Dewa Memasak – Bagian 113: Skala pemenang (2)
Tatapan para chef tertuju pada Kaya. Kaya melihat mereka seolah-olah punya masalah.
“Kenapa Anda menatap saya seperti itu?”
“…Kau mengatakannya dengan begitu santai.”
“Tatapan Anda mengatakan banyak hal tentang saya, apa ada masalah?”
“Bagus. Aku suka ambisimu dan aku juga suka hidanganmu.” Katanya sambil menunjuk langostin. Kaya tersenyum.
“Sudah saya bilang, itu dibuat oleh chef yang paling saya kagumi.”
“Kekaguman? apa itu mungkin? Dia tereliminasi lebih dulu dari pada dirimu. Kesimpulannya, dia lebih buruk dalam memasak dari pada dirimu…Jika itu aku, aku tidak akan bisa kagum padanya.”
Mendengar kata-kata itu, mata Kaya berubah tajam.
“Alasan seorang murid kagum pada gurunya tidak selalu karena gurunya lebih baik dari pada mereka. Yang paling utama, Minjoon punya banyak bakat yang aku tidak punya. Alasan kenapa dia tereliminasi lebih dulu dari pada saya…dia hanya kurang beruntung karena dia adalah orang asing.”
“Aku tidak tahu dengan hal yang lain tetapi aku setuju dengan apa yang kau bilang bahwa mengagumi tidak selalu pada orang yang lebih baik dari dirimu. Ada guru yang meski mereka punya keahlian, mereka tidak bisa membuat kagum orang lain. Ada pula guru yang meskipun mereka tidak punya keahlian, mereka banyak dikagumi orang lain. Aku….”
Chef California melirik chef New York. Chef New York tidak mengalihkan tatapannya, dia mungkin terlihat cukup berhati-hati.
“Saya pun punya guru yang tidak kommit.”
“Hoi! Aku membawamu ke atas, bahkan saat itu kau tidak punya pengalamaan, aku membesarkanmu dengan baik…!”
“Tidak punya pengalaman? Sudah 10 tahun sejak saya mencuci piring bukannya ibu saya.”
“Jadi kau memecahkan piring seperti itu? Sebenarnya, aku sebaiknya tidak menggajimu!”
“Piring-piring itu sungguh licin…”
Chef California mulai makan pure degan ekspresi seolah-olah itu tidak adil. Chef New York mengerutkan dahi, dia tidak bisa menahannya.
Pelan-pelan Kaya meninggalkan meja. Entah kenapa dia merasa baik hari ini. Hari ini, seharusnya dia akan merasa lebih gugup lebih dari apapun, tetapi dia justru merasa damai.
Di sisi lain, Anderson tidak bisa melakukannya. Tentu, bukan brarti dia menunjukkan sisi kekurangannya. Dia memimpin dapur dengan kepala dingin lebih dari biasanya, tidak ada kecacatan dalam makanannya. Namun, ekspresi santai tidak terlihat di wajahnya. Situasi Anderson mungkin membuatnya lebih jelas. Itu adalah momen saat hidupnya ditentukan. Itu adalah tempat yang bahkan kau ingin merasa nyaman, tetapi kau tidak bisa.
Anderson melirik beberapa kali pada chef-chef di aula sembari memimpin dapur. Dia tidak melewatkan satu momen pun untuk melihat ekspresi mereka saat mengunyah makanan dan hela nafas yang keluar dari mulut mereka juga ia perhatikan. Hela nafas mereka itu bisa saja karena gumpalan di kerongkongannya ataupun kekecewaan, entahlah…Satu hal yang pasti adalah setiap kali mereka melakukan itu, jantung Anderson berdebar.
‘Jangan pikirkan tentang kompetisi. Berkonsentrasilah melayani pelanggan. Konsentrasi, Anderson.’
Namun, harapan dan kegelisahan muncul berseliweran di kepalanya. Jantungnya berdebar kencang, dia bertanya-tanya apakah keinginannya pada kompetisi sebesar ini. Saat dia berpikir tentang apa yang akan dia lakukan jika dia tereliminasi, nafasnya tersumbat seolah-olah dia sudah tereliminasi.
Ironisnya, seseorang yang menenangkan Anderson justru Kaya. Entah di mana dia meninggalkan sisi dirinya yang galak dan kasar biasanya. Saat melayani para chef, kadang-kadang dia tersenyum dengan lebut seperti Chloe. Anderson menjadi gugup melihat sisi Kaya yang seperti itu.
