Dragoon Chapter 29 Bahasa Indonesia
Hari kedua turnamen berlangsung dengan suasana yang aneh. Turnamen untuk murid tahun pertama berakhir tanpa gangguan, dan kelas Fina meraih kemenangan. . . Chlust juga ikut tampil sebagai perwakilan kelas dan mampu menunjukkan kemampuannya. Ada sejumlah pertandingan yang sangat mencurigakan kalau dilihat-dilihat, namun dihadapan keluarga kerajaan, mereka semua telah bertarung dengan bersih dan jujur.
Dan penyebab suasana yang tak normal itu adalah tentu saja, Rudel. Teman-teman sekelas Rudel dalam kondisi babak belur, namun kondisi Rudel jauh lebih buruk. Kondisinya sungguh buruk mengingat bagaimana ia telah bertanding dengan Luecke dan Eunius sebelumnya.
Memang, ia sudah kelelahan, akan tetapi…
“Akhirnya! Kita pasti akan menang!”
Ia sungguh sangat bersemangat. Di dalam tribun penonton, Luecke dan Eunius yang menyelinap keluar klinik ikut menonton pertandingan. Ada juga Vargas beserta kakak-kakak kelas yang lain yang sering ikut latihan bersama tiap pagi bersama Rudel. Di antaranya, Basyle juga datang untuk ikut menyemangati Rudel.
Di seberang arena, kelas Aleist merasa lega ketika memandang kelas Rudel dalam keadaan babak belur. Mereka khawatir akan kelas Rudel yang telah berhasil menang melalui lawan-lawan yang berat, namun dengan kondisi kelas Rudel yang sekarang ini, mereka yakin merekalah yang akan menang.
~~~***~~~
Dari sejak awal pertandingan, suasana final benar-benar memanas. Terlepas dari kelas Aleist yang santai-santai, kelas Rudel entah bagaimana mampu terus bertahan. Dan pada putaran terakhir, hasilnya adalah dua lawan dua, dan dengan ini, semua orang sudah tentu mengharapkan pertandingan final yang menarik.
Rudel berdiri berseberangan dengan Aleist, menunggu aba-aba dari wasit. Dan sambil menunggu, Aleist memanggilnya.
“Kelihatannya ada yang lagi semangat nih. . . tapi tetap saja, kondisi sudah babak belur gitu. Ketika aku akhirnya punya panggung untuk menunjukkan kekuatanku, aku khawatir kalau akhirnya aku cuma kelihatan kayak membully orang lemah.”
Berlawanan dengan Aleist yang sinis, Rudel menunjukkan keseriusannya. Benar, Rudel sudah menunggu-nunggu saat seperti ini, dan dari hasil yang ada hingga saat ini, ia menganggap sikap Aleist adalah suatu hal yang wajar. . . Namun ia akan menunjukkan bahwa Aleist salah! Dengan tekad itu, Rudel mempersiapkan pedang kayunya.
Sembari ia memfokuskan dirinya pada pertandingan, rasa sakit di badannya seolah-olah menghilang.
Melihat Rudel yang demikian, Aleist menggurutu atas tanggapannya yang enteng sembari membuat kuda-kuda. Melihat kedua kubu sudah siap, wasit memberi aba-aba pertandingan dimulai.
~~~***~~~
Menonton dari ruang khusus kerajaan, keluarga kerajaan menahan nafas melihat pertandingan yang baru dimulai di hadapan mereka. Pertandingan final kali ini bukan lagi kontes antar murid tingkat dasar. Pertandingan ini bisa dibilang pertandingan antar murid kelas tinggi atau bahkan ksatria bersenjata lengkap. Para penonton menahan nafas mereka
(T-tuan!!! Kenapa belum-belum kamu sudah babak belur kayak gitu sih! Kalau begini kamu bisa kalah! Tuanku akan kalah!!!)
Fina tak bisa duduk diam karena panik. Melihat pertandingan itu, Aileen berkomentar.
