Dewa Memasak – Bagian 115: Skala pemenang (4)
Momen mereka berempat fokus mengobrol tidak berlangsung lama. Sebelum kesedihan di wajah Chloe hilang, para chef berbondong-bondong mendekat. Ketertarikan yang mereka tunjukkan lebih besar dari yang diduga, hasilnya, mereka hanya bertukar nama dengan orang yang membuat waktu berlalu sangat cepat.
Jo Minjoon juga dibanjiri pertanyaan. Kebanyakan pertanyaan mereka berhubungan dengan indera pengecapan yang dia miliki. Karena dia tidak bisa mengatakan pada mereka tentang sistem, dia hanya tersenyum ambigu, tetapi senyumnya justru terlihat seperti sebuah keramahan karena tatapan mereka pada Jo Minjoon menjadi lebih lembut.
‘Yaa, ini bukan kesalahpahaman yang buruk.’
Melihat kelakuan para chef, Jo Minjoon bisa memastikan bahwa dampak indera pengecapan yang dia miliki sama sekali tidak kecil. Mereka semua penasaran tentangnya. Bahkan di pesta itu, beberapa chef memberikan kartu nama mereka dan mengatakan padanya untuk mampir ke restoran mereka. Tentu, mereka membuat tawaran yang mirip kepada peserta yang lain, tetapi Jo Minjoon dibanjiri undangan untuk pergi ke restoran. Terlebih dibanding Kaya yang menang, ada lebih banyak orang yang mengundangnya.
Yaa, jika kau seorang chef, jelas kau mungkin tidak tertarik tentang indera pengecapan yang mutlak karena hal itu tidak pernah sekalipun ada dalam sejarah, yang berarti bahwa tidak ada chef dengan indera pengecapan yang mutlak. Ada sedikit chef yang tidak mengulurkan tangan mereka pada pengalaman yang spesial itu, yang mungkin tidak akan terjadi lagi.
Sampai-sampai ada seorang chef yang menjalankan restoran dengan resep yang aneh sebagai item utamanya mengundang Jo Minjoon.
“Tidak masalah kau mencuri resepku. Aku justru akan suka jika kau membayar makanan dan resepku dengan perasaanmu.”
Sebenarnya, di samping kesan sebenarnya terhadap cita rasa, dia justru tidak bisa menebak ekspresi standar tinggi apa yang mereka inginkan. Dia undur diri dalam obrolan dan pergi ke pojok ruangan. Setelah itu, dia melihat Marco sedang makan crepe yang berisi pisang, coklat, dan selai kacang di dalamnya. Dia menelan crepe yang ada di mulutnya.
“Jika kau ingin makan, pergilah ke meja kedua. Ada lebih banyak makanan di sana.”
“…Tidak, aku tidak mau makan.”
“Kau ingin duduk?”
Jo Minjoon menjatuhkan diri di kursi alih-alih menjawab. Jo Minjoon diam sejenak lalu berkata.
“Ini sudah selesai.”
“Sebenarnya, kita sudah selesai beberapa waktu yang lalu.”
“…Meski begitu, aku baru benar-benar merasakannya sekarang.”
“Mmm…aku pikir aku baru paham yang kau bicarakan.”
Marco mengangguk dan kali ini dia mulai minum minuman kelapa campur pisang. Jo Minjoon berkata dengan suara yang terdengar lelah.
“Tampaknya kau semakin gemuk dari sebelumnya.”
“Iya…mungkin karena stres yang terakumulasi. Aku jadi makan sedikit lebih banyak.”
“Stres kenapa? Kau sudah mendapat pekerjaan, bukankah seharusnya kau bisa bernafas lega sekarang?”
“Itu tidak benar. Saat kau menyelesaikan suatu masalah, masalah yang lain akan datang.”
“…Itu benar.” kata Jo Minjoon cemas.
Hidup memang selalu diikuti masalah yang kecil maupun besar bergantian.
“Meski begitu, jangan meredakan stres dengan makan. Warna mukamu tidak terlihat baik. Apa kau sudah periksa ke dokter?”
“…Mm, setelah aku mulai bekerja aku akan memeriksakan diri.”
“Mari kita saling berjumpa selamanya dalam keadaan sehat.”
Mendengar kata-kata Jo Minjoon, Marco tertawa malu-malu dan mengangguk.
“Terima kasih. telah mengkhawatirkan aku.”
“Kita kan teman.”
“Mm. Benar.”
Karena hal yang mereka perbincangkan begitu manis, mereka tidak bisa saling berpandangan seolah-olah mereka tersipu malu. Jo Minjoon melihat Kaya. Gaun yang anggun dan riasan yang natural. Mereka bilang bahwa pakaian adalah sayap. Saat Kaya menaikkan sudut mulutnya seperti biasanya, alih-alih senang, itu justru lebih terasa seperti perasaan provokatif.
