Dewa Memasak – Bagian 107: Biaya Arbitrase (2)
Hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi Kaya. Sekaligus hari yang paling aneh. Kursi juara Grand Chef yang terasa jauh sekarang justru ada di depan mata dan anggapan dia tidak akan sampai pada tahap ini terbukti salah. Yang paling utama, keluarganya yang selalu dia cemaskan, ada di sini, dia seolah-olah tidak punya masalah apapun. Bagi Kaya, tidak ada momen yang lebih menggembirakan dari pada sekarang karena hal terbaik yang dimilikinya adalah keluarganya.
Namun, dia tidak hanya merasa gembira. Jo Minjoon tereliminasi. Tentu, ini bukan berarti dia tereliminasi dari kehidupan. Kapanpun dan siapapun, di antara mereka berdua akan ada yang tereliminasi. Akan tetapi, dia tidak bisa berbuat apapun soal perasaan tercekiknya itu.
“Kaya, Khau khenapha?”
“Hah? Tidak, tidak ada apa-apa. Aku sedang memikirkan sesuatu sejenak. Minumlah smoothie lemon ini. Kualitas lemonnya sungguh bagus, berbeda dengan apa yang aku buat di rumah, seperti langit dan bumi.”
Kaya menyodorkan sedotan ke mulut Gemma. Gemma menyedotnya lalu tersenyum, tetapi bagi orang lain itu akan tampak seperti ekspresi tegang. Jo Minjoon masuk ke aula. Dia melihat orang-orang berkumpul di meja dengan tatapan canggung. Anderson, Kaya, dan keluarga mereka masing-masing. Di atas meja ada hidangan kue, biskuit, es krim, wine, dll.
Jo Minjoon duduk di sebelah Jo Ara lalu bertanya dengan suara pelan.
“Apa kalian mengobrol dengan lancar?”
“Memangnya seberapa lancar yang aku bisa? Aku menyadari bahwa kemampuan bicaraku dalam bahasa Inggris tidak bisa diharapkan. Meski begitu, ada satu hal yang aku paham ‘Nama Koreaku adalah Anduksam…’.“
Mendengar itu, Jo Minjoon terbatuk seolah-olah dia tersedak sesuatu. Matanya yang berair menegang lalu melihat pada Jo ara.
“Apa Anderson yang mengatakan itu?”
“Jika tidak, bagaimana aku tahu?”
“…Sekarang, sepertinya kau juga menjelaskan artinya pada Anderson.”
“Tidak, tetapi aku sedikit tertawa.”
Untuk beberapa alasan, dia merasakan tatapan Anderson dingin padanya. Saat mereka membuat kontak mata, dan saat Jo Minjoon melihat bulu mata Anderson bergetar seolah-olah dia menyalurkan kekuatan ke dalamnya, Jo Minjoon berpikir bahwa Anderson tidak akan bersimpati lagi padanya.
“Anderson, sepertinya kau salah paham…” kata Jo Minjoon terkejut.
“Diam. Aku tidak mau mendengarkanmu. Inilah kenapa orang tuaku mengajarkan padaku untuk tidak percaya pada siapapun…”
“Anak ini membuat kami terlihat seperti orang tua yang aneh. Fabio, bagaimana menurutmu?”
“Anak-anak yang tidak patuh dengan perkataan orang tuanya selalu menggunakan orang tua sebagai alasan dalam situasi seperti ini. Kami salah mengajari mereka.”
Mereka berdua menghela nafas. Anderson, anak yangmenyebabkan masalah, dia justru mengerutkan dahi
“Kapan kalian mengajariku? Bukankah kalian selalu sibuk saat mempunyai restoran?”
“Iya, baiklah. Minggu ini adalah liburan.”
“…Bagaimana dengan reservasinya?”
“Inilah kenapa membesarkan anak itu susah. hari apa besok?”
Anderson memutar bola matanya sejenak dan berkata seolah-olah dia tidak tahu sama sekali.