“Oh, betapa kuatnya Tuan Aleist!”
Aleist telah menyelamatkan adiknya, ditambah lagi wajahnya yang tampan. Penampilannya mengingatkan Aileen akan ksatria yang dulu ia cintai, bagi Aileen, Aleist adalah sosok ksatria yang ideal.
Namun penilaian sang ratu sungguh berbeda. Sambil melipat kipas yang biasa ia pakai untuk menutup mulutnya, ia duduk sedikit maju ke depan untuk mendapat sudut pandang yang lebih baik. Merasakan ketertarikan sang ratu akan pertandingan ini, sang raja bertanya bagaimana pendapatnya.
“Bagaimana? Ada sesuatu yang menarik bagimu?”
Diam sejenak, sang ratu lalu menjawab.
“Yah, anak yang bernama Rudel itu, pewaris nama Keluarga Arses ternyata sangat kuat. Akan tetapi. . . menurutku, Aleist dari Keluarga Hardie itu. . . justru sangat enteng, kalau aku harus ngomong.”
Mata sang ratu terbuka lebar melihat kemampuan Aleist yang baginya terasa enteng. Sang ratu yang mendeskripsikan kemampuan seseorang dengan cara demikian memang karena sejak awal, sang ratu suka dengan laki-laki yang kuat.
Di masa mudanya, Albach sudah menguasai limu pedang dengan sempurna, dan memang tepat kalau menyebut sang ratu jatuh hati kepadanya karena skillnya.
Akan tetapi dipaksa duduk di sini menonton turnamen para murid – bahkan dari tingkat dasar – dengan gerakan yang kasar dan tak terlatih sungguh membosankan untuk dilihat. . . begitu pikir sang ratu.
Namun ternyata, lewat pertandingan para putra Tiga Penguasa, ia mendapat sebuah tontonan pertandingan yang menarik. Tapi sayangnya. . .
“Sungguh disayangkan. . . Waktu final, apalagi, di pertandingan terakhir. . . salah satu di antara mereka sudah babak belur bahkan sebelum pertandingan dimulai, yang satunya tidak memiliki bobot apa-apa dalam kekuatannya. Kalau begini yang terjadi, maka pertandingan kemarin antara Rudel dan Eunius justru lebih baik.”
Sang ratu membuka kipasnya sekali lagi. Kelihatannya ia kehilangan ketertarikannya.
“Jadi siapa yang akan menang menurutmu?”
Menjawab pertanyaan basa-basi sang raja, sang ratu dengan malasnya menjawab.
“Baiklah, yang akan menang adalah. . .”
Tanpa diketahui orang tuanya, Fina tanpa ekspresi. . .
(Bulu-bulu milikku! Demi kerajaan bulu yang aku impikan!!! Tuan!!! Bertahanlah!!!)
Ia terus berpegang pada keinginannya.
~~~***~~~
Pertandingan ini ternyata lebih sulit dari yang Aleist bayangkan. Dalam hal ilmu pedang dan sihir, Aleist mengira akan dapat mengungguli Rudel, namun kemampuan Rudel sama sekali tidak menurun. Tidak, bahkan bisa dibilang Rudel adalah pemenangnya. Bagi Rudel. . .
(Kemampuan berpedang Aleist kalah dibanding Eunius! Kemampuan sihirnya juga nggak ada apa-apanya dibanding Luecke! Ini bukan soal kekuatan. . . Aleist kalah jauh dalah hal teknik. Kalau aku ingin menang, aku tidak punya pilihan lain kecuali memanfaatkan celah itu!)
Sambil memikirkan caranya, ia menangkis serangan Aleist yang hanya mengandalkan kekuatan dan berusaha mengambil celah untuk membalas. Meskipun Aleist sudah berusahan menekan sejak awal pertandingan, ia masih terus gagal mendaratkan satupun serangan. Sebaliknya, meskipun dalam posisi tertekan, serangan Rudel selalu kena tepat sasaran. Meskipun demikian, ia masih dalam kondisi yang tidak menguntungkan dengan badannya yang babak belur.
