Dewa Memasak – Bagian 114: Skala pemenang (3)
“Ini sudah ketiga kalinya tetapi tetap tidak bisa terbiasa dengan momen ini.”omel Ala..
“Ini bisa dipahami karena tidak ada momen yang lebih membuatmu gugup dari momen pembacaan hasil, dan bukan hasil kita sendiri, yang sedang kubicarakan.”jawab Joseph pelan.
Pengambilan suara para chef berakhir. Apa yang tersisa sekarang hanyalah mengumumkannya. Salah satu di antara mereka akan merasakan surga dunia dan bagi yang lain hanyalah rasa patah harapan yang begitu dalam karena dia hampir dekat dengan surga.
‘Akan bagus jika mereka bisa mengatasinya dengan baik.’
Meskipun tata lampu bersinar cukup terang, meja masak dan dinding yang berwarna hitam terkesan begitu gelap. Namun, 50 chef yang memakai seragam putih lah yang membuat momen ini begitu sakral dan khidmat.
Pintu terbuka. Melalui pintu dapur yang besar, yang membuatmu berpikir gajah pun bisa masuk melewatiya, tampak Kaya dan Anderson yang terbelalak. Dengan 50 chef di belakangnya, Joseph berkata,
“Kaya! Anderson! Sebelum mengumumkan hasilnya, aku akan memberi selamat pada kalian sejenak. Bukan karena kalian telah memanjat begitu jauh hingga sampai di sini, melainkan karena tidak ada satu orang pun dari 50 chef dibelakangku yang mengatakan hidangan kalian buruk.”
“Ditambah lagi, bukan karena temperamen chef yang datang ke sini baik. Karena sejauh yang aku tahu, dari sekian orang yang buruk, mereka yang lebih buruk dari pada tahu yang busuk datang ke sini.”
Mendengar kata-kata Alan, beberapa chef melotot padanya dengan tatapan galak. Alan menyeringai lalu lanjut berkata.
“Kameramen, jika kau penasaran siapa para tahu busuk itu, kau bisa memasukkan para chef yang melotot padaku di layar.”
“…Yaa, siapapun para tahu busuk itu, poinnya adalah ini. Kalian bisa memuaskan para chef yang memiliki standar yang tinggi. Bahkan ada yang bilang ‘Ini adalah menu yang bisa disajikan di restoranku.’. Jika kalian tahu apa yang disandang chef itu, kau akan tahu betapa sulitnya mereka mengatakan ini.”
“Jadi.”kata Emily dengan suara yang bercampur antara gembira dan tidak sabar.
“Pada saat ini, kami merasa senang meski kami harus mengeliminasi satu orang karena aku yakin bahwa meski kalian tereliminasi hari ini, kalian tidak tereliminasi dalam dunia memasak.”
“Iya, aku yakin bahwa kalian akan menjadi chef yang bagus. Kalian akan menjalankan restoran dengan hidangan yang tidak lebih buruk dibanding hidangan buatan para chef yang datang ke sini.”
Kaya dan Anderson hanya melihat ke depan tanpa berkata apa-apa. Mereka berdua adalah orang yang selalu berselisih dan bertengkar, tetapi ironisnya mereka berpikir hal yang sama saat ini. ‘Aku tdak mau kalah.’ Orang bilang bahwa kau harus melihat hal dari sudut pandang yang jauh, tetapi mereka setidaknya ingin melangkah yang paling jauh.
Kemenangan Grand Chef. Ini adalah jalan pintas di mana chef normal bisa mengatasinya dengan instan. Saat mereka diakui oleh chef-chef di seluruh dunia, secara instan mereka akan mendapat kekuatan yang besar. Tentu, hal itu kembali pada mereka sendiri apakah cara instan itu membuat chef bintang bisa membuat perkembangan atau tidak.
Mereka berdua punya alasan masing-masing, kenapa mereka tidak bisa memberikan kemenangan ini pada yang lain. Seperti halnya Columbus yang menemukan sebuah benua yang baru dan Amundsen (Catatan PR: https://en.wikipedia.org/wiki/Roald_Amundsen) bertengkar dan sampai di kutub selatan, mereka juga ingin memanen hasil dari kompetisi ini. Mereka ingin mengisi mulut mereka dengan jus yang lebih mans dari pada madu dan mereka akan mengatakan bahwa itu manis. Itu adalah cita rasa yang indah yang pernah mereka coba dalam hidup mereka.
