Dragoon Chapter 34 Extra 1 Bahasa Indonesia
Kisah ini terjadi ketika Rudel dan yang lain dirawat setelah turnamen selesai. Di dalam ruang rawat mereka di mana para putra Tiga Penguasa kesakitan bahkan untuk bergerak, Rudel, Luecke, dan Eunius bercakap-cakap seperti biasanya.
“Rudel, kenapa kamu tidak mengabaikan saja Aleist waktu itu? Padahal kalau ia mampu berdiri lagi seperti waktu itu, kamu belum tentu akan menang melawannya. Bukannya akan lebih baik ya kalau kamu membiarkan dia hancur dalam kesombongannya sendiri?”
Luecke membicarakan soal sikap pengecut Aleist. Waktu itu Rudel menghentikan wasit yang akan menghentikan pertandingan. Kalau saja Rudel tidak melakukannya, mungkin saja Aleist akan hancur karena kesombongannya sendiri selama ini. Itulah yang ingin Luecke katakan, namun Rudel menjawab lain.
“Waktu itu… aku nggak mikir apa-apa sih, jadi agak susah juga aku jawabnya. Tapi kalau dipikir lagi, waktu itu, aku ingin Aleist segera berdiri lagi. Maksudku…”
~~~***~~~
Aleist yang sedang diperbincangkan, karena cideranya tidak terlalu berat setelah bertarung melawan Rudel, sudah diperbolehkan meninggalkan klinik pada hari itu. Tapi hingga pada saat ia diperbolehkan pergi, ia masih belum berani mampir ke ruangan para Tiga Penguasa. Kalau ia ingin minta maaf, minta maaf untuk apa? Dan ketika ia terus memikir-mikirkan hal itu, akhirnya tiba juga saatnya ia diperbolehkan pergi.
“Ah, ya kayak gini ini aku benci sama ketidakberanianku… Tapi kalau cuma mampir dan menyapa aja gak apalah… Tapi… gimana ya…”
Dan begitulah, Aleist mondar-mandir di depan ruang rawat inap Tiga Penguasa, sambil terus dilirik oleh para penjaga. Rasa takutnya kepada para penjaga adalah alasan lain mengapa ia tidak berani masuk.
Kemudian, Izumi tiba untuk menjenguk. Di tangannya ada sekeranjang buah. Ia lalu menyapa para penjaga. Para penjaga membukakan jalan untuknya. Wajahnya yang ramah sudah cukup sebagai tiket untuk masuk.
Dan tentu saja, Izumi menyadari keberadaan Aleist.
“Hardie? Apa yang kamu lakukan di depan kamar ini?”
“Um, nggak kok! Aku…”
(Baru kali ini aku sempat bercakap-cakap dengan salah satu karakter dari even percintaan. Tapi sekarang ini dia itu pacarnya Rudel. Jadi, baiklah! Aku akan minta izin Izumi.)
Aleist mendekati Izumi dan menundukkan kepalanya.
“Aku ingin masuk ke dalam, jadi bisakah kamu menemani?”
“…. Nggak masalah sih, tapi bukannya kamu bisa masuk sendirian, ya kan?”
Sambil mengatakannya, Izumi melirik para penjaga. Melihat lirikannya, para penjaga mengangguk. Kunjungan dari teman-teman sekelas seringkali dibolehkan begitu saja. Tapi mengingat ia adalah seorang Aleist, ia harusnya tidak punya alasan lagi untuk terlalu khawatir.
“Terimakasih!”
Aleist mendekati pintu itu dan mendengar percakapan Rudel di dalam. Ia berdiam sambil memegang gagang pintu sementara Izumi dan para penjaga memandangnya keheranan.
Dari dalam ruangan itu:
“Waktu itu… aku nggak mikir apa-apa sih, jadi agak susah juga aku jawabnya. Tapi kalau dipikir lagi, waktu itu, aku ingin Aleist segera berdiri lagi. Maksudku… Dia itu sungguh berbakat, bukankah akan sangat sia-sia kalau dia menyerah begitu saja? Dan aku ingin bertarung melawan Aleist ketika ia menjadi Aleist yang kuat.”