Di dalam gelanggang pertandingan, suara sorakan yang mendukung Aleist – yang telah menyelamatkan tuan puteri – mendominasi. Mendengar sorakan mereka, Aleist memulai pertandingan dengan penuh semangat. Namun dengan jalannya pertandingan seperti ini, ia kesulitan untuk menang. Terlebih lagi, lawannya adalah Rudel. Dasar Rudel! Kau tak layak untuk berbangga diri! Rudel yang cuma jadi penghalang saja!!!
“Kenapa kamu mengganggu jalanku. . . sudah kau kalah saja sana!”
Mulai termakan amarah, ia buru-buru menggunakan pedang sihir. Pedang kayunya berselimutkan api, seolah-olah pedangnya memang terbuat dari api. Namun ukurannya dua kali ukuran manusia. Aleist yang mengayun-ayunkan pedangnya, mengambil posisi ofensif melawan Rudel.
“Kamu! Orang kayak kamu! Seharusnya menghilang saja!!!”
Horizontal, Vertikal, Aleist mengayun-ayunkan pedangnya. Sambil menghindarinya, Rudel juga menyalurkan sihir ke dalam pedangnya. Teknik pedang spesial yang meniru bentuk pedang sihir. Pedang sihir milik Rudel terbuat dari sihir murni yang sejajar dengan pedang kayunya, berbentuk seperti pedang biasa.
Panjangnya tidaklah istimewa. Namun ketika pedang Aleist menyambar Rudel untuk memusnahkannya, meskipun ia tahu pedangnya tidak akan sampai mengenai Aleist, Rudel mengayunkan pedangnya. Sihir yang menyelimuti pedangnya terbang meninggalkan pedangnya, dan sebagai akibatnya, pedang sihir milik Aleist yang terkena sihir itu terpotong dan lenyap..
“A-apa itu barusan! Aku nggak tahu teknik macam itu. . . sungguh pengecut!”
Sewaktu ia ribut memprotes kepada wasit, Rudel menutup jarak dan menyerang. Aleist cepat-cepat mengambil posisi bertahan, namun karena pedang mereka berdua sudah melewati batasnya, pedang mereka akhirnya patah.
“Wa-wasit! Pedangku rusak. Aku minta waktu ist. . .!”
Sewaktu pedang mereka patah, Rudel langsung mengambil posisi untuk bertarung dengan tangan kosong. Aleist menggunakan kemampuan yang sudah dianugerahkan kepadanya. . . ia menghindar dengan bakatnya dalam hal bela diri, namun ia ciut melawan semangat Rudel yang jauh berbeda. Ia merasa takut akan keseriusan yang ada dalam mata Rudel.
(Mengapa!? Mengapa sampai terjadi seperti ini!? Ini adalah duniaku, ya kan.. . Bukankah ini dunia di mana aku jadi tokoh utama!!!?)
Mereka berdua menunjukkan pertandingan bela diri tangan kosong tingkat tinggi, namun Aleist tidak mampu melakukan apa-apa lagi kecuali terus mundur. Entah sekuat apapun dirinya, karena ia sudah kehilangan kemauannya untuk bertanding, ia hanya dapat bertahan. Tak mampu berbuat apa-apa lagi selain bertahan, Aleist teringat akan kehidupannya sebelum ia bereinkarnasi ke dalam dunia ini. Kenyataan yang pahit akan diri Aleist di masa lalu yang terus di-
bully.
(
Di-
bully
setiap hari. . . Akhirnya aku meninggal dalam sebuah kecelakaan, dan bereinkarnasi kedalam dunia game yang aku cintai! Aku bahkan bisa nge-
cheat
! Aku dapat gelar! Wajahku tidak lagi jelek! . . . Namun lagi-lagi, lagi-lagi, sekarang ini. . . kamu mem-
bully
ku di sini!!!)