Namun, hanya satu orang yang bisa merasakan cita rasa itu. Keputusan 52 chef dan 1 epicurean akan menobatkan seseorang raja atau seorang ratu. Kaya menggigit bibirnya. Pada saat itu, dia memikirkan keluarganya dan rumahnya, serta apartemen yang bisa digunakan untuk tiga orang. Ingatan tentang mengobrak-abrik lemari pakaian mencari-cari pakaian yang pantas sambil was was dengan tatapan orang lain dan yang mereka bicarakan tentangnya di sekolah dan ibunya yang tak berdaya yang tidak bisa melakukan apapun untuk putrinya. Dia tidak ingin hidup dengan situasi seperti itu lagi. Tentu, meskipun dia tidak menang di kompetisi ini, banyak hal dalam hidupnya akan berubah. Banyak restoran yang ingin merekrutnya dan jika beruntung dia akan mendapat sponsor. Akan tetapi, dia ingin menjauh dari lumpur ini secepat mungkin. Dia tidak ingin sesuatu membelit kakinya.
Kaya melipat jari kelingking di tangan kanannya. Saat dia membuat janji dengan Jo Minjoon, dia jelas mendapatkannya tetapi dia tidak bisa mengatakannya. Padahal jelas bahwa dia mendapat sesuatu, sesuatu yang membuatnya berubah. Dia tidak tahu kenapa dia merasa semua hal itu terisi ke dalam jari kelingkingnya.
Joseph menaikkan suaranya.
“Pemenangnya mendapat 34 suara dari 54 suara yang masuk. Tidak telak, tapi itu jelas sebuah kemenangan.”
“Kalian bisa menambah banyak kualifikasi. Jika kami berbicara tentang hidangan seperti apa itu dan chef seperti apa, kita bisa membuat 30 menit siaran yang bernilai untuk materi siaran. Tetapi kita tidak mau karena kalian sendiri punya banyak hal bernilai.
Pandangan mereka tertuju pada Kaya.
“Kaya, Barangkali jika kau beruntung menjadi tokoh utama, apa yang akan kau lakukan?”
“…Aku akan berteriak.”
“Dan setelah itu?”
Kaya tampak berpikir sebentar. Tidak lama kemudian, dia menjawab lagi dengan keyakinan di wajahnya.
“Aku akan berteriak semakin keras.”
Joseph tersenyum ceria.
“…Maka lakukanlah. Silakan bereteriak. Pemenang piala Grand Chef 2010 adalah kau!”
Setelah beberapa saat, para chef dan staf, semuanya menutup telinga mereka.
–
Final berakhir dan pada saat yang sama, pesta dimulai. Dalam bahasa Korea, itu disebut ‘pesta inaugurasi’. Pesta itu juga sebagai ajang utuk memberi selamat atas kemenangan Kaya.
Jo Minjoon memakai tuksedo yang diberikan PD dan melihat ke cermin. Apa yang terpantul di cermin adalah dirinya sendiri, tetapi apa yang sedang dia lihat adalah apa yang ada di layar TV di ruang tunggu. Di dalam layar TV, hasil kompetisi diumumkan dan foto Kaya yang berteriak sangat jelas.
Bagaimana mungkin? Itu jelas bukan pencapaiannya. Akan tetapi, dia merasa bahwa dia telah menyelesaikan sesuatu. Seseorang yang melangkahkan kaki memang Kaya, tetapi dia merasa dia juga selevel lebih maju.
‘…Apa ini kepuasan tidak langsung?’
Jo Minjoon menyeringai dan keluar kamar. Ada orang di aula, yaitu Anderson. Dengan setelan hitam, dia seolah-olah akan pergi ke pemakaman. Dia sedang bersandar di dinding sembari memasukkan tangannya di saku dan melamun menatap sepatunya. Jo Minjoon berjalan ke depan sepatu Anderson. Anderson perlahan mengangkat wajahnya.
“Oh, kau sudah datang.”
“Kau pasti sedang memikirkan banyak hal.”
“Tidak, aku justru tidak memikirkan apapun.”
Mendengar kata-kata Anderson, Jo Minjoon berdiri di sebelahnya dan membuat postur yang sama lalu berkata dengan suara pelan.
“Kaya tetap lebih baik.”
“Kau mengejekku?”
“Jika pemenangnya Kaya yang pertama kali kita lihat, itu akan sulit diterima karena dia si pembuat masalah. Namun, dia berkembang dan terjun ke lingkaran chef elit, Anderson.”
Anderson memandang Jo Minjoon dengan wajah aneh. Jo Minjoon berbicara seolah-olah itu mengabaikannya.