“Betapa menjengkelkannya.”
Meski dia menggerutu, dia tahu bahwa dia harus menirukan sikap yang menjengkelkan itu. Jika mereka harus menunjuk siapa yang lebih buruk, maka semuanya akan menunjuk dia.
Anderson menggigit bibirnya. Dia tidak bisa mundur, tidak hanya pada Kaya, tetapi pada siapapun. Namun, bukan berarti dia ingin menjadi yang terbaik karena tidak ada yang terbaik dalam hal memasak di dunia ini meski ada pula orang-orang yang lebih buruk. Dia melihat para chef senior yang tak terhitung jumlahnya di restoran yang mengusir orang tuanya. Dia tidak ingin berakhir seperti itu.
Anderson meletakkan daging lemak perut halibut panggang lalu meletakkan pasta angel hair, yang tipis seperti benang di atasnya. Halibut disulut api dengan wine putih lalu diberi sedikit perasan jeruk nipis. Aroma kental daging lemak perut dan angel hair yang didihkan dengan rosemary dan ditumis sebentar dalam minyak zaitun.
Garnishnya adalah buah peach panggang, bawang bombay panggang, dan biji-bijian. Anderson meletakkan hidangan di meja dengan wajah yang santai dan mulai menjelaskan hidangan tanpa ekspresi.
“Saya melumuri kulit halibut dengan sari jeruk nipis dan saya mengambil bagian perut halibut yang berlemak. Untuk angel hair, saya mendidihkannya bersama dengan rosemary lalu menumisnya dalam minyak zaitun. Nanti, Anda bisa merasakan teksturnya yang terkesan seperti ala Hong Kong.”
“Cocok seperti putra Amelia, dengan melihat bagaimana dia bermain secara internasional bahkan dengan satu hidangan. Hanya dengan memakan hidangan ini sendiri, aku bahkan tidak perlu bepergian ke seluruh dunia.”
“Jika kau hanya menyebut Amelia, Fabio akan kecewa. Dia mirip dengan Fabio pada bagian bahwa dia tidak secara reguler menggunakan saus brown atau saus putih dan dia menghidupkan cita rasa sayuran dan buah-buahan. Akan tetapi, kenapa orang tuamu tidak di sini? Oh, biar adil, ya? Atau karena pemiliknya bukan satu, melainkan dua? Atau tahta California telah diambil oleh Natalia?”
“…Aku di sini, bukan sebagai putra dari keluarga Rousseau, melainkan sebagai Anderson. Mari membicarakan orang tua saya setelah kompetisi berakhir.”
“Dia masih dingin seperti biasanya. Lihat. Dia jelas mirip dengan Amelia. Tidak, jika Amelia, dia tidak akan berakhir di situ? Melihat sisi itu, dia mungkin mirip dengan Fabio…”
Anderson memaksa dirinya untuk tidak menengangkan otot wajahnya. Namun, di setiap meja yang dia datangi, mata para chef berkilat dan berusaha mencari jejak-jejak kemiripan dengan Amelia dan Fabio yang ada pada dirinya. Itu membosankan. Dia datang ke sini dengan nama Anderson dengan harapan mungkin nama sebagai putra mereka akan terhapus. Namun, saat dia datang ke sini, bayangan orang tuanya justru lebih besar dan jelas.
‘…Aku pasti akan menang.’
Jika dia menang, penilaian mereka akan berubah. Dia tidak hanya menjadi putra dari sepasang chef yang terkenal, tetapi dia bisa berdiri sendiri sebagai chef. Itu semua yang Anderson inginkan. Kebanggaan Grand Chef dan 300ribu Dollar adalah yang kedua baginya. Keluar dari bayangan orang tuanya adalah tugas yang paling besar yang dia harapkan sepanjang hidupnya.
Akan tetapi, dia tidak tahu apakah alasannya itu setulus Kaya. Kaya hidup dalam kemiskinan dan entah apakah dia bisa mendapat kehidupan normal dengan benar, yang biasa orang-orang bicarakan.
