- Home
- Amagi Brilliant Park LN
- Volume 1 Chapter 2 Bahasa Indonesia - Para Maskot Buruk dengan Pelanggan
2. Para Maskot Buruk dengan Pelanggan
Translator : HanaRen
Editor : MEIONOVEL.ID
Profreader : CHGAI
Ketika ia membuka matanya, saat itu sudah pagi, dan dirinya ada di rumah.
“Uhh…”
Seiya terduduk di tempat tidurnya. Ia masih memakai pakaian yang sama, termasuk jaketnya.
Kapan aku sampai di sini? Bagaimana aku bisa kembali dari taman hiburan itu? Pikirannya kosong.
Ia memandang jam; pukul 7:00 pagi lebih sedikit. Ia melewatkan jadwal bermain Minggu malam (RTS8 online), tapi tidak ada yang bisa dilakukan tentang itu kecuali mengirimkan email permintaan maaf ke lawannya sebelum berjalan menuju kamar mandi. Untuk sekarang, ia perlu bersiap untuk sekolah.
Ia bisa memikirkan tentang situasinya dengan logis ketika ia mandi, pikirnya. Bertemu gadis itu, Latifah, di taman hiburan mengerikan itu; permintaan aneh yang dia buat padanya; dia yang tiba-tiba menciumnya… Mungkinkah semua itu hanya mimpi?
“Uhh… Apa yang sebenarnya terjadi?”
Setelah berjalan sempoyongan ke pintu kamar mandinya, ia membukanya, dan— Ia mendapati Sento Isuzu berdiri di ruang ganti, setengah telanjang. Sebenarnya, faktanya adalah, dia hampir sepenuhnya telanjang. Satu-satunya benda yang menempel padanya adalah kaus kaki setinggi pahanya. Punggungnya menghadap dirinya, dan dia sedang memasang bra bergaris di lekukan payudaranya yang tidak terlalu kelihatan.
Urutan yang aneh dalam berpakaian… Itulah hal pertama di pikirannya. Sebelum “Sungguh pantat putih yang indah” atau “Astaga, baunya sangat harum” atau “Apa dia benar-benar menyukai garis?”, itulah hal pertama yang muncul di pikirannya.
Dia punya urutan aneh dalam berpakaian. Sepenuhnya telanjang dengan kaus kaki dan bra—orang macam apa yang memakai itu duluan? Benar-benar tak bisa dipahami.
Hanya setelah semua itu terjadi baru terpikirkan olehnya: kenapa dia ada di ruang ganti di rumahnya, terlihat segar setelah mandi?
Baca di meionovel.id
Ketika Seiya sedang bergelut dengan kesunyiannya, Isuzu meliriknya dari bahunya. Tatapannya secara mengejutkan tampak tenang.
Sebelum dia sempat berkata apapun, ia dengan cepat menutup pintunya, mundur ke arah dinding, dan mulai berteriak. Ia samar-samar mencerminkan salah satu hakim jahat yang sedang memanggil bantuan dalam drama samurai.
“M-Mbak! Aisu-san!”
Ada keheningan singkat, lalu Kyubu Aisu keluar dari kamarnya.
“Mguh? …Sekarang apa?” dia mengomel, “Hal pertama di pagi hari dan aku baru saja dibunuh oleh begadang…”
Ia memanggilnya “Mbak,” tapi Aisu sebenarnya adalah bibinya. Umurnya 26 tahun berambut hitam pendek, dan memakai kaos longgar di atas dadanya yang besar. Dia adalah editor di salah satu perusahaan penerbit, jadi dia menjalani gaya hidup yang tidak teratur, meskipun dia banyak merokok dan minum, kulitnya secara mengejutkan tetap terlihat muda dan subur.
“…Oh, Seiya,” katanya. “Kau sudah bangun, ya?”
“Mbak, apa yang dia lakukan di sini?!” Ia menunjuk ke arah pintu kamar mandi berulang kali.
Aisu tidak tampak terkejut. “Dia? Oh, Isuzu-chan? Apa dia sedang mandi?”
“Jawab saja pertanyaanku!” Seiya menuntut histeris. “Apa yang dia lakukan di sini?!”
“…Dia membawamu ke sini larut malam,” Aisu memberitahunya. “Dia bilang sesuatu tentang kau yang sedang berkencan tiba-tiba terjatuh dan kepalamu terbentur? Tapi kemungkinan besar itu hanya benturan keras, jadi aku membiarkanmu tidur. Saat itu dia sudah ketinggalan kereta terakhir, jadi aku bertanya padanya apa dia mau menginap, dan dia seperti, ‘tentu.’”
Mengenal Aisu, itu adalah urutan kejadian yang masuk akal—lagipula dia tidak pernah peduli pada apapun selain pekerjaannya. Dia adalah tipe orang yang, jika ada komplotan pencuri asing datang pukul dua pagi, membunyikan bel dan berkata, “Kami dari layanan tata graha,” hanya akan membalas “Seiya pasti yang memanggil kalian; langsung masuk saja,” lalu kembali tidur.
Tapi… meski begitu… Meski begitu, ini jelas omong kosong! Ayolah! Bagaimana bisa kau menerima cerita itu?! Tepat saat pikiran Seiya memusatkan kemarahannya padanya, sesuatu yang aneh terjadi.
«Sudah waktunya Seiya mulai berkencan dengan para gadis. Kuduga ia sudah melunak… ia biasanya berseteru dengan semua perempuan yang ditemuinya. Aku sangat senang! Sebagai walinya, tentu saja.» Suara Aisu bergema di kepalanya.
Mulutnya tertutup. Walau begitu, ia bisa mendengar suaranya, sangat jelas. “Apa?”
Aisu, yang belum mengatakan apapun, hanya merespons dengan “Hmm?”
“Mbak,” tanyanya dengan curiga, “apa kau baru berbicara dengan cara yang aneh?”
“Huh?”
“Sesuatu tentang aku yang melunak atau apapun…”
Aisu terkejut. “A-Apa? Aku tidak tahu apa yang kaubicarakan…”
“Kau baru saja mengatakan banyak hal dengan mulut tertutup…” Seiya menuduhnya. “Seperti aku yang melunak, aku yang memusuhi wanita, sesuatu tentang berbicara sebagai waliku…”
Keterkejutan di wajahnya bertambah jelas, dan dia menutup mulutnya dengan satu tangan. “Apa? Aku tidak bilang apa-apa. Kau tahu, kau benar-benar menakutiku sekarang…”
“Kaulah yang menakutiku…” ia memberitahunya dengan marah. “Aku tidak tahu apakah itu suara perut atau apa, tapi aku tidak suka ketika orang mengejekku.”
“Suara perut?” Aisu bertanya, jelas tampak kebingungan.
“Iya, kan?” Lalu ia berpikir, jelas, dia tidak akan bilang kalau dia bisa melakukannya.
“Aku tidak tahu apa yang kaubicarakan… Oh, aku paham,” ucapnya, mulai sadar. “Aku mungkin masih setengah tertidur. Ya, aku belum menyingkirkan alkohol dari hidupku… Toh, kau sudah bangun, jadi lupakan saja… Aku akan tidur lagi. Berangkatlah ke sekolah, oke? Sampai nanti.”
Aisu mengoceh sebentar tanpa memberinya kesempatan berbicara, lalu menarik diri menuju kamarnya. Pintunya tertutup dan mengeluarkan bunyi klak.
Ketika Seiya masih menatap kosong padanya, pintu kamar mandi terbuka.
“Itu tadi menarik,” komentar Isuzu.
Seiya terkejut karena kebodohannya. “Huh?!”
Sento Isuzu berdiri di sana, sudah memakai seragam sekolahnya. Dia tidak tampak terganggu dengan kenyataan bahwa Seiya telah melihatnya telanjang.
“Aku tidak sengaja mendengar,” kata Isuzu. “Lagipula kita hanya dibatasi oleh pintu.”
“…Lalu kenapa?”
“Kupikir aku tahu apa ‘sihir’mu.”
Hari itu Senin pagi, jadi mereka tidak bisa membuang banyak waktu. Ia berpakaian, sarapan simpel bersama Isuzu (sereal coklat dan susu) dan pergi ke sekolah. Aisu bibinya dengan cepat tertidur di kamarnya, jadi dia tidak mengantar mereka.
“Jadi, kau mau menjelaskan atau tidak?” Seiya bertanya selagi mereka berjalan dari kompleks apartemennya ke Stasiun Yanokuchi. Kereta cepat yang tujuannya ke sekolah mereka akan sampai sebentar lagi, jadi mereka harus melaju cukup cepat.
“Tentu saja aku akan menjelaskan,” Isuzu membalas. “Aku merasa seperti mau mati jika aku mandi kurang dari tiga kali sehari. Kurang lebih setiap delapan jam. Setelah menginap di rumahmu, aku sudah melampaui batasku. Jadi aku memakai kamar mandimu—dengan menyesal, tanpa izin.”
“…Um, bukan itu penjelasan yang kuinginkan…”
“Begitu… Kalau begitu, apa yang kau mau aku jelaskan?”
“Tentang sihir ini!” ia meledak, “sekaligus tentang gadis Latifah itu!”
“Oh, itu…” Dia mengangguk. “Kau kehilangan kesadaran ketika Sang Putri, Latifah-sama menganugerahimu sihir. Saat itu sudah larut malam dan kami tidak bisa membangunkanmu, jadi aku memanggil taksi dan membawa pulang.”
Dia masih bermain-main dengan inti pertanyaannya. Aku ingin kau memberitahuku tentang ‘sihir’ ini,” ia mencoba lagi.
“Latifah-sama adalah ratu dari alam magis Maple Land,” Isuzu menjelaskan. Wanita dari keluarga kerajaan Maple Land memiliki kemampuan untuk menganugerahkan kekuatan magis kepada manusia biasa melalui kontak mulut ke mulut.”
“M-Mulut ke mulut?” ia tergagap.
“Maksudnya dengan berciuman.”
“Aku tahu maksudnya…”
Jadi itu bukan mimpi. Dasar wanita busuk, kembalikan ciuman pertamaku! …Sebenarnya, ia tidak terlalu memikirkan itu. Tapi ia berharap punya waktu untuk bersiap, bagaimanapun… mungkin rasa pencapaian yang sedikit lebih besar?
Ya, itu adalah perasaan yang sama saat kau bermain RPG lalu sebuah glitch muncul dan membuatmu bisa mengalahkan bos terakhir di level tiga, dan kemudian kau bahkan tidak mendapatkan ending screen. Menyebalkan! Sangat menyebalkan!
Isuzu mengabaikan ketidaksukaan senyap Seiya dan melanjutkan dengan tenang, “Jenis sihir yang dianugerahkan dari ciuman keluarga kerajaan akan berbeda tergantung orang yang menerimanya. Mereka mungkin memperoleh kemampuan menembakkan sinar dari matanya, menumbuhkan cakar besi super kuat dari jari mereka, atau mengendalikan guntur.”
“Apa semua itu sihir?” ia ingin tahu. Bukankah semua itu adalah kekuatan mutan atau apapun? Setidaknya semua itu terdengar familiar…
“Itu hanya contoh,” dia memberitahunya. “Dalam kasusmu, sihirnya membiarkanmu membaca pikiran orang lain. Kalau kau menatap seseorang dan menginginkannya, kau bisa mendengar apa yang mereka pikirkan. Ada beberapa cerita tentang ini di catatan lama Maple Land. Tapi—”
Dengan ragu-ragu, Seiya menatap Isuzu dan berkonsentrasi. Seperti menyadari apa yang akan ia lakukan, dia menutup mulutnya dan tidak mengatakan apapun lagi.
Ia berfokus. Ia mendengar suara. Sebuah gema aneh di dalam kepalanya yang terasa dekat, tapi juga jauh.
Pikiran Sento Isuzu terdengar: «Tapi—berdasarkan catatan-catatan itu, kau hanya bisa menggunakan sihir ini ke setiap orang sekali, dan kau hanya bisa membaca pikiran mereka sebentar saja. Apakah bekerja? Kalau kau mendengarku, katakan sesuatu.»
Kata hatinya terputus. Isuzu menatap tepat padanya, menunggu responsnya.
“…Yah,” ia menyimpulkan, “Sepertinya benar. Aku benar-benar bisa mendengar pikiranmu. Kau bilang aku hanya bisa membaca sekali per orang, dan dibatasi waktu?”
“Aku senang kau paham dengan cepat.”
“Hmm. Tampak sulit dipercaya,” akunya, “tapi aku tidak berpikir kalau kau memalsukannya…”
Semua pembicaraan tentang sihir ini tampak seperti omong kosong, tapi Seiya menerimanya dengan cukup tenang. Mengingat jumlah fenomena aneh yang sudah ia alami dalam dua hari terakhir, ia sudah menyerah mencari alasan yang logis dan realistis untuk semua yang mendatanginya.
Sihir yang membuatnya bisa membaca pikiran, ya?
Baik. Ayo asumsikan kekuatan itu ada dan ia memilikinya. Dalam hal ini, hal pertama yang harus ia lakukan adalah mengetes batasannya.
