Dragoon Chapter 12 Bahasa Indonesia
Berhadapan dengan kelasnya Aleist, kedua kubu banyak bertarung menggunakan ilmu pedang mereka. Tak mampu menahan pergerakan dan serangan-serangannya, seorang murid dari kelas Aleist dijadikan bulan-bulanan oleh Izumi sebelum ia menodongkan pedang kayunya kepada lehernya… Para penonton bersorak keras.
Izumi telah menang. Wasit mengangkat bendera ke arahnya, dan menaatinya, Izumi meletakkan kembali pedang kayunya. Pertandingan tersebut ditonton oleh para ksatria dari tribun khusus para bangsawan. Sekelompok ksatria agung, dan dua dragoon… di antara semuanya, seorang wanita muda mengangkat kakinya ke depan, dan menumpangkannya ke atas meja. Rambut merahnya memanjang hingga sebahu, dan ia bermain-main dengan ujungnya yang keriting. Kulitnya yang putih dan matanya yang merah sungguh-sungguh cantik.
Namun sikapnya bermasalah. Posturnya buruk, dan kakinya di angkat ke atas meja, lagi pula… semua ksatria di sekitarnya memandangnya, Cattleya Nianis, dengan tatapan tajam. Orang yang meminta maaf untuknya adalah wakil kapten dari unit dragoonnya yang duduk di sebelahnya.
Ia tidak menjadi seorang dragoon atas rencananya sendiri. Itu semua karena bakatnya yang ada sejak lahir, dan tidak seperti naga abu-abu yang dipelihara di Courtois, ia adalah seorang jenius yang mampu membuat perjanjian dengan Naga Merah yang terkenal.
Sisik biru dari Naga Angin. Sisik emas dari Naga Gaia, dan sisik biru laut yang lembut dari Naga air… itu semua adalah warna-warna yang tidak akan didapatkan dari naga ternakan. Semua naga yang lahir dari peternakan akan tumbuh dengan sisik berwarna abu-abu.
Dan dengan sisik abu-abunya, kualitas naga ternakan jatuh bila dibandingkan dengan naga yang lahir di alam liar.
Cattleya mengejek kenyataan bahwa sang wakil kapten membuat perjanjian dengan naga abu-abu. Bahkan jika sang wakil kapten berusaha memperingatkannya, ia tidak akan membetulkan sikapnya. Dan Cattleya adalah orang kepercayaan keluarga kerajaan. Itulah yang membuatnya sombong.
“Nggak ada apa-apanya, cuma pertandingan yang membosankan. Boleh aku pulang saja?”
Sang wakil kapten sudah mulai habis kesabarannya, tapi ia berusaha menguasai diri.
“Aku yakin kamu tahu, Cattleya, bahwa menentukan kandidat masa depan bagi unit kita adalah pekerjaan kita.”
“Nggak ada satu pun dari bocah-bocah ini yang penting buat dicatat. Kayak cewek berambut hitam tadi itu, dia mungkin nanti jadi ksatria agung, paling banter sih… “
Mendengar ucapan itu, para ksatria di dekatnya merasa mendidih. Tapi mereka adalah para ksatria kelas satu. Bahkan jika ada ucapan yang membuat mereka marah, mereka tidak akan main tangan. Meskipun dari sudut pandang sang wakil kapten, itu tadi semacam serangan telak ke perut mereka.
~~~***~~~
Akhirnya kini gilaran Rudel di pertandingan berikutnya. Aleist yang berseberangan dengannya terlihat santa-santai saja, tapi berbeda dengannya, Rudel adalah perwujudan dari kata serius.
“Sekarang saatnya untuk menghukum seorang anak bangsawan yang arrogan… apakah ada komplain?”
“Entah aku arrogan atau tidak itu… tidak, benar aku ini arrogan. Aku tidak akan komplain, tapi aku ingin kamu bertanding dengan serius.”
“Iya kah… tapi emangnya kamu pantas?”
Bersamaan dengan wasit yang memulai pertandingan, keduanya melangkah maju.
Jarak antara mereka tertutup seketika, dan pedang kayu mereka yang saling berbenturan mengeluarkan suara yang tidak dibuat oleh kayu manapun. Melihat Rudel menyerang, Aleist sedikit panik, dan melihat hal itu, Rudel mengambil posisi menyerang.
Ketika Aleist mengambil jarak, Rudel mengeluarkan sihir ofensif. Ia mengeluarkan sihir-sihir dasar secara bertubi-tubi, tidak memberi kesempatan kepada Aleist untuk menyerang… tapi Aleist.
“Jangan senang dulu!!”
Aleist berusaha menembakkan sihir tingkat lanjut ke dalam arena. Dari sudut pandang Rudel, Aleist dalam posisi terbuka, dan itu tadi adalah sebuah gerakan yang buruk. Rudel langsung menembakkan bola sihir sambil terus mendekat mengusahakan pertarungan jarak dekat, tapi pada saat itu!
“Bodoh, aku bisa melihatmu!!”
Pedang Aleist dialiri sihir angin. Meski Rudel menangkis serangan tersebut, namun ia masih tetap terpental jauh.
~~~***~~~
“Luar biasa… Tak pernah terpikir olehku kita akan melihat level pertarungan seperti ini di kelas dasar.” “Aleist memang monster seperti yang mereka katakan.” “Tapi si bocah Arses itu yang terus bertahan sudah merupakan sesuatu yang istimewa…”
Percakapan semacam itu datang silih berganti di ruang bangsawan. Para ksatria agung dalam semangat tinggi, dan hati sang wakil kapten meloncat-loncat melihat pertarungan para petarung baru. Tapi hanya Cattleya sendiri yang berbeda.