Meski itu kasusnya, dia juga punya alasan. Dia pun punya keahlian. Dia tidak mau kalah. Dia berpikir bahwa dia tidak akan kalah soal keahlian dan dia juga dikenal banyak orang. Ada hal yang dia lihat hingga sekarang, dia yakin terhadap keahlian timnya. Meskipun ada beberapa perbedaan, pada akhirnya, mereka semua orang-orang yang mempunyai keahlian yang termasuk dalam 10 besar. Saat Anderson membandingkannya, tidak banyak perbedaan dengan tim Kaya, itulah yang dia pikirkan dan yakini.
Waktu berjalan sedemikian rupa. 4 jam berlalu.
Waktu makan berakhir.
–
Ruang Tunggu. Anderson membuka kancing baju bagian lehernya dan duduk di sofa seolah-olah dia kepayahan. Suara lelahnya keluar dari tenggorokannya.
“Kalian telah bekerja keras. Terima kasih.”
“Justru kau yang telah bekerja keras. Ayo semangat. Kau bisa menang.”
Anderson tersenyum sedikit. Meskipun dia tidak tahu bagaimana hasilnya nanti, dia merasa agak rileks. Mungkinkah karena dia merasa telah mencurahkan segalanya?
Kaya menyandarkan lehernya di sofa dan melihat ke langit-langitt. Lampu bersinar seperti biasa tetapi entah kenapa terlihat seperti bersinar lebih terang dari biasanya. Dia merasa pusing. Apa karena dia telah melakukan banyak hal dalam waktu singkat? Chloe memasukkan biskuit ke mulut Kaya. Kaya menoleh sambil melongo sambil mengunyah biskuit yang ada di mulutnya.
“Kau tampak seperti kurang gula. Makanlah dulu.”
“Aieuuuueoi.”
“Jangan berkata apapun sambil mengunyah.”
Chloe terkekeh lalu menekan biskuit. Kaya baru saja menelan biskuit di mulutnya lalu berkata.
“Aghhhhh……..”
Tentu suara itu terdengar lebih seperti erangan dari pada sebuah kata-kata. Betapa banyaknya dia kehilangan energi hingga dia bahkan tidak punya energi untuk menutup mulutnya kembali.
Kaya melongo dan tidak melakukan apa-apa. Dia sungguh tidak melakukan apapun. Memutar matanya, berkedip, dan bahkan dia seperti tidak bernafas. Berapa detik dia akan seperti itu? Saat Chloe menghitung 30 detik dalam hati, Kaya menghirup nafas dengan kasar.
“…Apa kau baik-baik saja?”
“Tidak sama sekali. Beruntungnya hari ini adalah hari terakhir.”
“Apa yang akan kau lakukan setelah kompetisi?”
“Entahlah. Pertama, aku akan membayar hutang orang tuaku dengan uang 300ribu Dollar itu… Lalu aku akan pindah rumah. Tapi dengan 300ribu Dollar, akan sulit mendapat rumah dengan hanya satu kamar tidur.”
“Kau bisa pergi ke daerah lain selain New York. Ada juga Georgia.”
“Aku tidak tahu apakah ibuku mau meninggalkan New York. Meski membosankan, New York adalah tempat yang kita tinggali hampir selama separuh hidup kami.”
“Lalu kenapa?” potong Anderson. Dia melihat Kaya seolah-olah itu tidak masuk akal.
“Kenapa kau berbicara seolah-olah kau sudah pasti menang?” tanya Anderson
“Kapan?”
“Saat kau mulai membicarakan 300ribu Dollar, itu berarti kau merasa menang.”
“Aku tidak tahu. Seandainya kau menang, katakanlah ‘Ah, sebenarnya pemenang sejati kompetisi ini adalah Kaya Lotus. Aku tidak hanya akan memberikan kejayaan dari kemenangan ini pada Kaya Lotus, tetapi juga hadiahnya.’“
“…Justru di masa depan, saat Alan menikah dengan Emily, lebih realistis.”
Kaya tidak menjawab. Sepertinya semua energinya terkuras habis dengan menirukan gaya bicara Anderson
“Aku bahkan tidak memasak tetapi kenapa aku selelah ini?” kata Kaya dengan suara serak, seperti seseorang yang habis menyanyi selama berjam-jam.
“Aku juga seperti itu. Ini normal.” jawab Anderson dengan suara tidak sopan.