Berargumen dengan dirinya sendiri tidak akan menghasilkan apapun; ia harus menghadapi kenyataan dan mendapatkan informasi yang bisa ia gunakan! Tentu saja, ia lebih memilih sihir yang bisa membuatnya mengendalikan gravitasi, atau meniru kemampuan orang lain dengan sempurna… tapi ia memilih untuk tak menyuarakannya.
Jadi, pikirnya, ayo uji sekali lagi! Ia menatap Isuzu sekali lagi, mencoba mengintip pikirannya. Tapi tak peduli seberapa keras ia berkonsentarasi, ia tidak bisa mendengar suaranya lagi.
“……”
“Sepertinya anggapanku benar,” ucapnya. “Kau tidak bisa membaca pikiranku lagi, kan?”
“…Kenapa kau begitu yakin? Bisa saja aku hanya berpura-pura.” Ia mengatakan itu sebagian karena dendam, tapi Isuzu tidak terganggu.
“Kau tidak—” dia menolaknya dengan percaya diri.
“Oh?”
“—karena aku baru memikirkan sesuatu yang sangat cabul.”
“A… Apa?” Cabul? Cabul yang seperti apa?!
“Hanya bercanda,” Isuzu menambahkan.
“Rrgh…”
“Tapi ini membuktikannya,” dia selesai berpikir. “Kau tidak tahu kalau aku berbohong. Dengan kata lain, kau hanya bisa membaca sekali per orang… Itu pasti.”
“Grrr…”
Taktiknya tanpa celah; ia harus berjaga-jaga jika berada di sekitarnya. Ada juga kejadian bolak-balik di toko camilan kemarin… Ia mungkin harus punya kendali ketat dalam emosinya jika berada di sekitarnya mulai sekarang.
Meskipun ada hal lain yang membuatnya menyesali kecerobohannya.
Ia sudah menggunakan sihir “sekali saja” ini padanya… Kalau saja ia mengaturnya dengan hati-hati, ia mungkin akan mendapat bahan pemerasan yang pantas.
“…Kanie-kun. Kau kecewa karena kau tidak bisa mendapatkan bahan pemerasan untukku, kan?”
“T-Tunggu… kau tidak punya kekuatan itu juga, kan?”
“Tidak. Hanya kelihatannya, berdasarkan perilakumu di interaksi kita sebelumnya.”
“Grr…”
Aku sangat benci akting, pikir Seiya getar. Agak terlambat untuk itu sekarang, tapi—
“B-Baiklah… Biarkan aku mengujinya sedikit lagi.” Mencobanya ke satu orang bukanlah bukti yang positif.
Ia menguji kekuatannya pada pekerja paruh baya yang berjalan di samping mereka ketika menuju ke stasiun. Ia hanya seorang pria yang akan dirinya temukan sepanjang waktu—tidak masalah jika ia tidak membaca pikirannya lagi.
Ia mendengar suara pria itu. «Ahh, lelahnya. Aku terlambat keluar rumah, dan aku mungkin sudah merindukan keretaku yang biasa… Yang artinya aku tidak akan melihat pegawai cantik itu hari ini. Dialah setitik cahaya di tengah perjalanan neraka…»
Terserahlah. Ia lalu membaca pikiran seorang wanita paruh baya dengan setelan jas, yang berjalan di belakang pria tadi.
«…Apa aku memprogram DVR-nya dengan benar? Kalau aku menelpon sekarang, Takeshi bisa mengeceknya sebelum bersekolah. Tapi Takeshi benci drama Korea, yang membuatnya sangat canggung untuk meminta padanya… Apa yang akan kulakukan?»
Sungguh, terserah. Ia lalu mencobanya ke bocah biasa di belakang wanita itu. Ia mengenakan seragam dari sekolah lain, matanya fokus pada catatan saat ia berjalan—
«…Kongres Wina, 1914. Kongres Wina, 1914. Kongres Wina, 1914. Kongres Wina, 1914…»
Tidak terserah sama sekali! Kongres Wina berlangsung dari 1814-1815! Itu adalah konferensi penting antara negara-negara Eropa setelah peperangan era Napoleon! Bagaimana kau bisa salah mengira itu tahun 1914? Itu sudah seabad! Itu Perang Dunia I! Ia menggertakkan giginya, ingin menolak. Ingin menunjukkan kesalahan bocah itu…
Setelah menahan keinginannya, ia mencoba menggunakan “sihir”-nya sekali lagi ke subjek yang sama—pekerja kantor, sang wanita, siswa—tapi ia tidak lagi bisa membaca pikiran mereka.
“…Sepertinya kau benar, Sento,” ia akhirnya mengakui. “Aku hanya bisa mencobanya sekali pada setiap orang, dan aku hanya bisa melakukannya sebentar saja.”
“Catatan Maple Land membahas tentang orang-orang di masa lalu yang memiliki kekuatan semacam itu,” jawabnya singkat.
“Hmm.” Kalau ia belajar hal baru dari semua ini, itu adalah kekuatan itu tidak membolehkannya benar-benar melihat nama seseorang. Ia tidak tahu kanji untuk nama belakang (yang mungkin) anaknya, Takeshi.
Dengan kata lain, secara harfiah sihir itu tidak benar-benar membiarkannya “membaca” pikiran orang; ia hanya mendengar apa yang mereka pikirkan. Dan hanya satu kali per orang. Dengan pembatasan seperti itu, sulit untuk menyalahgunakannya.
Mereka semakin dekat dengan Stasiun Yanokuchi; area di sekitarnya rusak parah, dengan hampir tanpa toko-toko. Ada binatu dan penjual sayur, plus sebuah pub dan bar yakitori yang ditujukan untuk pria di sekitar. Di selatan stasiun ada hutan gunung yang tidak berkembang.
Ini adalah pinggiran kota komuter di Tokyo, Amagi, tepat di perbatasan Prefektur Kanagawa. Walaupun hanya sejauh perjalanan 30 menit ke Shinjuku, sulit untuk menyebutnya sebagai bagian dari kota; Itu adalah pinggiran kota.
Setelah melewati gerbang tiket, Seiya berbicara lagi. “Aku masih punya banyak pertanyaan. Apa itu ‘Maple Land?’”
“Sebuah alam magis yang terletak di ambang batas antara lautan dan daratan,” ucap Isuzu.
“Itulah yang kudengar,” ulangnya dengan tajam. “Sekarang beritahu kebenarannya.”
“Itulah kebenarannya.”
Dia tampaknya akan bersikeras pada tema ‘alam magis’ ini. Baik, terserah.
“Tapi yang perlu kaukhawatirkan sekarang adalah kembali ke Brilliant Park bersamaku sepulang sekolah”, ucapnya “Fakta bahwa kau pingsan berarti kita tidak bisa mendiskusikan rencana kita.”
Seiya memprotes usulnya, tentu saja, tapi ketika ada sebuah musket diarahkan padanya di peron stasiun, ia memutuskan kalau setuju dengannya adalah taruhannya yang paling aman.
Sesampainya di sekolah, Seiya menghabiskan harinya di kelas menahan amarahnya. Semua diperburuk oleh fakta bahwa seseorang, entah bagaimana, menyebarkan rumor tentangnya dan Isuzu. Ia sedang makan siang di bilik kamar mandi saat ia tanpa sengaja mendengar beberapa siswa datang dan membicarakannya.
Sebabnya adalah seorang gadis tahun pertama melihat Kanie Seiya dan Sento Isuzu bertemu di depan Stasiun Amagi dan naik bus bersama. Laporannya adalah bus yang dinaiki adalah bus yang menuju ke Hotel Alamo. Buktinya adalah, pagi harinya, keduanya berjalan bersama ke sekolah, terlihat “sangat akrab”—
Kau pasti bercanda!
Ia ingin keluar dari bilik dan meneriaki mereka, tapi ia terhalang oleh fakta bahwa ia sedang makan siang di bilik kamar mandi. Jika ia ingin menjaga setiap keping reputasinya, ia tidak boleh keluar sekarang.
Kau tahu, Kanie Seiya ITU… tidak punya teman! Sendirian!! Di dalam bilik kamar mandi!! Memakan roti kari!!—Pemikiran itu tidak bisa diterima
Setelah beberapa jam menggertakan gigi, Seiya sekali lagi berakhir di Amagi Brilliant Park. Isuzu sudah menunggunya di luar sepulang sekolah, lalu menariknya bersamanya tanpa ampun.
“Jadi?” Seiya bertanya setelah mereka melewati pintu masuk pemeran di sebelah gerbang. “Kemana kau akan menyeret ku hari ini?”
Bukannya menjawab, Isuzu tanpa berkata apapun mengetuk-ngetuk ponselnya. Dia tampaknya sedang mengecek email-nya dan mengetik balasan singkat ke seseorang. Gaya mengetiknya sangatlah lambat dan ceroboh.
“Hei.”
“……”
“Kalau kau mau mengecek email-mu ketika seseorang berbicara denganmu, kau setidaknya bisa mengatakan maaf. Apa orang tuamu tidak mengajarkanmu apapun?”
“……”
“Tidak ada tanggapan, ya? Kupikir aku akan pulang saja.” Seiya pergi dan berlanjut ke pintu keluar ketika ia merasakan tangan besi di kerahnya. “Hei!”
“Bagaimana caramu membuat emoji?” Isuzu menunjukkan layar ponselnya.
Re: Mereka di sini, fumo
Dimengerti. Aku ada di gerbang pertama.
Aku membawa Kanie-kun.
Dari: Moffle
Untuk: Sento Isuzu
Orang-orang Pengembangan Amagi ada di sini, fumo.
Aku menyuruh mereka ke ruang konferensi tiga, fumo. Segeralah ke sana
Itu adalah email yang menumbuhkan banyak pertanyaan, pikir Seiya.
Pertama, ada fakta bahwa email itu berasal dari Moffle. Maskot yang bertengkar dengannya kemarin. Kenapa seseorang mengirimkan email dengan nama maskotnya? “Orang-orang Pengembangan Amagi” juga adalah kumpulan kata yang aneh. Dan kebiasaan bicaranya itu… “Mereka di sini, fumo.” Kenapa?
Meski menyimpan berbagai pertanyaan sekarang, Seiya memutuskan untuk memanggilnya. “…Aku tidak terlalu paham dengan semua ini,” ia memberitahunya, “tapi apa kau mencoba memberi emoji setelah ‘Aku membawa Kanie-kun?’”
Isuzu mengangguk.
“Emoji yang seperti apa?” tanyanya.
“Aku mau yang terlihat seperti aku sedang tersenyum dan melambai.”
“Oke…” ia memberitahunya, “berikan padaku sebentar.”
Aku membawa Kanie-kun. 🙂
“Apa itu bisa?”
“Hmm… bisa diterima,” dia memutuskan.
Reaksi macam apa itu? Seiya bertanya-tanya. Kalau begitu, emoji macam apa yang lebih baik daripada yang “bisa diterima”?
Tapi mengesampingkan semua itu—
“Jadi, ke mana kau akan mengajakku?” ia ingin tahu.
“Kau membaca email-nya, kan? Ke ruang konferensi tiga.”
“Kenapa?”
“Untuk bertemu dengan orang-orang dari Pengembangan Amagi,” jelas Isuzu.
“Dan Pengembangan Amagi adalah…?”
“Musuh kita.”
Ada bangunan di atas tanah di sisi lain taman hiburan.
Ruang konferensi tiga terletak di lantai tiga, dan terlihat biasa, tanpa ciri khas. Ruangan itu diisi oleh meja konferensi luntur, yang dikeliligi oleh kursi lipat, dan sebuah papan tulis yang tampak kotor.
“Musuh” yang Isuzu bilang sudah sampai.
Ada tiga dari mereka: Dua orang tua yang biasa-biasa saja, dengan seorang pria muda berdiri di antara mereka. Pria muda menarik yang berada di tengah tampaknya ada di pertengahan dua-puluhan-nya, dan kemungkinan besar seumuran dengan bibi Seiya, Aisu.
Ketiganya memakai jas abu-abu seragam dan berselera tinggi, yang tampaknya sangat mahal. Pembawaan mereka tidak seperti pengusaha, melainkan lebih seperti sepasukan tentara yang baru saja menguraikan rencana lawan mereka. Senyuman mereka sombong dan angkuh.
Si pria muda melirik Seiya, lalu memperkenalkan dirinya: “Aku Kurisu Takaya dari Pengembangan Amagi,” ucapnya sembari mengeluarkan kartu bisnisnya. Itu sederhana.
Sayangnya, Seiya tidak memiliki kartu bisnis. Ia memperkenalkan dirinya dan menunduk dengan sopan.
Senyum Kurisu smile tetap tegas di sana ketika ia memperhatikan Seiya. “Senang bertemu denganmu. Apa yang pelajar ini lakukan di sini?”
“Ia seorang magang. Ia di sini untuk mencatat,” jelas Isuzu.
“Begitu,” ucap Kurisu. “…Seorang magang, ya? Di mana manajermu, Latifah-san?”
Isuzu adalah satu-satunya perwakilan taman di ruangan itu. Tidak ada orang lain di sana. Seiya mengasumsikan bahwa si (pria di dalam?) maskot sombong Moffle akan ada di sana, tapi sepertinya tidak.
Isuzu membalas dengan sopan. “Seperti yang telah saya sebutkan di email, manajer kami sedang sakit dan tidak dapat hadir hari ini. Sebagai pengganti manajer, saya dengan rendah hati akan mewakilinya.”