Wajah Aleist yang penuh ketakutan akhirnya terkena pukulan telak dari Rudel. Terhempas ke belakang, Aleist merangkak di atas arena. Tidak ada bedanya dari hidupnya yang lalu.
(Aku takut! Takut! Benar-benar takut! . . . apakah aku akan di
-bully
lagi? Oleh karakter rendahan ini. . .?)
Sementara Aleist tidak berusaha sedikit pun untuk bangkit, Rudel juga tidak mengejarnya. Ia hanya diam berdiri di hadapannya. Aleist yang ketakutan bahkan tidak berani memandangnya.
Aleist dapat mendengar suara sorak penonton yang menyemangatinya. . . Ia kini mendengar ejekan yang meluncur dari Rudel.
“Berdiri kamu! Kenapa kamu nggak bertarung melawanku, Aleist!!!?”
Tangan Rudel bergetar karena kepalannya yang kuat. Apakah ini karena kemarahan ataukah kehampaan, mata Rudel menyala-nyala. Mendengar suaranya, Aleist semakin ketakutan.
“Aku tidak apa-apa menerima kekalahan! Biarkan aku menyerah saja!!!”
Mendengar perkataan Aleist, sang wasit hendak mengakhiri pertandingan. Namun Rudel menghentikannya.
“Aku mohon berdirilah! Akhirnya aku sampai juga di sini. . . untuk semua kerja kerasku. . . aku sampai di sini hanya untuk bertarung melawanmu! Aku ingin menang! Aku ingin kamu mengakui diriku! Lagi pula, Aleist, kamu orang kuat, kan!!?”
Mendengarnya, Aleist berdiri lagi melawan Rudel. Rudel menjawabnya, sekali lagi saling baku hantam. Namun kali ini mereka sudah kehabisan daya, mereka hanya saling pukul dengan membabi buta.
Tidak seperti pertarungan tingkat tinggi seperti sebelumnya, kali ini pertarungannya lebih mirip pertarungan antara dua anak kecil. Namun meski demikian para penonton menyoraki mereka.
~~~***~~~
“Siapa ya yang akan menang?”
(Kesia-siaan macam apa yang kamu lakukan!? Dasar tuan bodoh!!! Kamu harusnya sudah menang, ya kan!? Sudah cepat kalahkan dia sana, dan bawa aku pergi ke surga bulu-bulu!!!. . . Surga bulu? Subul. . . huh? Bagus juga!!! Subul! Subul!)
Ia tanpa ekspresi heboh sendiri.
Dan kakaknya, tuan puteri pertama.
“Betapa bar-barnya. . . aku benci bocah Arses itu!”
Dan sang raja,
“Ini baru namanya pertarungan yang laki. Tapi, dengan begini, bukankah putera Arses berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan?”
Dengan kipasnya yang tetap tertutup, ekspresi sang ratu tetap tidak berubah. Perhatiannya tertuju pada arena pertandingan. Yakin bahwa prediksinya tidak meleset, ia tidak mau memberitahunya kepada sang raja.
Kepala sekolah memandang keluarga kerajaan dan kedua muridnya memperhatikan dengan serius jalannya pertandingan. Mereka berdua adalah murid-murid akademi, begitu pikirnya, jika hasil pertandingan ini menjadi kabar baik bagi mereka berdua.
~~~***~~~
Semakin mereka saling baku hantam, semakin kaki mereka tidak stabil. Tangan mereka terayun nyaris tanpa tenaga tersisa. Bahkan dalam kondisi demikian, para penonton menyoraki mereka. Mayoritas mendukung Aleist, namun tentu ada yang memihak Rudel.
“Menyerah saja. . . tidakkah itu cukup!?”
Wajah Aleist dan Rudel sudah memar semua. Satu pukulan Aleist mengenai wajah Rudel. Namun Rudel tidak roboh, lalu membalas pukulannya. Tidak ada satupun yang ingin mengalah.
