada lintasan, yang menyebabkan seringnya berdesak-desakan. Bagaimanapun juga, itu lebih “mendebarkan” daripada peluncur mendebarkan sebelumnya. Itu juga membuatnya mabuk.
Di sini dan di sana, mereka disapa oleh animatronik “bunga yang berbicara”, tapi rakitan penggeraknya pasti sudah rusak, karena gerakan mereka tampak gelisah. Selain itu, tidak ada apapun yang ditambahkan ke dalam proses audio mixing-nya, jadi sangat sulit untuk mengetahui apa yang para bunga katakan: mereka mungkin seharusnya mengatakan “Selamat datang di Petualangan Bunga Tiramii!” tapi apa yang sebenarnya terdengar jauh lebih mengganggu “Mat… angdi… engan… enga… mii!” Lebih dari apapun, itu memberi kesan sebuah pekikan menjengkelkan dari dudaim3 mematikan ke kepala Seiya.
“Bagaimana menurutmu?” Isuzu bertanya lagi.
“Bertahun-tahun hidupku serasa diambil.”
“Begitu. Ayo kita lanjutkan.” Kali ini, ada sesuatu yang terdengar setengah hati dari jawaban Isuzu.
“Tunggu,” ucap Seiya. “Apa kau akan terus seperti ini sepanjang waktu?”
“Seperti apa?”
“Maksudku…”
Terlihat muram, dia menyadari petunjuknya. “Kupikir teater musiknya akan menyenangkan. Lihat, di sana.”
Tapi “Teater Musik Macaron,” yang tandanya menunjukkan maskot mirip domba memainkan biola, menyatakan “Hari Ini Tutup.”
“Tapi ini hari Minggu,” ia menolak tidak percaya. “Mereka mengambil cuti?”
“…Dia pergi ketika dia tidak enak hati,” Isuzu mendesah. “Peri Musik, Macaron, bermain cukup hebat—tapi sayangnya, dia punya sifat seorang seniman.”
“Ahh…”
“Ayo lanjutkan.”
Tempat selanjutnya yang mereka kunjungi adalah bangunan arah diagonal yang berkebalikan dengan teater musik, “Rumah Manisan Moffle.” Seperti “Petualangan Bunga” sebelumnya, ini adalah atraksi dalam ruangan. Ini lebih seperti rumah kue jahe dari dongeng Grimm, dihiasi dengan panekuk, krim kocok, jeruk, dan manisan lainnya.
“Selamat datang…”
Saat mereka masuk, pegawai berkaca mata (atau “pemeran” karena Isuzu bersikeras) memberi mereka pistol air. Bukan, itu bukan pistol air… Ini adalah laser penunjuk yang dirancang untuk terlihat seperti pistol air. Kau menarik pelatuknya, dan benda ini menembakkan laser.
Di lorong masuk tergantung sebuah layar besar, yang memainkan video penjelasan mengenai bagaimana atraksinya bekerja:
“Selamat datang di toko Moffle, Sang Peri Manisan! Sayangnya, toko roti telah diserbu oleh tikus-tikus nakal! Gunakan pistol air mu dan beri tikus-tikus itu pelajaran!”
Video itu diikuti oleh instruksi keselamatan terperinci:
Jangan melihat ke dalam laras pistolnya (karena laser).
Jangan kasar terhadap pistol (karena pembuatannya rapuh).
Harap mengembalikan pistol di kotak yang ada di pintu keluar (karena biaya).
“Kalau kau menembak banyak tikus, Moffle akan berfoto denganmu sebagai cendera mata! Semangat, semuanya!”
Ahh, pikirnya. Ia sudah paham intinya: Mereka akan menembakkan laser penunjuk pada sesuatu seperti animatronik sebelumnya, berburu poin. Tidak seperti atraksi-atraksi sebelumnya, atraksi ini tampaknya punya daya tarik seperti game.
“Oke! Pertempuran dimulai!”
Pintu ganda di bagian belakang ruangan terbuka secara otomatis. Tampaknya ini adalah sebuah atraksi di mana para pengunjung harus melanjutkan dengan berjalan kaki. Akan jadi masalah jika ada kerumunan besar di sini, pikirnya, tapi tidak perlu khawatir tentang hal itu—bahkan pada hari Minggu, tempat ini benar-benar sepi.
“Pergilah,” Isuzu mendesaknya, dan Seiya berjalan masuk.
Ia berada di sebuah lorong yang dirancang untuk terlihat seperti dapur: ada wastafel mewah, oven, pemanggang, dan lainnya. Tikus animatronik keluar di sini dan di sana secara acak.
Ia menembak.
Ia mengarahkan laser penunjuk berbentuk pistol air ke seekor tikus dan menembak.
Kena. Meleset. Meleset. Meleset. Kena. “Lebih cepat dari perkiraanku…” Lebih banyak tikus muncul, satu demi satu.
Meleset. Meleset. Meleset. Meleset. Dan akhirnya kena…
“Mereka terlalu cepat,” kritik Seiya.
“Kita ke ruang penyimpanan,” ujar Isuzu sebagai balasan. “Waspadalah.”
“Hah?” Mereka berpindah dari dapur ke ruang penyimpanan, di mana tikus nakal mulai bermunculan lebih cepat.
Meleset. Meleset. Meleset. Meleset. Meleset.
“Tunggu sebentar! Ini agak terlalu sulit, kan?!”
“Kau membuang banyak amunisi.”
“Apa yang kau harap-”
“Kau juga membuang banyak nafas.”
Tidak semuanya animatronik; beberapa di antaranya hologram. Mereka muncul, bergerak ke kiri atau ke kanan, kemudian menghilang bahkan tanpa memberimu waktu untuk membidik. Mustahil bagi mata manusia biasa untuk mengikuti mereka.
Mereka sampai di ruangan akhir tanpa mengumpulkan banyak poin.
Kemudian datanglah pengumuman lain: “Sayang sekali! Kau tidak membunuh banyak! Tapi, percobaan hebat!”
“K-Kita membunuh mereka?” Seiya menyela. “Kupikir kita ‘memberi mereka pelajaran!” Kenapa premisnys begitu kejam? Bukankah mendengar kata “membunuh” dalam suasana ramah keluarga akan mengejutkan bagi kebanyakan orang?
Meskipun Seiya keberatan, pengumumannya tetap berlanjut. “Moffle sangat berterima kasih padamu! Pergi dan dapatkan foto cendera mata dengannya di ruang sebelah!” Pintu belakang dibuka untuk mereka.
Karena hanya berdiri di sana tidak akan menghasilkan apapun, ia dan Isuzu berjalan ke arah itu dalam keheningan suram. Mereka menaruh senapan mereka ke dalam kotak, kemudian menyusuri lorong yang membawa mereka ke ruangan terakhir.
“Kau bisa memiliki foto cendera mata-mu bersama Moffle sekarang,” Isuzu memberitahunya.
“Maksudmu ‘Peri Manisan’ itu?”
“Ya,” jawabnya. “Ia kepala maskot di AmaBuri.”
“…Aku tidak terlalu tertarik untuk berfoto dengan orang dalam kostum,” Seiya mengakui.
“Temui saja dirinya. Ini akan menyenangkan,” katanya, dalam nada yang benar-benar kehilangan.
Dengan pasrah, Seiya mengikuti Isuzu.
Koridor itu membawa mereka ke sebuah studio foto kecil. Setengah ruangan itu diatur seperti sebuah toko roti, penuh dengan donat dan kue yang disandarkan, dan ada alat pendaftaran tua di konter.
Kurasa ini latar belakang untuk foto dengan Moffle ini, pikirnya, tapi maskot itu tidak ada di manapun. Bahkan tidak ada pegawai toko yang hadir. Studio itu benar-benar tak berpenghuni.
“Kenapa ini?” Seiya bertanya-tanya.
“Kami sangat jarang mendapatkan tamu di sini…” Isuzu meminta maaf. “Ia mungkin beristirahat di belakang.”
“……”
“Tekan bel layanan di sebelah tempat pendaftaran. Ia akan datang.”
Seiya melakukannya seperti yang diberitahukan. Bel itu mengeluarkan suara ‘ding’ yang enak didengar. Ia menunggu.
Akhirnya, dari belakang gerai, maskotnya—Tidak datang. Ia menekan bel lagi, kali ini dengan sedikit lebih kuat. Namun, tak seorang pun datang.
“…Sepertinya ia tidak ada,” Seiya mengakhiri. “Ayo pergi saja.”
“Tidak. Ayo kita tunggu sedikit lebih lama.”