“Begitu,” ucap Kurisu dengan diginnya. “Baiklah kalau begitu.”
Seiya terkejut melihat Kurisu Takaya menyetujui ini dengan siap—bukan sebuah ketidakpantasan baginya untuk mengadu tentang datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk terpaksa berurusan dengan orang seperti Isuzu dan Seiya. Dua pria lainnya tampaknya berpikiran sesuatu semacam itu, tapi satu lirikan dari Kurisu dan mereka menelan keluhan mereka.
Kurisu tampaknya yang memimpin di sini, dan setelah jeda sesaat, ia berbicara: “…Jadi, pengganti manajer, Isuzu-san. Aku yakin kau sadar tentang keadaan yang membawa kami ke sini hari ini? Jika kalian tidak bisa mencapai kuota pengunjung dalam dua minggu, kepemilikan Amagi Brilliant Park akan berpindah ke Pengembangan Amagi.”
“…Ya,” Isuzu membalas tanpa secuilpun emosi.
“Menurut kontrak kepentingan kami yang ditandatangani tahun 1982, jika dalam lima tahun kalian memperoleh pengunjung kurang dari sejuta, hak manajemen taman berpindah ke Pengembangan Amagi. Karena itu—”
Kurisu Takaya melanjutkan penjelasannya sambil membolak-balik salinan kontrak dan jumlah pengeluaran dalam beberapa tahun terakhir. Ia terus berbicara tentang hukum dagang dan kebijakan sektor ketiga, dan sementara itu cukup panjang dan membosankan, Seiya berhasil memahami situasinya: singkatnya, taman hiburan ini ada di ambang penutupan.
Pengembangan Amagi adalah pemegang saham utama yang diinvestasikan oleh kota dan berbagai perusahaan. Mereka ingin menutup taman hiburan “mencurigakan” ini, dan menurut kontraknya, jika jumlah pengunjung taman jatuh di bawah angka tertentu, hak manajemen taman akan jatuh pada mereka.
Batas akhirnya dua minggu dari sekarang, dan taman kekurangan 100,000 orang.
Meski mereka masih bimbang akan mengganti taman dengan lapangan golf atau perumahan, yang manapun, taman pasti akan diruntuhkan.
100,000 orang hanya dalam dua minggu? Itu adalah tugas yang tidak bisa diselesaikan. Amagi Brilliant Park akan tutup dalam dua minggu, hanya itu, dan pria ini, Kurisu Takaya, datang untuk mendiskusikan proses pemindahannya berjalan lancar.
“Nah, sejauh yang kutahu… kalian belum bersiap untuk penutupan taman,” ujar Kurisu. “Kalian belum mengumumkan penutupan ini dan kalian belum memutus telepon, internet, dan kontrak air. Kami bertanya-tanya apakah kalian benar-benar bertindak dengan itikad baik di sini… Bisakah kau memberi penjelasan untuk ini?”
“Yah…” Isuzu bergumam. “…Itu karena kami belum tahu pasti kalau taman tidak akan memenuhi kuotanya.”
Sebuah senyum tegang muncul di wajah Kurisu. “Belum tahu pasti? Kau pasti bergurau; kalian punya banyak tagihan. Kalian sudah menyia-nyiakan finansial kalian, dan kalian menyeret yang lainnya bersama kalian. Waktunya telah tiba, itu saja. Kalian harus berhenti mensuplai bantuan ke anakronisme9 sekarat ini, lalu fokus menyiapkan barang-barang kalian dan membuat kerugian kalian sebagai sesuatu yang produktif.”
“Kami… menyadari situasinya,” ucap Isuzu tegang.
“Benarkah?” Kurisu terdengar ragu. “Aku tahu banyak tentang sejenismu—maaf, tentang orang sepertimu. Kau berpikir ‘akuntansi itu membosankan, siapa peduli?’ kan? Kau berpikir hanya usaha ‘artistik’ saja yang berharga. Kau berpikir peduli dengan keuntungan adalah sebuah kejahatan.”
“Kami tidak mengatakan itu,” dia memprotes.
“Kalian secara efektif melakukannya. Bahkan taman hiburan juga sebuah usaha, kau tahu. Apa kalian sadar seberapa besar beban yang ditanggungkan oleh usaha kalian pada orang-orang? Haruskah aku menjelaskan padamu dalam skala besar? Ya, mari kita ambil contoh—” Kurisu mengambil sebuah pulpen dan menekankannya ke kalkulator.
“Mari kita ambil keluarga empat orang yang berkunjung ke taman hiburan kalian pada suatu Minggu. Mereka punya pendapatan tahunan sekitar empat juta yen—benar-benar keluarga biasa yang hanya akan bisa pergi ke taman hiburan beberapa kali saja dalam setahun.”
“…Jadi?” Isuzu mencemooh.
“Itu adalah dasar pemikiran kita. Nah, berdasarkan jumlah pengunjung Amagi Brilliant Park tahun lalu, berapa banyak yang akan dihabiskan oleh keluarga ini per kunjungan agar kalian bisa membayar tagihan? Mari kita lihat—” Ketukan pada kalkulator bergema ke seluruh ruangan.
Merasa bosan, Seiya mulai menghitung secara kasar angka-angkanya di kepalanya. Lalu, seperti sedang menonton acara kuis, ia membisikkan hasilnya keras-keras: “85,000 yen.”
Kurisu, yang baru saja menyelesaikan hitungannya, melebarkan matanya. Pria yang mengapitnya juga sama.
“Maaf?” ia bertanya pada Seiya.
“85,000 yen,” renung Seiya. “Itu hanya dugaan kasar.”
Kurisu melihat Seiya dengan tatapan baru yang menusuk. “Hampir benar. Lebih tepatnya 83,200 yen.”
“Huh…” Ia sudah sangat dekat, kalau saja ia tahu apakah taman menghasilkan daya sendiri, ia bisa menghasilkan angka yang lebih akurat.
“Tidak terlalu tepat sasaran, tapi tetap saja mengesankan, pelajar,” Kurisu memujinya. “Kenapa tidak berhenti magang di sini dan bergabung saja dengan kami?” Ia mengatakannya dengan cara yang membuatnya sulit untuk mengetahui apakah itu candaan atau bukan. Pria di kedua sisi mengernyitkan keningnya, ketika Isuzu merengut.
“Tidak,” ucap Seiya pelan, “Kupikir aku tidak ingin…”
“Sayang sekali. Kami bisa membantumu memanfaatkan semua bakatmu.” Kurisu mengangkat bahu. “…Yah, bagaimanapun, itulah hitungannya. Berapa banyak yang harus dibayar oleh pelangganmu untuk menunjang hiburan kecil kalian? Jawabannya 83,200 yen per keluarga. Kurasa kau akan setuju bahwa itu adalah jumlah yang mustahil.”
Seiya harus setuju; kau bisa berjalan-jalan ke luar negeri dengan uang sebanyak itu. Tidak ada keluarga yang akan menghabiskan 80,000 yen dalam sehari di taman hiburan yang mencurigakan seperti ini.
“Kau pasti gila jika memberi tanggungan sebesar itu pada keluarga biasa,” tuduh Kurisu. “…Sekarang, inilah pertanyaanku selanjutnya—apa kau memberi pelayanan yang pantas untuk uang sebanyak itu?”
Jawaban untuk yang itu sudah jelas… Seiya hendak bergumam, tapi ia bisa menahannya tepat waktu. Sento Isuzu menatap amarah, tampak tidak dapat menjawab.
“Yah… jika saja kami… punya sedikit lebih banyak waktu, satu kesempatan terakhir…” setidaknya dia berbisik, dengan tersendat-sendat.
Seiya memeriksanya dan melihat ekspresinya adalah ekspresi masamnya yang biasa. Suaranya tidak bergetar, tapi juga tidak menunjukkan emosi. Untuk beberapa alasan, itu mengingatkan Seiya pada seorang panglima di lapangan dimarahi habis-habisan oleh jenderalnya: “Kenapa kau tidak bisa menghancurkan barisan musuh?”
“…Yah, kalau kau bersikeras,” Kurisu akhirnya bicara. “Lagipula orang-orang yang datang ke sini adalah orang bodoh.”
“……!” Isuzu terkesiap. Dia tampaknya ingin membalas dengan keras, tapi entah bagaimana dia bisa menahan dirinya. Sebagai gantinya, dia hanya menurunkan suaranya dan mengembalikan pertanyaannya. “Apa kau bilang… orang bodoh?”
“Apa aku salah?” Kurisu membalas.
Ya, ini tidak tampak bagus sama sekali… Saat pemikiran itu memasuki kepala Seiya, tangan Isuzu mengarah ke roknya; dia pasti mau mengambil musket aneh miliknya. Sebelum dia bisa mengambilnya, Seiya menggenggam pergelangan tangannya dan condong ke depan.
“Begitu. Kami sangat mengerti dengan apa yang Anda ucapkan,” Seiya membalas dengan senyum ramah di wajahnya. “…Anda benar bahwa kami belum bersiap untuk penutupan kami. Itu karena kami baru akan mulai. …Bukankah begitu, Sento-san?”
Ekspresi Isuzu tetap kosong sesaat, tapi dia kembali, dan nyaris tidak bisa mengangguk.
Kurisu memperhatikan ekspresi mereka dengan saksama untuk sesaat, lalu menghela napas kecil. “Sepertinya bukan itu masalahnya, jadi aku hanya ingin memastikan. …Nah, permisi.”
Tiga pria dari Pengembangan Amagi merapikan dokumen-dokumen mereka, lalu pergi meninggalkan ruang konferensi.
Begitu para pria pergi, Isuzu berbicara. “Kenapa kau menghentikanku?”
“Menghentikanmu dari apa?” tanya Seiya, walaupun ia cukup yakin bahwa ia tahu.
“Pria itu menghina tamu kami,” ucapnya dengan marah. “Aku mencoba menarik keluar senapan magisku, tapi kau menghentikanku.”
“Ya,” balasnya singkat, “itu hal yang masuk akal.” Apa yang kaubicarakan?
“Ah… Kuduga aku terlalu gegabah. Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain meledakkan kepala orang-orang Pengembangan Amagi itu.”
“Kita akan benar-benar berada dalam masalah jika kau melakukannya.”
“Ya…” Isuzu mendesah. “…Akan jadi masalah kalau harus membersihkan ruang konferensi dari pecahan tengkorak dan otak tiga orang. Aku bersyukur tidak membunuh mereka.”
“Itu yang kau ambil dari semua ini?” tanyanya tak percaya. Apa yang salah denganmu? Selain itu, sulit untuk membayangkan apa tepatnya yang membuatnya sangat marah.
“Kesampingkan itu semua,” Isuzu mengakui, “kau membuatku penasaran.”
“Bagaimana bisa?”
“Angka yang kau dapatkan. 85,000 yen—itu cukup akurat. Apa kau membaca pikiran Kurisu Takaya?”
“Tentu saja tidak,” Seiya tersenyum sambil berkedip. Tentu saja ia tidak menggunakan “sihir” meragukan itu. Ia hanya menempatkan angkanya berdasarkan hal-hal yang sudah ia dengar sebelumnya.
Ia tidak tahu angka kehadiran taman tahun lalu, maupun biaya tahunan berjalan mereka, jadi ia jatuh pada metode yang dikemukakan oleh fisikawan Enrico Fermi; itu adalah eksperimen pikiran yang disebut “Estimasi Fermi10.”
Kau bisa menggunakannya untuk mendapatkan perkiraan kasar dengan melempar angka-angka yang kau tahu bersamaan. Berapa banyak tuner piano yang ada di ibukota tertentu, misalnya—kau tidak bisa tahu angka pastinya, tapi kau bisa membuat tebakan berpendidikan.
(Kita akan meninggalkan penjelasan terperinci tentang dari mana ia mendapat angka-angka itu, karena itu akan memakan delapan halaman, dan juga membosankan.)
“Aku melakukan perkiraan kasar, itu saja; hanya beruntung saja kalau ternyata itu sangat dekat dengan perhitungannya.”
“…Begitu.”
“Toh, kalau aku akan membaca pikiran seseorang seperti itu, aku akan menggunakannya untuk sesuatu yang lebih penting. Karena aku hanya bisa menggunakannya sekali pada setiap orang.”
“Begitu… Tentu saja, kau benar.” Isuzu berbisik, matanya tertunduk. Ada sesuatu yang takut-takut di dalam suaranya.
“…Jadi? Kenapa kau mau aku bertemu dengan mereka?” Seiya bertanya.
“Aku mau kau… mengenal musuhmu.”
“Kalau begitu kau masih berasumsi konyol bahwa aku akan jadi manajer kalian?”
“Ya. Itulah kenapa aku membawamu ke sini.”
“Cukup.” Seiya sudah mencapai batas kesabarannya. Ia menggebrak meja konferensi dan menatap lurus ke mata Isuzu. Dia tidak mau menatapnya, tapi matanya tetap memandang lurus, menatap tempat acak di dinding.
“Kau mengancamku dengan senapan konyolmu, kau mencuri waktu luangku yang berharga, termasuk satu hari Minggu penuh…” tuduhnya. “Kau bahkan tahu seberapa merepotkannya dirimu, tapi kau masih berani memintaku untuk membantumu? Apa kau tidak sadar seberapa menghinanya itu?”