Sudut hati Jo Minjoon terasa hangat sekaligus agak kecewa. Dia seharusnya bahagia dengan kemenangan Kaya, tetapi sejujurnya dia tidak bisa bahagia saat ada jarak dalam hubungan mereka. Jo Minjoon memeriksa statusnya, indera pengecap, dan keahlian yang dia punya pada sistem. Dengan mengkombinasikan semuanya, sampai di mana dia bisa memanjat? Apa dia akan bisa melangkah hingga selevel dengan Kaya?
‘…Ini bukan soal kemungkinan.’
Pada akhirnya, mencoba atau tidak, itulah masalahnya. Jo Minjoon siap untuk melakukannya. Saat wajahnya berubah karena telah menemukan solusi, Emily menghampirinya dan duduk di sebelah Jo Minjoon. Dia mulai berbicara, pipinya bersemu merah karena dia agak mabuk.
“Minjoon, kita akan segera bepergian?”
“Iya.”
“Aku katakan lagi, kau benar dalam menerima tawaran itu, Minjoon. Itu jelas akan menjadi momen yang bagus.”
“………Bepergian?” kata Marco tercengang heran. Dia tampaknya hendak membicarakan sesuatu.
Karena dia terkejut, suaranya terdengar keras. Begitu keras hingga musik country dan suara tawa orang-orang tenggelam di balik suara Marco. Seketika itu, tatapan orang-orang tertuju pada Emily dan Jo Minjoon, dan mereka berdua saling berpandangan.
“…….Haa.”
Meski sebelum desahan menghilang, badai datang.
–
“Maaf.”
Marco berkata dengan suara sedih. Karena kesalahpahaman Marco yang tiba-tiba, Jo Minjoon dan Emily terekspos dengan pertanyaan dan ucapan selamat. Mereka sudah menjelaskan tetapi ada beberapa orang yang yakin bahwa Emily dan Jo Minjoon berkencan.
“Itu tidak benar, kan?” tanya Kaya sambil melirik Jo Minjoon.
“…Bagaimana mungkin kau menanyakan itu padaku?”
“Tidak, tapi itu…mmm…tidak-tidak.”
Kaya tampaknya hendak mengatakan sesuatu tetapi membatalkannya. Chloe menggulung rambutnya dengan jarinya lalu berkata.
“Enaknya. Kau bahkan akan bepergian.”
“Masalahnya adalah ke mana kami pergi. Jika kita pergi ke suatu tempat seperti Afrika, aku akan mati kepanasan.”
“Meski begitu, kau hanya perlu menikmati sensasi panas itu.”
“…Kau tidak pernah hidup di tempat panas ya?”
Chloe tersenyum simpul alih-alih menjawab.
Pesta berakhir. Lebih tepatnya, mereka kabur dari pesta karena di pesta masih ada orang yang menikmati alkohol dan mengobrol. Akan tetapi, mereka ada di lobi di lantai 4 seperti biasa. Mereka perlu waktu untuk mereka sendiri di saat-saat terakhir. Tentu, mereka mungkin akan bertemu lagi suatu saat tetapi tempat ini dan momen ini mempunyai arti bagi mereka.
Tidak semua peserta, hanya mereka berlima, yaitu Marco, Anderson, Chloe, Jo Minjoon, dan Kaya. Sisanya masih ada di pesta. Sejenak, mereka terdiam. Mereka bisa merasakan keheningan dan bernafas dengan tenang. Waktu perpisahan yang akan segera datang membayangi mereka. Kaya melempar batu ke dalam air yang tenang.
“Akankah kita bisa berkumpul lagi di sini?”
“Aku tidak tahu apakah kita bisa melakukannya di sini, tetapi kita bisa berkumpul lagi. Ini bukan tempat yang bisa kita datangi semau kita. Justru pertanyaannya, akankah nanti kita sulit untuk berkumpul lagi? Meski sulit, mari kita berkumpul… Seharusnya itu mudah bagi 3 atau 4 orang untuk berkumpul?”
“Jika kau punya perasaan, apa yang akan menjadi masalah?”
Pada akhirnya, masalahnya nanti adalah masih besarkah emosi dari momen ini. Mereka ingin emosi mereka tetap terjaga. Akan tetapi, tidak ada perasaan yang tidak memudar.
Chloe menatap Kaya dengan berkaca-kaca.
“Kaya, karena kau nanti terkenal, kau tetap mau bermain dengan kami, kan?”
“Dia akan lupa dengan kita.”
Anderson berkata dengan suara ketus. Kaya melotot pada Anderson sejenak lalu menggelengkan kepala.
“Tentu, aku mau bermain dengan kalian. Di mana lagi aku menemukan teman bermain seperti kalian? Meski aku menemukannya, kalianlah yang terbaik. Ini hubungan pertamaku yang tidak berakhir buruk. …Yaa, meski kita belum tahu akhirnya. Tetapi…”
Suara Kaya terputus. Dia terisak. Kaya menutup mulutnya tetapi mulutnya hendak mengatakan sesuatu, pada akhirnya, dia menundukkan kepala. Jari Kaya yang panjang dan kurus menutup mulutnya lalu menutupi matanya.