“Kenapa? Aku tidak berkewajiban menunggu kedatangan seorang maskot tak penting di atraksi yang setengah-setengah ini. Maksudku—“ Kalimatnya diputus oleh suara klak.
Pintu besi khusus pegawai—di belakang konter—terbuka, dan maskot yang dibicarakan masuk ke dalam pandangan.
“Mofu.” Tingginya sekitar 2.5 kepala, siluetnya lembut dan kelihatan mudah dipeluk.
Apa seharusnya dia menjadi tikus? Seiya bertanya-tanya. Penampilannya memang tak diragukan seperti hewan pengerat, tapi tubuhnya yang gemuk dan bundar, agak mirip dengan wombat4 atau marmot. Makhluk yang aneh, pastinya.
Ia memiliki mata kancing besar dan lengan lembut dan gemuk, dan ia mengenakan kostum dan topi chef berwarna putih. Semua tanda keimutannya seperti dalam buku, tapi ia harus memberikan mereka penghargaan karena mendapatkan hak sebanyak itu.
“…Itu kepala maskot taman, Moffle, Sang Peri Manisan,” kata Isuzu, mengenalkan. “Tinggi: 144 sentimeter. Berat: Sangat rahasia. Kecepatan lari: 35 km per jam. Keahlian khusus: Membuat kue dan bermain sepak bola. Makanan Favorit: Apapun yang manis, khususnya donat. Sebagai tambahan untuk perlengkapan toko rotinya, ia juga memiliki perlengkapan tuxedo untuk acara resmi.”
“Ada apa dengan gaya penjelasan itu?” Seiya bertanya.
Moffle melangkah maju ke arah Seiya dan Isuzu, kakinya berdecit saat ia melangkah.
“Mofu.”
“Aku ingin sebuah foto cendera mata bersama dengannya,” ujar Isuzu ke hewan pengerat itu. “Bisa?”
“……” Moffle merespons dengan sebuah anggukan tegas untuk menanggapi pertanyaan Isuzu. Ia menyiapkan smartphone yang keluar dari bawah celemeknya, memainkannya dengan terampil menggunakan tangannya yang lembut, kemudian menahannya dan mengambil gambar Seiya dan Isuzu. Ia lalu menunjukkan gambarnya pada mereka, seperti mengatakan, “Tuh, sudah kupotret.”
“Tunggu, tunggu… Kenapa kau memotret kami?!” Seiya menuntut.
“Mofu…” Moffle mengerutkan keningnya—desain kostum yang cukup mengesankan.
“Jangan menatapku! Kami adalah pelanggan, kau tahu!”
“Tenanglah, Kanie-kun,” Isuzu mendesaknya.
“Diamlah! Aku tenang!”
Tapi Seiya merasa ada sesuatu dari makhluk maskot ini yang sulit untuk dijelaskan dalam kata-kata: sesuatu seperti takdir. Bukan jenis takdir baik, tentu saja. Lebih seperti firasat mendalam—seperti bertemu musuh bebuyutan, atau orang jahat yang terus kembali.
“L… Lagipula,” Seiya tergugup, “Aku sudah muak dengan semua ini. Kenapa aku mau sebuah foto cendera mata dari maskot kecil, tidak berguna, dan sok tahu ini? Sudahlah, ayo pergi dari sini.”
Tapi saat Seiya mulai berjalan ke pintu keluar—”Mofu!” Tiba-tiba, Moffle menendang pantatnya.
“A-Apa yang kau lakukan?!” Seiya berteriak saat ia berdiri dan berputar.
Tapi tanggapan Moffle jauh dari kata menyesal—ia sebenarnya malah memiringkan kepalanya ke lantai dan membuat gerakan seperti meludah.
Tentu saja, sikap orang sok.
“Hal-hal yang kaukatakan tentangnya membuatnya marah,” Isuzu memberitahu.
“Apapun yang kukatakan tentangnya, maskot macam apa yang menendang seorang pelanggan?! Lihat, sekarang ia memancingku seperti seorang petinju!”
Moffle telah melakukan sedikit pemanasan kaki, mengejek melalui giginya sementara melakukan pukulan jab berirama ke udara.
“Dasar kau…!”
Jadi seorang brengsek dalam kostum ingin melawan ku, ya? Baiklah! Aku tidak mau terjerat tagihan untuk kerusakan kostum, tapi aku tidak bisa membiarkan ini. Aku tidak bisa pergi dari sini sampai aku melayangkan pria ini ke luar, sekali saja. Seiya baru akan melangkah maju untuk melakukan hal itu ketika—
“Mofu!” Moffle berlari. Ia menutup jarak di antara mereka dalam sekejap. Tangan hewannya menyobek udara dan mengenai Seiya tepat di ulu hati.
“Hnngh!” Nafas Seiya di tenggorokan.
Sulit. Berat. Itu adalah tinju yang gila—atau tangan hewan. Tidak ada maskot dalam kostum biasa bisa menghantarkan pukulan seperti ini. Lagi-lagi, tidak peduli seberapa busuk taman hiburan ini, mungkin ada artinya untuk menjadi seorang kepala maskot…
Seiya berlutut, berlipat ganda.
Menatap rendah dirinya, Moffle memberinya isyarat dengan tangan hewannya.
“Dasar sialan…”
Tapi Seiya belum selesai. Martabatnya tidak tahan jika tidak mendapatkan satu pukulan bersih ke benda aneh mirip tikus yang mudah dipeluk ini. Titik lemahnya… apa titik lemah tikus?
“Sudah cukup.” Musket Isuzu menyelinap masuk di antara mereka. Dia pasti menariknya keluar lagi tadi. “Lebih dari ini akan menyebabkan salah satu dari kalian terbunuh. Aku tidak akan membiarkan tempat harapan dan impian seperti Rumah Manisan ternodai oleh darah. Aku ingin kalian berdua berhenti, sekarang.”
“Kapan tepatnya tempat ini berisi harapan dan impian?” Seiya meremehkan.
“Mofu…”
“Jika kalian bersikeras ingin melanjutkannya,” Isuzu memperingatkan, “Kalian berdua akan berurusan denganku.” Musket lain muncul dari bawah roknya. Satu di setiap tangan, sekarang, dia mendorongnya tanpa belas kasihan ke Seiya dan Moffle.
Bantu kami dengan donasi di meionovel.id/donasi
“Uhh…”
Jadi dia punya lebih dari satu? Dia juga tampak serius tentang ini… Karena takut akan keselamatannya, ia memutuskan untuk menyerah.
Seiya mundur dengan enggan. Moffle menurunkan tinjunya (yah, tangan hewan) bersamaan. Untuk beberapa alasan, ia tidak tampak terkejut ketika melihat senjata Isuzu.
Dia berbalik ke Seiya. “Jadi, Kanie-kun? Apa kau menikmati interaksi dengan Moffle lewat tinjumu?”
“Uh, itu lebih terasa seperti ia baru menghajarku…” ia mengaku.
“Apa kau pikir kalian bisa berteman sekarang?”
“Tunggu dulu,” selanya. “Kenapa aku mau berteman dengan pengerat pembunuh ini?”
“Mofu.” Vokalisasi Moffle memberi kesan ketidakpuasan terhadap idenya. Seiya sekali lagi dibuat terkejut oleh banyaknya emosi yang bisa ia utarakan melalui pengeras suara dalam kostum.
“…Yah, lupakan itu sekarang,” ujar Isuzu menenangkan keduanya. “Aku sudah mengambil foto cendera mata-mu, jadi ayo pergi ke tempat lain.”
“Foto cendera mata?” ucap Seiya, agak ragu.
Isuzu mengeluarkan smartphone-nya. Dia telah mengabadikan momen ketika Moffle membanting tangan hewannya ke dirinya.
“Aku tidak yakin ini bisa disebut foto cendera mata…” omelnya.
“Ayo pergi.” Isuzu berjalan menuju pintu keluar. Tanpa ada pilihan lain, Seiya mengikutinya.
Moffle meludah sekali lagi, lalu kembali ke belakang konter.
Apa-apaan?! Ia adalah maskot terburuk yang pernah ada! Ia hanya seorang tikus penjahat yang berpakaian seperti seorang koki! Seiya mengejek, lalu bicara keras. “Manusia rendahan macam apa yang mereka masukkan ke dalam benda itu?”
“Tidak ada siapapun di dalam,” ucap Isuzu tanpa perhatian.
“Apa?”
“Moffle adalah Moffle. Tidak ada siapapun di dalam sana.”