“Pas banget dengan sifatmu itu. Aku juga ingin ah melawan Aleist yang kuat.”
“Eh, Eunius? Aleist itu orangnya berotot dan favorit orang banyak… Kalau dalam hal sihir sih, kayaknya okelah kalau aku menghadapinya suatu saat nanti.”
Kata-kata itu membuat Aleist menangis. Ia sudah memandang rendah Rudel selama ini. Ia hanya memikirkan Rudel sebagai sebuah alat untuk mencapai kepentingannya. Dan kini… Ia baru menyadari betapa besar artinya kehadiran seorang Rudel. Dan dalam waktu bersamaan, Aleist tersadar betapa kecilnya dirinya sebagai seorang manusia…
Izumi dan para penjaga juga mendengar percakapan dari dalam ruangan itu dan mereka juga mampu melihat bagaimana ekspresi Aleist. Izumi lalu berkata kepadanya.
“Maukah kamu bertanding melawan Rudel lagi? Nanti, aku yakin kamu akan puas dengan pertandingannya apa pun itu hasilnya. Dan juga, terimakasih ya. Kamu datang kemari pasti karena kamu khawatir akan keadaannya, ya kan?”
Menanggapi hiburan dari Izumi, Aleist menyeka air matanya lalu berbalik tanpa memasuki ruangan. Ia membiarkan air matanya terus menetes lalu bicara dengan terbata-bata.
“Sekarang, aku begitu malu… kalau aku sudah kuat, kalau aku tidak malu akan diriku lagi… aku pasti akan datang.”
Izumi ingin berkata sesuatu, namun ragu apakah akan mengatakannya atau tidak. Dan ketika ia melihat Aleist yang berlari pergi, ia berkata dalam hatinya.
‘
Kau tahu? Mereka tidak akan dirawat selama itu.’
… Mungkin Izumi sudah terlalu akrab dengan Rudel.
~~~***~~~
Setelah diperbolehkan pergi, Rudel dengan semangat mengikuti beberapa pelajaran yang tersisa di tahun kedua. Pada suatu hari, ia menerima surat terimakasih dari Puteri Fina, namun isinya sungguh aneh.
Aku ingin berterimakasih padamu, jadi datanglah ke kamarku di asrama putri, malam-malam, sendirian…
Surat itu jelas-jelas tertulis demikian. Kalau saja lelaki normal yang menerima surat itu, mereka pasti akan dibuat gila olehnya. Tapi dia adalah seorang Rudel.
“Laki-laki nggak boleh datang ke asrama putri kan? Malam-malam pula… Apa nggak masalah juga dengan jam malam?”
Ada banyak kejanggalan di sana-sini, ia berusaha memahami situasi lalu mengambil tindakan. Tentu saja ala Rudel. Dari sudut pandang pribadinya, tidak menanggapi permintaan seorang tuan puteri adalah sebuah pelanggaran. Jadi ia berbuat sesuai dengan yang apa yang ia pikir benar.
Akan tetapi, seandainya saja ia berkonsultasi dengan seseorang… ya, seandainya saja ia berkonsulasi pada Izumi, ia akan terhindar dari banyak sekali masalah.
~~~***~~~
[ Terimakasih sudah membaca meionovel.com ]
~~~***~~~
Malamnya, Rudel mendatangi asrama putri seperti yang diperintahkan. Ia menjelaskan kejadiannya kepada para penjaga dan tentara yang bertugas di depan pintu gerbang dan meminta mereka untuk mengantarnya ke kamar tuan puteri. Ada sebuah alasan mengapa keamanannya begitu longgar. Bukan karena Rudel adalah anak dari Tinga Penguasa, bukan juga karena ini semua adalah permintaan tuan puteri.