Isuzu tidak punya apapun untuk dikatakan.
“Kalau begitu, ayo ungkapkan semuanya,” ucapnya datar. “Apa yang akan terjadi kalau aku bilang tidak? Kau akan membunuhku?”
“Yah…” Suaranya rendah dan sulit didengar, tapi tidak ada tanda-tanda dia akan mengambil senjatanya.
Keheningan canggung menggantung di ruang konferensi. Di kejauhan, ia bisa mendengar suara gemerincing roller coaster.
Akhirnya, Isuzu bicara. “Aku tidak pernah… berencana untuk membunuhmu.”
“Oh?”Tentu saja dia tidak. Konyol jika membunuh seseorang hanya karena sesuatu seperti ini.
“Aku lahir di garis keturunan panjang dari tentara Maple Land,” ucapnya kaku. “Aku menghabiskan seluruh hidupku menjalani latihan yang sangat melelahkan agar aku bisa bergabung dengan pengawal kerajaan dan melindungi keluarga kerajaan.”
“Oh?”
“Aku tidak tahu bagaimana cara meminta tolong pada manusia sepertimu.”
“Karena itu, senapan?”
“Ya. Kebetulan, namanya adalah…” Dia menggapai roknya lagi dan mengeluarkan musket-nya kembali. “Senapan magis, Steinberger. Ini sudah diturunkan dari generasi ke generasi di keluargaku. Ini bisa menembakkan peluru api magis yang punya berbagai macam efek; saat ini, senapan ini terisi dengan amunisi yang dikenal sebagai ‘Pain Bringer.’ Terkena satu tembakan akan menimbulkan dua kali rasa sakit daripada menyandungkan jari kelingkingmu ke meja rias.”
“Jadi, itu hanya menyakitkan?”
“Ya. Apa kau mau mencobanya?”
“Tidak.” Seiya mundur ketika moncongnya diarahkan padanya lagi.
“Tidak apa-apa,” dia menyemangatinya. “Kau tidak akan mati.”
“Aku tetap tidak mau merasakan sakit!” Seiya memprotes. “Menyandungkan jari kelingkingmu ke meja rias terasa sangat sakit!”
“Intinya, aku tidak pernah berencana untuk membunuhmu.” Isuzu menyimpan senapannya kembali. “Taman sudah sangat putus asa mencari seseorang yang mampu hingga mereka terpaksa mempekerjakanku sebagai negosiator.”
“Kenapa kalian tidak mempekerjakan seorang pengacara atau ahli administrator?” Ia ingin tahu.
“Sudah, tapi kami kehilangan mereka. Mereka semua berhenti.”
“Kenapa?”
Isuzu tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke bawah. “Karena… aku mengancam mereka dengan senapan magisku.”
“Hei!”
“Aku menyesali perbuatanku,” akuinya. “Satu-satunya alasan kenapa polisi tidak dipanggil adalah karena aku menggunakan peluru magisku, ‘Forgotten Realm.’. Itu membuat mereka lupa bahwa aku mengancam mereka.”
Peluru itu sepertinya berguna, pikir Seiya. Kuharap kau bisa menghapus ingatanku beberapa hari terakhir.
“Ramalan Latifah-sama-lah yang memilihmu, tapi kupikir kau punya potensi lebih besar daripada yang dia kira. Tolong pikirkanlah.”
Seiya mengeluarkan desahan panjang, lalu berdiri.
“Kau mau pergi?” tanyanya.
“Ya,” ucapnya terus terang. “Ada masalah dengan itu?”
“Aku ingin jawabanmu,” Isuzu menuntut.
“Kau tahu jawabanku. ‘Tidak.’” Apa yang bisa kulakukan sebagai manajer taman hiburan dalam dua minggu? Menata buku sesuai urutan adalah batas terbaiknya. Ia meninggalkan ruang konferensi dan berjalan menyusuri lorong, dengan Isuzu yang mengejarnya.
“Meskipun aku memohon padamu?” tanyanya.
“Kapan kau memohon padaku?”
“Kami memberimu sihir.”
“Yang tidak pernah kuminta,” ucapnya dengan masam. “Oh, jangan khawatir—Aku tidak akan menyalahgunakannya. Paling-paling aku hanya menggunakannya di kereta untuk menghabiskan waktu.”
Ia mengucapkan itu dengan tulus; ia tidak menginginkan maupun membutuhkan kekuatan itu. Mungkin ia tidak bisa mencapai angka 85,000 yen itu, tapi bahkan tanpa sihir, ia cukup pintar hingga mendekatinya.
“Kanie-kun, kaulah harapan terakhir kami,” ia memohon. “Tolong selamatkan kami.”
“Tidak akan.” Seiya menekan tombol panggil lift di ujung lorong, kemudian berbalik. “Tutuplah taman secepatnya. Pecat semua staf. Gunakan berapapun uang kalian yang tersisa untuk membuka toko kroket atau apalah dengan gadis itu. Itu adalah pilihan kalian yang paling berguna.”
Lift-nya sampai.
“Tunggu,” pintanya. “Setidaknya temuilah Latifah-sama untuk kali terakhirnya sebelum kau pergi.”
Senyuman itu. Senyuman lembut dan cantik gadis itu… Harum teh hitam muncul di belakang pikirannya dan ada rasa yang tiba-tiba muncul di dadanya.
“…Berapa kali harus kubilang? Tidak.” Ia menekan tombol B2 untuk lorong bawah tanah, lalu menahan tombol “tutup pintu”.
Pintu lift yang menutup seperti membentuk dinding antara Seiya dan Isuzu.
Menolak permintaan seseorang seperti itu rasanya tidak enak. Dengan keraguan yang masih menggantungi pikirannya, Seiya berjalan-jalan menyusuri lorong bawah tanah taman dan sampai di pintu masuk pegawai. Ia menyerahkan ID pengunjung ke pusat keamanan, menandatangani lembar keluar taman, lalu meninggalkan taman.
Ia baru menemukan halte bus yang menuju ke Stasiun Amagi ketika ia menyadari ada seorang pria yang berdiri di depan tanda halte. Ia adalah Kurisu Takaya, salah seorang yang ia temui di ruang konferensi—salah seorang dari Pengembangan Amagi. Dua pria lainnya yang bersamanya sudah pergi; ia pasti sudah mengirim mereka kembali.
Ia memegang rokok di satu tangan dan asbak portabel di tangan lainnya. Dasinya ditarik longgar, dan ia tampaknya sedang menatap suatu titik di kejauhan. Saat ini, ia tampak seperti pengusaha biasa lainnya yang bisa kau temukan di manapun.
Seiya tidak terlalu ingin berada di dekatnya, tapi hanya ini halte bus di sekitar sini. Mereka juga sudah berkontak mata, jadi ia hanya memberinya sebuah anggukan kecil lalu berdiri di sampingnya. Menurut jadwal di halte, bus-nya seharusnya sampai dalam lima menit.
Mereka berdiri di sana selama semenit sebelum Seiya sadar bahwa Kurisu sering melemparkan lirikan penuh pertanyaan ke arahnya. Pada awalnya, ia berpura-pura tidak sadar, tapi itu mulai mengganggunya, sampai akhirnya ia membentak, “Apa?”
“Oh, yah…” Kurisu menatap lebih dekat ke wajah Seiya. “Ini mungkin hanya imajinasiku, tapi pernahkah kita bertemu sebelumnya?”
“…Tidak,” Seiya akhirnya membalas. “Itu pasti hanya imajinasimu saja.”
“Hmm, yah, mungkin kita belum pernah bertemu, tapi aku merasa pernah melihatmu di suatu tempat. …Oh, Aku tahu! Kodama Seiya! Dramawan cilik yang pensiun lima atau enam tahun lalu!”
“……” Seiya merasa gelisah.
Ia sudah tumbuh sejak anak-anak, dan wajahnya sudah banyak berubah. Ia lebih tinggi, dengan gaya rambut yang berbeda dan watak yang lebih buruk. Suaranya sudah berubah (secara alami) dan ia sudah pindah dari distrik perumahan berkelas tinggi ke kota komuter Tokyo kelas menengah di Amagi. Ia bahkan mengubah nama keluarganya.
Tapi mengesampingkan itu semua, ia terkadang masih dikenali.
Bahkan setelah masuk SMA, ia sudah mengalami ini dua atau tiga kali. Biasanya seorang wanita tua di belakang konter makanan cepat saji, atau petugas pemeriksa di supermarket, atau penyebar agama baru dari pintu ke pintu… tidak pernah seorang pun dari sekolahnya; selalu wanita paruh baya. Mungkin membesarkan anak mereka sendiri memberi mereka insting untuk tahu bagaimana perubahan wajah bocah laki-laki setelah bertahun-tahun.
Lalu, ini, adalah kali pertamanya dikenali oleh seorang pria seperti Kurisu.
“Kau keliru,” ucapnya acuh tak acuh, tapi Kurisu menggelengkan kepalanya.
“Tidak, tidak, aku tidak keliru. Kau Kodama Seiya. Aku bahkan berpikir kau terlihat familiar saat kita bertemu sebelumnya. Jadi itu kau!”
“Bukan,” Seiya menolaknya, tapi ekspresi keyakinan pria itu tidak goyah. Sadar bahwa itu konyol jika ia melanjutkan aktingnya, Seiya memutuskan berhenti menolaknya. “…tapi asumsikan aku adalah dirinya, apa kau punya urusan dengan selebriti yang gagal?”
“Tidak, tidak ada yang khusus,” aku Kurisu. “Hanya memuaskan keingintahuanku.”
“Kalau begitu, tinggalkan aku sendiri.”
“Hmm, maafkan aku. Tapi… dia bilang kau adalah magang, kan? Apa yang kaulakukan di sini?”
“Pertanyaan bagus. Itulah yang mau kuketahui,” ia balik membentak, tapi Kurisu tidak terpengaruh. “Mereka bilang mereka ingin aku melihat kalian, orang-orang Pengembangan Amagi… Kuduga mereka ingin aku bekerja di sana, tapi aku sudah menolak mereka. Aku menghargai privasiku. Jadi bisakah kau tinggalkan aku sendiri?”
Ia tidak berbohong tentang merasa seperti itu.
Ia tidak peduli dengan seluk beluk taman hiburan yang gagal. Bukan masalah baginya apa yang akan terjadi pada Latifah atau Isuzu. Yang ia inginkan sekarang adalah pulang dan membenamkan dirinya pada video game-nya.
Bus yang menuju Stasiun Amagi berhenti.
“Yah, aku yakin kau punya alasanmu sendiri. Tapi satu hal yang perlu diperhatikan, jika kau mendapat ide bodoh—jika kau menghabiskan terlalu banyak waktu bersama pecundang, kau akan jadi seorang pecundang. Berhati-hatilah.”
“Tentu, terima kasih,” Seiya membalas acuh tak acuh. Pada saat yang sama, ia tidak bisa menahan dirinya dari menyuarakan argumen balasan. “…Kau akan tahu apa yang kaubicarakan, sebagai orang yang bertanggung jawab dalam melikuidasi taman hiburan gagal di bagian belakang Tokyo.”
“Hmm, menyentuh.” Kebalikan dari ekspektasi Seiya, Kurisu merespons dengan senyuman lebar. Itu tidak seperti senyum sopan yang selalu ia pakai hingga saat ini; sebuah senyuman pelik, dengan kesan tuduhan pada diri sendiri di dalamnya.
Bus berhenti di depan mereka, dan pintunya terbuka. Kurisu naik, tapi Seiya tetap di tempatnya.
“Kanie-kun, kan?” Kurisu bertanya. “Kau tidak naik?”
“Aku akan naik yang selanjutnya. Aku lebih suka tidak melihat wajahmu lebih lama.”
“Oh, ya ampun. Apa aku melukai perasaanmu? Ah sudahlah, hati-hati.” Pintu tertutup. Bus berjalan pergi, lalu menghilang di sekitar tikungan lembut jalanan umum.
Seiya melihat bus Kurisu Takaya pergi, lalu kembali mengecek jadwal; sepuluh menit sampai bus selanjutnya tiba.
Bahkan untuk taman hiburan gagal, konyol bagi bus jika hanya mengantar hingga ke gerbang depan setiap sepuluh menit, pikirnya. Ini adalah pinggiran kota Tokyo, bukan tempat terpecil di negara ini. Di samping itu—mungkin itu adalah laju yang sesuai, mengingat pengunjung biasa mereka…
Ia melihat sekeliling apakah ada tempat untuk duduk. Tidak ada apapun di dekatnya, bahkan bangku tua polos. Ia hanya harus menunggu bus dengan berdiri. Tak ada tempat duduk untuk orang tua dan anaknya, lelah berkeliling taman seharian…
Sebenarnya—
Agak jauh dari halte, di sudut area terbuka dekat dengan gerbang taman, ada beberapa bangku buatan tangan. Mereka berada lebih dari sepuluh meter dari halte.
Ahh, jadi begitu…
Itu karena halte bus-nya ada di jalanan umum. Bahkan jika taman mau menaruh bangku dekat dengan halte bus, kota mungkin tidak akan mengizinkannya. Itulah kenapa taman harus menaruh beberapa bangku sangat jauh—di atas tanah mereka sendiri.