“Huh? Oh…”
Benar juga. Ia pernah mendengar ini sebelumnya. Untuk menjaga rasa keajaiban anak-anak, taman hiburan umumnya tidak akan mengakui adanya aktor di dalam kostum maskot mereka. Taman hiburan kelas atas yang sangat serius bahkan membuat aktor di dalamnya mengikuti aturan ketat tentang kerahasiaan. Lagipula, akan jadi masalah besar jika salah satu dari mereka tidak sengaja mendengarkan di dalam kereta mengucapkan sesuatu seperti “Hari ini aku ada di dalam kostum yang menyebalkan. Biar kuceritakan tentang bocah cilik yang kutemui…” Mungkin itu yang dimaksud Isuzu dengan “tidak ada siapapun di dalam.”
“…Tentu. Itulah yang kita katakan ke semua orang.” Balasannya terdengar sarkatis, tapi dia menganggukkan kepala sebagai balasan.
“Bukan itu maksudku,” dia bersikeras. “Maksudku benar-benar tidak ada orang di dalam.”
“Ya, ya. Itulah tepatnya yang kita katakan ke semua orang.”
Meninggalkan “Rumah Manisan Moffle” yang tidak menyenangkan, Seiya dan Isuzu pergi berkeliling ke beberapa atraksi lain. Kebanyakan tutup, meskipun ini hari Minggu, dan tempat yang buka tidak terlalu menarik. Kesimpulannya, itu adalah sebuah pengalaman yang tak menyenangkan. Bahkan toko camilan yang mereka kunjungi ketika ia mulai lapar—yang disebut “Dapur Maple”—hanya menyediakan kari, yakisoba, dan kroket. Ketika ia meminta yakisoba, ia diberitahu, “Kami bisa membuatnya, tapi akan butuh waktu satu jam.”
“Kenapa satu jam?” Ia menuntut untuk tahu.
“Kami harus pergi membeli bahan-bahannya. Itu artinya perjalanan ke supermarket lokal,” balas seorang penjaga toko yang jelas hanya di sana paruh waktu.
Terlalu mengerikan!
Ia sudah mencapai batasnya. Menggebrak meja, Seiya bersandar dekat dengan Isuzu. “Apa maksud dari semua ini, Sento? Berapa lama lagi kau akan menahanku di kencan mengerikan ini?!”
“Apa kau marah?” dia ingin tahu.
“Tentu saja! Semua atraksi mencurigakan ini, toko camilan ini… Semuanya berdedikasi pada penampilan yang membuat hotel cinta setempat terlihat bagus, dan pegawainya memperlakukan pelanggan seperti sampah! Bagaimana seseorang bisa bersenang-senang di tempat seperti ini?!”
Ia sudah tamat. Biarkan dia mengancamnya dengam musket jika mau.
“Tempat ini punya konsep taman hiburan terhina!” ia melanjutkan. “Taman ini seperti berpikir ‘Hei, mereka hanya anak-anak, siapa peduli?’ Tapi anak-anak tidaklah bodoh! Kau perlu kecermatan untuk menghadapi mereka! Kau perlu berusaha di detail terkecil! Kau tidak bisa melakukannya jika kau tidak peduli! Kau perlu semangat dan keyakinan, dan aku tidak melihatnya di sini! Kalau kau mau mewujudkan mimpi orang-orang, pertama, kau harus percaya pada mimpi itu! Dan kalau kau bahkan tidak bisa meyakinkan anak-anak, lalu apa gunanya? Aku…”
“……”
“Aku… ahh…” suaranya mengecil.
Mata Isuzu melebar. Dia seperti tidak percaya kata-kata yang keluar dari mulut Seiya.
(Sekarang aku benar-benar tamat…) pikir Seiya, seketika dipenuhi penyesalan. Ia sudah berhati-hati agar tidak mengatakan sesuatu seperti itu di depan orang lain.
‘‘Kalau kau mau mewujudkan mimpi orang-orang, pertama, kau harus percaya pada mimpi itu… Memang menyakitkan untuk didengar,” dia mengakui.
Seiya tidak berkata apapun.
“Aku tidak berpikir siswa SMA biasa bisa mengatakan sesuatu seperti itu.”
“Jangan memujiku. Aku hanya membacanya dari buku.” Ia melihat keluar, pura-pura tidak peduli.
Tapi Isuzu tidak akan melepasnya. “Kupikir kau marah karena diancam oleh gadis yang nyaris tidak kau kenal untuk berkeliling taman hiburan tanpa tujuan,” renungnya. “Tapi kau marah karena alasan yang benar-benar berbeda. Kau seperti marah pada taman hiburan itu sendiri. Menarik.”
“Apa ini? Ini hampir seperti kau menyadari betapa merepotkannya dirimu.” Suaranya dipenuhi dengan sarkasme, tapi dia tidak terlihat sakit hati karenanya.
“Aku mengatakan itu bukan untuk membuatmu marah,” ucap Isuzu. “Aku hanya terkesan dengan pengetahuanmu tentang ‘monster’ yang disebut hiburan.”
“Jadi, apa maksudmu?” ia ingin tahu. “Apa yang kau mau dariku?”
“…Kodama Seiya.” Saat kata-kata itu keluar dari bibir Isuzu, wajah Seiya menegang. “Katanya ia adalah seorang dramawan cilik yang cemerlang beberapa tahun lalu. Ia punya bakat dan pesona yang luar biasa; ia memainkan piano layaknya seorang ahli; dan ia punya suara nyanyian yang syahdu. Ia mungkin sedikit nakal, tapi ia selalu bersungguh-sungguh ketika ada hal penting, dan ia bahkan bisa bermain dengan sempurna melebihi pemain veteran. Ia adalah anak sempurna yang didambakan semua orang, dan ia sangat dicari-cari oleh semua iklan dan drama.”
Seiya tetap diam di depan.
“Tapi lima tahun lalu, Kodama Seiya mendadak pensiun dari bisnis pertunjukan. Agen pencari bakat dan semua perusahaan yang ia batalkan rugi besar karenanya, aku yakin. Alasan yang ia berikan adalah ‘Aku ingin fokus pada sekolah dan keluarga,’ tapi tak ada yang tahu kebenarannya. Setelah itu Kodama Seiya mulai dilupakan…” Isuzu mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memandangi Amagi Brilliant Park. “Ia pasti sudah duduk di bangku SMA sekarang… Aku bertanya-tanya apa yang akan ia katakan jika melihat taman hiburan seperti ini.”
“Sekarang aku paham…” Jenis amarah yang benar-benar baru mulai bangkit di dada Seiya. “…Kau tahu semuanya. Itulah kenapa kau membawaku ke sini.”
“Siapa juga yang mau mengajak kencan egomania sepertimu?” Isuzu membalas tanpa tersenyum sedikitpun.
“Aku tak tahu apa maumu, tapi Kodama Seiya sudah lama mati. Terhapus dari muka bumi. Kalau kau pikir kau bisa meminta seorang aktor cilik bodoh melakukan sesuatu untukmu, kau salah.” Seiya berdiri. “Aku mau pergi. Ancam saja aku dengan senjata anehmu kalau kau mau.”
“…Baiklah,” tutupnya. “Tapi sebelum itu, makan kroket ini.” Bukannya mengeluarkan senjatanya, dia menawarkan kroket di atas meja kepada Seiya. Ia terpaksa membelinya karena mereka tidak punya yakisoba.
“Hmm?”
“Paling enak dimakan saat masih panas.”
“Siapa peduli dengan kroket bodoh?”
“Coba saja.” Untuk beberapa alasan, suaranya sangat tegas.
Seiya menyerah, mengambil satu kroket, dan mendekatkannya ke mulutnya. Itu hanya barang murah dari toko camilan murahan. Tidak mungkin akan terasa enak.
Itulah yang ia pikirkan saat gigitan pertama, tapi—
“…Muh.”
Apa-apaan? Menakjubkan. Benar-benar enak.
Campuran rotinya tidak terlalu tebal, sangat renyah, dan di dalamnya berair dan lembut. Daging cincang yang banyak dipadukan dengan kentang, yang sudah ditumbuk dengan susah payah, untuk menciptakan keseimbangan rasa yang sempurna. Sejujurnya, ia belum pernah merasakan kroket semacam itu.
“Enak, kan?”
“Mm… Ya,” ucapnya dengan serius. “Ini enak.”
“Mereka membuat ini di sini,” dia memberitahunya. “Kau tidak bisa mendapatkannya di tempat lain.”
“Apa kau yang membuatnya?” tanyanya. Berdasarkan caranya bicara selama ini, entah bagaimana sepertinya dia terhubung dengan AmaBuri. Yang artinya—
“Bukan,” balasnya, “orang lain yang membuatnya. Apa kau mau bertemu dengannya sebelum pergi?”