“Yang jelas, besok sepertinya bukan ulang tahun mu.”
“Itu hari ulang tahun pernikahan kami! Aku sudah bilang dia pasti seperti ini…kapan kalian akan saling menyayangi?”
“Memangnya di dunia ini ada anak yang mengingat ulang tahun pernikahan orang tuanya? Sekarang kau juga akan menyuruhku mengingat berat badamu? Lupakan. Makanlah dengan cepat lalu kalian pergilah.”
“Maaf, kami tidak mengajari anak kami dengan baik. Nona Kaya? Kau pasti kesusahan, bukan?”
“Kalian memberi kami, anak yang menjengkelkan.”
“…aku tidak berpikir bahwa itu sesuatu yang seharusnya aku dengar darimu.”
Anderson menggeram dan melotot pada Kaya. Namun, Kaya tersenyum percaya diri seolah-olah dia menang lalu meraih leher Gemma untuk memeluknya.
“Aku putri yang baik juga kakak yang baik, benar kan Gemma?”
“Iyha.”
“Lihat? Dia bilang begitu.”
“…Sepertinya tidak ada siapapun yang memihakku di dunia ini.”
Orang yang dia percayai malah memberikan nama padanya yang membuat orang lain meledak tertawa saat mendengarnya. Orang tuanya lebih berfokus menggodanya alih-alih mendoakannya. Anderson menekan-nekan kue wortel karena salah tingkah.
“…Anderson? Kau tidak boleh menekan-nekan kue hanya untuk bersenang-senang.”
“Astaga.”
Cinta orang tuanya bahkan membuat anak mereka menjadi ateis.
Jo Ara berbisik di telinga Jo Minjoon dengan suara sangat pelan.
“Anderson menggemaskan.”
“…Siapa?”
“Dia menggemaskan. Dia tampak seperti model dan tingkahnya menggemaskan.”
Jo Minjoon melihat Jo Ara dengan tatapan dingin. Dia berkata dengan suara tegas.
“Jangan seperti itu. Bukankah aku mengatakan padamu jangan pernah berpikir untuk berpacaran sebelum kau masuk kuliah?”
“Oh, benarkah? Jadi aku tidak boleh mengatakan ini?”
“…Jangan menatapnya.. Jika kau akrab dengannya, hidupmu akan terasa melelahkan meski itu tidak akan terjadi, hanya membayangkannya saja, sudah mengerikan. Omong-omong, jangan meliriknya karena aku sangat menentangnya.”
“Lupakan. Menurutmu ini masih jaman Dinasti Joseon?”
Jo Ara menggerutu lalu meminum teh. Di sebelah Jo Ara, Gemma melihatnya sekilas dan dengan hati-hati mendorong hidangan ke arah Jo Ara.
“Mhakanlah. Hini enhak.”
“Oh, iya. Terima kasih.”
Jo Ara terbelalak seolah-olah dia terkejut, lalu dia segera tersenyum sedikit dan menerima itu. Setelah memakannya sesuap, dia tersenyum dengan ceria lalu melihat Gemma. Jo Minjoon menyeringai lalu mencubit pipi Jo Ara.
Gemma dan Jo Ara mulai mengobrol dengan bahasa Inggris asal-asalan. Tentu, bahasa Inggris yang asal-asal itu karena alasan masing-masing yang berbeda, tetapi poin utmanya adalah mereka berdua menikmati obrolan mereka.
Saat malam semakin larut, masing-masing keluarga kembali ke kamarnya, hanya 3 orang yang tetap tinggal di meja. Ada lilin di tengah meja agar suasananya menjadi syahdu tetapi…tidak ada yang menikmatinya.
“Kau akan pergi besok?” tanya Anderson sambi menatap lilin.
“Iya.”
“Sekarang aku akan sendirian dengannya.”
Anderson gemetar seolah-olah itu hal yang menakutkan. Kaya berkata dengan suara dingin.