“Aku melihat wawancara chef beberapa hari yang lalu. Orang-orang berpikir bahwa peran chef kepala mudah karena mereka tidak menggunakan wajan ataupun pisau, dan hanya perlu memeriksa hidangan. Namun, memimpin dapur menguras energi lebih dari yang kau pikirkan dan di dalam kepalamu kau harus mempertimbangkan semuanya yang berhubungan dengan dapur. Itulah kenapa kau merasa tidak nyaman… Sebenarnya, saat aku menjadi ketua tim, aku merasakan hal yang sama. Jadi, bagaimana menurutmu jika hari-hari itu seperti hari ini?” tutur Hugo.
“Kalian berdua sudah melakukan dengan baik. Kalian berkeren.” kata Jo Minjoon sambil tersenyum ceria.
Itu kenyataan. Mereka tampak bersinar saat mereka berlari menuju impian mereka. Jo Minjoon merasa hatinya menjadi hangat hanya dengan berdiri bersama-sama dengan mereka di tempat yang sama. Tentu, bukan berarti dia sudah merasa puas karena dia masih separuh langkah di belakang mereka. Namun, dia yakin bahwa dia bisa segera mengejar mereka. Tidak, dia memutuskan untuk melakukannya.
Namun, tidak perlu merasa tertekan. Jika dia punya teman yang bisa dia pertimbangkan dengan objektif, bukankah itu anugerah? Tetapi seandainya dia tidak akan bisa menyamai mereka sepanjang hidupnya, mengartikannya dalam sudut pandang yang bagus, itu akan menjadi impian mengejar mereka sepanjang hidupnya.
“Aku penasaran setengah mati apa yang para chef bicarakan saat ini.”
“Mereka akan memujiku.”
“Iya. Tetapi mereka memujiku lebih banyak.”
Meski kepayahan, Anderson dan Kaya tetap saling melotot. Jo Minjoon tersenyum kecut. Pada akhirnya, akankah hubungan mereka menjadi lembut? Mungkin, dia mendapat pemikiran bahwa mereka akan hidup seperti Rachel dan Serguei yang berteman tapi saling benci sepanjang hidup mereka. Kemudian, staf menghampiri mereka dan berteriak.
“Kedua finalis, ayo pergi ke dapur.”
“…Iya.”jawab Anderson dengan suara berat lalu berdiri.
Kaya tampak lebih kepayahan alih-alih gugup mengenai hasilnya.
“Kau pasti menang.” kata Jo Minjoon sambil menatap Kaya.
“……Aku tahu.”
Hanya sejenak, tetapi suara Kaya terbenam. Namun, meski hanya sejenak, tidak lama kemudian, Kaya berdiri lalu berjalan. Saat dasar sepatu Kaya menapak di lantai, Jo Minjoon secara tak sadar mengulurkan kakinya ke depan, di retakan di depan kakinya.
Namun, saat dia mengulurkan kakinya sembari duduk, ujung kakinya gemetar di ujung lantai keramik berbentuk kotak. Jika dia tidak berdiri, dia tidak akan bisa melangkah. Akan tetapi, sekarang ini, bukan waktunya dia ataupun Chloe untuk berdiri. Hanya yang diakui yang berdiri sekarang, yaitu Anderson dan Kaya. Hanya mereka berdua yang melangkah pergi. Tentu, salah satu dari mereka akan berakhir berjalan lebih jauh dari yang lain.
‘Aku juga harus berdiri.’
Jo Minjoon mengepalkan tinjunya. Badannya terasa gatal. Pada saat itu, Chloe memegang tangan Jo Minjoon yang terkepal. Jo Minjoon menoleh perlahan. Seketika itu dia bertanya-tanya hendak melepaskan tangannya dari tangan Chloe, tetapi melihat senyum Chloe, dia tidak bisa melakukannya
Alasan Chloe memegang kepalan tangan Jo Minjoon adalah semata-mata karena pertimbangan. Karena kelembutan Chloe yang seperti biasanya. melepaskan tangannya sama halnya dengan melepaskan pertimbangan dan kelembutan Chloe. Entah dengan orang lain, tetapi Jo Minjoon tidak bisa melakukanya. Dia bukan orang yang bisa melakukannya.
“Ini bukan akhir.” kata Chloe.
Mendengar kata-kata itu, sensasi tercekik yang tak terduga meluruh secara instan. Jo Minjoon tersenyum seolah-olah dia tidak bisa menahannya. Dia membuka kepalan tangannya. Chloe melepaskan tangan Jo Minjoon.
“Benar. Ini hanyalah permulaan.” kata Jo Minjoon.
< Skala pemenang (2) > Selesai