Dewa Memasak – Bagian 109: Reuni di depan pintu (1)
“Aku katakan sekali lagi, tetapi sekali memutuskan, kau tidak akan bisa mengubahnya. Itu berarti, kau harus menjaga resep sebagaimana mestinya dan tidak berlaku hanya pada konsep menu. Apa kau tidak masalah dengan resep ini?” tanya Martin.
Kaya mengangguk.
“Selama 10 hari, aku hanya memikirkan dan mempertimbangkan soal itu. Jika tidak ada ilham yang jatuh dari langit, itu tidak akan berubah lagi. Tidak, barangkali ini adalah resep yang sudah menerima ilham.”
“Hmm, baiklah. Aku akan mengambilnya.”
“Jadi kapan rencananya kau akan mengatakan padaku metode misinya? Aku tidak akan bisa memasak semua menu itu dalam waktu singkat sendirian.”
“Jangan khawatir. Kau akan mengetahui semuanya malam ini.”
“Malam ini?”
Kaya mengernyit. Apa itu berarti bahwa dia akan mengumumkannya malam ini? Dia tidak bisa tahu. Lebih tepatnya, dia tidak bisa mengerti kenapa Martin memutuskan untuk tidak mengatakannya sekarang saja. Anderson, yang berada di sebelahnya, menggelengkan kepala.
“Jangan protes seperti anak kecil. Mereka akan menyelesaikannya karena mereka sudah punya rencana. Kenapa sih, apa menurutmu mereka tidak akan menceritakan pada kita hanya untuk bercanda dengan kita?”
“…Aku tidak bertanya padamu.” jawab Kaya dengan sedikit membentak.
Martin menyeringai. Sama seperti ekspektasi semua orang, Jo Minjoon, sebagai penghubung komunikasi di antara mereka, sudah tidak ada, mereka berdua memulai pertengkaran seperti anjing dan kucing.
“Istirahatlah. Aku tidak menyarankan kau jadi lelah secara mental karena bertengkar yang tidak ada artinya.”
Mendengar kata-kata Martin, Kaya dan Anderson saling berpandangan dengan tidak puas dan berjalan menaiki tangga menuju kamar mereka masing-masing. Kaya mengunci pintu lalu duduk di kasur sembari memeluk lututnya. Dia kesal karena dia tidak bisa melakukan apapun saat ini. Keputusasaan kah? Mungkin mengekspresikan itu dengan kelesuan lebih tepat. Dia lebih suka menjalani misi saat ini.
“……..Chloe, Minjoon, Marco, dan ah….. Siapa lagi ya?”
Ingatannya tentang nama-nama rekannya sudah kabur. Sebenarnya, mereka tidak akrab, melihat keadaan itu, itu tidak aneh. Tetapi ketiga orang itu adalah temannya. Dia ingin bertemu mereka sebanyak dia ingin bertemu keluarganya.
Kaya mengeluarkan ponselnya. Saat dia melihat daftar nama yang hanya sedikit di ponselnya, matanya berhenti pada nama Jo Minjoon. Setelah pertengkaran mereka hari itu, obrolan tidak jelas yang tidak bisa dianggap sebagai pertengkaran, hubungan di antara mereka berdua menjadi canggung. Bukannya mereka sama sekali tidak saling menghubungi satu sama lain, tetapi sering kali timbul keheningan yang kaku tanpa bisa mengatakan apapun lalu percakapan mereka berakhir begitu saja.
Oleh karena itu, nama yang dia tekan pada akhirnya adalah Chloe. Dia pikir bahwa nada dering terdengar cukup lama, tetapi tidak lama kemudian terdengar suara ‘tut’.
“Chloe………?” tanya Kaya spontan.
[ Haa… haa…..Iya, katakan. Huph………]
“Apa kau sedang berolahraga lagi?”
[ Tidak, Aku tidak sedang berolahraga……. Hmmp, aku sedang pergi ke suatu tempat, tetapi mobilnya berhenti, mmm, di atas bukit… Aku sedang berjalan sebentar saat ini. ]
“……Apa sebaiknya aku menelponmu nanti saja?”
[ Tidak, tak apa. Aku akan segera sampai. Aku hampir sampai. ]
Chloe mengatakan itu, tetapi Kaya tidak menjawab apapun. Karena nafas Chloe terdengar pendek-pendek. Berapa lama lagi Kaya harus mendengar nafasnya? Chloe perlahan menghirup nafas kemudian mengeluarkannya melalui mulut.