“Kenapa kau bersikap seolah-olah kau menjadi korban? Yang menjadi korban itu aku.”
“Hmph. Meski temperameku buruk, tetapi tidak seburuk kau.”
“Entahlah. Orang bilang kita bisa melihat sifat asli seseorang dari caranya memperlakukan keluarganya. Menurutku, itu jelas siapa yang lebih buruk antara kau dan aku, siapapun bisa melihat perbedaannya. Benar kan Minjoon?”
Anderson melirik Jo Minjoon. Alih-alih menjawab, dia memalingkan muka dan menggaruk-garuk kepalanya. Anderson menggerutu.
“…Si brengsek yang tak tahu malu. Kau sudah memberiku nama aneh dan sekarang kau tidak mau memihakku. Apa kau tidak punya hati nurani?”
“…Aku punyalah”
“Dia 100 kali lebih baik darimu.”
“…Jika aku tetap di sini di antara kalian berdua, aku akan menjadi orang brengsek. Aku akan pergi duluan.”
Anderson berdiri. Kaya berkata sambil tersentak.
“Hari ini hari terakhir Jo Minjoon, kau sungguh akan pergi?”
“Jika iya, kenapa? Kita bisa bertemu lagi kapan-kapan.”
Itu kata-kata yang keras, tetapi juga berarti bahwa hubungan mereka tidak berakhir di sini. Anderson melirik kembali pada Jo Minjoon lalu perlahan berkata.
“Nama Anduksam yang kau beri padaku… Aku tahu itu nama yang aneh, tetapi aku tidak akan membuangnya karena memang aku sendiri yang bilang nama itu punya kesan Asia. Mulai sekarang, setiap kali aku bertemu orang Korea, aku akan memperkenalkan diriku dengan nama itu.”
“Jangan, kau tidak perlu begitu…”
“Tidak perlu merasa bersalah karena aku juga akan mengatakan bahwa kau yang memberikan nama itu. Jadi, semua orang di dunia ini akan mengetahui sifatmu. Ini adalah pembalasanku.”
Jo Minjoon berusaha tertawa. Entah dari mana Anderson terpikir pembalasan seperti itu? Jo Minjoon melihat punggung Anderson menjauh dan berkata.
“Terima kasih, Anderson.”
Langkah Anderson terhenti. Dia berkata tanpa membalik badan.
“Jangan membuat suasana yang tidak ada gunanya. Kapanpun, kita bisa bertemu lagi.”
Lebih tepatnya, besok, mereka akan bertemu lagi bahkan setelah besok, mereka akan bertemu lagi pada saat babak final. Namun, Anderson tidak tahu tentang hal itu. Jo Minjoon tersenyum dan berkata.
“Maaf ya.”
Anderson tidak menjawab. Mungkin Anderson tidak punya apapun untuk menjawabnya atau dia tidak mengerti kenapa Jo Minjoon meminta maaf. Bayangan Anderson menghilang bersamaan dengan munculnya keheningan di antara dua orang yang masih ada di aula. Lilin mulai leleh dan jatuh ke meja. Di samping dapur, keadaannya gelap karena lampunya sudah dimatikan. Kaya melihat ke celah pintu yang tidak tertutup sempurna lalu berkata.
“Sepertinya, lampunya mati.”
“Jika kau membicarakan tentang lampu dapur, lampunya memang sudah mati.”
“…Bukan, bukan itu. Aku membicarakan tentang diriku, jalan di depanku. Hidupku selalu seperti itu, sulit untuk melihat hari esok. Tidak. Ada satu hal yang pasti, yaitu besok tidak akan begitu berbeda dengan hari ini. Aku pikir setelah aku datang ke Grand Chef aku akan bisa melihat cahaya, tetapi sekarang, aku tidak bisa melihatnya lagi, Minjoon.” tutur Kaya lalu menoleh pada Jo Minjoon.
Setiap kali cahaya lilin berkedip, bayangan wajahnya juga berkedip. Namun, matanya tidak, suaranya juga tidak. Dia mengatakannya dengan suara penuh percaya diri lebih dari sebelumnya.