“Bertemu dengannya? Aku tidak mengerti.”
“Jangan khawatir,” Isuzu menyarankan, “Makan saja.”
“……” Terdorong oleh rasanya yang pas, Seiya diam-diam menghabiskan sisa kroketnya. Memang enak. Ini adalah taman hiburan yang kekurangan mimpi dan harapan, tapi kroket ini, setidaknya, tidak biasa.
Ia tidak akan mengatakan, tepatnya, bahwa kroket itu sudah memikatnya, tapi Seiya memutuskan untuk bersama dengan Isuzu sedikit lebih lama.
Setelah melalui pintu bertuliskan “Hanya Personil Yang Berwenang,” ia dituntun berkeliling bagian belakang panggung Amagi Brilliant Park oleh Isuzu. Tampaknya dia memiliki kunci untuk pintu “khusus pegawai.”
“Aku tahu kau ada hubungannya dengan tempat ini,” tuduh Seiya.
“Aku belum memberitahukannya?” Isuzu membalas tanpa peduli.
“Belum,” ia mengomel. “Walaupun itu cukup mudah untuk menebaknya dari caramu membicarakannya…”
“Pakai ini di lehermu,” ucapnya, dan memberinya sebuah kartu dengan tali penyandang. Itu adalah kartu tamu bertuliskan “LEVEL 4” yang tercetak dalam huruf besar.
“Apa arti dari ‘LEVEL 4’ ini?” tanyanya.
“Itu adalah izin keamananmu,” dia memberitahu. “Pekerja paruh waktu terbaru hanya dibatasi sampai level satu. Level tertingginya adalah lima. Area berbahaya—seperti pembangkit listrik dan rahasia perusahaan penting—butuh izin level lima.”
“Kalian punya keamanan yang ketat di sini,” ucapnya, menahan keinginan untuk menambahkan. “…untuk sebuah taman bermain payah.”
“Sebenarnya ini cukup standar,” Isuzu menjelaskan. “Kartu level empat yang kuberikan padamu bisa mengantarmu ke sebagian besar tempat.”
“Kau mempercayakan keamanan utama ke orang luar sepertiku…” Seiya terdengar curiga.
“Itu karena kau membutuhkannya untuk mencapai tujuan kita—menemui manajer taman.”
“Manajer?”
Isuzu melanjutkan menuntunnya ke bagian belakang panggung.
Ia belum pernah ke belakang panggung taman bermain sebelumnya, tapi ia seharusnya tidak terlalu terkejut ketika melihat bahwa itu hanyalah jalan terusan pegawai biasa yang membosankan: Hambar, tidak berwarna maupun menarik. Tumpukan alat kebersihan dan kardus ada di mana-mana, di samping tanda pedoman penanganan bencana dan jadwal pergantian pemeran. Kalau ia menunjukkan foto area ini saja pada seseorang dan bilang padanya bahwa ia ada di markas militer, mereka mungkin akan percaya .
Mereka menuruni tangga menuju lorong bawah tanah. Setelah sedikit berjalan, mereka sampai di lift. Pada titik ini, Isuzu mulai berbicara lagi: “Kita sekarang ada di pusat taman, tepat di bawah Kastil Maple. Kita bisa memakai lift ini untuk mencapai lantai teratas kastil.”
“Kastil Maple?” Seiya bertanya-tanya. Ia tiba-tiba teringat kastil yang sangat mengesankan yang ia lihat dari pintu masuk taman. Itu tidak mungkin sebuah kastil dalam dongeng; itu adalah benteng yang dirancang untuk kepraktisan, dengan celah dan parit. Kastil itu memancarkan kekuatan. Rasanya seperti sebuah tempat di mana musuh yang menyerang akan bertemu hujan tinju dan kuali berisi minyak panas.
Mereka menaiki lift menuju lantai teratas, melewati lorong pendek lurus ke depan, dan sampai di sebuah taman atap.
Sebuah taman atap. Itu adalah satu-satunya cara untuk mendeskripsikan di mana dirinya berada.
Di atasnya terbentang langit yang berpijar diwarnai oleh semburat pertama cahaya matahari terbenam. Di depannya ada bebungaan yang mulai menguntum dengan kehangatan musim semi. Dan di tengah semuanya terpasang sebuah kolam kecil yang tenang. Ada paduan mempesona antara cahaya dan bayangan di taman, didampingi oleh rasa tenteram dan murni yang berlimpah. Sejauh ini, itulah pemandangan paling menakjubkan yang pernah ia lihat di taman bermain.
Di pinggir taman berdiri seorang gadis. Rambut peraknya memiliki warna putih semu, yang berkilau di bawah langit merah yang berkobar, dan bahan yang mudah tertiup angin dari gaun putih panjangnya mendekap lemah lembut sebuah tubuh yang halus. Dia mengusap jarinya di atas bunga yang tidak ia ketahui namanya, kemudian membisikkan sesuatu pada seekor burung kecil yang turun di dekatnya.
Seiya dikejutkan oleh perasaan aneh dari déjà vu; rasanya seperti ia sudah pernah ke sini sebelumnya. Saat ia melihatnya, terlalu terpesona hingga tak bisa bertindak, Isuzu berbicara dari sebelahnya. “Lanjutkan. Aku akan menunggu di sini.”
“Huh? Tapi…”
“Pergilah.”
Dengan enggan, ia melangkah keluar menuju taman. Gadis tak dikenal berbalik menghadapnya, dan si burung, yang bertengger di jarinya, terbang menjauh.
Umur berapa dia, empat belas? Lima belas? Semakin Seiya mendekat, semakin ia bisa melihat wajahnya. Ada sesuatu yang misterius dari wajahnya—sesuatu yang membangkitkan rasa kasih sayang kuat dalam dirinya. Ia sangat terpesona hingga pemikiran lain terbang dari benaknya. Pernahkah ia merasa sangat terpikat dengan orang lain sepanjang hidupnya?
Hanya saat ia berada beberapa langkah darinya, ia sadar: Dia tidak sedang melihatnya. Matanya terfokus pada suatu titik di atas kepalanya—sebuah ruang kosong yang ada di langit senja. Mungkinkah… dia buta?
Ketika Seiya bersusah payah memikirkan apa yang harus dikatakan, dia berbicara. “Apakah kau kebetulan Kanie Seiya-sama?”
“Huh?” gugupnya, terkejut dengan pertanyaannya. “Oh… Ya, benar…”
Tebakannya benar. Dia buta.
“Aku sangat senang kau ada di sini, Kanie-sama. Aku Latifah… Latifah Fleuranza. Aku adalah manajer taman hiburan ini. Aku harus berterima kasih padamu karena sudah datang ke sini.”
Nama asing? Aku tidak menduganya… Kalau dipikir-pikir, dia memang terlihat asing. Dan… dia manajernya? Gadis muda ini?
“T-Tentu… Aku tidak paham secara keseluruhan, tapi… em, senang bertemu denganmu,” jawabnya, masih kebingungan.
Gadis bernama Latifah tersenyum dan mengeluarkan suara lembut berisi kegembiraan. Itu seperti dia mengucapkan “Aku sudah menunggu sangat lama untuk bertemu denganmu.”
“Kuharap Isuzu-san tidak melakukan apapun yang menyinggungmu,” Latifah meminta maaf atas nama pegawainya. “Jika dia membuatmu kesal, kuharap kau mau memaafkannya—dia hanya punya sedikit pengalaman berinteraksi dengan pria.”
“Oh. Yah… Aku sudah takut akan hidupku,” Seiya mengakui, “tapi aku masih utuh.”
“Begitu.” Ada sebuah jeda diplomatis, lalu Latifah melanjutkan, “Aku harus mengaku…, bahwa akulah yang memintanya untuk membawamu ke sini. Karena ada sesuatu yang harus aku mintai darimu.”
“Mintai dariku?” ucap Seiya penuh keraguan.
“Ya,” tegasnya. “Ikuti aku, dan akan kujelaskan.” Gaunnya berdesir di belakangnya, Latifah berjalan menuruni jalan batu ubin besar, dan lebih jauh ke dalam taman. Meski dia jelas buta, dia pasti sudah mengenal baik taman itu seperti punggung tangannya sendiri—tidak ada keraguan dalam caranya berjalan.
Turun sedikit, mereka mendapati sebuah beranda. Ada sebuah meja marmer bermotif mosaik menunggu di sana, diapit oleh kursi dari besi tempaan yang elegan. Di atas meja terduduk satu set perlengkapan minum teh porselen.
“Silakan duduk.” Latifah mempersilakan.