[ Tetapi untuk apa kau menelponku? ]
“Aku bosan dan aku merasa sesak. Hanya bersama dengan Anderson membuatku stres. Tetapi menelpon Minjoon…”
Kaya berhenti sejenak. Dia hanya menggaruk-garuk jari-jarinya dan mengubah topik.
“Omong-omong, itulah kenapa aku menelponmu. Tetapi kau pergi kemana? Katamu ke bukit, apa kau sedang tamasya?”
[ Hm, mirip sih. ]
“Enaknya. Aku juga ingin bepergian. Memikirkan soal itu, aku tidak pernah bepergian sekalipun dalam hidupku.”
[ Apa kau bilang? Kau pernah bepergian dengan truk makanan, dan juga pergi ke asrama Grand Chef saat ini. ]
“Itu benar juga……tetapi omong-omong, itu tidak menyenangkan saat ini. Bepergian hanya dengan Anderson. Itu menyeramkan.”
Chloe menjawab dengan tertawa canggung. Dia bukan tipe orang yang membicarakan orang lain di belakangnya. Kaya menghela nafas.
“Jadi kau pergi ke mana? Kalau kau bilang naik bukit, sepertinya kau ke daerah barat ya?”
[ Ke depan pintumu. ]
“Hah? Apa?”
[ Aku datang ke depan pintumu. ]
Pada saat itu, terdengar suara ketukan pintu. Tok tok tok. Kaya melongo melihat ke arah pintu.
[ Paket! ] canda Chloe.
–
Dimulai dengan Chloe, lalu semua peserta yang tereliminasi berdatangan satu per satu…Joanne, Ivanna, Hugo, Olivia, dan Sasha menunjukkan diri mereka. Mereka semua berkumpul di lobi lantai 4 seperti biasa. Kaya berdiam diri di sebelah Chloe dan memaksakan diri untuk tersenyum. Dia merasa senang, dia bahkan tidak terpikir tentang misi sama sekali.
“Ini terasa menyenangkan.”kata Kaya singkat.
Meski dia jujur dalam mengatakan hal yang buruk tetapi dia juga jujur terhadap hal yang baik. Jadi, karena Kaya yang mengatakannya, ada semacam beban pada kata-kata itu.
“Setidaknya masih ada 6 hari menjelang final dan kita dikumpulkan seperti ini…apa kalian juga memikirkan hal yang sama denganku?” tanya Anderson.
“Entahlah. Bahkan kami tidak mendengar detailnya tetapi tebakanku sama dengan yang kau pikirkan.” jawab Hugo. Sekarang, Hugo memakai kacamata.
“Hugo, apa kau memakai kaca mata minus?” tanya Ivanna dengan hati-hati, seolah-olah itu mengganggunya.
Hugo menempelkan jarinya di sisi dalam kaca matanya alih-alih menjawab lalu dia menyeringai. Melihat tangannya yang lewat dengan jelas, Ivanna mengangguk seoalah-olah paham.
“Menurutku, kalian berdua kuat…jadi tidak ada yang mengecewakan. Bahkan, kalian bertahan sampai akhir.” Kata Sasha dengan nada sirik.
“Yaa, keahlianku memang bagus.”
“…Bukankah sebaiknya kau mengatakan bahwa kau beruntung?”
Mendengar komentar Sasha, Kaya hanya berdehem dengan percaya diri dan tersenyum. Mungkin, gengsinya adalah daya tariknya. Entah kapan mereka mulai terbiasa dengan Kaya tetapi satu hal yang pasti.
‘Kaya bukan anak yang nakal.’
Awalnya, mereka salah paham sekali dengan Kaya. Mulut Kaya kasar dan tingkahnya bahkan lebih kasar lagi. Namun, semakin mereka mengenal Kaya, semakin mereka tahu bahwa Kaya hanya seperti seekor landak yang menggemaskan. Dia menaikkan durinya karena dia takut tetapi jika kau menenangkannya, duri itu akan menjadi bulu yang lembut. Dia seperti landak semacam itu.
Suara langkah kaki terdengar di tangga. Mereka semua berekspektasi dengan melihat ke arah tangga. Sekarang siapa yang datang? Jawabannya segera muncul. Di ujung tangga, tampak kepala berkulit hitam yang baru dicukur. Tidak lama kemudian, saat tubuh gemuknya terlihat, semua orang tersenyum menyambutnya.
“Marco!”