“Sepertinya kau adalah cahaya hidupku.”
Jo Minjoon tidak berkata apa-apa, bukan karena dia tidak punya apapun untuk dikatakan, melainkan karena momen saat dia mendengar kata-kata itu, dia merasa sulit bernafas karena itu adalah apa yang dia pikirkan tentang Kaya. Bukan, lebih tepatnya, Kaya lah orang yang menerangi jalan.
Jalan hidup Kaya juga merupakan jalan yang ingin dia lalui dan hidangan yang Kaya buat merupakan hidangan ingin dia buat juga. Kaya adalah objek kebahagiaan, karakter, dan kekagumannya. Hanya dengan melihat Kaya, membuat Jo Minjoon sulit bernafas dan karena itu pula dia bisa berjuang lebih keras lagi sebab dia takut kehilangan.
Akan tetapi, Kaya berkata bahwa dialah yang menerangi hidupnya. Jika dia mengatakan bahwa kata-kata itu lebih hangat dari pada doa dan pujian dari para juri, entah itu berlebihan atau tidak.
“…Aku cahaya hidupmu?”
“Setiap kali aku kesulitan, kau berada di sampingku. Kau bahkan mengajariku apa yang sebaiknya aku lakukan… Kau bahkan menutup jalan yang salah. Yang paling utama, kau menguatkan aku hingga aku tidak goyah. Terima kasih. Saat kau pergi, aku pikir aku tidak akan pernah bisa mengatakan hal ini…Oleh karena itu, aku mengatakan ini padamu sekarang. Aku tidak akan mengatakannya dua kali.”
“Aku juga…”
Dia ingin mengatakan pada Kaya, bahwa Kaya adalah cahaya hidupnya, bahwa Kaya selalu menjadi cahaya hidupnya. Namun, kata-kata itu tidak bisa keluar dengan mudah. Jo Minjoon membisikkan kata-kata yang tidak bisa terdengar karena hanya separuh bibirnya yang terbuka, lalu menutup lagi. Kaya memiringkan kepalanya.
“Ada apa? Kenapa kau berhenti saat tengah mengatakan sesuatu?”
“…Bukan apa-apa. Aku tidak punya sesuatu untuk dikatakan.”
Setelah mengatakan itu, dia merasa menyedihkan karena bagaimanapun dia membungkusnya, dia tetap kehilangan daya. Dia ingin mengatakan hal itu saat dia mencapai ujung jalan yang dia lalui. Kaya tersenyum ceria. Itu senyuman cantik yang cocok untuk gadis seusianya.
“Hei, lampu.”
“Apa?”
“Bahkan tanpamu, akankah aku bisa menemukan jalan?”
“Kaya, aku bukan cahaya hidupmu.” kata Jo Minjoon dengan suara lembut
“…Bukan kau yang menilai itu. Setidaknya bagiku, kau adalah cahaya hidupku.”
“Bukan. Itu tidak benar, Kaya. Meski aku tidak di sini, kau tetap bisa menemukan jalan. Kau akan membuktikan dirimu sendiri betapa unggulnya chef yang bernama Kaya Lotus. Kau berpikir bahwa kau telah menyia-nyiakan hidupmu, tapi itu adalah perjuangan. Itu adalah perang, yang bagi orang normal akan kesulitan menjalaninya dan kau bisa menjalaninya. Adikmu, dia tersenyum dengan cantik. Kau melindunginya hingga dia bisa tertawa seperti itu.”
Wajah Kaya seperti tercekik. Apa dia harus terharu ataukah sebaiknya dia mengabaikannya. Itu adalah ekspresi yang bahkan tidak dia mengerti.