Namun mereka sudah nyaris mencapai batas mereka. Rudel sudah berada di ambang batasnya sejak awal pertandingan. Satu-satunya alasan ia masih dapat bertahan adalah keinginan kuatnya untuk tidak menyerah. Hasratnya untuk menang tidak hanya karena ia ingin tetap berada di dalam akademi. . . untuk suatu alasan tertentu, Rudel telah terpaku pada sosok Aleist. Aleistpun menyadarinya. Sebuah sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya menjadi sebuah pendorong bagi Rudel.
Mengerahkan kekuatan terakhirnya, Rudel membungkusnya kepalan tangannya dengan sihir angin… Di penghujung pertandingan, menghabiskan seluruh sisa mananya, tinjuan Rudel tepat mengenai Aleist sebagai penutup pertandingan, membuatnya terhempas dan roboh.
Sementara para penonton menahan nafas mereka, mereka berdua roboh. Rudel karena kehabisan tenaga dan mana, Aleist karena dipukul mundur sebegitu kerasnya untuk pertama kalinya dalam hidupnya kali ini. . . Setelah terdiam beberapa saat, suara-suara mulai bermunculan untuk menyemangati mereka.
“Berdirilah, tuan Aleist!!!”
“Jangan mau kalah sama orang kayak dia, kak Aleist!!!”
“Kamu nggak boleh kalah sama orang bodoh itu!!!”
Para murid yang mendukung Aleist mencemooh Rudel. Sementara itu, dimulai dari Vargas, kakak-kakak kelas mulai menyoraki Rudel. Dengan suara keras, mereka menyemangatinya.
“Jangan kalah, Rudel!!! Tunjukkan pada mereka hasil kerja kerasmu tiap hari!!!”
Luecke dan Eunius juga ikut menyoraki. Meskipun mereka cidera dan kehabisan mana, mereka memaksakan diri mereka untuk berteriak! Suara Millia bersatu dengan mereka.
“Aku nggak akan memaafkanmu kalau kamu sampai kalah, Rudel!!!”
“Cepat berdiri! Gitu kamu mau ngaku kalau habis menang melawan kami!!?”
“Berhenti tiduran dan cepat bangun!”
Mendengar teriakan dari putera Tiga Penguasa, teman-teman di sekitar mereka juga ikut memberi semangat. Dan kelas Rudel juga tidak mau kalah.
“Berdiri, Rudel!!!”
“Kamu sudah berjanji akan terus bersama kami sampai akhir!!!”
“Jangan kalah sama orang macam Aleist!!!”
Pada akhirnya, Izumi berteriak dengan suara kencang!
“Berapa lama kamu mau tiduran di sana, Rudel!!? Ksatria. . . ya, ksatria terkuat, kamu mau jadi seorang Dragoon, ya kan!!?”
Rudel yang tersungkur berusaha mengangkat tubuhnya dengan tangannya, namun segera kemudian ia jatuh lagi. Ia berusaha lagi dan lagi. . . dan tepat pada saat itu, seekor naga terbang melintasi langit. Sesaat, bayangan naga itu melewati Rudel.
“Benar. . . Aku sudah memutuskan bahwa aku ingin menjadi seorang Dragoon! Untuk itu, aku tidak boleh selalu menjadi pihak yang kalah. . . Aku harus jadi orang yang kuat! Aku akan menjadi Dragoon terkuat yang tidak akan kalah melawan siapapun!!!”
Rudel bangkit dengan kakinya yang gemetaran. Semua sorak dukungan menjadi sorak-sorai kemenangan. Dan Aleist sudah berhenti berjuang. Kakinya yang tak berdaya sudah tak mau lagi mendengar perintahnya. Ia sudah lama mengaku kalah di dalam benaknya, dan entah seberapa hebat kemampuannya, ia sudah tidak mampu lagi berdiri.
“Sialan. . .”