Chloe dan Joanne menghampiri dan memeluk Marco. Meskipun mereka berdua menjulurkan lengan mereka, mereka tidak bisa memeluk Marco dengan benar. Saat mereka memeluk Marco, mereka menyadari sesuatu, tidak hanya satu orang yang menaiki tangga. Orang tersebut bersembunyi di balik badan besar Marco, dia adalah Jo Minjoon. Dia tersenyum canggung dan berkata.
“Apa kalian tidak akan memelukku juga?”
“Iya, iya…….”
“Aku bercanda.” kata Jo Minjoon segera setelah melihat Chloe tercengang.
Kemudian, Chloe mengulurkan tangannya.
“Sini kopermu! Tampaknya berat.”
“…Ini tas jinjing lho?”
“Kau menaiki tangga dengan membawanya? Menyeretnya saja butuh kekuatan.”
“Karena aku tidak berotot, bukan karena aku tidak punya kekuatan…Tapi ya begitulah.”
Dia memberi Chloe salah satu tasnya dan tersenyum.
“Terima kasih atas bantuanmu.”
Chloe merona dan segera berjalan menjauh. Saat Jo Minjoon mengikuti punggung Chloe, dia melihat yang lain. Saat dia membuat kontak mata dengan Kaya, Kaya memalingkan tatapannya seolah-olah dia anak kecil yang telah diam-diam mencuri permen. Hugo, yang melihat mereka berdua, tertawa mengejek dan menoleh pada Kaya.
“Sementara kita tidak di sini, suasana menjadi cukup panas yaa. Kaya, bukankah ini bahaya?”
“Diamlah.”
Mata Kaya yang berwarna hitam menegang. Dia tidak bisa menghilangkan tatapan galaknya bahkan setelah Chloe dan Minjoon kembali. Alih-alih marah terhadap mereka, dia lebih marah terhadap dirinya sendiri…yang tidak bisa melakukan apapun.
Jo Minjoon juga merasa bahwa tempat ini tidak nyaman. Chloe telah menyatakan perasaan padanya dan dia sendiri bertengkar dengan Kaya. Yang lain pun tidak buta, mereka tidak mungkin tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi. Joanne berbisik pada Anderson.
“Hei, apa terjadi sesuatu pada mereka sementara kita tidak di sini?”
“Aku tidak tahu.”
“Ah, kenapa kau tidak tahu? Kau kan terus bersama mereka.”
“Memangnya kau ingat semua yang aku lakukan saat kau ada di sini bersama denganku?”
“Tidak, memangnya kau tahu semuanya?”
“……..Tidak.”
“Sama seperti itu.”
Mendengar kata-kata Anderson, Joanne menutup mulut. Joanne manyun dan hanya mengamati Chloe. Hal yang membuatnya berhenti mengamati Chloe adalah kehadiran Robert.
“Turunlah ke dapur. Sebentar lagi, para juri juga datang.” kata Robert sambil melihat semua peserta.
“…Aku sudah tereliminasi, tetapi kenapa aku gugup lagi?” keluh Marco sambil meletakkan tangannya di dada dan menghirup nafas.
“Itu karena kau menganggap misi orang lain seperti misimu sendiri. Dengan memikirkan berdiri di depan para juri, meski datang ke sana sebagai pelanggan mereka, itu akan membuatmu merasa gugup.” kata Jo Minjoon sambil tersenyum sedikit.
“Aku sungguh berpikir seperti itu juga.”
Jika mereka pergi ke restoran Joseph dan Alan nantinya, mereka berpikir bahwa mereka sungguh tidak akan bisa makan dengan nyaman.
Mereka merasa lelah menuruni tangga. Sedangkan Jo Minjoon, dia kembali setelah 2 minggu berlalu tetapi bagi yang lain lebih dari itu. Jadi, jelas sementara memikirkan memori tentang saat masih di asrama, tak ayal lagi itu menyakitkan sudut hati mereka karena sekarang mereka di sini sebagai pendukung. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang puas menjadi pendukung. Mereka ingin menjadi bintang, menjadi tokoh utama. Siapa yang mungkin bebas dari perasaan itu, dari ambisi itu?
Dia ingat kata-kata yang dia dengar beberapa waktu yang lalu, dia lupa entah itu drama atau bacaan. PD berkata bahwa semua orang ingin menjadi tokoh utama dalam hidup mereka sendiri tetapi sebenarnya tidak ada orang yang bisa. Mereka hanya menonton hidup mereka sendiri alih-alih menjalaninya. Tokoh utama adalah orang yang paling banyak menerima cinta, jadi, tokoh utama dalam hidup mereka tidak mungkin mereka sendiri tetapi orang-orang yang mereka cintai…Kata-katanya seperti itu.
