Dewa Memasak – Bagian 102: Gaya Masakan (1)
“Jika aku akan menjadi lilin yang bisa padam kapanpun, setidaknya aku ingin menyalakan api di atas gunung yang besar sehingga bayanganku tidak pernah hilang.”
Kaya berkata dengan suara bijaknya seperti biasanya…bukan, itu bersinar lebih dari biasanya. Seragam chef membuatnya tampak lebih menarik daripada rok putihnya. Di wajahnya, tidak ada senyum paksaan seperti biasanya tapi senyum yang bijak yang penuh dengan rasa percaya diri.
Dahulu, dia berhati-hati terhadap orang lain, tapi sekarang dia memasang ekspresi yang tidak mengandung dengki sama sekali. Itu adalah wajah yang Jo Minjoon kagumi. Wajah bermartabat yang bisa dilihat dari seorang chef. Meski terdengar kasar, kau bisa merasakan keteguhan di setiap kata yang dia ucapkan, sekaligus ambisi dan hasrat yang terlihat berapi-api. Kaya Lotus yang sangat dicintai dan disayangi, ada di satu.
Namun, saat Jo Minjoon mengulurkan tangan, dia menyadari bahwa tangannya terlalu pendek. Tidak, dia yang terlalu kecil. Keberadaannya terlalu kecil, hingga Kaya tidak akan memperhitungkan Jo Minjoon.
Melihat dirinya sendiri yang begitu rendah dan buruk membuatnya terlihat seperti kecoak. Jo Minjoon berdiri dari tempatnya dengan wajah pucat seakan-akan dia telah melihat monster yang mengerikan. Mimpi. Biasanya, kau akan merasa lega setelah kau bangun, tapi Jo Minjoon tidak merasa seperti itu saat ini. Justru, perasaannya menjadi tegang karena mimpinya barusan menunjukkan sisi bagian dalam dari dirinya.
Dia terengah-engah. Jo Minjoon merasa punggungnya basah lalu mengernyitkan dahi. Itu pagi yang tidak menyenangkan karena berbagai alasan.
Bahkan setelah mandi, perasaan itu tidak hilang. Hingga saat dia melihat Kaya, yang tampak sedang menunggunya di aula untuk mengatakan sesuatu padanya, dia tersentak dan mundur.
“…Apa kau diare?”
“Buatkan saja aku sarapan.”
“Sekarang kau sungguh memperlakukanku seperti ART. Hei, Aku sudah janji kalau aku akan menyiapkan sarapan untukmu hingga aku tereliminasi? Itu tidak susah.”
“Kenapa? Apa kau berencana tereliminasi?”
“…Tidak, aku berencana menang.”
“Jika kau menang, kau akan terus membuatkan sarapan untukku.”
Mendengar jawaban santai Jo Minjoon, wajah Kaya menjadi aneh.
“Kau sungguh ingin aku melakukannya?”
“Aku bercanda. Jika aku sampai seperti itu, aku bukan chef, tapi seorang penipu. Baiklah… Meski separuhnya bercanda, aku terkejut kau tetap menepati janjimu. Kau sudah melakukannya dengan baik.”
“Hmph. Tolol kau. Hanya karena aku miskin tetapi nuraniku tidak miskin juga.”
“Benar. Aku yakin padamu.”
Memang karena sifat aslinya putih dan polos, dia bisa tumbuh menjadi seperti itu. Jo Minjoon berpikir dia memang seorang bintang. Sebuah bintang yang tidak bisa dia raih tetapi dia tetap berusaha menggapainya. Meski dengan kesempatan yang dia dapat dan waktu yang bisa dia habiskan dengannya, apakah dia akan mundur?
“…Kau selalu berekspresi serius di saat yang tidak tepat.”
“Tidak tepat bagaimana? Itu menunjukkan kepercayaan di antara sesama.”
“Lupakan. Kau hanya membuatku menjadi orang aneh.”
Kaya membelit bibirnya lalu memalingkan muka. Entah kenapa Jo Minjoon ingin mencubit pipi Kaya, tapi jika dia melakukannya, dia mungkin tertangkap melakukan penganiayaan fisik. Meskipun Kaya tidak akan benar-benar memanggil polisi.
Saat Kaya pergi ke pantri, Jo Minjoon mengikutinya lalu memeriksa bahan makanan. Kaya tersentak melihat Jo Minjoon seolah-olah dia tidak menduganya.