“T-Tentu…”
Latifah membuatkan teh. Setiap gerakannya adalah lambang keanggunan. Dia menuangkan air panas ke dalam cangkir, lalu dengan hati-hati mengukus daun teh sementara menunggunya menghangat. “Kau berbau seperti gorengan,” ucapnya.
“Huh?”
“Apa kau kebetulan memakan kroket dari Dapur Maple? Aku sangat berharap kau menyukainya,” ucapnya dengan nada ceria.
“Apa kau yang membuatnya?” Seiya ingin tahu.
“Ya, aku yang membuatnya,” Latifah mengakui dengan rendah hati. “Aku membuatnya setiap hari, berharap para tamu akan menyukainya.”
Begitu. Jadi dia yang membuatnya…
“Kroket-kroket itu benar-benar…” suaranya mengecil, sejenak mengingat rasa dan teksturnya, “…enak.”
“Terima kasih,” ucap Latifah, dengan anggun menerima pujiannya. “Seperti yang mungkin sudah kau sadari, aku buta, tapi aku bisa tahu kapan mereka matang dengan mendengarkan suara dari minyak goreng.”
Seiya prihatin. “Kau memasaknya sendiri? Bukankah itu berbahaya?”
“Tidak sama sekali,” dia tertawa. “Kroket-kroket itu adalah kebanggaan dan kegembiraanku. Meski aku takut jika tehku agak kurang mengenakkan… Silakan.”
Dia meletakkan sebuah cangkir di depan Seiya. Cangkir itu mengepulkan uap harum dengan aroma yang menenangkan. Ia meniupnya sedikit, lalu menyesapnya.
Enak. Ia bukanlah seorang ahli dalam teh hitam, tapi menurutnya, itu luar biasa.
“Apakah sesuai dengan seleramu?” dia ingin tahu.
“Ini luar biasa,” balas Seiya.
“Aku sangat senang mendengarnya.” Latifah tersenyum tenang. Itu adalah senyum bak matahari di balik gunung saat senja.
Terpesona, Seiya menatap senyuman itu untuk beberapa saat, sebelum berdeham. “…Aku tidak terlalu paham keseluruhannya. Apa yang mau kau mintai dariku? Dan siapa kau?” tanyanya. “Aku sudah terhuyung-huyung karena fakta bahwa adanya tempat seperti ini di tengah-tengah taman bermain yang sangat… kau tahu.”
“Tentu saja,” ucapnya menenangkan. “Sudahkah kau melihat Amagi Brilliant Park kami?”
“Secara menyeluruh.” Ya, tentu saja. “Menyeluruh” adalah kata yang tepat…
“Bagaimana menurutmu?”
Ini adalah taman hiburan terburuk yang pernah kukunjungi… Akan mudah baginya untuk mengatakan itu, tapi untuk beberapa alasan, kata-katanya tersangkut di lidahnya.
Meskipun begitu, pandangan sayu muncul di wajahnya, menunjukkan bahwa dia bisa mengetahui isi pikirannya dari perilakunya. “Kau tidak merasa puas. Menurutmu tidak mengenakkan?”
“Yah… Aku…” suaranya mengecil, tidak yakin apa yang harus dikatakan selanjutnya.
“Inilah yang mau kutanyakan, Kanie-sama: Maukah kau mengambil alih taman hiburan yang berada di ambang kehancuran ini, dan menghidupkannya kembali?” Itu adalah permintaan yang sungguh-sungguh.
“Ap…?” Seiya tidak bisa percaya telinganya. Apa-apaan? Membangkitkan kembali taman hiburan payah ini? Aku?
“Aku ingin mau kau menjadi manajer Amagi Brilliant Park,” jelas Latifah. “Aku secara resmi meminta ini padamu, Kanie Seiya, sebagai anggota keluarga kerajaan alam magis, Maple Land.”
Apa yang kau celotehkan? Itulah yang akan dikatakannya pada kebanyakan situasi—menguji kewarasannya—tapi gadis ini, Latifah, tampaknya terlalu rasional dan beradab. Hanya itu penjelasan yang mungkin.
Ketika Seiya masih berpikir apa yang harus dikatakan, dia berkata lagi. “Kau pikir aku gila?”
“Yah, aku…”
“Tapi aku bersumpah padamu,” katanya sungguh-sungguh, “ini adalah masalah yang sangat serius. Aku memintamu untuk menyelamatkan taman hiburan kami, karena aku percaya kau bisa melakukannya.”
“Oke,” ia berhasil merespons, “tapi… semua ini sangat tiba-tiba. Aku tidak bisa bilang ‘oh, baiklah’ seperti itu saja… kau tahu?”
“Ya… tentu saja, kau benar.” Gadis itu tersenyum damai, wajahnya tertunduk. “Ini pasti terdengar seperti omong kosong bagimu, penghuni dunia manusia. Tapi taman hiburan ini adalah Argel, dibangun di sini, di duniamu, oleh alam magis, Maple Land.”
Jadi taman hiburan ini… dibangun oleh… “alam magis?” Dan apa itu Argel?
“Sebuah… alam magis, ya?”
“Ada banyak alam lain yang seperti ini,” Latifah memberitahunya, dan mulai menjelaskan lebih lanjut. “Kerajaan Mimpi, Regnum Somni; Republik Hewan, Polytear; Kekaisaran Schubert dengan pedang dan sihirnya; daratan masa depan Avenir… Ada banyak alam, dan Maple Land adalah salah satunya. Itu ada di ambang batas antara lautan dan daratan. Banyak dari alam ini membangun Argel di sini, di dunia manusia—Argel adalah kata yang berarti ‘ladang’ dalam bahasamu—Digimaland adalah salah satu yang terkenal; Cosmic Studios dan Highlander Fujimi juga merupakan Argel.”
“Uhh…”
“Sebuah Argel adalah peternakan kebahagiaan. Argel membolehkan kami bersama mengumpulkan rasa senang dan kegembiraan dari mereka yang datang ke taman lalu merealisasikannya menjadi Animus, yang merupakan sumber energi penting bagi kami.”
“……”
Latifah tampaknya menyadari reaksi tercengang Seiya. “Semuanya pasti terdengar tak bisa dipercaya… Itu bukan pengetahuan umum di antara penghuni dunia manusia. Karena itu… pertama, aku akan memberimu karunia sihir.”
“Sihir?” ulang Seiya dalam kebingungan.
“Aku tak tahu jenis sihir apa yang akan muncul,” Latifah termenung. “Itu terserah keinginan Dewi Libra. Tapi barangkali sihirnya akan memungkinkanmu untuk mengerti…”
“Huh?”
Gadis itu membungkuk di atas meja dengan pipinya yang sedikit memerah. Perasaan malu dan keraguan muncul di matanya. “Kanie-sama. Tolong, tetaplah di tempatmu.”
“Huh?”
“N-Nah… maaf…”
“Huh?” Ia bahkan tidak punya waktu untuk menyingkir.
Bibir kecilnya yang cantik menyentuh bibirku. Itu adalah sensasi yang lembut. Sensasi yang hangat. Hanya itu saja, jadi kenapa itu menghantamnya begitu keras? Kenapa ia merasakan aliran lisrik kuat ini menyambar lehernya ke bawah?
Sebuah ciuman dari seorang gadis yang benar-benar murni—Pikirannya kosong. Rasanya sulit untuk bernapas. Saat sensasi lembut itu mulai hilang—perlahan, tak kunjung hilang, prihatin—Seiya merasakan sesuatu yang lain mengalir masuk ke dalam pikirannya. Emosi tanpa batas—sesuatu yang kuat dan tak dapat dijelaskan yang dikubur jauh, sangat jauh di dalam salah satu bagian kemanusiaannya.
Bantu kami dengan donasi di meionovel.id/donasi untuk Up server dan sewa hosting.
Aku tidak mengerti, pikir Seiya. Aku hanya ke sini dalam kencan mencurigakan ini karena seorang gadis aneh mengancamku. Bagaimana ini bisa menjadi seperti ini? Kenapa ini terjadi?
Sesuatu datang. Sihir—sihir misterius yang seseorang, di suatu tempat, sudah siapkan untuknya yang tujuannya ia tidak akan pernah tahu.
“Jangan lupa—” seorang gadis memberitahunya dari seberang jurang putih yang luas. “Perasaanku—yang pertama dan terakhir kalinya kau mengenal mereka…”
Perasaan pertama yang ia rasakan adalah cinta, diikuti oleh kepiluan yang tak tertahankan, lalu nostalgia lama. Seorang bocah kecil, berjalan menjauh ketika senja. Ia melihat ke belakang dan berkata: “Aku bersamamu. Aku akan menyelamatkanmu—”
Tunggu, tunggu… ini memang suasana yang indah tapi… setidaknya beri aku sejenis penjela—
Dengan perasaan seperti tersambar petir, Kanie Seiya kehilangan kesadarannya.
