Dewa Memasak – Bagian 116: Perjalanan kuliner (1)
Sara Bloom : Ah, Aku tahu suatu saat nanti akan berakhir, tetapi saat Grand Chef benar-benar berakhir rasanya hampa.
ㄴJIF VS GIF : Kapan sesi selanjutnya ya?
ㄴSara Bloom : @JIF VS GIF Untuk sekarang, jelas tidak akan dimulai tahun ini.
Roy Sherfan : Aku merasa senang istriku menang tetapi aku merasa sedih pada kekalahan saingannya yang aneh itu.
ㄴRandle Klopers : Bagiku, kaulah yang aneh.
SKELIX : Jadi, apa kesimpulannya? Akhirnya, untuk membuat Kaya besar, hanya perlu ‘dia menjadi seorang chef yang handal’?
ㄴDenizz Onenn : Memangnya akhir apa yang kau ekspektasikan dari sebuah program memasak?
ㄴTricia Peanut : @Denizz Onenn Sepertinya, dia berharap adegan ciuman yang mesra.
Rachel Catherine : Ini belum jelas sebagai program lanjutan, tetapi siaran yang akan keluar setelah Grand Chef nanti adalah tentang program ‘perjalanan mencicipi’. Apa judulnya? Perjalanan kuliner? Menurutku, begitu.
ㄴBeth Liebermann : Menambahkan itu, mereka bilang bahwa Emily Potter dan Jo Minjoon benar akan berpartisipasi dalam program itu.
ㄴRachel Catherine: @Beth Liebermann Oh, benarkah? Yang aku lihat mereka berdua sungguh tidak cocok.
ㄴBeth Liebermann: @Rachel Catherine Entah mereka cocok atau tidak, yang pasti karakter mereka jelas. Seorang jenius dengan indera pengecap yang mutlak dan seorang ahli waris berbakat. Itu akan bagus jika chef terkenal lain juga berpartisipasi. Omong-omong, kalau chef akan sibuk dengan restoran mereka, bukan?
“………Sepertinya mereka juga cukup tertarik dengan perjalanan kuliner.”
Jo Minjoon berkata dengan suara terkejut sembari membaca komentar. Perjalanan kuliner. Itu adalah judul program yang dia ikuti bersama dengan Emily. Tentu, dia tidak akan melakukannya sendirian dengan Emily, akan ada partisipan lain yang ditambahkan.
‘Barangkali, mereka sudah menentukannya.’
Martin menghindar menjawab tentang hal yang berhubungan dengan partisipan itu. Jo Minjoon tidak tahu alasannya. Apapun alasannya, tidak akan ada yang berubah. Siapapun mereka yang turut berpartisipasi, Jo Minjoon pasti tidak kenal.
“Betapa siriknya aku. Aku juga ingin pergi.”
Suara Chloe pelan, dia berbaring di sofa. Lengannya terjulur ingin meraih coklat di meja tetapi lengannya terlalu pendek untuk sampai. Jo Minjoon menjulurkan lengannya lalu meletakkan coklat di tangan Chloe. Chloe memeriksa coklat yang diberikan Jo Minjoon lalu wajahnya cemberut.
“…Kau membenciku, ya?”
“Kenapa kau mengatakan itu tiba-tiba?”
“Apa ada seseorang yang tidak membencimu tetapi memberimu cocktail rasa coklat?”
“Aku memberikannya agar kau kehilangan selera makan dan kurusan.”
Senyum jail muncul di wajah Jo Minjoon. Chloe bangun dari sofa dan setelah meletakkan cocktail coklat, dia meraih susu coklat.
“Lupakan. Aku akan berubah menjadi babi.” kata Chloe sambil menghirup nafas.
“Kalau begitu, kau juga tidak akan bisa memakai gaun itu karena gaun itu ketat di badanmu.”
“Apa? Ini hari terakhir lho kenapa kau bertingkah seperti itu?”
Chloe melotot pada Jo Minjoon dengan wajah dongkol lalu ragu-ragu. Kemudian, dia meletakkan susu coklat. Kompetisi dan pesta telah usai. Sekarang, apa yang tersisa adalah kembali ke tempat masing-masing. Chloe terus memikirkan hal ini: Apa kita akan benar-benar bisa saling bertemu? Dunia yang kita tinggal sangat berbeda, akankah kita menyeberagi jalan?
