Dragoon Chapter 24 Bahasa Indonesia
Ada banyak event di akhir semester kedua, sehingga sekolah libur lebih lama. Kalau biasanya Rudel pulang ke rumah, kali ini ia mengikuti perintah Basyle, memberitahu orang-orang di rumahnya, dan tetap tinggal di akademi. Meskipun ada juga sebuah surat protes dari adiknya, Lena. . .
“Lalu gimana? Apa yang harus kita lakukan?”
Izumi – yang tidak pernah pulang ke rumah tiap tahunnya – memberitahu Basyle bahwa ia akan ikut, sehingga sekarang menjadi tiga orang. Di kantin akademi, Basyle menjawabnya seolah-olah itu sebuah pertanyaan biasa baginya.
“Aku akan memberi kalian pengalaman bertarung yang sesungguhnya. Bukan di dalam hutan seperti yang digunakan untuk event akademi, kita akan pergi ke tempat-tempat yang lebih berbahaya.”
Sambil mengatakannya, ia membuka peta di atas meja kantin. Ia memberi tanda pada suatu tempat yang tidak terlalu jauh maupun terlalu dekat dari posisi mereka saat ini. Namanya gunung Aberless, gunung itu tidak terlalu tinggi.
“Di gunung ini, monster-monster muncul tiap tahunnya dan menyebabkan korban jiwa di desa sekitar tempat itu. Tahun ini, korban yang berjatuhan sedang tinggi-tingginya, dan mereka tampaknya sedang dalam kesulitan besar.”
“Tunggu dulu, jadi maksudmu. . . Kamu memintaku dan Rudel untuk bekerja? Latihan macam apa ini!?”
Izumi mengintrogasi Basyle. Sebenarnya Basyle memang mengambil pekerjaan di tempat itu, dan berencana meraup keuntungan darinya. Namun tanpa membiarkan pemikiran itu tampak di wajahnya,
“Pengalaman bertarung yang sesungguhnya mengalahkan segalanya. Dan karena salju menumpuk di daerah itu, pergerakan kaki akan menjadi sulit. Pertarungan akan menjadi hal yang berbahaya. . . namun akankah itu akan menghentikanmu, tuan Rudel?”
Menjawab pertanyaan Basyle.
“Tidak, justru itu yang aku mau. Kalau aku tidak berlatih sampai sejauh itu, aku akan merasa kesulitan berhadapan dengan Aleist, Luecke, dan Eunius.”
“Masa latihan ini adalah dua minggu. Selama masa latihan itu, kalian akan bertarung dengan monster-monster yang menyerang warga desa, dan melindungi mereka dari bahaya.”
Mendengarkan penjelasan tersebut, Rudel dan Izumi. . . Izumi merasa seolah-olah ia sedang menerima sebuah pekerjaan, ia merasa kemarahan makin memuncak, namun ia memutuskan selama Rudel menyetujuinya, mau tak mau ia akan mengikutinya.
“. . . dan yang terakhir.”
“Hmm?”
“Bisakah kalian mengajak satu lagi orang? Itu akan meningkatkan efisiensi kita.”
Izumi semakin yakin bahwa ini semua adalah pekerjaan yang dibungkus dengan nama latihan. Dan beruntungnya Basyle, satu-satunya murid akademi yang tersisa yang menjadi korbannya adalah. . . Vargas.
Karena ia tidak pulang kampung liburan kali ini, dan ia berencana untuk menghabiskan liburannya di akademi, Vargas terus dibujuk oleh Rudel. Pada mulanya ia enggan untuk ikut, namun ketika ia tahu bahwa Basyle ikut, ia tiba-tiba menjadi bersemangat. Sebagai seorang siswa tahun keempat, kemampuan dasar bertarung Vargas tidak perlu diragukan lagi. Dan dengan partisipasinya, Basyle pun ikut merasa senang.
~~~***~~~
“Oy! Oy, Rudel!”
Memasuki sebuah desa yang hampir tertimbun salju, mereka berempat menjaga batas desa dan melakukan perburuan. Namun bukan berarti mereka selalu bertarung melawan monster. Jadi ketika mereka memiliki waktu senggang, mereka menggali salju sehingga mereka tidak tertimbun salju.
“Ada apa, Vargas?”
Mengenakan jaket tebal hingga menutupi seluruh perelengkapannya, Rudel berhenti menggali salju dan menoleh menghadap Vargas.
“Bukankah ini aneh? Ini aneh, sungguh! Kita harusnya bertugas menjaga desa ini, tapi nyatanya kita malah di luar sini menjaga para warga yang pergi ke gunung dengan menggali salju… ini sungguh aneh!”
Vargas menggeleng-gelengkan kepalanya, tangannya berhenti bekerja ketika berbicara dengan Rudel. Dari sudut pandang Rudel, ini bukanlah suatu pekerjaan. Namun ini adalah permintaan baik hati yang Basyle kabulkan, dan ketika mereka mengerjakan pekerjaan yang aneh ini di desa dekat gunung, mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas.