Tuan puteri punya tim ksatria agung yang menjaganya. Ia tidak terlalu mempercayai para penjaga asrama. Selain itu, kalau dipikir-pikir, tamu tuan puteri kali ini terbilang sangat idiot. Lemparkan saja semua permasalahan yang ia buat kepada para ksatria agung! Itulah ide di balik alasan itu.
Rudel sampai di kamar tuan puteri. Ada dua ksatria agung yang berjaga di depan pintu, dan ada satu yang berjaga di dalam. Yang berjaga di dalam adalah Sophina, yang sudah pernah ia jumpai sebelumnya. Dan selain mereka, ia dapat melihat Mii yang berusaha bersembunyi di belakang tuan puteri.
“Selamat datang, senang rasanya kamu mau datang kemari tuank… tuan Rudel.”
(Kamu nggak akan bisa kabur lagi, tuan.)
“?Ya, sungguh suatu kesempatan yang langka… (Ini cuma perasaanku doang atau memang tuan puteri itu orangnya menyeramkan? Apa ia berusaha menyembunyikan sesuatu?)”
Mungkin karena baju trainingnya, Puteri Fina mengenakan pakaian yang memudahkannya untuk bergerak banyak, memberinya kesan yang berbeda dari yang biasanya ia tampilkan selama di akademi. Pakaiannya sebenarnya tidak terlalu menggerakkan hatinya sebagai seorang laki-laki. Sebaliknya, Rudel merasa pakaian tuan puteri mencurigakan. Mengapa harus pakaian training… Apa ia perlu banyak bergerak saat ini? Apa lagi yang harus dilakukan malam-malam seperti ini selain tidur atau membaca buku?
Tanpa memedulikan apa yang dipikirkan Rudel, Puteri Fina berkata,
“Sejujurnya… Aku sudah jatuh cinta padamu sejak kamu menyelamatkanku waktu itu. Kumohon, berkencanlah denganku!”
“Aku menolak!”
Rudel segera menjawab. Sophina dan Mii yang ada di sana hanya bisa melongo ketika mendengar percakapan antara Rudel dan Fina. Fina yang menyatakan cintanya di hadapan orang lain adalah suatu hal, namun juga ada suatu masalah yang sulit dijelaskan dari sisi Rudel yang langsung menolak pernyataan cinta dari seorang keluarga kerajaan.
“K-kalau begitu…. Maka…”
(Aku pikir setidaknya kasih alasan kek, tapi emang, menolak pernyataan cintaku mentah-mentah seperti itu, sungguh tuanku ini. Kalau saja bukan aku, ia pasti akan dituduh melakukan tindak pengkhianatan. Kalau itu kakakku, ia pasti akan langsung berusaha membunuhmu, jadi lebih baik kamu berhati-hati lain kali, tapi sebenarnya bukan itu masalahnya! Sekalinya kamu menolak, manusia biasanya akan enggan menolak untuk kedua kalinya, apalagi tawaran yang lebih kecil. Dan inilah tawaranku!)
“Tolong terima aku sebagai muridmu…”
“Aku menolaknya juga.”
“….”
“….”
“….”
Kamar tuan puteri menjadi sunyi senyap. Dalam hati, Fina mengumpat habis-habisan guru yang sudah mengajarinya seni bernegosiasi. Mii terkejut ada seorang bangsawan yang menolak permohonan seorang tuan puteri, sementara Sophina bingung apakah harus mengomeli tuan puteri atau Rudel.
“B-bolehkah aku bertanya apa alasanmu?”
(Ada satu saja alasan bodoh, aku akan mengirimmu ke tiang gantung! Padahal ini pernyataan cinta pertamaku dalam hidupku! Tapi kamu malah menolakku… Oh Tuhan…. Rasanya kuingin menangis. Ditambah lagi, menolakku untuk menjadi muridmu… mimpiku akan surga bulu!!!)