Seiya berjalan menuju salah satu bangku. Saat ia duduk, bangkunya mengeluarkan decitan aneh. Siapa yang membuat semua ini? Semua terlihat sangat murah; kemungkinan dibuat oleh pengrajin hobi di waktu luangnya.
Tepiannya membulat, dengan sudutnya yang diamplas dengan baik. Pertimbangan untuk anak-anak yang bermain di sekitarnya, kemungkinan besar—kalau-kalau mereka membentur kepala mereka. Lalu, mungkin untuk menghibur anak-anak yang bosan menuggu, mereka melukis seni yang ceroboh dari maskot di dinding belakang bangku.
Kalau kalian punya waktu untuk membuat sesuatu seperti ini, kenapa kalian tidak bisa menjaga pintu masuk plaza tetap bersih? ia bertanya-tanya.
Tetap saja, hati mereka ditempatkan di tempat yang tepat. Itu adalah sedikit pertimbangan sederhana bagi pengunjung taman, sama seperti kroket-kroket itu.
Apa yang pria menyebalkan itu—Kurisu Takaya—katakan? Pengunjung mereka adalah orang bodoh. Dan beberapa menit lalu, ia juga mengatakan hal lain: jika kau menghabiskan terlalu banyak waktu bersama pecundang, kau akan jadi seorang pecundang.
Aku tidak bisa sepenuhnya menyangkalnya…
Ya, ia tidak bisa menyangkalnya. Komentar pria itu, mengenai hal-hal dari sisi bisnis, sepenuhnya benar. Biasanya, Seiya akan ikut tertawa bersamanya, dan itulah yang akan terjadi.
Orang-orang Amagi Brilliant Park tidak melakukan usaha yang diperlukan. Mereka mendapatkan apa yang layak mereka peroleh. Mereka tidak punya hak untuk mengeluh tentang apa yang terjadi pada mereka. Tapi…
Kenapa aku duduk di bangku buatan tangan jelek ini, merasa marah dengan situasinya? Apa aku marah karena mereka menyebut para pengunjung sebagai orang bodoh dan orang lain sebagai pecundang? Apa aku merasa tidak nyaman dengan pemikiran bahwa orang-orang seperti mereka bebas menyombongkan diri di dunia ini?
Dalam dua minggu, taman ini akan ditutup. Itu adalah hal yang alami. Tapi apakah itu benar-benar tidak apa-apa? Apakah benar-benar tidak ada yang bisa dilakukannya?
Sekitar sepuluh menit berlalu saat pikirannya berputar-putar mengejar satu sama lain di kepalanya. Hal berikutnya yang ia tahu, bus-nya sudah sampai. Beberapa orang naik. Dia cukup dekat sehingga jika ia mulai berjalan sekarang, ia bisa menaikinya.
Tapi Seiya tidak melakukannya. Ia berpaling dari bus, dan berjalan kembali ke pintu masuk pegawai yang ia tadinya keluar dari sana.
Setelah tutup hari itu, sebuah pengumuman lewat saluran bisnis terdengar, “Pemeran asli, berkumpul di taman atap.” ‘Pemeran asli’ merujuk pada para penghuni Maple Land (dan daratan magis lainnya) yang bekerja di dunia manusia. Moffle adalah salah satunya, beserta Macaron, Tiramii, dan Sento Isuzu. Pegawai dari dunia manusia hanya disebut ‘pemeran.’
Jadi waktunya akhirnya tiba, pikir Moffle sambil merapikan atraksinya.
Latifah dan Isuzu punya pengumuman penting untuk para pemeran asli? Itu pasti berita buruk.
Dalam perjalanannya ke Kastil Maple, ia bertemu dengan Macaron, maskot berbulu seperti domba, yang adalah kenalan terlama Moffle di taman.
“Halo di sana, ‘Peri Manisan,’” goda Macaron.
“Tutup mulutmu. Kaulah ‘Peri Musik,’ fumo,” Moffle membalas.
Itu hal menyedihkan yang masih kaulakukan di umurmu yang segini, itulah yang tampaknya diucapkan keduanya.
Meski ia mungkin mejadi “Peri Manisan”, Moffle tidak benar-benar punya kesukaan pada hal-hal manis. Jika terpaksa, ia akan mengatakan ia suka salami11 dan semacamnya—pada titik di mana ia diberitahu kalau itu bukanlah manisan, itu adalah camilan untuk minum.
Macaron menyebut dirinya “Peri Musik,” tapi ia tidak tertarik dengan lagu anak-anak. Genre favoritnya adalah funk dan rap—khususnya rap gangsta Amerika, dengan deskripsi grafis tentang kekerasan dan seks. “Aku meletuskan sumbat 9mm pada pemimpin geng saingan dengan Glock 19-ku,” atau “Biarkan aku memberitahumu tentang wanita seksi dengan payudara besar ini,” dan semacamnya.
“Kau cukup mabuk tadi malam. Semua baik-baik saja, ron?”
“Hampir tidak. Semuanya menjadi kosong setelah bar kedua, fumo…”
Tadi malam, dirinya, Macaron, dan rekan mereka satunya—Sang “Peri Bunga,” Tiramii—menjadi sangat mabuk di pesta seusai kerja. Mereka memulai malam dengan pembicaraan ngawur, tapi subjeknya segera berganti menjadi masa depan taman, dan kemudian suasananya berubah menjadi suram.
Moffle pingsan tak lama setelah itu, hanya untuk bangun pada pagi hari di dapur rumahnya. Untuk beberapa alasan, ia berbaring telentang di lantai, tertutupi spaghetti dingin. Melawan sakit kepala dan mual, ia membersihkan diri dan baru akan pergi bekerja ketika ia menemukan bungkus saus carbonara siap jadi kosong di kotak suratnya. Kemana sausnya pergi? Ia bertanya-tanya. Ke perutku sendiri, ia menyadari. Sudah lama sekali sejak dirinya mabuk separah itu.
“Moffle, kau tidak berbicara apapun selain tentang Latifah, ron.”
“Benarkah, fumo?”
“Sebagian tentang kutukannya, tapi setelah itu sesuatu tentang dirinya mencium anak yang dipilih oleh ramalannya… kau terus-terusan membicarakannya… Kau menangis di akhir, ron.”
“Mofu,” ia menyumpah. “Benarkah?”
“Ya,” ucap Macaron simpatis.
“Yah… aku minta maaf karena menyebabkan banyak masalah bagimu. Kuharap kau melupakan apa yang kukatakan, fumo…”
Macaron menepuk ringan punggung Moffle. “Moffle. Kami tidak keberatan kau mabuk, karena kau tidak pernah bicara buruk tentang orang-orang. Saat kau mabuk, kau hanya berbicara baik tentang semuanya.”
“Benarkah, fumo?”
“Kau bahkan bilang anak itu punya keberanian, ron.”
“Aku meragukannya. Aku tidak akan pernah memuji pengecut kecil itu, fumo.”
“Yah, terserah saja, ron.” Wolnya bergetar dengan tawa yang nyaring, Macaron menaiki lift ke taman atap, dan Moffle mengikutinya. Lima atau enam orang pemeran asli berlari untuk menaikinya, dan dengan segera, lift-nya penuh.
“Um… Moffle-san…” seorang gadis dengan sayap kupu-kupu di punggungnya memanggilnya dengan ragu.
Gadis ini, yang memakai gaun yang sangat terbuka, adalah seorang peri, Muse. Dia melakukan pertunjukan musik di Bukit Penyihir, daerah yang sama dengan tempat kerja Moffle. Dia adalah pekerja keras, meskipun dia masih muda.
“Ya, fumo?”
“Mereka biasanya tidak memanggil kita semua seperti ini. Apa kaupikir… ini adalah berita buruk?”
Lift itu menjadi sunyi senyap. Semuanya melihat ekspresi Moffle dengan saksama. Moffle adalah seorang veteran, terkait dengan Latifah, dan punya relasi dengan keluarga kerajaan Maple Land. Balasannya akan menentukan suasana hati pemeran asli lainnya.
Ia menatap Macaron, tapi temannya—yang sekaligus tampaknya mengintuisikan ini, tapi juga tidak mau terganggu karenanya—hanya mengangguk seakan mengucapkan, “Terserah padamu.”
“…Aku belum mendengar apapun, fumo,” Moffle akhirnya berkata.
“B-Benarkah? Tapi…”
“Yah, itu mungkin hanya ekspektasimu saja, fumo.” Itulah kata-kata terakhirnya pada topik itu. Saat lift sampai di lantai teratas, orang-orang yang menaikinya mengisi taman atap.
Begitu Muse yang tampak gelisah dan yang lainnya sudah berjalan cukup jauh, Macaron berbisik ke Moffle, “Moffle. Kau bisa menangani itu lebih baik lagi, ron.”
“Aku tidak mau mendengarnya darimu, fumo. Kau seharusnya tidak melimpahkan semuanya padaku.”
“Aku tahu… tapi para pemuda mengandalkanmu. Kau tidak boleh sombong, ron.”
“Mempermanis keadaan tidak akan mengubah masa depan taman, fumo.”
“Mungkin tidak, tapi…”
Keduanya melanjutkan menuju taman atap.
Taman atap Kastil Maple masih seindah dulu. Sebagian besar pemeran asli sudah berkumpul sekarang, dan bisikan gugup bisa terdengar di sana dan sini. Tidak semua orang terlahir di Maple Land yang seperti dongeng. Beberapa datang ke sini sebagai pindahan dari alam magis lain.
Moffle dan Macaron menjaga di sudut taman dan menunggu dimulainya konferensi. Tiramii, maskot Pomerania bejat, tiba segera setelahnya, lalu duduk di sebelah mereka. Ia mengatakan, “Hei, senang melihat kalian, mii. Kaupikir malam ini adalah malam di mana kita menyerah, mii?”
“Mungkin. Yah, 30 tahun bukanlah perjalanan yang buruk untuk sebuah taman hiburan yang gagal, ron.”
“Bukan 30 tahun. Baru 29 tahun, fumo,” ucap Moffle dengan suara tegang.
Taman ini, didirikan di atas kekayaan melimpah dari gelembung ekonomi tahun 80-an, akan berumur tiga puluh tahun tahun depan. Sekarang, itu tidak akan terjadi.
“Perhatian! Perhatian!” Sebuah suara feminin bergema ke seluruh taman.
Sento Isuzu, berpakaian seragam taman, meneriaki mereka dari beranda satu lantai di atas. Dia melihat ke bawah pada para pemeran di taman bak seorang aktor di atas panggung.
“Perhatian, pemeran dari Amagi Brilliant Park yang agung! Putri Pertama Maple Land, keturunan dari pendiri negeri kita, Slim, Pendeta Wanita dalam Wahyu, dan manajer kita yang terhormat, Latifah Fleuranza, akan berbicara! Kalian akan memberinya perhatian penuh!” Suaranya menusuk, tapi juga megah. Seandainya hadirin adalah anggota militer Maple Land, mereka mungkin akan membereskan seragam mereka dan berdiri tegak.
Tapi para pemeran asli di sekitar Moffle tidak terkesan.
(Dia pikir dia sangat seksi…)
(Apa sekarang benar-benar waktunya untuk kemegahan dan status sosial?)
(Dia hanya akan mengumumkan kalau kita akan tutup…)
Ada beragam reaksi: beberapa berbisik, beberapa mengomel, dan beberapa angkat bicara tanpa malu. Beban kebencian mereka ditujukan pada Sento Isuzu.
Tentu saja, ada alasannya.
Sento Isuzu dikirim ke sini setahun lalu oleh raja untuk melayani Latifah sebagai penasihat dan wali, namun fakta bahwa mereka berada di situasi ini membuatnya jelas bahwa dia tidak melakukan satu pun hal baik. “Anggota elit pengawal kerajaan” adalah gelar yang agung, tapi pada akhirnya dia adalah seorang tentara, dan tidak lebih. Tidak mungkin seseorang dengan latar belakang seperti dirinya bisa memahami usaha menjalankan taman hiburan, atau seluk beluk industri hiburan.
Bukannya Isuzu tidak mencoba. Tapi dengan cara memerintahnya yang kejam pada setiap orang, tidak butuh waktu lama baginya untuk kehilangan dukungan dari para pemeran. Dia berinteraksi dengan para tamu sambil berdiri tegak, mengancam pemeran yang malas dengan senapannya, dan tidak membuat alasan untuk para investor. Dia adalah petugas yang sangat baik, jelas, tapi sifat itu tidak membuat taman berfungsi.
Semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Isuzu tidak cocok untuk pekerjaan semacam ini, tapi dalam pekerjaan di mana memerintah dengan kasar dibutuhkan, dia tampak sangat betah.
“Dalam nama semua roh—Yang Mulia! Kami menunggu kata-kata Anda!” Sikap resmi Sento Isuzu tidak seperti ketidakpeduliannya yang biasanya.
Tentu saja, itulah tentara untukmu, pikir Moffle, sebagai bekas tentara itu sendiri.
Latifah muncul dari belakang beranda. Tubuhnya sangat lemah, menyakitkan untuk dilihat. Gaun dan mata tertutupnya yang cantik— Moffle mendadak merasa ingin menggantikannya, untuk menjelaskan situasinya kepada kerumunan ini sendirian.