Di balik jemarinya yang gemetar, hidungnya yang merah mulai mendengus. Di antara bibirnya yang berwarna lebih cerah dari pada hidungnya, gigi depannya tampak, tidak lama kemudian semua giginya terlihat. Tidak, perasaannya saat itu jelas terlihat.
“…Aku selalu mencari seseorang yang menyayangiku.”
Kaya baru saja mengutarakan satu kalimat dengan suara gemetar. Kemudian dia mengambil nafas lalu mengeluarkannya lagi.
Tangannya tidak lagi menutupi matanya. Alisnya turun dan dahinya berkerut. Bayangan yang tampak di sekitar matanya terlihat seperti riasan gotik. Kaya menunduk, berbicara, dan mengaku.
“Kalian menyelamatkan aku. Selain memenangkan kompetisi, aku merasa bahagia karena telah menerima cinta dari orang-orang selain keluargaku. Dan…aku ta-takut.”
“…Apa yang kau takutkan?” tanya Jo Minjoon dengan suara pelan.
Meskipun yang lain tidak tahu tetapi Chloe tahu. Meski tidak terdengar seperti Kaya tetapi suara Jo Minjoon juga terdengar lirih.
Kaya yang tadinya melihat ke lantai, sekarang menoleh pada Jo Minjoon. Kaya adalah gadis lemah yang tidak punya siapapun untuk bergantung. Kesedihan gadis lemah itu menyisakan luka, tampak di matanya yang bergetar. Jo Minjoon menatap Kaya dengan tatapan yang sama.
“Aku takut menjadi sendiri lagi. Tidak. Aku sungguh mengklaim diriku orang yang penyendiri. Terima kasih karena telah mematahkan pemikiranku. Meskipun aku terkenal nanti, kapan aku akan sendirian? Kalian memberiku harapan. Itu sungguh….”
Tangisannya menelan kata-katanya. Chloe memeluk Kaya tanpa berkata apa-apa. Marco mengambil sapu tangan dari sakunya, lalu mengusap air mata Kaya, dan Anderson masih duduk diam tanpa berkata apa-apa.
Jo Minjoon pun tidak bisa mengatakan apa-apa. Jantungnya terasa seperti melembung layaknya balon. Meski menenangkan jantungnya terasa sulit, pada akhirnya, itu pengakuan yang baik walaupun kebanyakan dari apa yang dia utarakan adalah tentang lukanya. Kesimpulannya, dia telah sembuh dari lukanya. Hanya dengan melihat bekas luka itu, tidak, hanya dengan mendengarkan hal-hal yang berhubungan dengan luka itu, membuat Jo Minjoon ingin berteriak dan dia merasa bahwa dia ingin mengeluarkan sesuatu yang menggantung di hatinya.
Tokoh utama dalam pembicaraan ini adalah Kaya. Melihat Kaya saat ini, apa yang dia harus lakukan adalah memberi semangat. Bagaimana mungkin? Pada saat ini, apa yang dia ingin lakukan bukanlah memberi semangat tetapi dia ingin menyerap perasaan Kaya. Dia ingin menangis bersamanya dan memeluknya seperti yang Chloe lakukan. Tetapi bukan itu perannya. Yang paling utama, mereka tidak mempunyai hubungan yang memikirkan hal seperti itu.
‘Aku…Bagaimana aku melihat Kaya?’
Batu yang diragukan telah dilemparkan ke mata air. Permukaannya beriak dan batu tidak muncul kembali. Jo Minjoon hanya melihat sumber mata air. Namun sumber mata air itu dalam dan dia bahkan tidak bisa melihat apa yang terpantul di permukaannya.
“Minjoon”
Kaya memanggilnya. Jo Minjoon terkejut dan mengangkat wajahnya. Kaya mengusap ingusnya dengan punggung tangannya dan tersenyum setelah menangis.
“Terima kasih. Aku bisa yakin karena kau juga yakin padaku. Mulai sekarang…aku juga yakin pada diriku sendiri. Seperti aku yakin padamu.”
“Dengan mengatakan kau yakin padaku…Itu hanya bisa berlanjut jika tidak ada kebohongan. Jika kepercayaan itu berubah seiring dengan berjalannya waktu, itu adalah kepercayaan palsu. Aku…tidak memberikan kepercayaan palsu.”
“Aku tahu. Kau tulus, kepercayaanmu lebih nyata dari pada fakta bahwa bumi berotasi.”
Sementara mereka saling melontarkan kalimat yang berat, yang lain tidak bisa mengatakan apapun karena suasana yang menghalangi mereka melakukannya. Jo Minjoon merasa wajahnya panas entah kenapa dan dia memalingkan wajahnya dari tatapan Kaya.
Pemenangnya adalah Kaya, baik di masa depan maupun saat ini. Di antara beban yang skalanya semakin naik, ada beban yang ditambahkan yang tidak akan hilang, apapun yang terjadi. Itu adalah beban yang paling berharga.
Beban itu adalah…
< Skala pemenang (4) > Selesai
(Catatan PR: Kibarkan bendera~!)