“Begitu pikirmu? Ini semua melatih kakimu, dan cerita yang diceritakan para sesepuh sungguh menarik. Kemudian mereka pergi tanpa jejak, dan tinggal di gunung. . .”
“Gimana caranya kamu bisa merasa enak kayak gitu? Bukan itu, aku tanya apakah melakukan kerjaan kayak gini akan membuatmu tambah kuat atau nggak! Aku sih oke-oke aja, tapi kamu nggak boleh kalah, oke!?”
Mendengar kata-kata Vargas, Rudel tertawa.
“K-kenapa kamu tertawa?”
“Maaf,maaf. . . aku cuma merasa senang aja, udah nggak nahan. Dan rasa-rasanya aku mulai paham sesuatu, aku nggak apa-apa kok.”
Jadi dengan senyuman, Rudel kembali menggali salju. Rudel berpikir ada sebuah makna yang mendalam mengapa Basyle memilih tempat semacam ini. Memang benar Basyle menginginkan Rudel mengalami pertarungan yang sesungguhnya. . . namun ada apa di balik itu.
Rudel terus mencari arti di balik itu semua. Seperti halnya setiap orang yang sungguh-sungguh belajar dapat belajar dari segala hal, Rudel belajar banyak dari orang-orang yang tinggal di gunung. Dan bahkan dari monster-monster yang menjadi musuhnya. . . ia belajar bahwa ternyata mereka masih hidup.
“Jangan melawan sebuah arus tenaga yang besar, kamu harus menggunakan alirannya sendiri untuk melawannya. Kumpulkan kekuatanmu pada satu titik. Titik pusat tubuhmu harus selalu ada di. . .”
Ketika Rudel mulai bergumam, Vargas mencoba bertanya.
“Ada apa?”
“Orang-orang desa membicarakan hal itu. Aku yakin itu pasti dasar dari sesuatu.”
Terus terang saja, itu tadi bukanlah dasar dari apa pun juga. Di dalam hidup keseharian warga desa, kata-kata seperti itu muncul ketika mereka membicarakan bagaimana caranya memindahkan sebuah benda yang berat, Rudel saja yang memikirkannya terlalu dalam. Dari sana, Rudel mengerahkan pengetahuan yang ada dalam kedalaman dirinya dan berpikir. Ia berpikir dan berpikir. . . hingga akhirnya ia pun sadar.
~~~***~~~
Ini adalah hari terakhir dari masa latihan dua minggu. Sekelompok besar monster muncul di wilayah pinggiran desa. Dengan bulunya yang putih, monster-monster itu adalah makhluk pemakan daging ganas yang dapat bergerak lincah melintasi salju. Ukurannya kira-kira sebesar manusia deasa, namun di wilayah bersalju, tidak ada manusia yang mampu menandingi mereka. . . itulah saat di mana mereka muncul.
Rudel pergi keluar seorang diri. Rudel tidak mendengarkan Basyle dan Izumi yang memintanya untuk berhenti, dan ketika Vargas bergegas menyusulnya untuk membawa Rudel kembali. . . salah satu dari monster-monster itu datang menyerbu Rudel.
Vargas mengumpat kesialannya bahwa Izumi dan Basyle tidak ada di sekitar mereka.
Namun Rudel dengan entengnya mengayunkan pedangnya dengan satu tangan. . . memotong monster itu menjadi dua.
“Eh? Eeeehhh!?”
Melihat kejadian itu, Vargus tidak bisa mendiamkan mulutnya. Hanya dalam dua minggu! Dapatkah seseorang sungguh-sungguh menjadi begitu kuat hanya dengan melindungi sebuah desa? Tidak! Itu tidak mungkin!!! Namun meski demikian, Rudel menunjukkan hasilnya.
Terkejut dengan kekuatannya, monster-monster yang lain menyerang untuk membalaskan dendam kawan mereka. Ketika ada dua yang datang menyerang secara bersamaan, Rudel tidak bergerak selangkah pun, menggunakan sihir di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. . . Ketika mereka berdua melancarkan serangan, ia menembakkan sebuah bola sihir api kecil kepada salah satu dari mereka.
Dari ukuran sihirnya yang kecil, sang menerjang tanpa rasa takut, namun ketika ia terkena bola api itu, bola api itu meledak. Terhempas ke belakang, monster itu hangus menjadi serpihan abu. . . sementara itu, monster yang lain tertebas tewas ketika masuk jangkauan pedang Rudel.
Itu adalah sebuah pemandangan yang tak lazim. Begitu tak lazimnya sampai-sampai Vargas tak tahu harus berkata apa. Bola api itu sebenarnya adalah sihir yang dikompresi hingga ukuran terkecil, dan dengan menyalurkan sihir ke pedangnya, ia menciptakan gelombang kejut. Singkatnya, itu sungguh-sungguh gila.
“Masih banyak gerakan yang tidak dibutuhkan. Entah bagaimana caranya aku harus mendekati levelnya Aleist sebelum turnamen tiba, tidak, aku harus melebihinya. . .”
Ketika Rudel menyarungkan pedangnya. . . Vargas berpikir. Ia memandang Rudel, yang tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia baru saja berhadapan dengan monster yang berbahaya, yang berdiri dengan santai di atas salju.