“Alasanku adalah… Pertama, aku sudah punya dua pertunangan. Kalau aku sampai meninggalkan mereka untuk berpacaran dengan tuan puteri, aku tidak akan mampu memaafkan diriku sebagai seorang lelaki. Lagipula, pertunangan tuan puteri adalah sesuatu yang ditentukan oleh orang-orang kalangan atas di lingkungan kerajaan, jadi aku nggak bisa ngomong apa-apa. Soal murid, aku masih belum cukup matang, dan juga masih terlalu dini untuk menerima murid.”
Soal pertunangannya, Rudel sendiri masih bingung bagaimana harus menyelesaikan kebingungan yang terjadi. Namun meski demikian, ia tidak mau memutuskan suatu hal dengan tergesa-gesa… ditambah lagi, dari sudut pandang Rudel, kedua pertunangannya adalah dengan para dragoon yang sungguh ia hormati. Ia tidak akan pernah mampu mengkhianati mereka.
“Begitukah…”
(Alasan yang sungguh mulia! Aku pikir kamu akan mengatakan alasan-alasan yang nggak masuk akal. Kurang ajar, harusnya kamu jadi tuanku!)
Melihat mereka berdua, Sophina menghela nafas. Ia lalu mendekati Rudel dan mengomelinya.
“Tuan Rudel, tindakanmu tadi sungguh merupakan tindakan tak terhormat terhadap anggota keluarga kerajaan. Aku mohon agar kamu menjawab dengan lebih bijak.”
“Aku minta maaf (Meskipun ia disebut puteri boneka, aku rasa tuan puteri punya banyak emosi yang tidak masuk akal… Atau, apa itu cuma imajinasiku saja?)”
Sementara Sophina mengomeli Rudel, Fina tiduran dalam posisi janin di tempat tidurnya dengan penuh rasa kecewa. Mii mendekatinya dengan rasa khawatir. Untuk menghiburnya, ia mengelus-elus kepalanya, akan tetapi…
“…”
(Hnnnggg, Mii, kamu akan membunuhku dengan keimutanmu itu!!! Aku cuma ingin mengirim kucing kecil ini ke surga… tunggu. Tuan bilang kalau dia masih belum cukup matang… Artinya pasti ada seseorang dengan kemampuan yang melebihi apa yang sudah ia tunjukkan padaku!? Aku harus menemukan jawabannya!!!)
“Tuan Rudel, kamu masih belum matang kan? Kamu pasti punya seorang panutan kan?”
Fina menyela ‘kultum’ yang Rudel terima. Rudel lalu menjawab.
“Ya, ada seseorang yang jadi anutanku, dan sekarang ini, aku masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan dirinya…”
“Siapa itu?”
(Ada seseorang yang bahkan melebihi tuanku!? Siapa itu!!!?)
“Penulis buku Bagaimana Mengelus Seekor Naga, Mart Wolfgang. Seorang dragoon ratusan tahun yang lalu, ia sudah tidak hidup lagi. Ia adalah orang hebat yang tidak pernah mendapat pujian yang sepantasnya,”
Rudel menjawab dengan penuh percaya diri. Bagi Fina, lebih daripada soal buku, kenyataan bahwa penulisnya sudah tiada adalah sebuah masalah besar.
“Baiklah, sungguh sangat disayangkan.”
(Seorang dragoon ratusan tahun yang lalu… kenapa kalian tidak pernah memberinya penghargaan, dasar kalian kaum borjuis! Kalau saja itu aku, aku pasti akan membuat dirinya menjadi pahlawan negeri Courtois! Aku akan membuat sebuah negara bulu!!!… Heh? Tunggu dulu, emangnya naga itu berbulu? Ah, terserahlah.)
“Tuan Rudel… Maukah kamu menerima bantuanku untuk mengembangkan kemampuanmu?”
Dan beginilah, pertunjukan yang membawa beragam insiden di asrama putri dimulai.
===***===
Kunjungi web kami yaitu meionovel.id