“Apa yang terjadi? Entah dengan makan siang, tapi bukankah kau menyerahkan sarapan padaku.”
“Aku mendapat stimulasi dalam mimpiku. Jika aku tidak berusaha lebih pada hal-hal kecil…”
“Wow, buang jauh-jauh karakter sungguh-sungguhmu itu. Aku suka poin itu pada dirimu tapi kadang-kadang itu terasa kaku.”
Jo Minjoon tersenyum tanpa berkata apapun. Sebenarnya, dia punya karakter itu, tapi sekarang dia datang jauh-jauh ke sini, dia tidak bisa bersikap seperti itu lagi. Ada banyak orang yang ingin kembali ke masa lalu mereka dan dia adalah salah satu dari orang-orang tersebut. Kenapa dia bisa kembali, dia tidak tahu alasannya. Tidak ada alasannya dan barangkali dia hanya beruntung. Waktu kembali ke masa lalu, dia mendapat kesempatan, kesempatan untuk memasak. Jika dia melewatkan kesempatan itu, Jo Minjoon tidak bisa bangga lagi terhadap dirinya sendiri.
“Ini karena aku ingin bisa memasak enak seperti dirimu.”
“Kau bermaksud ingin mengatakan supaya aku membuat yang lebih lezat lagi?”
“Ini sarapan yang dibuat oleh Kaya Lotus yang tertandingi, pernahkah sarapan buatanmu tidak enak?”
“Agh, pujian macam apa itu? menjijikan.”
Bahkan setelah mengatakan itu, mau tak mau ujung bibir Kaya naik. Tak ayal, dia mendapatkan kekuatan, tetapi pada akhirnya dia justru marah.
“Oh! Karena kau, aku senyum entah untuk apa.”
“Kalau begitu, tersenyumlah. Kenapa kau malu-malu?”
“Ah, entahlah. Aku mau memasak. Jangan bicara padaku. Dapur adalah tempat di mana jika kau asal-asalan, kecelakaan bisa terjadi! Paham?”
“Sekarang kau tampak seperti duta keselamatan masyarakat.”
Kaya tidak menjawab hanya melotot padanya. Jo Minjoon melihat sikap Kaya itu sebagai daya tarik yang menggemaskan. Apa mungkin ada yang aneh dengan matanya? Seperti halnya Jo Minjoon melihat Kaya sebagai seorang idol, mungkin perasaanya wajar seperti itu. Kaya menggosok-gosok matanya dengan jarinya lalu berkata.
“Aduh, mataku sakit. Lalu, apa yang harus aku buat untuk sarapan?”
“Bubur atau paella tidak masalah.”
“Jika Chloe ada di sini , dia akan terganggu dengan semua karbohidrat itu.”
“Kita bahkan bukan bodyguard… ah, aku malah mengatakan bodyguard. Kita bahkan bukan bodybuilder. Jadi, tidak perlu merasa seperti itu. Yang paling penting, kau bahkan tidak berolahraga.”
“Aku berolahraga. Aku angkat beban. Memangnya kau hanya melatih tangan dengan mencengkeram sesuatu.”
“Kau hanya mengangkat beban sekali dua kali lalu pergi.”
Kaya menatap telur alih-alih menjawab. Jo Minjoon menggelengkan kepala.
“Kau harus memulai hari dengan sarapan telur. Aku sungguh tidak suka makan telur saat sarapan.” kata Kaya
“Apa? Apa karena tidak lezat?”
“Mulutku kering saat tidur dan memikirkan untuk makan telur saat sarapan, kau tidak akan menyukainya.”
“Oleh karena itu kau memakannya besama dengan sosis atau bacon. Kelezatan telur akan membasahi mulutmu yang kering. Kau sungguh tidak mengerti cita rasa ini?”
“Aku juga tidak suka makan bacon atau sosis yang banyak mengandung minyak. Aku lebih suka memanggangnya.”
“Memangnya ikan tidak berminyak? Aku paham gaya memasakmu, tapi berhentilah keras kepala!”
Menyimak kata-kata Kaya, Jo Minjoon melongo. Dia melihat wajah Kaya yang berubah posesif. Kaya mengernyit.
“Apa. Apa? Kenapa?”
“…Gaya masakanku?”
“Iya, gaya masakanmu, lalu kenapa?”
“Apa aku punya gaya? Aku…hanya seperti itu, hanya memasak ini dan itu, dan hanya meniru hidangan yang lain. Sejujurnya, metode memasak juga seperti itu, biasa saja. tapi apa aku punya gaya?”