Kecemasannya mereda kembali setelah dia tersenyum. Jo Minjoon melihat camilan di meja lalu berkata
“Apa yang akan kau lakukan saat kau kembali?”
“Aku harus memikirkannya. Untuk sekarang, hal yang pasti adalah aku akan menjalankan blog memasak. Dan…Sebenarnya ada beberapa tawaran datang padaku juga. Siaran. Tentu, bukan siaran sungguhan seperti Perjalanan Kuliner yang kau ikuti, ini hanya seperti program TV singkat, resep 5 menit…”
“Apa? Mengapa tidak kau katakan sampai sekarang?”
“…Ini terlalu sedih untuk dibanggakan.” kata Chloe malu-malu.
“Kaya menang dan kau berpartisipasi dalam siaran lanjutan…Aku bertanya-tanya tentang diriku. Maaf. Kau bukan gadis yang diam-diam berbau busuk, kan?”
“Jika kau berbau busuk, aku yang tidak akan bisa membuka mulutku karena bau yang busuk itu.”
“Karena kau berbicara seperti itu, apa aku akan berterima kasih?”
Chloe mengepalkan tangannya.
“Aku juga akan sukses. Jalur yang aku pilih sekarang, aku akan menapakinya perlahan-lahan. Dan impianku…”
Kepalan tangannya turun. Senyum lebar muncul di wajahnya dan matanya yang bersinar hijau dan coklat tertuju pada Jo Minjoon.
“Aku akan meraihnya.”
Wajahnya merona karena dia tersipu malu, entah karena riasan di pipinya. Kerutan yang muncul di antara pipinya saat dia tersenyum cukup mempesona. Jo Minjoon tidak bisa membalas apa-apa. Saat dia hanya menekan bibirnya, seorang penyelamat muncul. Dia adalah Hugo. Dia muncul sambil menarik tas dan memijat lehernya.
“Agh, betapa kakunya. Aku membawa banyak barang bawaan yang tak berguna. Apa kalian membawa semuanya?”
“Iya. Kami mendapat semuanya.”
“Oh, ada coklat. Beri aku satu.
Jo Minjoon memberi Hugo coklat, yang dia berikan pada Chloe sebelumnya. Hugo segera mengunyahnya lalu dahinya berkerut. Awalnya, dia bisa merasakan cita rasa coklat, tetapi setelah itu, cita rasa krim beralkohol meleleh ke mulutnya seperti bom. Dia berkata dengan suara bergetar seolah-olah dia paham apa yang dia makan.
“A, apa ini? Ini coklat?”
“Iya. Cocktail coklat.”
“Astaga… Apa mereka mengambil semua makanan yang tidak enak lalu memasukkannya ke dalam sini? Sungguh, kenapa kau memberikan ini padaku? Apa aku melakukan kesalahan?”
Melihat reaksi Hugo, Chloe melihat Jo Minjoon dengan mata berkilat. Jelas terlihat bahwa matanya berbicara ‘Lihatlah! Benar, kan? Aku benar, hah?’ Tawa Jo Minjoon meledak. Hugo menelan coklat yang ada di mulutnya dengan wajah kesal.
“…Jika ada tempat sampah di dekatku, aku jelas akan melepehnya.”
“Di negaraku, ada pepatah mengatakan bahwa makanan yang terasa pahit akan menjadi obat bagimu.”
“Jika itu benar maka semua makanan yang pahit akan baik untuk badanmu.”
“…Kau tidak tahu. Jika itu baik.
Jo Min Joon menyeringai. Hugo menjatuhkan diri ke sofa dan ekspresinya seolah-olah dia baru saja makan puyer. Setelah Kaya keluar, Hugo mengangkat coklat dengan mata berbinar seolah-olah itu sebuah kesempatan.
“Kaya, apa kau mau makan coklat?”
“Tidak, aku tidak mau.”
“…….Kenapa?”
“Aku sudah gosok gigi.”
Hugo meletakkan coklat dengan wajah putus asa. Kaya melirik ke lobi dan duduk di lengan sofa tempat Jo Minjoon duduk. Dia mengibaskan rambut hitam ikalnya dan tersenyum.
“Rambutku belakangan ini tampak bagus, bukan?”
“Aku lebih suka rambutmu yang sebelumnya.”kata Chloe dengan wajah sedih.