“Kamu sudah melebihinya!”
Vargas tak sengaja berteriak. Kekuatan Rudel sudah setingkat dengan kakak kelasnya, dan Vargas berpikir Rudel bahkan dapat menempati peringkat papan atas di angkatan Vargas. Rudel bahkan sepertinya sudah lebih kuat darinya. . . akan tetapi Rudel,
“Tidak, aku masih perlu banyak latihan. Aku masih ingin menjadi lebih kuat lagi. Tidak hanya kuat soal kekuatan dan teknik, aku ingin kuat dalam hal hati.”
“Kamu itu sudah cukup kuat! Dengan kekuatanmu saat ini, kamu bisa menjadi seorang dragoon, sungguh!”
Malu-malu terhadap perkataan Vargas, Rudel menjawab.
“Aku yakin kalau aku puas, maka itulah akhir. . . terus menginginkan yang lebih tinggi adalah yang pas bagiku. Dan dunia ini luas, dengan banyak orang yang lebih kuat dariku. Kalau aku tidak menjaga fokus pandanganku, aku akan segera tertinggal.”
Vargas tiba-tiba merasa seolah-olah kata-kata itu ditujukan kepadanya. Seolah-olah kata itu menjelaskan pikirannya sekarang, bahwa ia bukanlah tandingan bagi seorang Rudel.
“Aku nggak ada apa-apanya dibanding kamu. . . Terus menatap ke depan, pantang menyerah. Aku iri.”
Sambil berkata demikian, Vargas nampak sedih.
“Vargas, apa kamu punya mimpi? Sebuah tujuan?”
“M-mimpiku?. . . Oke, aku ingin meringankan beban di kampung halamanku, dan menjadi seorang kakak yang dapat dibanggakan oleh adik-adik kecilku. . . tapi aku tidak memiliki mimpi luar biasa seperti dirimu.”
Mendekati Vargas, Rudel memegang erat bahunya dengan kedua tangannya.
“Itu mimpi yang luar biasa! Dulu, aku mengejek mimpi adikku. Aku menyesalinya waktu aku dirawat di klinik, dan aku begitu ingin meminta maaf. Nggak salah kok kalau kamu berjuang keras demi mimpimu. Dan. . . kalau mereka melihatmu sekarang, aku yakin adik-adikmu akan melihat seorang kakak yang dapat mereka banggakan!”
Rudel tahu bahwa Vargas berjuang keras. Bangun pagi-pagi benar untuk berlatih. Mereka saling bertemu pandang setiap hari. Ketika Rudel berkata demikian dengan tatapan yang sungguh-sungguh, kini giliran Vargas yang merasa malu-malu. Ia merasa bahagia, dan dari desa, para warga memandang mereka dengan senyuman hangat.
“T-terimakasih. Jadi malu aku rasanya. . . Yang paling penting sekarang, kita harus bersih-bersih.”
Sambil mengatakannya, Vargas menunjuk kepada bangkai monster-monster tadi. Mengakhiri percakapan, mereka pergi bersih-bersih, namun Vargas masih merasa malu, dan sedikit bahagia.
~~~***~~~
Dari desa, Basyle melihat pasangan yang akrab, Rudel dan Vargas.
“Kamu tidak membantu mereka?”
Atas pertanyaan Izumi, Basyle mengangkat bahunya. Pakaian biasanya yang minim akan membuatnya kedinginan di sini, jadi sekarang ia memakai jaket tebal, namun lekuk-lekuk tubuhnya masih samar-samar terlihat.
“Aku akan membuat mereka merasa tidak enak kalau aku keluar sekarang. Cobalah sedikit bijak.”
“Padahal kamu cuma ingin nyantai. . . Tapi, sejak kapan Rudel belajar teknik itu?”
Ilmu pedang dan sihir yang baru saja Rudel tunjukkan. . . melihat tekniknya sudah berada di level yang berbeda membuat mereka berdua bertanya-tanya. Akan tetapi, Basyle.
“Oke, kalau begini kelihatannya aku tidak perlu berganti tuan, jadi aku tidak akan protes. Lagi pula, aku sendiri bahkan tidak pernah membayangkan kalau dia akan menjadi sekuat ini.”
Basyle tersenyum sambil melihat Rudel dan Vargas. Izumi sudah tidak mengerti lagi orang maca apa Basyle. Mengapa ia melakukan hal semacam ini? Sejak awal, ketika Rudel tidak dapat lagi menjadi penerus bangsawan agung, dari sudut pandangnya, Rudel sudah pasti kehilangan nilainya. Ketika pemikiran Izumi mulai nampak di wajahnya, Basyle,
“tuan Rudel memang orang yang menarik. . . aku yakin aku tidak akan segera bosan padanya dalam waktu dekat ini.”
Jawabnya dengan penuh pesan tersirat sambil kembali menuju penginapan di desa… jadi dia kabur. Begitu kesimpulan Izumi
~~~***~~~
Kunjungi web kami yaitu meionovel.id