“Biasa saja itu gayamu. Bodoh.” jawab Kaya karena dia tidak mengerti lalu lanjut berbicara.
“Apa kau mesin? Kau itu manusia. Jika kau manusia berkarakter, karaktermu akan tampak dalam masakanmu.”
“Aku tipe orang yang damai. Aku tidak punya warna.”
“Oleh karena itu, tidak berwarna adalah karaktermu. Kenapa orang-orang harus selalu menjadi bagus sekali?”
“…Kalau begitu apa yang paling enak dari yang pernah aku buat?”
“Membuat apapun dengan saus.” Jawab Kaya dengan suara tenang.
Mata Jo Minjoon membulat, Kaya lanjut berbicara.
“Cita rasa sausmu adalah yang terbaik.”
“…Dan apa saus itu di ambil dari resep orang?”
“Itu jelas. Berapa banyak orang di dunia ini menurutmu, yang punya resep sendiri? Jika kau tidak melaukan hal aneh seperti molecular gasttronomy, itu akan sulit.”
“Itu benar. ..tapi kenapa kau terlihat dewasa hari ini?”
Balasan Kaya tidak kunjung muncul.
Sarapannya adalah roti gandum panggang dengan yogurt blueberry, mentega dengan aroma daun basil, bacon gulung, dan omelette ala Spanyol dengan banyak sekali pasta tomat. Jo Minjoon makan segigit lalu berkata.
“Si Tess Gilly, bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah diam?”
Sudah lama berlalu, sudah hampir satu bulan sejak kasus itu. Kemarin, episode 14 disiarkan. Konten siaran adalah tentang misi saat tersisa enam peserta. Sekarang, siaran yang tersisa ada tiga, perempat final, semi final, dan final.
‘…tinggal dua misi lagi sekarang.’
Ekspresi Jo Minjoon menjadi serius. Kaya menelan roti gandum yang diolesi mentega lalu berkata.
“Saat dia membuat kasus itu semakin besar, itu akan semakin mengumumkan bahwa dia juga bodoh. Kalau dia tidak tolol, dia tidak akan melakukannya lagi. Dia mungkin akan terus mengatakan sesuatu tapi…entahlah. Martin sepertinya akan menangani itu entah bagaimana caranya.”
“Meski begitu, dibanding sebelumnya, kau tampak lebih tenang.”
“Kalau aku marah, aku yang akan kehilangan sesuatu. Aku akan kembali ke hari-hari, saat banyak orang menghinaku di masa lalu. Jika ada sesuatu, aku bisa melihat apa yang terjadi melalui internet. Jadi, jika aku tidak marah, itu akan berakhir.”
“Kau berpikir dengan bijak.”
“Kenapa bersikap seperti itu lagi. Aku bilang jangan memperlakukanku seperti anak kecil.”
“Benar, kau bukan anak kecil lagi.”
Jo Min Joon tersenyum. Itu senyuman yang mengandung rasa puas bercampur dengan kesedihan. Semua tentang Kaya Lotus yang dia ingat, perlahan ada dalam diri Kaya sekarang. Itu sesuatu yang patut disambut, tetapi Jo Minjoon juga sangat sedih karena dia semakin sulit untuk meraih punggungnya.
‘Setidaknya sampai final…’
Dia bersalah pada Anderson, tapi dia ingin menjadi satu-satunya lawan Kaya di misi terakhir. Meski dia kalah, itu tidak masalah. Hadiah sebanyak 300ribu Dollar dan popularitas Grand Chef akan dia dapatkan sebagai juara kedua. Akan tetapi hal yang penting adalah apakah dia bisa menjadi chef yang seperti itu atau tidak.
“Omong-omong, kenapa Anderson tidak datang?”
“Aku tidak tahu. Mungkin dia berolahraga entah di mana. Penipu itu!”
“Penipu? Oh…kau sedang membicarakan soal Martin yang memanggilmu itu yaa?”
“Benar. Dia aneh sekali. Apa dia sedang menderita suatu penyakit? Kenapa dia membuat kelakar sejauh itu? Kami tidak seakrab itu.”
Kaya menusuk omelette. Pasta tomat mengalir keluar seperti darah yang menembus omelette yang berwarna kuning. Saat Jo Minjoon mengalihkan pandangan karena rasa takut, dia melihat Anderson masuk melalui pintu dapur.
“Apa kau mau makan?”