Chloe memang lebih suka rambut Kaya yang acak-acakan. Sikapnya itu bisa dipahami karena rambut Kaya saat ini, selembut model iklan sampo.
“Apa kau menggunakan conditioner?”
“Sebelumnya, aku tidak menggunakan conditioner karena repot dan mahal, tetapi sekarang aku bisa.”
“Sekarang, karena kau mendapat $300,000, harga conditioner jadi tidak mahal?”
”Itu yang aku maksud.” kata Kaya sambil membusungkan dada dengan bangga lalu menyeringai.
Sejujurnya, uang 300ribu Dollar tidaklah banyak untuk mengubah hidup seseorang. Aka tetapi, itu sungguh berarti bagi Kaya karena dengan itu, dia terbantu untuk meninggalkan kehidupan masa lalunya di pasar. Yang paling utama, dia menjalani kehidupan di mana dia bahkan tidak bisa menghabiskan 30 dolar dengan santai. Baginya, dia hanya bisa merasa bangga dan bersyukur telah mendapatkan uang sebanyak itu.
Dari luar jendela mobil, Anderson melihat jendela gedung yang disinari matahari dengan wajah polosnya. Ketika pemandangan itu semakin jauh, Anderson pun merasa semakin jauh. Asrama Grand Chef yang terpantul di jendela mobil tampak semakin jauh. Dibanding sebelumnya, ini sungguh perpisahan tanpa janji.
Kaya menempelkan wajahnya pada jendela lalu melihat ke bangunan dan halaman sampai akhir. Tetapi saat dia bahkan tidak bisa melihat bayangannya, Kaya berkata dengan ekspresi kaku.
“Untungnya, kita pergi bersama-sama, jadi lebih nyaman. Menurutku, aku akan merasa tertekan jika aku pergi sendiri.”
“Tertekan…iya, benar juga.”
Chloe mengangguk-angguk sambil mengingat-ingat kenangan. Kenangan di hari saat dia meninggalkan asrama pada perempat final sebagai peserta yang tereliminasi, dia jelas tertekan karena cukup banyak hal yang terjadi.
“Selanjutnya..kapan kita bisa bertemu?”
Tidak ada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaan itu dan tidak ada yang menyangkalnya bahwa Kaya berbicara seolah-olah jelas mereka akan bertemu lagi.
–
“Apa itu sangat disayangkan kau tidak bisa pergi dengan mereka?”
Martin menghampiri dan bertanya pada Anderson yang sedang berdiri sekian lama bahkan setelah bus menghilang dari cakrawala. Anderson perlahan menoleh. Dia berkata dengan suara yang penuh kekesalan bahkan saat dia melihatnya.
“Ada apa sih ini? Kenapa kau bilang aku satu-satunya yang harus tinggal?”
“Mm, maaf aku telah mengurangi waktumu bersama teman-temanmu. Menurutku, sebaiknya hal ini tidak dikatakan di sini…Mari kita pindah tempat.”
“…Ayo kita pergi ke lobi di lantai 4.”
“Haduuh, naik tangga itu bukan hobiku.”
Martin berkaca-kaca, tetapi Anderson tidak mengubah nada bicaranya. Di ujung tangga menuju lantai 4. Martin dudukk di sofa sembari mengambil nafas.
Anderson yang hanya melihat ke meja sambil duduk pada tempatnya. Melihat coklat yang terbuka, permen, dll. dia kesal. Akan tetapi, entah kenapa, dia merasa senang sekali sebanyak dia merindukan teman-temannya. Melihat Anderson yang mengikat kantong plastik lagi untuk mengambil permen, Martin bertanya.
“Menurutmu, kenapa aku hanya meminta dirimu untuk tetap tinggal?”
“Ini akan menjadi tawaran bisnis. Jika benar, alasannya hanya dua, dengan hanya memanggilku, tidak dengan yang lain, maka ini pasti berhubungan dengan orang tuaku…atau kau butuh sesuatu dariku. Mungkin.” kata Anderson dengan santai.
“Soal perjalanan mencicipi… Jadi, ini berhubungan dengan program Perjalanan Kuliner?”
“… … …”
Martin melongo melihat Anderson seolah-olah habis terkena pukulan. Dia tidak tahu bahwa maksud dan tujuannya akan terekspos dengan mudah. ‘Dia yang paling aku ingin beri kejutan.’.