Suara Aleist yang lirih tertelan oleh sorakan yang menggema di seluruh gelanggang pertandingan. Dengan demikian, wasit menyatakan kemenangan.
“Pemenangnya, Rudel Arses!!!”
~~~***~~~
[Terima kasih sudah membaca meionovel.com (^_^)/ ]
~~~***~~~
Dalam tribun khusus keluarga bangsawan, Fina tanpa ekspresi berdiri dari tempat duduknya. Ia mengangkat kedua tangannya ke udara untuk mengekspresikan sukacitanya. Ia bahkan berteriak.
“Yeeeeesssss!!! Dia menaaannnggg!!!”
(Tuanku menaaannnggg!!! Kamu memang luar biasa, tuan! Jantungku sudah deg-degan banget tadi, tahu!!! Bahkan meski nggak ada bulu-bulunya, jantungku beneran deg-degan!!!)
“A-apa yang kamu lakukan, Fina?”
Sang raja memandang Fina dengan penuh kekhawatiran. Sang ratu menjatuhkan kipasnya, sementara kakaknya menganga karena kaget. Sementara itu, kepala sekolah diam-diam mengepalkan tangannya sebagai tanda kemenangan.
Di dalam arena, teman-teman berkumpul di sekitar sang pemenang. Mereka cepat-cepat mengantarnya menuju klinik, namun Rudel bicara tak jelas mengenai pertandingan yang baru akan berakhir sampai upacara penutup, dan menolak ajakan mereka. . . sepertinya Rudel ingin tetap di sana sampai akhir acara, namun kelihatan jelas bahwa kepalanya yang pusing tak lagi mampu berpikir dengan jernih.
(Jadi kamu berhasil mengatasinya. . . bagaimana dengan Aleist. . .)
Kepala sekolah berpikir mengenai nasib Aleist, yang sudah dibawa pergi.
~~~***~~~
Aleist dibawa dengan tandu. Ia diminta untuk berbaring sebentar di ruang tunggu, sebelum ia ditinggal sendiri. Di dalam ruang tunggu tanpa diketahui siapapun, Aleist menangis.
“Aku. . . entah kemanapun aku pergi, semua tetap tak berubah.”
Kedalam ruang itu, ada seorang teman masuk. Ketika Aleist melihat bahwa orang yang masuk adalah orang yang selalu berusaha mendekatinya, Aleist nampak tidak senang. Hingga saat itu, tidak ada teman sekelasnya yang lain yang datang menjenguk. Ia yakin kalau mereka semua sedang membicarakan hal buruk soal dirinya. Dari pengalamannya ter-
bully
selama ini, ia sudah lama menyadarinya.
Akan tetapi. . .
“K-kamu tadi nyaris menang, Aleist. . . Aku yakin lain waktu kamu pasti menang. . . aku yakin.”
Temannya itu bicara dengan ragu-ragu. Bahkan pada saat ini, ia berusaha untuk menjadi teman yang baik bagi Aleist. Haruskah aku menolak kata-katanya itu atau balik menjelek-jelekkan mereka. . . sewaktu ia berpikir demikian, Aleist menangis lagi.
(Ah, aku paham, jadi ini dia. Mengapa aku tidak menyadarinya dari dulu. . . Aku ingin punya teman. Itulah alasan mengapa aku senang dengan game di mana semua orang menyukai tokoh utamanya, itu pasti karena aku ingin punya seorang teman. . . mengapa aku tidak menyadari suatu hal yang sesederhana itu. . .)
“A-Aleist! Apa kamu kesakitan? Kalau begitu aku akan panggilkan dokter.”
Melihat temannya berlari memanggil dokter, Aleist mendengar sorakan dari pintu ruang tunggu yang terbuka. . . akankah seseorang seperti diriku ini mampu menjadi seorang teman yang baik baginya. . . ketika Aleist memikirkannya, ia tertawa sambil meneteskan air mata.
~~~***~~~
Kunjungi web kami yaitu meionovel.id