Latifah meminjam tangan Isuzu pada awalnya, lalu meletakkan ujung jarinya di pagar beranda. Kemudian, setelah berhasil menahan dirinya sendiri dengan kekuatannya, dia berbicara.
“Terima kasih sudah datang, semuanya,”ucap Latifah dengan nada ceria.
Mereka semua tahu apa yang akan datang. Dia hanya mencoba untuk memberitahu mereka dengan caranya sendiri, dengan senyuman, agar tidak melukai perasaan.
“Aku takut kabar yang akan kuberikan adalah kabar yang menyedihkan. Dua minggu dari sekarang, Amagi Brilliant Park akan diruntuhkan…”
Reaksi mereka adalah menghela napas secara bersamaan dari setiap sudut taman.
“Alasannya adalah karena kita gagal mencapai kuota kehadiran para tamu tahun ini. Kontrak kita menyatakan bahwa jika kita gagal mencapai kuota ini selama lima tahun berturut-turut, kita harus menyerahkan administrasi taman, dan menyerahkan kontrol atas fasilitas dan lahan pada perusahaan manajemen properti, Pengembangan Amagi.”
Keheningan menyakitkan menggantung di taman. Semua orang tahu ceritanya.
“Batas waktunya tepat di depan kita. Aku sudah menetukan, dengan kondisi taman saat ini, dan dengan dua minggu tersisa, akan mustahil mencapai jumlah kedatangan yang kita butuhkan. Karena itu… semuanya…” Latifah ragu untuk sesaat. “…Kita harus mengucapkan selamat tinggal sekaligus. Aku harus melakukan apa yang kubisa untuk menemukan pekerjaan untuk kalian mulai April. Aku tahu ini akan sulit, tapi…”
“Sulit? Sulit, pii?!” seorang anggota pemeran asli memekik dari kerumunan. Semua mata tertuju pada orang yang memprotes.
Itu datang dari maskot mirip kadal bernama Wanipii. Ia adalah karakter yang bekerja di Lembah Liar, area di sebelah Bukit Penyihir. Ia tidak “mudah dipeluk” seperti Moffle dan teman-temannya; ia berwajah cekung, dan mulut besar dengan lidah yang teruntai. Penampilannya kocak, bisa dibilang terlalu jelek sampai-sampai itu lucu, dan ia terutama populer di kalangan pengunjung taman asing.
“Latifah-sama! Tidakkah kau tahu akan sesulit apa untukku nantinya, pii?! Aku hampir tidak punya sebutan! Tidak mungkin aku akan terkenal di tempat lain, pii!”
“Kau tidak tahu pasti,” balasnya sungguh-sungguh. “Kalau kau mau melamar—”
“Melamarkan diriku tidak akan berhasil, pii!” Suara Wanipii mendekati suara jeritan. “Aku akan terjebak membagikan tisu di suatu stasiun di suatu tempat, pii! Orang-orang akan melupakanku, aku akan kehabisan animus… lalu aku akan menghilang, pii! Itu monos, pii!”
Golakan terjadi di antara para pemeran. Tampaknya yang lainnya berbagi ketakutan yang sama dengan Wanipii. Maskot yang kehilangan popularitas di dunia manusia tidak bisa kembali ke alam magis; mereka hanya menghilang. Itulah fenomena yang mereka sebut dengan monos.
“Bukan aku saja, pii! Kita semua akan menghilang! Apa yang akan kita lakukan, pii? Suatu hari, kupikir aku akan bisa pulang dan menikmati masa pensiunku, dan sekarang… Sekarang semuanya sudah berakhir… semuanya sudah berakhir, pii!”
“Tutup mulutmu, Wanipii.” ucap Moffle pedas.
“Moffle! Tapi—”
“Sudah berapa tahun kau di sini, fumo?”
“D-Dua belas tahun, pii…”
“Kalau begitu kau sudah punya kesempatan, fumo. Terlalu jelek sampai-sampai itu lucu tidak akan populer selamanya, tapi pernahkah kau berusaha meningkatkan karya senimu? Tidak, kau malas, dan membiarkan taman membawamu daripada memperoleh pelanggan tetap saat kau bisa. Jangan marah tentang itu sekarang, fumo.”
“Tapi, tapi…!”
“Sekarang, tenanglah, fumo. Aku akan membagikan tisu bersamamu. Kita sudah beberapa kali bersama di panggung, kan? Kalau kita bisa mendapat kembali gairah itu, kita akan mendapat sedikit ketenaran di kalangan anak-anak sekitar, dan itu sudah lebih dari cukup untuk bertahan.” Ia mengguncang pelan pundak Wanipii.
Tapi Wanipii, matanya tertuju ke bawah, memuntahkan balasannya: “…Kau bisa bicara seperti itu karena kau adalah maskot utama, pii.”
“Ada apa dengan itu?” Moffle menuntut.
“Kau bisa bicara begitu karena kau adalah Moffle, pii! Karena kau adalah bagian dari pemeran atas! Kau bisa dengan mudah mendapat pekerjaan di taman hiburan lain, pii!”
“Hentikan itu sekarang juga, Wanipii. Aku—”
“Semua orang tahu itu! Kau berteman dengan Mackey, bintang besar Urayasu Digimaland! Kalian berteman baik, pii! Ia akan memberimu pekerjaan jika kau mau, pii!”
Mackey adalah maskot istimewa yang bekerja di Digimaland. Tidak ada orang di dunia yang tidak tahu namanya. Dalam istilah manusia, ia bagai aktor pemenang Oscar.
“Kubilang berhenti, fumo!” Menahan beberapa hal lain yang ingin diucapkannya, Moffle menarik kerah Wanipii. Wanipii mengeluarkan suara tersedak. “Kau dengarkan aku. Ia dan aku bukanlah teman. Kami kenalan lama, itu saja. Tidak mungkin aku akan meminta bantuannya, fumo. Kali lain kau menghinaku seperti itu… Aku akan mencabuti sisikmu satu per satu! Kau akan berharap kau tidak pernah dimunculkan di dunia manusia, fumo!”
“Aku sudah mengharapkannya sejak dulu… ow! Hei, itu menyakitkan, pii! Maafkan aku! Maafkan aku, pii!”
“Kalian berdua, berhenti, ron!”
Dengan Moffle yang mengancam, dan Wanipii menangis sambil berteriak, Macaron memisahkan keduanya dari satu sama lain.
“Latifah-sama di sana, ron! Dialah yang paling menderita di sini! Kalian tahu itu, ron!”
Kata-kata itu membuat Moffle tersadar. Latifah berdiri terdiam di beranda, wajahnya menghadap ke bawah tanpa berkata apapun.
Memang, dia tentu akan menjadi yang paling terluka jika menyaksikan para pemeran saling bertengkar. Moffle sudah tahu itu, namun, ia membiarkan amarahnya menguasainya di depan kerumunan besar.
“…Maafkan aku, fumo.”
“Tidak apa-apa…” Latifah memberinya senyum sedih, lalu memberi sinyal pada Isuzu untuk menurunkan senapannya. Dia mungkin sudah berencana untuk menembak Moffle dan Wanipii dengan peluru magisnya sebelum terjadi sesuatu.
“Tapi ada satu hal yang tidak kupahami, mii…” ucap Tiramii yang sedari tadi diam. “Kenapa kau memutuskan untuk memberitahu kami ini hari ini?”
Bahu Latifah menegang mendengar pertanyaan Tiramii. “Ah, kau tahu… kandidat yang kulihat dalam ramalanku secara resmi menolak untuk membantu kita.”
“Kandidat… maksudmu, untuk menjadi manajer?”
“Ya. Kami memohon padanya dengan sungguh-sungguh sebisa kami, tapi…”
“Itu salahku,” Isuzu menyela. “Aku yakin kalian bisa membayangkan bagaimana jalannya. Ia adalah manusia biasa, dan aku bertingkah seperti anggota pengawal kerajaan di sekitarnya. Maafkan aku.”
Para pemeran terdiam menghadapi permintaan maaf ini.
“Kupikir, aku terlalu memaksa,” dia melanjutkan. “Ia menjadi sangat marah dengan sikapku, dan ia pergi.”
Pengakuan segera muncul dalam diri semua orang, termasuk Moffle. Mereka tahu orang seperti apa Isuzu itu. Tapi bahkan jika ia terpilih oleh ramalan, pria itu masih seorang manusia. Tentu saja ia tak akan berusaha keras untuk menyelamatkan taman hiburan tua yang sudah hancur.
“Kita tidak tahu apakah semua akan berhasil di bawah kepemimpinannya atau tidak, tapi pria dalam ramalan adalah harapan terakhir kita. Sekarang setelah ia menolak kita, pilihan kita sudah habis. Itulah keputusanku, dan itulah kenapa kami mengumpulkan kalian di sini.” Isuzu menggantungkan kepalanya, dan mendesah kecil. “Itulah kenapa semuanya menjadi seperti ini. Semuanya… Aku minta maaf.”
Tidak biasanya melihat Isuzu bertingkah sangat rendah hati. Tapi pada saat yang sama, para maskot berpikir, Meminta bantuan pada manusia tidak akan menyelesaikan permasalahan ketika sudah separah ini. Rumor sudah menyebar tentang seperti apa manusia yang dipilih oleh ramalan.
Ia hanyalah siswa SMA biasa. Ia tidak memiliki pendidikan bisnis secara khusus; ia bahkan belum mendapat posisi sebagai manajer di tempatnya bekerja paruh waktu.
“Aku menyadari betapa beratnya semua ini bagi kalian…” Latifah melajutkan untuk Isuzu. “Tapi selama kita hidup di dunia manusia, kita tidak bisa menghindar dari urusan keuangan. Aku sungguh minta maaf, semuanya. Kuharap aku bisa meminta maaf lebih banyak…”
Kali ini, tidak ada yang mengajukan keberatan, suasana keheningan berat menggantung di atas taman yang diselimuti malam. Semua orang hanya berdiri di tempat, lemas, mencoba menerima kebenaran menyedihkan di depan mereka. Beberapa mengarahkan pandangan ke tanah, beberapa ke surga; beberapa menahan air mata…
“Semuanya, aku minta maaf…” Latifah mengulangi. “Aku sungguh minta maaf.”
Dan itulah dia. Tidak peduli bagaimana mereka meratapinya, tidak peduli bagaimana mereka merutukinya, takdir taman tidak akan berubah. Mereka sepertinya telah sampai pada kesimpulan itu, dan baru akan bubar—
Ketika tiba-tiba, suara baru seorang pria berbicara. “Terlalu awal untuk meminta maaf, bukankah begitu?”
Yang berbicara adalah Kanie Seiya, sedang berdiri di pintu masuk menuju taman.
Sebenarnya Seiya sudah ragu-ragu di sepanjang perjalanan menuju taman.
Apa yang mungkin kau capai? ia terus berkata pada dirinya sendiri. Ini gila. Berhentilah bertindak bodoh, dan langsung pulang ke rumah.
Tapi terlepas dari itu semua, ia akhirnya berhasil ke taman, di mana ia berdiri di belakang pohon, mendengarkan semua yang Latifah, Isuzu, dan kerumunan besar para pemeran katakan. Ia bisa saja pergi dan melupakan bahwa ia telah mendengar semuanya. Lagipula tidak ada yang tahu ia ada di sana.
Namun, Seiya menampakkan diri. Ia menampakkan diri di depan semua orang yang sedang patah hati itu. Bahkan mengetahui bahwa hal itu kemungkinan tidak menghasilkan apapun selain mengambil beban luar biasa berat gadis itu untuk dirinya, ia melangkah menampakkan diri.
Ia tidak memiliki alasan, kecuali satu, yang mana ia tidak tahan melihat gadis itu berdiri di depan kerumunan itu, menahan air mata, lebih lama lagi. Itulah satu… satu-satunya alasannya.
Ini tidak seperti dirimu sama sekali, bodoh, pikirnya terhadap dirinya sendiri.
Meski begitu, Seiya mengangkat suaranya. “Kalian semua menyedihkan! Sebelum kalian pergi mengeluh dan menyesali diri kalian, setidaknya lakukanlah semua yang kalian bisa lebih dulu!” Sangat jelas bahwa apa yang dikatakannya memicu kemarahan.
Ada berbagai jenis orang di sana: beberapa tertutupi oleh bulu tebal, beberapa bersisik; beberapa bersayap, dan beberapa memiliki taring yang menakutkan. Beberapa bahkan terlihat seperti manusia sepenuhnya, selain dari kostum mencolok yang mereka kenakan. Dan mereka semua menatap Seiya lekat-lekat.
“Kanie-kun?” Isuzu melihat ke bawah pada dirinya dari beranda, matanya terbuka lebar.
Latifah, berdiri dalam diam, mengeluarkan desahan kecil. Ekspresinya di wajahnya menunjukkan kelegaan lembut.
“Siapa itu? Apa yang dilakukan manusia biasa di sini, mii?” tanya seorang maskot mirip Pomerania—Peri Bunga, Tiramii.
“Apa dirinya yang dipilih oleh ramalan itu? Ia pergi, kan? Apa yang sedang terjadi di sini, ron?” tanya seorang maskot mirip domba—Peri Musik, Macaron.