“Kau sungguh cepat tanggap. Kalau begitu, apa kau juga berekspektasi penawaran seperti apa yang akan aku buat untukmu?” kata Martin kecewa.
“Ada dua hal. Pertama, menanyakan pada orang tuaku untuk mengizinkanmu siaran di restoran mereka. Tetapi ini bukan sesuatu yang aku bisa janjikan untukmu. Kau akan tahu jika kau melihat orang tuaku, kata-kataku pun tidak punya kekuatan. Yang kedua, mungkin kau ingin aku berpartisipasi dalam program itu…”
Mata Anderson berubah tajam.
“Apa kau menginginkan aku?”
“…Iya. Sebenarnya itulah kasusnya.”
Martin hanya bisa menjawab dengan jujur meski sembari berpikir ‘sepertinya aku merasa berkecil hati’. Martin dengan tenang melanjutkan berbicara.
“Sebenarnya, aku berencana hanya mengambil orang-orang yang profesional tetapi karena kami sudah memperhitungkan partisipasi Jo Minjoon, arahnya berubah sedikit. Secara keseluruhan, apa perbedaan orang profesional dengan yang tidak dalam mengecap makanan yang sama? Kami pun telah mempertimbangkan sampai pada poin itu. Tentu, orang-orang akan menjadi bisa lebih hanyut dalam sudut pandang orang non profesional.”
“Tapi kenapa aku? Kalau Chloe, dia terlihat seperti bintang, akan lebih baik merekrutnya untuk menaikkan rating. Kalau Kaya…karena dia menang, dia tidak akan punya waktu.”
“Sebenarnya kami juga mempertimbagkan Chloe. Namun saat aku akan membuat tawaran, aku tahu bahwa dia ditunjuk untuk program siaran yang lain dan jika tidak pun, kemungkinan mengambil Chloe juga rendah. Meskipun dia sangat cocok dengan Jo Minjoon, penonton cenderung menentangnya alih-alih mendukung mereka, seperti kau dengan Kaya. Kami menilai bahwa jika kau muncul bersama dengan Jo Minjoon, kau akan bisa mendapat keseimbangan suasana hati para penonton.”
Anderson perlahan memainkan permen. Dia memilin-milin permen, lalu berhenti. Setelah itu, dia berkata.
“Pada akhirnya, aku harus menjadi pengiring mempelai bagi Jo Minjoon, bukan? Menurutku, aku sudah cukup berpengalaman menjadi pengiring mempelai bagi Kaya. Itu bukan tawaran menarik bagiku. Bagi Jo Minjoon, dia akan terbantu untuk membiarkannya merasakan pengalaman budaya-budaya di dunia…tetapi aku sudah cukup berpengalaman dengan itu.”
“Keuntungannya tidak hanya pengalaman mencicipi. Sponsor siaran cukup terkenal seperti yang bisa kau lihat dan kebanyakan dari semua akan bisa mengangkat reputasimu. Sebuah reputasi yang sulit didapatkan meski setelah bertahun-tahu berada di balik dapur.”
Jawaban Anderson tidak berlangsung lama. Anderson memejamkan mata, dia mengatur pikirannya dan setelah itu, dia menjawab dengan suara pelan.
“Maaf. Menurutku, aku tidak bisa. Sejujurnya, menurutku reputasi sedikit yang aku dapat saat ini sudah cukup, dan sponsor siaran… Yang aku tahu, aku bukan anak yang mendambakan uang.”
“Satu hal lagi.”kata Martin. Dia berkata dengan ekspresi seperti seorang jenderal yang mengeluarkan senjata terakhirnya.
“Ada satu hal lagi yang akan membuatmu tertarik.”
“… Apa itu?”
Martin mencari-cari dokumen yang dia pegang di dadanya alih-alih menjawab pertanyaan Anderson. Dia mengeluarkan sebuah foto di antara berkas-berkas itu. Anderson, yang melihat foto itu dengan santai, lalu syok hingga matanya terbelalak. Dia berkata dengan terkejut.
“Mungkin…”
“Iya. Ini hanya mungkin.”
Martin tersenyum percaya diri.
“Apa kau berubah pikiran sekarang?”
< Perjalanan Kuliner (1) > Selesai