Awalnya, dia berpikir bahwa itu adalah kata-kata yang dibuat-buat agar terasa lebih romantis. Namun, dia berpikir bahwa dia mungkin paham karena memang sulit menerima itu. Dia masih ingin menjadi tokoh utama dan ingin mencintai dirinya sendiri. Itulah ambisi yang dia rasakan saat dia melihat Kaya dan Anderson berjalan.
Sulit untuk selalu berjalan di jalur yang benar. Jo Minjoon menurunkan ambisinya. Dia berusaha. Tiba-tiba, tangannya yang terkepal dengan kuat merasakan sentuhan dari kulit yang halus. Dia terkejut lalu menoleh, dia melihat Chloe yang juga terkejut dan menoleh padanya.
“Maaf.”
“Tak apa.”
Keheningan yang canggung mengalir di antara mereka berdua. Jo Minjoon bertanya dengan suara pelan.
“Apa kau merasa menyesal?”
“Apa?”
“Bahwa kau tidak bisa menjadi tokoh utama di sini.”
“Jika aku berkata jujur, kau tidak akan berkomentar apapun, kan?”
“…Apa tampaknya aku akan berkomentar sesuatu?”
Chloe mengambil nafas sejenak. Mereka semua telah menuruni tangga yang berada di dekat pintu dapur.
“Itu kursi yang tidak layak untukku. Oh, bukannya aku memandang rendah diriku, dibanding Kaya dan Anderson, waktu dan perasaan yang aku curahkan pada hasratku lebih lemah dari mereka. Aku masih harus mengakumulasikan itu sedikit lagi. Kau tahu hukum reaksi balik, kan? Kau mendorong batu, tetapi jika kau tidak punya kekuatan, kau yang akan terdorong mundur. Sama seperti ketamakan. Jika kau tidak punya keahlian dan ingin mendapatkannya tanpa rencana yang pasti…kau juga akan kehilangan apa yang kau dapat sekarang. Jadi, aku tidak mau tamak.”
“…Keren!”
“Hee, terima kasih”
Chloe tersenyum simpul. Setidaknya untuk saat ini, kecanggungan di antara mereka sirna. Pintu dapur terbuka. Peserta spontan berbaris dan memasuki dapur. Wajah para juri tersenyum menyambut mereka.
“Aku merasa senang bertemu kalian lagi seperti ini. Kalian semua pasti sangat sibuk, terima kasih sudah mau datang.” kata Emily.
“Menurutku, kalian pasti sangat penasaran apakah kalian diundang untuk kami, untuk kalian sendiri, ataukah menjadi pendukung.”
Sejujurnya, mereka tidak penasaran karena situasinya sudah jelas, terlihat dari wajah mereka. Martin menghela nafas menyayangkan itu dari samping dapur . Mereka bisa berlagak seolah penasaran.
“Pertama, aku akan mengatakannya. Kalian akan dibagi dua dan menjadi satu tim dengan Kaya atau Anderson. Kalian harus memasak resep yang didesain oleh mereka dan menyajikannya pada 50 pelanggan dan juga kami. Dan…
Alan berhenti sejenak lalu melihat Joseph. Joseph tersenyum ceria dan menaikkan suaranya.
“Dan 50 pelanggan itu adalah chef yang mewakili 50 negara bagian di Amerika. Dikenal oleh mereka sama dengan dikenal di dunia bisnis di negara ini.”
Mendengar itu, tidak hanya mata Kaya dan Anderson, tetapi mata 8 peserta yang lain berkilauan. Jika seperti yang mereka katakan, maka kata yag diucapkan PD logis. ‘Kesempatan’. Mereka tidak hanya membantu Kaya dan Anderson tetapi juga mendapat kesempatan untuk mereka. Selain diperbandingkan, bisa berkenal saja sudah hal yang menakjubkan.
“Satu minggu…tidak, lebih tepatnya tersisa 6 hari. Dalam waktu 6 hari, kalian harus menguasai dengan baik resep Kaya atau Anderson dan memuaskan para chef. Tentu, akan ada proses sebelum itu. Benar kan, Emily?”
Emily melihat kesepuluh peserta bergantian. Lalu berkata dengan suara tenang.
“Kami akan menyusun tim kalian.”
< Reuni di depan pintu (1) > Selesai