Seiya sudah membaca lewat pamflet, jadi kurang lebih ia sudah mengetahui nama dan penampilan dari para maskot yang bekerja di taman.
Para pemeran ini benar-benar berasal dari alam magis, jadi ia juga kurang lebih menerima bahwa para maskot bukan hanya orang dalam kostum. Mengingat semua hal luar biasa yang ia alami beberapa hari belakangan, sepertinya agak bodoh bersikeras tentang “itu hanya kostum.”
Ketika Isuzu mengatakan “tidak ada siapapun di dalam,” maksudnya persis bahwa; benar-benar tidak ada siapapun di dalam para maskot ini. Mereka adalah peri sungguhan, dari daratan magis. Tentu saja, rincian tentang fenomena luar biasa ini tidaklah penting saat ini—ia di sini sekarang, jadi ia harus melakukan apa yang harus ia lakukan.
Saat Seiya berjalan menuju beranda di mana Latifah dan Isuzu berdiri, seseorang menghalangi jalannya. Ia adalah Sang Peri Manisan, Moffle, maskot yang ia lawan sebelumnya. Mata kancingnya menatap Seiya dengan kecurigaan yang jelas. Entah bagaimana, itu mengingatkannya pada seorang sheriff di Hollywood barat.
“Baiklah, bocah,” geram maskot itu. “Kau sebaiknya memberitahuku apa tujuanmu kemari, fumo.”
Jadi ia bisa bicara juga? Di pertemuan sebelumnya, yang ia katakan hanya “mofu”…
“Menyingkir dari jalanku,” tuntut Seiya. “Aku mau bicara dengannya.”
“Dia tidak punya apapun untuk dibicarakan denganmu. Berbalik dan pulanglah, fumo.”
“Aku tidak bisa melakukan itu. Aku sudah memutuskan untuk membantu, jadi itulah yang akan kulakukan.”
Moffle mendengus, dan menyipitkan matanya dengan mengancam. “Kami tidak butuh bantuan dari seorang manusia, fumo. Masalah kami biar kami yang selesaikan.”
“Dan betapa cemerlangnya penyelesaianmu,” Seiya membalas dengan sarkatis.
“Apa kau bilang?”
Seiya menatap tajam pada kerumunan yang berkumpul di taman. “Lihatlah diri kalian, berdiri di sana, putus asa! Kalian tidak bisa menarik pelanggan, kalian tidak bisa menghasilkan uang, dan tempat kerja kalian direnggut. Ya, kalian sudah melakukan kerja yang cemerlang untuk menyelesaikan masalah ini sendiri, kan? Dan sekarang kalian menganggap diri kalian tidak inkompeten?! Bahwa kalian tidak butuh bantuanku?! …Kalian tahu, pria dari tempat Pengembangan Amagi itu mengatakan sesuatu yang lucu padaku hari ini. Kalian mau mendengarnya?” Ia berdeham. “‘Siapapun yang datang ke taman ini adalah orang bodoh!’”
Udara di sekitar para pemeran menegang dalam sekejap.
“Karena mereka bisa melakukan apapun, namun mereka datang ke taman hiburan jelek, membosankan, dan tidak berguna ini! Mereka menghabiskan uang yang mereka peroleh dengan susah payah untuk waktu yang menyedihkan! Demi Tuhan, itu adalah argumen yang kuat! Aku sama sekali tidak berpikir kalau ia salah!”
Ia bisa merasakan amarah sunyi mengisi taman—amarah yang sunyi, tapi kuat.
“Dan apa yang kalian lakukan tentang hal itu? Tidak ada! Kalian hanya berdiri di sana, mengadakan pesta menyedihkan! Semuanya masuk akal sekarang! Mereka benar-benar harus menjadi orang bodoh, untuk memberi uang ke orang-orang seperti kalian!”
“Kenapa, kau…” suara Moffle bergetar. “Kau tutup mulutmu, manusia. Apa yang kautahu tentang taman ini, fumo?!”
“Semuanya!” Seiya menggelora. “Aku menghabiskan seharian berjalan di sini, dan jelas bagiku bahwa kalian semua adalah pecundang yang tidak cakap!”
“Dasar bajingan! Aku akan menutup mulut—”
Moffle meraihnya, tapi Latifah menghentikannya dengan tangisan menusuk. “Cukup.”
Tangan hewan bundar dan lembut itu terhenti di tengah serangan. “Mofu…”
“Moffle-san,” dia menceramahinya, “akulah yang mengundang Kanie Seiya-sama ke sini. Ia telah terpilih untuk menyelamatkan tamanku, meskipun dengan penyerangan yang Isuzu-san berikan padanya. Apa kau ingin lebih mempermalukan kita semua?”
“Aku… yah…” Dengan enggan, Moffle memberi jalan. “Baiklah, fumo. …Kalau begitu lanjutkanlah, manusia.”
Meski terpana sesaat oleh tekad baja Latifah, Seiya melewati Moffle dan menuju tangga yang mengarah ke beranda. Ia bisa mendengar Macaron di belakangnya, menegur Moffle dengan berbisik, “Kau selalu banyak makan di kedai pinggir jalan. Ada apa dengan kearoganan ‘fana’ tadi, ron?”
Dengan cemberut, Moffle membalas, “Diamlah, fumo.”
“Kanie-sama, Aku minta maaf atas nama semua orang di sini. Tolong maafkan kami,” ucap Latifah pada Seiya saat ia mencapai beranda.
“Oh, yah…” suaranya mengecil, tidak yakin apa yang harus dikatakan.
“Aku… Aku yakin kau akan datang.” Ada sedikit kehangatan dalam suara indahnya.
“Ah, um… Yah…” Seiya menggerakkan mulutnya dengan sia-sia, tiba-tiba kehilangan kata-kata. Meski biasanya bisa menjaga aura sombongnya, ia selalu terlihat kehilangan ketenangannya kapanpun ia berada di dekatnya.
“Kanie-kun. Bisakah kami berasumsi kalau kau berubah pikiran?” Isuzu bertanya.
“Yah… Aku…” ia memulai, lalu menguatkan dirinya lagi. Tidak, tidak. Aku datang ke sini mengajak berkelahi. Kalau aku bimbang sekarang, semuanya akan sia-sia…
“Sepertinya aku belum memperkenalkan diriku. Aku Kanie Seiya!” ia mengumumkan pada kerumunan yang berkumpul di sekitar beranda. Ia lalu menangkupkan tangannya ke telinga, bersandiwara seolah ia sedang mendengarkan mereka.
“Hmmm… Kupikir aku bisa mendengar apa yang ada di pikiran kalian,” ejeknya. “Pertama yang kudengar… ya, kalian semua membenciku!”
Ia belum menggunakan “kekuatan” miliknya. Itu sudah sangat jelas, mengingat bagaimana sebagian besar pemeran menatapnya saat ini.
“Ah, tapi ada yang lebih dari kebencian. Aku mendapat beberapa hal lain… ‘Bocah kurang ajar ini.’ ‘Ia pikir dirinya siapa?’ ‘Apa kita harus menyerahkan taman di tangannya?’ ‘Perubahan apa yang bisa ia buat hanya dalam dua minggu?’ …Aku percaya itu sudah semua. Tidak, tunggu, ada satu hal lagi; Aku sedikit mendengar ‘Idola kami Latifah-sama memilih pria ini? Argh, aku tidak tahan!’” Seiya tersenyum menantang ke arah mereka.
Tidak ada yang tertawa.
“Tidak suka, huh?” ia mengolok-olok. “Apa kalian marah? …Bagus, karena aku di sini bukan untuk meminta sesuatu dengan sopan. Aku di sini untuk mengatur kalian dengan tinju besi!” Ia membanting tinjunya ke pagar beranda. “Mulai detik ini, kalian akan melakukan persis seperti yang kukatakan! Satu kata bantahan, dan kalian keluar! Jika taman jelek ini akan ditutup bagaimanapun juga, berarti aku bebas memperlakukan kalian dengan kasar dengan sisa waktu kita! Tapi… aku juga bisa memberitahu kalian satu hal. Dalam dua minggu, bocah kurang ajar yang sangat kalian benci ini akan membuat keajaiban terjadi! Itu benar, aku akan bawakan 100,000 orang ke taman ini!”
Keheningan singkat menggantung di taman, dan kemudian terjadi keributan. Kebanyakan terdengar seperti omelan, kritikan, dan hinaan, tapi tampaknya ada beberapa, yang, kaget dengan gertakannya, mulai menunjukkan ketertarikan yang ragu.
Oke, ayolah. Siapa saja dari kalian. Katakan padaku, cepat! Kata-kata yang mau kudengar sejak lama, ya—
“Em… apa yang membuatmu yakin kalau kau bisa melakukannya?”
Itu dia!
Orang yang menanyakan pertanyaan yang sudah Seiya tunggu untuk didengar adalah seorang gadis dengan gaun dongeng yang aneh. Seiya memutar ingatannya, dan ingat bahwa dia adalah Peri Air, Muse, yang adalah bagian dari pertunjukan musik.
“Ramalan itu, rencana rahasiaku, dan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan,” ia memberitahunya. “Kenapa, aku bisa membawakan 500,000 orang jika perlu! Kita akan sibuk, bagaimanapun juga, jadi bersiaplah untuk bekerja sangat keras!”
Keributan menjadi semakin besar. Suara-suara itu masih tampak lebih mengkritisi Seiya daripada sebaliknya, tapi beberapa kata yang terdengar menonjol di antara percakapan itu: “Ramalannya…” “Mungkin…” “Apa kau pikir…”
Ia sudah mendapatkan apa yang ia butuhkan, untuk saat ini. Sisanya tidak penting.
“Aku akan mengedarkan instruksi terperici nanti,” ia mengakhiri. “Untuk saat ini, melaporlah besok untuk shift biasa kalian, dan sebaiknya kalian tepat waktu! Paham?”
Ia melirik Isuzu.
Dia sudah menatapnya, tercengang, tapi kembali sadar untuk meneriakkan, “Bubar!”
Begitu para pemeran pergi, Seiya, Isuzu, and Latifah ditinggal sendiri di taman. Moffle sudah pergi dengan segera bersama maskot lainnya—maksud tersiratnya adalah ia tidak punya apapun lagi untuk diucapkan ke Seiya.
“Apa yang akan kita lakukan dengan Moffle?” Isuzu berbisik.
“Apa tikus itu selalu seperti itu?” Seiya bertanya padanya.
“Tidak. Biasanya, ialah yang menjaga para pemeran tetap pada jalur, agak seperti bintara senior di militer manusia. Ia juga terkenal,” dia menambahkan.
“Begitu,” Seiya mengerutkan kening. “Jadi ialah sersan pelatih kita yang keras hati, benar begitu?”
“Itulah kenapa aku mau memperkenalkannya padamu hari Minggu,” jelas Isuzu.
Sepertinya ia harus segera menyelesaikan masalah Moffle jika ia ingin semuanya terselesaikan di sini. Ia adalah tipe “pemimpin di tempat” yang memiliki kekuatan sungguhan dalam organisasi semacam ini—kepala perawat di rumah sakit, mandor di tempat konstruksi, manajer shift di restoran…
“Paman… em, Moffle-san adalah pria yang angkuh,” ucap Latifah lemah. “Terlepas dari ramalanku, ia mungkin masih merasa meminta bantuan pada manusia adalah salah.”
“Yah, bisa kumengerti,” Seiya bersimpati. “Lagipula ia baru saja dihina oleh orang luar.”
“Itu hampir seperti kau sadar kalau kau melakukannya…” Tampaknya ada lapisan maksud tambahan dalam perkataan Isuzu.
Latifah tampaknya juga menyadari sesuatu, dan bicara lagi, dengan ragu. “Ah… Kanie-sama, hal-hal yang kau ucapkan cukup sulit untuk kami terima. Mungkinkah…”
“Ya,” akunya, “itu pertunjukan. Aku mencoba membuat mereka marah.”
“Kau… mencoba?” Latifah terdengar bingung.
Seiya menggaruk belakang kepalanya, merasa sedikit canggung. “Aku mengatakan pada mereka bahwa pengunjung mereka adalah orang bodoh untuk meguji mereka. Jika perkataan itu mendapat respons lesu, mungkin ini akan jadi sia-sia; mereka benar-benar akan menjadi pecundang, dan aku akan langsung berjalan keluar, kalau begitu. …Tapi mereka tidak. Mereka menjadi sangat marah.”
“…Yang artinya…?” Latifah mendesaknya.
“Itu artinya aku bisa bekerja bersama mereka.”
“Ahh…”
“Ada banyak industri yang berkenaan dengan memberi kebahagiaan pada orang-orang, kan? Menyanyi, berakting, menulis, menggambar komik, memasak… Para pro di bidang itu bisa tahan dicemooh—yah, beberapa tidak, tapi yang bertahan paling lama adalah yang bisa—tapi ada satu jenis hinaan yang sama sekali tidak bisa mereka tahan,” Seiya menjelaskan. “Apa kau tahu apa itu?”
“Menghina… pelanggan mereka?” tebaknya.
“Tepat. Mereka bisa mengatasi kritik tentang kekurangan mereka, tapi jika kau menghina orang-orang yang menyukai kinerja mereka… itu memicu amarah. Mereka marah seolah-olah kau sudah menghina keluarga atau teman mereka. Itu adalah trik psikologi yang aneh.”