(Menyebalkan… Pertandingan macam apa ini? Ini cuma pertandingan antara bocah yang tahunya cuma kekuatan melawan bocah idiot yang salah latih!)
Ia bisa saja melumpuhkan mereka berdua dengan sekejap. Sementara Cattleya sudah begitu yakin, ia menatap tajam si Rudel. Dia tidak suka Rudel… itulah pandangan pertama Cattleya soal Rudel.
“Rudel dari keluarga Arses. Dengar-dengar dia ingin jadi dragoon… kalau seperti ini, mungkin dia punya kesempatan.”
Mendengar ucapan tersebut dari seorang ksatria agung, darah mendidih hingga kepala Cattleya. Bocah itu akan naik hingga ke posisi seperti aku ini? Jangan bercanda kamu! Bocah itu nggak ada bagus-bagusnya! Jelas itu nggak mungkin!!
Saat ini, ia bahkan tidak tahu apanya yang tidak bagus. Ia dengan serius memperhatikan pertarungan antara Rudel dengan Aleist.
~~~***~~~
Sihir yang Aleist salurkan ke pedangnya… dengan sihir angin, Rudel dipukul mundur. Jika dia berusaha menangkis serangan Aleist, dia akan terpental, dan jika ia menghindar, anginnya akan menggoyahkan kuda-kudanya. Menembakkan sihir sambil terus berlari adalah strategi menyerang yang terbaik.
“Hah, hah… Seperti yang Basyle katakan. Kualitas sihir seseorang selalu akan menurun jauh dari yang diharapkan di pertarungan. Kalau begini terus, menembak terus pun tidak ada gunanya.”
Rudel mengingat-ingat arahan Basyle. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuat sebuah taruhan. Seluruh kekuatan sihirnya pada jarak mati… bahkan dengan sihir dasar, pada jarak mati, dan jika ia mengerahkan kekuatan yang cukup…
Aleist memandangi Rudel, sebuah ekspresi santai muncul darinya. Ia paham apa yang akan Rudel lakukan.
“Hmmm, kamu ingin mempertaruhkan dirimu dalam satu kali serangan? Bagus… Akan aku layani, jadi kasih semua kemampuanmu sini!”
Kekuatan angin pada pedang kayu Aleist bertambah. Di sekitar pedangnya, tornado kecil… sebuah pedang sihir seolah-olah tornado sendirilah pedangnya.
Memegang pedang sihir itu saja, Aleist memerlukan kuda-kuda… Sebaliknya, Rudel mengerahkan mana di telapak tangan kanannya.
“T-tunggu, kalian berdua! Kita tidak ingin ada yang mati di sini…”
Dengan seruan dari wasit sebagai tanda, mereka berdua berlari maju. Di tangan kanan Rudel, sebuah sihir api… Aleist tersenyum ketika ia menurunkan pedangnya. Tapi Rudel mempersiapkan sihir angin di tangan kirinya.
Menggunakan dua sihir sekaligus tidaklah mungkin bagi murid di dua tahun pertama akademi. Rudel tidak dapat menggunakannya secara sempurna… namun dengan sihir angin di tangan kirinya, ia mengubah arah pedang Aleist, memukulkan tangan kanannya kepada Aleist sendiri. Ketika ledakan besar memenuhi arena, keduanya terpental secara bersamaan… dan hasilnya sudah jelas bagi semua orang.
~~~***~~~
“Pertandingan berakhir… itu tadi sangat menarik.”
Cattleya tidak tertarik akan kata-kata sang wakil kapten. Ia terus memandang Rudel, terjatuh di dalam arena. Sementara Aleist mampu bangkit berdiri, Rudel sudah tidak mampu lagi. Namun meski demikian, ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri.
“Pada akhirnya, perbedaan kemampuan mereka kelihatan juga… Aleist Hardie benar-benar monster.”
(Tidakkah ada yang menyadarinya? Monster yang sesungguhnya justru yang satu itu! Si Rudel dari Arses!!)
Dari pengamatan Cattleya. Rudel adalah monster. Meski belum sempurna, ia menunjukkan kemampuan menggunakan dua sihir secara bersamaan, dan entah dalam hal sihir ataupun ilmu pedang, ia mengungguli Aleist dalam segala bidang. Satu-satunya alasan Aleist menang adalah kartu as yang bernama pedang sihir, dan mana yang seolah tidak ada habisnya.
(Tapi Rudel masih berumur 15 tahun… Ia ada dalam usia di mana ia akan terus berkembang. Kekuatan dari niatnya untuk terus berjuang bangkit berdiri… meski telah melihat sendiri perbedaan kekuatan semacam itu, ia masih berusaha untuk bangkit!)
Bocah ini akan terus merangkak naik… Cattleya merasa takut terhadap Rudel. Rudel memang memiliki bakat sampai suatu level tertentu, tapi bukan levelnya, dan kalau bicara soal ilmu pedang, bakatnya masih kalah dengan perempuan berambut hitam tadi. Tapi jika mereka bertarung, tentunya Rudel yang akan menang.
Itulah mengapa Cattleya berpikir… dia harus menghancurkan Rudel.
Kunjungi web kami yaitu meionovel.id