Alunan Hotaru no Hikari melayang di udara saat taman hiburan tenggelam dalam senja.
Moffle menghibur 28 tamu dalam atraksinya hari ini. Hanya tiga dari mereka yang mengambil foto cendera mata bersamanya, salah satunya adalah anak angkuh itu, Kanie Seiya.
Sangat sedikit, dan di hari Minggu… Dulu, mereka punya banyak tamu hingga tak terhitung jumlahnya, semuanya saling panjat menuju Rumah Manisan Moffle. Kerumunan anak-anak dengan wajah tersenyum… perasaan bahagia, jeritannya, gelak tawanya… Itu semua hanya ada di masa lalu.
“Mofu…” Ia mematikan lampu atraksi, kemudian melakukan sedikit pembersihan. Mereka tidak punya uang untuk mempekerjakan kru pemeliharaan untuk lembur, jadi mendesinfeksi laser penunjuk berbentuk pistol air menggunakan alkohol, memastikan mereka masih berfungsi, dan mengganti baterai adalah hal yang ia lakukan sendiri. Memperbaiki animatronik yang rusak dari waktu ke waktu, serta mengecek sistem kebakaran dan mengunci semua pintu setelahnya.
Setelah semua pekerjaan selesai, Moffle, Sang Peri Manisan, akan mampir bersama dengan pemeran paruh waktu yang bekerja bersamanya. “Waktunya tutup, fumo.”
“Terima kasih, pak,” para pekerja paruh waktu akan menjawab dengan kasar, lalu langsung menuju pintu layanan pemeran.
Tidak ada sepatahpun obrolan. Bocah itu mendapat kesan bahwa Moffle adalah pegawai perusahaan yang bekerja dalam kostum maskot karena mereka kekurangan tenaga kerja. Ah, sudahlah. Biarkan ia berpikir sesukanya. Apa gunanya memberitahunya kalau manajer di tempatnya bekerja paruh waktu adalah seorang peri asli dari alam magis bernama Maple Land?
Moffle berjalan lamban menuruni lorong bawah tanah, mengembalikan kunci Rumah Manisan Moffle ke pusat keamanan, menandatanganinya beserta waktu pengembalian, lalu menekankan kartu tanda hadirnya.
“Moffle-san. Bagaimana para tamu hari ini?” Seorang penjaga keamanan tua—yang ini tahu dirinya yang sebenarnya—bertanya padanya dengan suara yang ramah.
“Biasa, fumo. Meski ada satu yang mendendam, dan kami terlibat perkelahian kecil.”
“Ah, begitu,” sang penjaga keamanan bersimpati. “Aku tahu ini sulit, tapi cobalah untuk bertahan.”
“Terima kasih, fumo.”
Normalnya, saat ini adalah momen di mana ia meninggalkan taman dan pergi mengenyangkan dirinya di restoran yakitori5 bersama teman-teman maskotnya. Tapi hari ini ia terpikirkan sesuatu yang lain, jadi Moffle berbalik.
Sang penjaga keamanan tua, yang sudah bersiap mengecek barang bawaanya seperti biasa, memanggil Moffle saat ia berjalan menjauh. “Kau tidak pulang?”
“Nggak.”
Biasanya, setelah pegawai selesai bekerja, mereka harus menjalani pemeriksaan barang bawaan. Lagipula ada banyak sekali dari mereka, dan mereka tidak mempercayai bahwa tidak ada orang di taman yang mungkin menyelundupkan barang dagangan atau peralatan lalu menjualnya di tempat lain. Pemeriksaan seperti itu adalah standar di kebanyakan mall dan taman hiburan. Tentu saja, pegawai yang berdedikasi membencinya, tapi—
“Aku akan bicara dengan manajer, fumo.”
“Latifah-san, ya?” ucap penjaga keamanan dengan senyuman. “Bisa kau sampaikan halo padanya untukku?”
“Baiklah.” Moffle ingat kalau sang penjaga keamanan adalah penggemarnya. Bukan hal aneh di antara para pekerja penuh waktu—itu adalah satu dari sedikit hal yang menjaga semangat juang yang memudar tetap bertahan pada seutas benang.
Moffle tidak bilang dirinya adalah seorang penggemar. Ia menyayangi Latifah, tentunya cukup—tapi itu karena dia adalah keponakannya. Dan karena dia juga peduli padanya, perasaan itu sepenuhnya murni tanpa hasrat seksual.
Setelah perjalanan menaiki kereta listrik melewati koridor bawah tanah, Moffle sampai di taman atap Kastil Maple. Latifah berlari menghampiri dengan cepat, ekspresinya penuh dengan kegembiraan. “Paman!”
Ia sudah mengatakan padanya berkali-kali kalau tidak aman baginya untuk berlari…
Ia mendekapnya erat. Berat badannya turun lagi, pikir Moffle. Dia sangat ringan. Tentu saja, kutukan itu masih menggerogotinya…
“Apa kau bertemu dengan bocah Kanie itu?” tanyanya.
“Ya,” dia memberitahunya. “Penganugerahan Sihir menyebabkannya kehilangan kesadaran, jadi aku meminta Isuzu-san untuk memeriksanya di rumah.”
“Begitukah, fumo…”
Jadi dia sudah menciumnya. Moffle merasakan tusukan kecil di dadanya, seperti jantungnya tertusuk jarum. Dengan ciuman, wanita dari keluarga kerajaan Maple Land bisa menganugerahkan sihir pada pria yang terpilih menggunakan ramalan ilahinya.
Tidak ada yang tahu jenis sihir apa yang akan muncul, karena berbeda bagi setiap orang. Walaupun secara umum, itu akan menjadi sihir apapun yang pria itu butuhkan. Pria yang terpilih saat pertarungan akan mendapat sihir petarung. Pria yang terpilih saat wabah akan mendapat sihir penyembuhan. Semua terserah keinginan Dewi Libra. Pokoknya, itulah yang dikatakan para tetua Maple Land. Ia tidak bisa menjamin.
“…Kami menjalani beberapa ronde saat ia berkunjung ke Rumah Manisan-ku,” ucap Moffle. “Bukan pria sejati, menurut perkiraanku. Aku ragu ia akan berguna dalam penyelamatan taman, fumo.”
“Benarkah?” ucap Latifah penuh keraguan. “Tapi sudahkah kau membaca profil tentangnya yang Isuzu-san tulis?”
“Sudah, fumo.”
Ini adalah paragraf terakhir dari laporan yang ditulis oleh anggota elit pengawal kerajaan Maple Land yang disebutkan tadi:
…Berdasarkan informasi ini, kita bisa memastikan bahwa Kanie Seiya yang ditunjukkan oleh ramalan memiliki dua sifat; satu sisi adalah seorang komandan logis dan strategis berkepala dingin. Yang lainnya adalah seorang artis dan penghibur yang penuh gairah yang mengerti kebutuhan orang-orang. Menggunakan keduanya sekaligus akan merepotkan, dan ia tampaknya juga memiliki konflik internal mengenai aspek dalam dirinya ini.
Menurut pendapat saya sendiri, saya percaya bahwa tugas besar untuk mengembalikan kehidupan Amagi Brilliant Park hanya dapat dicapai oleh seorang manusia dengan dua sifat ini.
Penjaga Kerajaan Pertama Maple Land, Yisuzurch Saintlucia.
Moffle baru menorehkan alasannya atas nama gadis itu (nama Jepangnya adalah Sento Isuzu) untuk masa mudanya: tentu saja dia ingin Kanie Seiya ini menjadi penyelamat mereka. Tentu saja dia ingin dirinya memperbaiki taman hiburan mereka yang gagal. Tapi situasi mereka saat ini tidak mudah dimaafkan.
“Isuzu mungkin berekspektasi tinggi, tapi aku punya keraguanku sendiri, fumo. Sifat seorang pria tidak bisa memperbaiki ekonomi yang merosot.” Baik itu sebuah bisnis maupun sebuah negara, ketika sebuah komunitas tidak maju, akan selalu ada alasannya. Alasan sistematis yang tidak bisa diperangi. Bahkan jika anak ini adalah seorang jenius, tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang pria.
“…Jadi kau percaya jika tidak ada yang bisa dilakukan, kita hanya akan membiarkannya jatuh begitu saja?” Latifah bertanya dengan sedih.