“Kita juga berkembang. Dalam maraton, jika kau melihatnya sampai akhir kau tidak akan tahu siapa yang akan sampai finis.”
“Bukankah Kaya sudah sampai finis?”
“Yaa, kita pun juga bisa sampai finis. Oh, benar. Aku tidak tahu kenapa aku terus mengatakan hal ini saat aku bersamamu. Maaf jika aku membuatmu merasa tercekik.”
“…Aku tidak bisa lebih tercekik lagi dari pada sekarang. Pada akhirnya, realitanya sederhana. Aku kalah dari si preman New York yang menjengkelkan itu.”
“Kenapa kau menyebutnya preman? Dia hanya sedikit kasar.”
“Orang-orang yang kelakuannya kasar biasanya disebut preman.”
Jo Minjoon tidak punya sesuatu untuk dikatakan kembali. Memikirkan itu, dia merasa tidak perlu bertingkah seperti pengacara Kaya. Jo Minjoon menegakkan badannya, tidak lagi bersandar ke dinding.
“Apa kau berencana terus bersedih di sini? Lebih baik kau datang ke pesta. Setidaknya minumlah alkohol yang kau sukai di sana.”
“…Benar. Ayo pergi.”
Kebanyakan chef yang diundang sebagai juri spesial masih ada di pesta. Dengan melihat semua orang berdandan tampan dan cantik dan mereka semua tertawa, kau bertanya-tanya apakah mereka orang yang sama dengan orang yang tadi mengevaluasi hidangan mereka dengan sikap yang pemilih. Saat Anderson dan Jo Minjoon masuk, seketika itu beberapa chef menghampiri mereka.
“Anderson! Makananmu sungguh lezat. Namun, aku memilih Kaya..”
“…Kalau begitu jangan bilang kalau itu lezat.”
“Tidak. Makananmu memang lezat. Tetapi kurang lezat dibanding makanan Kaya. Lebih tepatnya, apa sebaiknya aku sebut membosankan? Kau bahkan sungguh… Kau sungguh mirip dengan Fabio pada poin itu…”
“Kumohon, bisakah kau berhenti mengatakan aku mirip seseorang? Dan bukankah kau punya pelanggan di Washington? Jangan bersantai di sini dan kembalilah bekerja.”
“Haha, lalu untuk apa aku mengangkat murid? Aku mengangkat seorang murid agar bisa meninggalkan restoran padanya pada saat-saat seperti ini.”
Mendengar jawaban yang natural itu, Anderson menghela nafas seolah-olah hal itu membuatnya lelah. Dia jelas mendengar bahwa itu pesta untuk meredakan stres yang terkumpul hingga sekarang, tetapi entah kenapa kepalanya terasa lebih sakit. Pria tua yang berada di sebelah chef dari Washington melirik Jo Minjoon, dia berdehem lalu berkata,
“Aku Brian Harper. Aku menjalankan ‘Big Table’ di New York. Apa kau… orang yang punya lidah sensitif sialan itu?”
Meskipun itu sedikit mencengangkan bahwa Brian mengatakan kata kasar itu dengan santai seolah-olah itu wajar, Jo Minjoon tidak menunjukkan ekspresinya. Meskipun orang-orang mengenalinya atau tidak, ada poin umum yang para chef dan seniman buat dalam pekerjaan mereka. Ada banyak yang mempunyai temperamen buruk seperti seniman. Jo Minjoon membalas dengan suara yang tenang.
“Iya. Aku punya sedikit bakat dalam menebak bahan-bahan dan resep.”
“Aku menyimak siaran Grand Chef. Tetapi kau pergi ke East Rabbit Garden saat kau di New York, kan? Lebih baik menyantap makananku alih-alih makanan si brengsek Jeimy.”
“Oh, aku juga ingin pergi ke Big Table tetapi sulit sekali membuat reservasi. Mereka bilang aku harus membuat reservasi 6 bulan sebelumnya.”
“Jika itu alasannya, aku bisa mengerti. Ya, kita punya reservasi yang lebih banyak dari restoran Jeimy karena makanan kami lebih enak dan lebih populer!”
Brian, yang begitu bangga dengan restorannya, yang menaikkan suaranya saat mengatakan sesuatu dengan kata-kata yang kasar, di mata Jo Minjoon justru tampak seperti seorang ayah yang bangga terhadap putranya atau cucunya. Dia memahami Brian, dan justru merasa terkesan. Jo Minjoon tersenyum dengan lembut.
“Aku pasti akan pergi ke sana.”
“Apa kau berencana akan mencuri resepku?”
“Aku akan belajar cukup banyak.”