“Yogurt dan roti gandum cukup untukku.” jawab Anderson sembari menjatuhkan pantatnya ke kursi hingga berbunyi gedebuk.
Dia duduk di kursi terdekat, tapi kursi itu di sebelah Kaya. Kaya melotot pada Anderson dan mengangkat piringnya lalu berpindah ke sebelah Jo Minjoon. Hal yang disesalkan adalah sekarang Kaya duduk di depan Anderson.
“Hei, penipu.”
“…Apa kau membicarakan aku?”
“Iya, kau penipu. Karena kau, aku bahkan tidak bisa menghabiskan waktu terakhirku bersama Chloe dengan benar.”
“Heee, kau seharusnya menghabiskan waktu bersama Chloe dengan baik sebelum hari itu tiba. Kau berencana melakukan sesuatu saat dia pergi?”
“Diam. Kau tidak berhak berbicara. Yang paling utama, kenapa kau berbohong? Apa kau sungguh melakukannya untuk bercanda?”
Anderson tidak menjawab. Kaya melihat wajah Jo Minjoon dan berkata dengan wajah tidak senang.
“Lihatlah, dia seperti itu.”
“Tahanlah. Anderson pun, mungkin punya alasan sendiri tidak bisa mengatakannya.”
“Alasan apa?…ada apa ini?”
Kaya melihat apa yang Jo Minjoon tulis. Jo Minjoon sedang menulis sesuatu pada catatan di ponselnya. Tapi dia tidak bisa memahaminya. Bukan karena tulisannya jelek, tetapi hurufnya aneh karena itu huruf Korea. Jo Minjoon membalas dengan suara yang tenang.
“Berlatih merancang resep. Aku memikirkan soal ini dan itu. Seperti yang kau bilang, jika poinku yang paling kuat adalah saus, berarti poin terkuatku harus terlihat dalam resep. Aku harus terus mengolah dan memolesnya.”
“…Kau sungguh bekerja keras. Tapi aku biasanya memikirkan soal ini tapi tidak bisa mengatakannya padamu, huruf Korea ini terlihat sungguh keren.”
“Itu bergantung dari tulisan tanganmu. Ada beberapa orang yang punya tulisan tangan yang sangat buruk dibanding huruf alfabet.”
“Hmm…Oh, benar. Kalau begitu, coba tulis untukku.”
“Tulis apa?”
“Tulis namaku dalam huruf Korea, lebih bagus jika kau membuatkan nama Korea untukku.”
Nama Korea. Jo Minjoon hanya melihat Kaya lalu menulis dua huruf berukuran besar. Kaya melihat layar dengan wajah penuh suka cita.
“Bagaimana kau membaca ini?”
“ ‘Gaya’(가야) Ini sama. Kau harus berlatih mengucapkannya. Dan itu juga nama Korea yang cukup cantik. Pada jaman dahulu… Ada sebuah negara bernama Geumgwan-Gaya (금관가야) atau DaeGaya (대가야).”
“Gu, gunganguaya? (궁간과야) aiissh, entahlah. Gaya. Gaya. Iya. Itu bagus.”
Kaya menulis namanya di piring dengan garpu lalu tersenyum gembira. Sudah lama sejak dia melihat Kaya tersenyum dengan ceria seperti seorang gadis, bahkan dia mulai tersenyum tanpa sadar. Beberapa saat kemudian, Anderson, yang melihat mereka berdua, berdehem.
“Tulis untukku juga.”
“Nama?”
“Iya.”
Jo Minjoon mengernyit. Untuk mengubah nama Anderson, itu sangat sulit. Setelah berpikir cukup lama, perlahan Jo Minjoon menulis nama di layar. Anderson melihat layar penuh harap.
“Bagaimana kau membaca ini?”
“…….Anduksam (안덕삼).”
“Anduksam. Oh…ini jelas sebuah nama dengan kesan misterius orang Asia. Mulai sekarang, jika aku pergi ke Korea atau bertemu dengan orang Korea, aku akan mengucapkan nama ini.”
“Oh…menurutku, itu tidak perlu.”
“Tidak, aku suka. Boleh aku foto dengan ponselku?”
“Oh, tentu.” jawab Jo Minjoon tergagap
Kemudian dia tertawa canggung. Anduksam. Jika Jo Minjoon mengungkapkan kebenarannya, bagaimana reaksi Anderson nanti…
‘…Dia tidak akan membunuhku, kan?’
<Gaya masakan (1)> Selesai