Moffle kehilangan kata-kata. “Aku tidak… bilang begitu, fumo…”
“Pasti ada alasan kenapa para tamu meninggalkan kita,” protesnya. “Suatu alasan yang melebihi pemahaman kita. Kalau para tamu adalah manusia, kenapa tidak menyerahkan manajemen taman kepada manusia? …Itulah saranku.”
“Aku mendengarmu, fumo…” Tapi, mengesampingkan jawabannya, Moffle masih berpikir… Tidak akan semudah itu.
Mereka hanya punya dua minggu tersisa. Mendapat jumlah orang yang diperlukan—kurang lebih 100,000—untuk mengunjungi taman dalam rentang waktu itu adalah tidak mungkin. Mereka harus mempertahankan laju lebih dari 7,000 pengunjung per hari. Bahkan di hari Minggu, hari yang paling populer dalam seminggu, total kedatangan mereka jarang menembus 3,000.
Para pemeran melakukan apa saja semampu mereka. Tapi, terlepas dari itu semua, tidak ada yang datang. Tidak ada yang bisa dilakukan tentang itu.
Kemudian, jika taman tidak bisa mencapai targetnya, mereka akan mendapatkan tempat itu. Mereka akan menutup taman. Mereka akan memecat semua pemeran. Mereka akan merombak strukturnya dan mendirikan sebuah lapangan golf berlapis bahan kimia. Kemudian, Latifah akan…
“Jadi? Apa yang kaulakukan bersama bocah Kanie, fumo?”
“Sebagai bentuk kewaspadaan, aku meminta Isuzu-san menginap di rumahnya,” ucap Latifah. “Dia akan menangani semua isu yang akan terjadi.”
“…Kau tahu dia ada di masa itu, fumo. Isuzu adalah pengawal kerajaan dengan tubuh yang indah. Kuharap tidak akan ada kecelakaan, fumo.”
“Apa maksudmu, ‘kecelakaan?’”
Moffle mendengus sebagai balasan. “Latifah, hal-hal yang tidak kau mengerti di dunia ini. Pria adalah serigala, fumo. Mereka akan berubah ke ‘mode binatang’ dengan cepat, fumo.”
“Ah, maafkan aku…” ucap Latifah meminta maaf. “Apa tepatnya ‘mode binatang’ itu?”
Ada keheningan singkat. Moffle memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan itu.
“Yah,” sebaliknya, ia menyimpulkan, “serigala manapun yang mencoba mengejar Isuzu akan merasakan sendiri senapan magis Steinberger, fumo.”
“Ah, maaf untuk pertanyaanku yang berulang, tapi… Apa tepatnya ‘serigala’ itu?”
Keheningan singkat lainnya.
“Kau akan paham ketika kau dewasa, fumo. Em…” Moffle mendesah. “Maaf, fumo. Aku tidak bermaksud…” Ada nada berisi kepiluan mendalam di dalam suara sang kepala maskot. Gambaran Latifah yang akan tumbuh dewasa hanyalah angan-angan belaka.
“Tidak apa-apa,” ucapnya dengan optimis. “Mungkin tidak mungkin untuk tahun ini, tapi itu akan terjadi, suatu hari nanti. Aku yakin. Dan aku merasa Kanie-sama membuat sesuatu berhasil…”
Tidak mungkin, pikir Moffle.
Tidak kecuali keajaiban terjadi.
Dan alasan kita menyebutnya keajaiban adalah karena keajaiban tidak pernah, dan tidak akan pernah terjadi.
[Pengunjung taman hari ini: 2,866. (100,121 dari target) / 14 hari tersisa.]
Kawasan Perbelanjaan Suzuran, Gerbang Utara Stasiun Amagi
Yah, berbicara dengan Latifah tentang nasib taman mungkin penting, tapi tidak ada alasan untuk melewatkan minum setelah kerja keras seharian. Moffle melewati gerbang layanan taman, menaiki bus terakhir malam itu, lalu berjalan sepuluh menit dari pemberhentian terakhirnya. Ia menuju bar yakitori kecil di dekat gerbang utara Stasiun Amagi.
Orang-orang yang ia lewati di jalan tidak mempedulikannya. Ia mendapat pandangan sekilas sebanyak orang asing yang berkeliling di Roppongi. Ia berhutang pada item magis yang diberikan padanya oleh AmaBuri: Amulet Lalapatch. Selama ia menggunakan amulet itu, maskot manapun—tidak peduli seberapa anehnya—akan diperlakukan seperti pria pada umumnya. Amulet itulah yang membuat Moffle dan rekan-rekannya bisa membeli makan siang di toserba, membelanjakan penghasilan mereka di pachinko, dan membeli figurin di Akihabara tanpa dicurigai.
Seorang wanita tua bersiap menutup warung rokoknya malam itu memanggil Moffle ketika ia lewat. “Oh, Moffle-chan. Sedikit terlambat malam ini, ya?”
“Mofu. Aku punya beberapa hal untuk diperiksa, fumo.” Ia melambaikan tangan lembutnya sebagai salam.
“Omong-omong, adikku dan istrinya mengirimiku beberapa lobak acar, dan ada lebih dari yang bisa kumakan. Apa kau mau membawa beberapa?” tanyanya.
“Terima kasih, fumo.”
“Tunggu di sana, Moffle-chan.” Dia mundur ke belakang toko. Moffle menunggu untuk beberapa saat ketika wanita itu kembali dengan sebungkus plastik dingin.
“Pastikan kau segera memakannya,” perintahnya.
“Akan kulakukan.” Ia membungkuk kaku, lalu melanjutkan perjalanannya.
Tiga toko di depan warung rokok adalah bar yakitori, “Savage.” Bisnisnya sudah berjalan selama 20 tahun lebih sedikit. Aroma pemikat yang selalu sama, melayang keluar dari kipas ventilasi, pikirnya, bernostalgia, dan pintu kaca itu, lekat dengan minyak.
Saat ia memasuki bar, ia bertemu dengan Takami, seorang pekerja paruh waktu, mengisi kendi dengan bir dari keran tepat di sebelah tempat pendaftaran.
“Oh, Moffle-san. Silakan masuk,” ucap Takami, nadanya terdengar kurang peduli ketika berbicara dengan pelanggan tetap. “Teman-temanmu sudah ada di belakang, sedang minum-minum. Kau mau Hoppy6-mu yang biasa?”
“Mofu.” Dokter AmaBuri belakangan menyuruhnya untuk menghindari purin. Encok secara mengejutkan adalah derita paling umum di antara para maskot dalam industri—karenanya ia memilih Hoppy. Ia mencoba menghindari bir sesering mungkin.
“Selagi aku di sini, Takami-chan, apa kau mau lobak acar? Mereka akan jadi hidangan pembuka yang bagus, fumo.”
“Oh, aku sudah dapat banyak dari wanita pemilik warung rokok…” ucap Takami, meringis ketika melihat kantung plastik teruntai dari tangan Moffle.
“Ah, sudah kuduga. Tidak apa, fumo.”
Ia melewati konter dan berjalan menuju ruangan bertatami yang kecil dan sempit di belakang. Rekan-rekannya dari Amagi Brilliant Park—Macaron dan Tiramii—memang sudah ada di sana, berminum ria. Sepertinya hanya ada mereka bertiga malam ini.
Gelas Macaron setengah terisi bir, sama seperti Tiramii. Mereka akan menyantap shichimi7 dengan jantung yang dibumbui dan sate ayam dan daun bawang.
“Nyam nyam… Ini hebat, ron! Tempat ini punya sate ayam dan daun bawang terbaik, ron!” Macaron mengumumkan.
Macaron adalah maskot berbulu putih yang tampak seperti domba berkaki dua setinggi tiga kepala. Ia memiliki wajah kecil imut, yang sekarang sedang menyantap yakitori dan menenggak bir, diikuti dengan desahan mendalam dan hembusan rokok penuh gairah. Merknya, kebetulan, adalah Malboro—setiap kali pajak rokok naik, ia akan menangisi pemerintah dan Tembakau Jepang.
“Sangat enak, mii! Inilah rasanya kerja keras, mii,” Tiramii menambahkan.
Tiramii adalah maskot satunya; ia tampak seperti seekor Pomerania kecil dan manis dengan tinggi tiga kepala. Ia ditutupi oleh bulu merah muda yang terlihat sangat lembut, dan mengenakan hiasan bunga di telinganya dan tas perut kecil di bahunya. Setelah dipikir-pikir, mustahil melihanya tanpa perasaan kehangatan dan tidak jelas di dalam.