Mendengar jawaban alami Jo Minjoon, Brian menajamkan tatapannya tetapi tidak lama kemudian, ujung mulutnya menyungging seperti setan.
“Bagus. Aku juga penasaran apakah kau bisa mencuri resepku atau tidak. Jika kau datang ke New York suatu hari nanti, hubungi aku. Jika kami tidak punya meja kosong, aku akan menyeret bangku di jalanan agar kau bisa duduk.”
“Kalau begitu, saya akan merasa terhormat.”
“Haha, mungkin karena kau datang dari Asia, pemuda sepertimu sungguh tampak sopan. Natalia, Natalia! Kemarilah dan belajarlah sedikit. Dia bahkan bukan muridku tetapi dia sesopan ini.”
“Ah, teman adalah orang yang tidak akan pernah dipukul spatula oleh Guru! Meski begitu, aku adalah orang yang memperlakukanmu paling baik, bukan?”
“Kapan aku memukulmu dengan spatula…”
Brian menjawab dengan suara keras tetapi perlahan dia mulai memelankan suaranya karena saat dia memikirkannya, dia merasa bahwa hal itu memang pernah terjadi. Saat Jo Minjoon berusaha menahan tawa, dia mengalihkan pandangannya. Lalu, matanya bergetar seolah-olah dia tercengang sejenak. Dia melihat gaun. Gaun yang biasa. Tidak, lebih tepatnya gaun itu sendiri yang tampak biasa. Namun, orang yang memakai gaun itu tampak tidak biasa.
Mereka adalah Kaya dan Chloe. Meskipun di sebelah mereka ada Joanne dan Ivanna, orang yang tertangkap di matanya hanyalah mereka berdua. Sederhanya karena mereka berdua adalah teman akrabnya dan bukan karena mereka menjadi malaikat yang cantik hanya karena memakai sebuah gaun.
Suasananya menjadi sungguh berbeda. Kaya terlihat seperti Chloe dan Chloe terlihat seperti Kaya. Pertama, pakaian mereka juga mirip. Chloe memakai gaun berwarna hitam yang memperlihatkan bahunya, dan riasan matanya tebal seperti Kaya dan rambutnya tergerai. Dia memakai anting-anting batu rubi dan kalung. Dengan penampilan glamor itu, sulit sekali menemukan citra wanita pedesaan biasanya pada dirinya.
Di sisi lain, Kaya menggunakan gaun terusan berwarna krem terang dengan bagian dada terbuka dan dia bahkan tidak menggunakan riasan sama sekali. Bukan karena dia berpakaian seperti orang biasa, melainkan karena kesan kasar Kaya biasanya berkurang banyak. Jo Minjoon menyeringai lalu bertanya,
“Apa kalian bertukar konsep?”
“Kaya adalah pemenang. Sebenarnya, pemenang harus tampak bermartabat alih-alih kasar dan pesaingnya yang justru harus tampak kasar.” jawab Chloe sambil menyeringai.
Kaya menaikkan bagian bajunya yang memperlihatkan dadanya seolah-olah dia malu, lalu bertanya dengan suara tidak nyaman.
“Apa terlihat aneh?”
“Tidak, hanya tidak familier tapi kau terlihat cantik. Aku suka.”
Jo Minjoon membalas dengan terburu-buru. Seingat dia, ini pertama kalinya Kaya berpakaian sefeminin ini, bahkan saat dia mengingat-ingat kenangan yang sebenarnya pun seperti itu. Ini momen pertama bagi Jo Minjoon melihat Kaya seperti ini karena di internet, tidak pernah muncul Kaya yang berpenampilan feminin.
“Ini terlalu erotis. Entah kenapa si PD brengsek memberikan ini pada Chloe.” kata Kaya malu-malu.
“Ah, kalian bertukar gaun?”
“Itu jauh lebih pas untukku.” kata Kaya sambil menunjuk gaun Chloe.
Jo Minjoon perlahan berpikir. ‘Itu tidak tampak seperti gaun itu pas sekali di badan Chloe.’
“Ini karena aku berolahraga. Jika kau berolahraga, kau bisa kurusan.” kata Chloe, tampak pipinya merona.
“Ah……Iya.”
“Kenapa kau melihatku seperti itu? Kumohon jangan merasa bersalah. Dibanding Kaya, badanku lebih kecil…Tidak, aku lebih kurus. Meski begitu, aku masih rata-rata. Ini benar.”
Chloe berkaca-kaca.
“Jangan berpaling!”
< Skala pemenang (3) > Selesai