“……”
“Bagaimanapun, kalau mereka marah karena aku mengejek pengunjung mereka, itu artinya mereka masih serius dengan pekerjaan mereka. Dan itu artinya mungkin masih ada harapan.”
“Begitu… Sungguh mendidik,” ucap Latifah, dengan senyum di suaranya12.
Apa dia benar-benar memahami situasinya? Seiya bertanya-tanya.
“Kalau begitu, kau akan membantu kami?” Isuzu bertanya dengan waspada.
Kenyataan tentang “Sebuah taman hiburan yang dijalankan oleh para maskot dari alam magis sedang dalam masalah keuangan” dan “Aku, seorang siswa SMA biasa, akan menjadi manajer mereka” belum sepenuhnya terpercaya, tapi— Yah, setelah menunjukkan keangkuhan seperti itu di depan pertemuan para monster, ia tidak bisa mengatakan “Tidak, aku keluar” di titik ini.
“Akan kuambil pekerjaannya,” ia akhirnya bicara. “Tapi hanya untuk dua minggu.”
“Dua minggu?”
“Aku masih seorang siswa SMA,” jelasnya. “Aku harus fokus pada belajarku.”
Video game-ku juga. Aku tidak mau kehilangan waktu bermain game-ku yang berharga untuk pekerjaan bodoh. Ujian akhir sudah dekat, diikuti libur musim semi, dan orang bodoh macam apa yang menghabiskan libur musim semi dengan bekerja? Aku ingin bermain game dari pagi hingga malam.
“Belajarmu, hmm?”
Seiya menepis tatapan curiga Isuzu, lalu melanjutkan, “Kau hanya perlu melewati rintangan dalam waktu dekat ini, kan? Nasib taman akan ditentukan dalam dua minggu. Jadi apapun hasilnya, pekerjaanku berakhir saat itu. Sepakat?”
“…Ya,” Latifah tersenyum. “Tetap saja, aku berterima kasih yang terdalam padamu.”
“…Jangan berterima kasih padaku dulu.” Seiya menghela napas panjang, lalu duduk di kursi taman terdekat. Untuk beberapa alasan, ia merasa sangat lelah saat ini.
Ia berpikir sejenak apakah ia harus mengungkapkan pemikirannya pada Latifah dan Isuzu atau tidak. Lalu pada akhirnya, ia berkata. “Kupikir aku harus jujur padamu. …Aku adalah siswa ulung. Aku cemerlang. Aku juga sangat tampan dan punya banyak bakat.”
“Apa kau baru membanggakan dirimu sendiri tanpa alasan?” kening Isuzu mengkerut.
“Diam dan dengarkan. …Jadi di antara ramalanmu dan kekuatan aneh yang kau berikan padaku, ada suatu takdir tertentu yang meliputi keberadaanku. Itu mungkin tampak seperti orang dengan bakat sepertiku bisa membuat keajaiban terjadi, tapi—dan maafkan aku mengatakan ini—mendapat 100,000 orang dalam dua minggu adalah mustahil.”
Seiya sudah bisa melakukan estimasi kasar dari kedatangan mereka kemarin berdasarkan apa yang sudah ia lihat; itu mungkin ada di antara 2,500 dan 3,500. Itu di hari Minggu, jadi itu mungkin yang tertinggi yang bisa mereka harapkan di waktu-waktu ini, di awal Maret. Kalau begitu, di hari kerja, akan menjadi sebagian kecil dari itu.
Asumsikan rata-rata 1,500 pengunjung per hari, jika dijumlahkan totalnya 21,000 dalam dua minggu. Mereka memiliki target 100,000, tapi mereka sesuai jadwal dan mendapat sekitar 20,000 dan kembali. Tidak heran para pemeran sangat putus asa.
“Jadi?” Isuzu bertanya.
“Akan kulakukan semua yang kubisa,” ia memberitahu mereka, “tapi ini mungkin tak akan mengubah hasil. Aku hanya mau kalian bersiap untuk hal itu.”
“Lalu yang kaukatakan pada mereka sebelumnya…”
“Itu bohong, tentu saja. Aku tidak punya rencana rahasia.” Sebuah senyum menyalahkan diri sendiri muncul di wajah Seiya.
“……”
“Aku harus mengatakan itu pada mereka,” ia mengakui, “karena aku butuh mereka untuk berharap jika aku mau mereka mengerahkan semua usaha mereka.”
Isuzu mengalihkan pandangannya ke lantai dengan sedih. Tapi Latifah menatap ke kejauhan, masih tersenyum. “Begitu… Tapi Kanie-sama, aku masih tetap percaya kau akan membuat sebuah keajaiban terjadi.”
Seiya tercengang. Dia jelas punya kepemilikan penuh atas pancaindranya, jadi… Apa dia entah bagaimana tidak mengerti tentang keadaannya sendiri?
“Oh?” ia bertanya penasaran. “Apa itu yang ramalanmu katakan padamu?”
“Tidak,” Latifah memberitahunya. “Ramalanku hanya memberitahuku jalan yang harus kuambil. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
“Lalu bagaimana kau bisa begitu yakin?” Seiya ingin tahu.
“Itu hanya perasaanku. Saat kau datang ke sini sebelumnya… Aku berpikir, ‘ini adalah pria yang akan membuat keajaiban terjadi.’”
Benar-benar omong kosong, cibirnya dalam hati. Aku bukanlah orang bodoh yang mengharapkan keajaiban… Merasa jijik dengan kata-kata Latifah, Seiya ingin mengatainya. Tapi ia tidak. Kenapa ia tidak melakukannya… ia bahkan tidak tahu pasti.
Seiya mendapat pekerjaan malam itu juga. Ia memutuskan tidak perlu repot pulang; ia hanya menelepon Aisu supaya dia tahu kalau ia akan tidur di luar malam ini, itu saja.
Isuzu menyiapkannya ruang kerja di lantai empat gedung administrasi tua, di belakang panggung. Itu adalah ruangan biasa dengan sedikit lebih dari meja kantor biasa, kursi lipat, dan beberapa rak buku; itu kurang terlihat seperti ruang kerja, dan lebih terlihat seperti ruang interogasi dari film drama polisi.
“Ini adalah semua dokumen yang kauminta,” ucap Isuzu, saat dia menaruh tumpukan kertas tebal di atas mejanya. Seiya, yang sedang membaca dokumen-dokumen keuangan, menjawab, “Tentu,” dan tidak lebih.
“Ada hal lain yang kau butuhkan?” tanyanya.
“Tidak.”
“Kalau kau mau istirahat—”
“Ada sofa di lorong, kan? Tinggalkan selimut atau apalah untukku,” ucapnya tanpa terganggu, dan dalam diam membalik halaman.
Ia ingin benar-benar mengerti tentang keadaaan taman—keadaan keuangannya, fasilitasnya, atraksinya, kinerja para pemeran—sebelum besok pagi. Kemudian, entah bagaimana, ia harus datang dengan rencana.
Kedatangan taman kurang lebih sesuai dengan apa yang Seiya duga. Selama musim ini—awal Maret, ketika masih terlalu dingin untuk pantas disebut musim semi—rata-rata kedatangan adalah 1,400. Ia membandingkan data itu dengan rata-rata tahunan, dan tampaknya tak peduli seberapa keras mereka bekerja, yang terbanyak yang bisa mereka peroleh dalam dua minggu adalah sekitar 25,000.
Namun, mereka butuh 100,000!
Tidak ada ide yang muncul. Pasti, meski begitu, seharusnya ada jalan keluar di suatu tempat… Ia merasa seperti pria yang terjebak di dalam terowongan yang runtuh, mencari lubang dari mana udara segar datang.
Sebelum Isuzu meninggalkan ruangan, dia bicara lagi. “Kanie-kun.”
“Ya?”
“…Terima kasih.”
“Tentu,” balasnya tanpa perhatian. Ia terlalu terpaku pada bacaannya hingga ia bahkan tidak melihat wajahnya.
[Pengunjung taman hari ini: 1,332. (98,789 dari target) / 13 hari tersisa.]
Restoran keluarga di sepanjang Jalanan Fujo
Moffle, Macaron, dan Tiramii tiba di restoran keluarga, “Goonies,” di kota. Secara alami, setelah pertemuan seperti itu, tidak ada yang berminat pergi ke bar yakitori untuk minum. Sebagai gantinya, mereka memakan kroket krim kepiting, kari keema13, dan daging doria14 mereka masing-masing, meminum kopi yang cukup buruk dengan gratis isi ulang, dan mendiskusikan situasi mereka dengan ekspresi suram.
“…Hmm. Sepertinya tidak ada banyak harapan bagus, mii…” Tiramii berbisik saat ia mengetuk dan menggesek smartphone-nya. Maskot Pomerania kecil sudah menjelajah dengan sungguh-sungguh di “Plush Navi,” situs pencari pekerjaan untuk para maskot, untuk sementara waktu.
“Kau hanya mencari di dalam kota, kan? Coba di seluruh negara, ron,” maskot domba Macaron menimpali.
“Tapi aku mau tetap di dalam kota, mii… Aku tidak mau pindah terlalu jauh.”
“Maksudmu, kau tidak mau meninggalkan wanita yang email-nya baru saja kaudapat, ron?”
“Tentu tidak! Baiklah, itu benar, mii…”
Kecenderungan perayu Tiramii sudah menjadi bawaannya. Itu adalah satu-satunya alasan Macaron bisa membayangkan untuk apa ia ingin tetap di dalam kota.
“Ada banyak taman hiburan bagus di luar sana kalau kau lihat, ron. Mereka menyewa situs pameran lama dengan sangat murah, sedikit menyelinap di bawah meja ke para pemerintah setempat, dan pada dasarnya berakhir dalam kekayaan.”
“Benarkah? Wow, Macaron, kau sangat pintar tentang uang, mii.”
“Hanya contoh dari penyakit yang menembus ekonomi Jepang, ron.”
“Itu terdengar sangat mematikan, mii!”
Macaron melirik Moffle.
Moffle nyaris tidak mengucapkan dua kata sejak insiden di taman—sejak perdebatannya dengan Kanie Seiya—dan sekarang hanya menatap dalam diam keluar jendela. Ia tampak cemberut dan lesu. Bahkan setelah menerima kroket-kroket itu, makanan favoritnya, ia hanya memakannya sekitar setengah sebelum mendorong piringnya menjauh.
Macaron ingin mengucapkan sesuatu padanya, tapi tidak ada hal cerdas yang datang ke pikirannya. Jadi, dengan tanpa pilihan lain, ia melanjutkan penukarannya yang hambar dengan Tiramii.
“…Bagaimanapun,” ia menasihati Tiramii, “lupakan wanita itu dan carilah perbatasan baru.”
“Hmm… tapi aku juga tidak mau kehilangan pantat indah Takami…” Tiramii memprotes.
“Kapan tepatnya pantat Takami menjadi milikmu, ron?”
“Maksudku, dalam hal cita-cita masa depan… Aku mau puff dengannya suatu hari, mii…”
“Puff” adalah kata Maple Land yang merujuk pada suatu tindakan tertentu. Kami tidak akan mengungkapkan rinciannya di sini, tapi cukup katakan, itu bukanlah sesuatu yang akan kaulakukan di perusahaan yang beradab.
“…Oh! Aku juga penggemar Melody, mii… Jadi aku sungguh ingin tetap di sekitar.”
“Melody” yang dimaksud adalah “Melody Shibazaki,” sebuah tim sepak bola yang berasal dari kota di sebelah Amagi. Mereka pergi cukup jauh di pertandingan penentuan tahun lalu, jadi mereka cukup populer.
“Itu benar, pertandingan pembuka segera dimulai, ron… Tiramii, kalau aku mendapat tiket, berapa banyak kau akan membayar?”
“Macaron, kau selalu melakukan ini, mii. Kau juga menjual tiket AK47 ke Wanipii dengan harga yang akan membuat tukang catut tersipu.”
“Itu biaya penanganan. Kompensasi yang sah untuk usahaku, ron.”
Saat itu juga, Moffle berdiri. “…Aku akan pulang, fumo.”
“Oh? Tapi Moffle, apa kau baik-baik saja, mii?”
“Apa aku baik-baik saja? Aku tidak terlalu tahu, fumo…” Moffle meninggalkan pembayarannya di atas meja, kemudian meninggalkan restoran keluarga itu sendiri.
TL Note:
8RTS= Real-time strategy. Contoh: Age of Empires.
9anakronisme= ketidaksesuaian kronologis dalam penempatan sesuatu yang tidak sesuai latar waktunya
10Estimasi Fermi= memperkirakan hasil suatu perhitungan dengan menggunakan data-data umum yang diketahui.
11salami= sosis yang biasanya terbuat dari daging sapi atau babi.
12senyum di suara= kiasan ketika seseorang sedang merasa senang, ketika mereka bicara, intonasi mereka akan terdengar seperti sedang tersenyum, walaupun mereka tidak sedang tersenyum.
13kari keema= kari India yang terbuat dari daging giling (biasanya daging domba) dan sayuran cincang.
14doria= pilaf panggang dengan saus béchamel dan keju.