Saat itu, ia sedang meneguk shochu dalam keadaan miskin dan menggerutu tentang para tamu hari ini. “Anak-anak mencoba membunuhku lima kali dalam lima menit, mii. Ketika anak usia lima tahun benar-benar memukulmu… haaaah, kau tidak akan tahu jika tidak merasakannya, mii! Itu sangat sakit! Aku seharusnya balik memukulnya. Tidak ada yang akan menyalahkanku!”
“Yah, aku paham, ron…”
“Tapi oh, oh—inilah bagian yang sangat ingin kuceritakan! Ibunya, mii!”
“Oh-ho?” Macaron terkekeh. “Seperti apa dia?”
“Celana ketat di pertengahan Maret. Kaki panjang dan seputih porselen. Gantungan raksasa. Tangis di matanya, terjatuh dengan permintaan maaf. Sebuah keindahan berumur tiga puluhan, mii.”
“Seksi, ron?”
“Sangat seksi, mii! Dia akan mendapat peran MILF di industri AV dalam sekejap. Dan dia memberiku bermacam-macam tanda.”
“Kau akan ditembak lagi, ron.”
“Tapi dia memberiku email-nya, mii. Kau lihat? …Aku tidak keberatan dengan wanita yang lebih tua, selama mereka seksi. Dan berhubungan seks dengan ibu seorang anak adalah pembalasan dendam terbaik, mii.”
“Kau benar-benar seorang bajingan, ron.”
Kedua maskot hewan imut—Pomerania halus dan domba berbulu—mengeluarkan vulgaritas dengan gelas berisi bir di tangan mereka. Jelas bukanlah hal yang mereka mau jika seorang tamu tidak sengaja mendengarnya.
Setidaknya, keduanya sadar Moffle ada di sana. “Hei, itu Moffle, ron.”
“Kau terlambat, mii!”
Mereka mengangkat gelas mereka sebagai salam.
“Mofu.” Moffle memberikan tanggapannya yang terpotong, melepas sandal bulu yang ia pakai sebagai sepatu luar ruangan, lalu menapak tatami dan berlutut. Kebetulan, bahkan tanpa sepatunya, kakinya sudah tertutupi oleh bulu yang sama. …Masalahnya sebenarnya adalah, ia punya sepatu luar ruangan yang dirancang supaya terlihat sama dengan kakinya. …Tapi kakinya juga cukup besar, jadi sepatunya harus sebesar tas tangan untuk menutupinya, dan begitulah, mereka tidak akan muat di rak sepatu biasa.
“…Dengarkan, kalian berdua. Aku sudah memberitahu kalian berkali-kali: Jaga agar percakapan kalian tetap di selokan, fumo. Dinding punya telinga dan pintu punya mata… Bagaimana kalau seseorang kebetulan mendengar dan berkomentar di Twitter, fumo?”
Ya, rumor semacam itu—“Aku berada di bar yakitori ‘Savage’ di Amagi dan dua maskot AmaBuri sedang meratapi bagaimana cara mendapatkan wanita yang sudah menikah”—akan mengerikan jika tersebar. Pandangan mereka tentang AmaBuri jatuh saat itu juga (walaupun beberapa mengatakan mereka tidak bisa lebih rendah lagi).
“Aw, bar ini santai, mii. Lagipula, kita punya Amulet Lalapatch,” Tiramii membantah.
“Kau bahkan tidak bisa mendapat wireless LAN maupun sinyal 3G di sini, ron,” Macaron menambahkan, mengangkat smartphone-nya. Kedua batangnya menyebutkan “Tidak ada layanan.”
“Meskipun begitu—” Moffle memprotes.
“Lagipula, tamu kita tidak nge-tweet, ron. Kau tahu berapa followers-ku? 128, ron.”
“……”
128 followers. Bahkan untuk seorang maskot dari taman hiburan yang tidak populer sekalipun, angkanya teramat rendah. Walaupun, yang ia dengar itu karena akun Macaron sebagian besar isinya dirinya mengocehkan “mutiara kebijaksanaan,” yang akhirnya menyebabkan kebanyakan followers-nya kesal dan meng-unfollow-nya…
“Bagaimana denganmu, Tiramii?” Moffle bertanya.
“Aku lupa, mii. Mungkin sekitar 200. Aku sering diblokir karena berbagai sebab, mii!”
Sangat berkebalikan dengan penampilan imut Pomerania-nya, Tiramii menyukai lelucon kotor. Dan ketika ia tahu kalau salah satu follower-nya adalah perempuan, ia akan segera merayunya. Hasilnya, ceritanya berlanjut, dan ia juga diabaikan oleh para follower-nya.
“Bagaimana denganmu, Moffle?” Macaron bertanya.
“Aku tidak bermain Twitter lagi, fumo.”
Ia membuat akun karena rekomendasi dari yang lainnya, tapi ia nyaris tidak pernah menyentuhnya. Ia sudah mencoba mem-follow teman-temannya dan juga orang lain yang ia kenal, tapi meski begitu ia berhenti setelah kurang dari satu bulan. Ia dengan cepat merasa muak menonton ceramah Macaron dan saran gila Tiramii, dan akun yang lainnya juga tidak lebih baik.
Selain itu, membaca hal di Twitter adalah sebuah pengalaman yang membuatnya tertekan. Itu hanyalah sekelompok orang yang mengocehkan hal-hal tidak penting dalam hidup mereka, belum lagi melihat semua tweet bahagia itu setiap hari membuatnya merasa… bagaimana menjelaskannya? Seperti “Hidupku sangatlah membosankan jika dibandingkan dengan mereka.”
Perasaan inferior membuatnya lemas, seperti di malam yang panas dan lembab saat bulunya mempertahankan kelembabannya.
Penilaian objektif akan membuktikan bahwa setiap orang hanya benar-benar menjani dua atau tiga kejadian menyenangkan per bulan. Sayangnya, bukan seperti itu yang ia lihat. Setelah tweet “Menuju keluar!”-nya yang keseratus, ia hanya bisa merasa bahwa semua orang keluar menuju kota dan bersenang-senang sepanjang waktu. Itu menciptakan ilusi dunia yang dipenuhi cahaya, di mana hanya dirinya yang menderita dalam kesuraman dan kegelapan yang membosankan setiap harinya.
Bagian paling menyedihkan dari semuanya adalah bagaimana itu bisa menggodanya untuk bersaing, memposting tweet “Aku menjalani hidup yang bermakna!”. Lihatlah tamu luar biasa ini! Lihatlah betapa luar biasanya pengalamanku! Aku mungkin menghadapi kemunduran, tapi aku masih berusaha! —Tentu saja, semua itu tidak benar.
Hidupku mengerikan. Senin pagi adalah yang terburuk. Seseorang bunuh aku. Kuharap kereta mobil penuh sesak ini meledak dan sebuah meteor menghantam tempat kerjaku. Kuharap kalian semua mati.
Tapi bisakah dirinya men-tweet semua itu? Tentu saja tidak.
Jadi, karena Moffle bukanlah maskot yang mentolerir penipuan, ia tidak punya pilihan lain selain tetap diam.
Sekitar saat itu pekerja paruh waktu Takami membawakannya sebuah botol dan gelas. “Ini, Moffle-san. Hoppy Hitam-mu!”
“…Mofu.”
“Apa ada sesuatu yang ingin kaumakan?” Takami bertanya.
“Tomat dan tahu dingin,” ia memberitahunya. “Juga beberapa yakitori. Pilihanmu.”
“Oke!”
Saat Takami meninggalkan ruangan tatami, Tiramii menatapnya. Senyum manisnya, mata kancingnya… Sebuah desahan kecil keluar dari mulutnya.
“Takami-chan… Aku suka pantat luar biasanya, mii.”
“Jangan berani-beraninya, dasar anjing bodoh!” Moffle dan Macaron keduanya merintih serentak.
“Kau selalu, selalu begitu, fumo!”
“Merayu pekerja paruh waktu membuat kita di-ban dari tempat terakhir, ron!”
“A-Aku hanya suka mengucapkannya, mii… Jangan menatapku seperti itu, mii…”
TL Note:
1kaos v-neck= kaos dengan model leher berbentuk V.
2Pomerania= ras anjing spitz (=tajam) dari Jerman. Diambil dari nama provinsi di Jerman.
3dudaim= tumbuhan yang tergolong spesies Mandragora, khususnya spesies Mandragora officinarum atau Mandragora autumnalismandrake (Inggris: mandrake).
4wombat= marsupial Australia.
5yakitori= sate ayam khas Jepang.
6Hoppy= minuman beralkohol Jepang kadar alkohol yang sangat rendah.
7shichimi= campuran rempah 7 rasa di Jepang.