“Kau bersinar begitu terang hingga kau merasa cahayamu sendiri tidak menerangi jalanmu, yang justru menerangi jalan orang lain. Oleh karena itu, aku tidak bisa menjadi cahaya hidupmu. Cahaya dariku tidak begitu berarti. Kaya, ..jadi jangan berpikir bahwa alasan kau bisa memanjat sejauh ini karena kau bersandar padaku. Itu semua karena kekuatanmu sendiri. Memasak, berjuang, bertahan, dan menahan rasa sakit. Aku hanya… Aku hanya cermin sementara di sebelahmu, cermin yang bisa memantulkan cahaya yang kau miliki.”
“Kenapa kau menganggap dirimu begitu rendah? Aku….”
Suara Kaya gemetar. Ini pertama kalinya dia merasa pusing meski saat mendapat pujian. Kaya membuka lebar-lebar matanya lalu berkata. Ini ironis, Jo Minjoon berpikir bahwa matanya yang galak itu adalah kelembutannya.
“…Baiklah. Aku tidak akan mengatakan bahwa aku memanjat sejauh ini karena dirimu tetapi karena kedua kakiku yang kuat. Namun, kau meraih tanganku di depan. Kau menarikku maju. Kenapa kau mengatakan itu bukan apa-apa?”
“Jadi, kau yakin bisa memenangkan pertarungan terakhir.”
Jo Minjoon membalas dengan suara yang datar. Berbeda dari sebelumnya, konten final dan perjalanan misi. Dia merasa iri. Dia mempercayai Kaya tetapi dia berharap Kaya tidak kehilangan sesuatu yang memang seharusnya Kaya dapatkan.
“Anderson kuat, tapi aku tidak mengatakan bahwa kau lebih lemah darinya. Kaya Lotus yang bisa bertahan hingga saat ini, tidak cukup hanya dengan bersandar pada Jo Minjoon. Kau harus menjadi Kaya Lotus yang bisa berdiri sendiri mengalahkan Anderson karena Anderson juga datang jauh-jauh ke sini dengan kekuatannya sendiri. Jadi…”
“Aku tidak mau.”
Kaya menjawab dengan singkat. Ekspresinya menandakan bahwa dia terluka. Matanya tampak berkaca-kaca, dan wajahnya memerah mungkin karena efek cahaya lilin atau mungkin darah yang terkumpul di pembuluh darah mukanya. Kaya mengepalkan tangannya. Di balik kepalan tangan yang tidak terlihat oleh Jo Minjoon, ada emosi yang tak terhitung jumlahnya. Dia tidak berencana membuka kepalan tangannya.
“Bertahan dengan meraih tanganmu lebih menakjubkan daripada bertahan dengan kekuatanku sendiri. Aku bisa meraih tanganmu itu hal yang sangat menakjubkan! Setidaknya, bagiku terasa seperti itu. Jadi, jangan membantah selagi aku bersyukur dengan keberadaanmu. Setidaknya kau…Aku akan suka jika setidaknya kau menerimanya saja.
Kaya paham apa yang coba Jo Minjoon katakan padanya, begitu juga dengan kepalanya. Namun, perasaannya tidak bisa. Kaya berdiri dari tempat duduknya.
“Aku akan menang. Siapapun aku, aku pasti akan mengalahkan Anderson. Jadi, jangan memikirkan hal-hal yang tidak berguna. Cuma…”
Saat suaranya mulai bercampur dengan tangisan, dia menutup mulutnya. Hal yang ingin dia katakan setelah itu hanya terucap di dalam hatinya. Kaya berkata dengan suara putus asa.
“Aku mau tidur. Sampai jumpa besok.”
Kaya pergi. Jo Minjoon hanya menatap lilin dengan ekspresi yang tidak bisa dipahami. Suara langkah kaki Kaya semakin jauh. Apakah dia berharap langkah kaki itu kembali? Saat dia tidak bisa mendengar apapun, hela nafas Jo Minjoon yang keluar dari bibirnya memadamkan api lilin.
Api lilin padam, tetapi beban dari hela nafasnya tidak padam dengan mudah.
< Biaya Arbitrase (2) > Selesai