Dewa Memasak – Bagian 119: Hukum pengecapan (1)
Di hotel, Jo Minjoon berbaring di atas kasur yang sangat besar hingga dia tidak bisa menjangkau bagian tepi meski dia merentangkan kaki dan tangannya. Satu tangannya memegang ponselnya dan dia sedang tersenyum.
[ Oh, jadi kau sudah makan malam? ]
“Iya. Emily tampak sangat menyedihkan. Aku membujuk Martin agar aku bisa membeli bahan-bahan untuk diriku sendiri dan Emily bisa menyantapnya sekalian sejumlah yang dia inginkan.”
[ Kau baik sekali. Apa dia bilang masakanmu cocok dengan seleranya? ]
“Entahlah…setidaknya bagiku, itu hidangan yang memuaskan, bahkan jika itu tidak cocok dengan seleranya, dia tidak dalam situasi dia bisa mengeluh.”
Jo Min Joon menyeringai. Dia merasa senang hanya dengan memikirkan ada seorang wanita yang hidup tanpa merasakan kelaparan dan kemiskinan, bersikap menyedihkan di depan uang dan makanan. Chloe mengambil nafas dan berkata.
[ Jadi, bagaimana Brazil? Apa churrasco itu lezat? Apa itu berbeda dengan yang mereka jual di America? ]
“Aku tidak begitu tahu karena aku tidak pernah makan churrasco di America, tapi itu hidangan yang jelas masih menjaga budaya orang Brazil. Bawang bombay dan bawang putih sebenarnya bahan yang sungguh familier. Akan tetapi hanya dengan mencampurnya sedikit dengan saus cabai atau saus pedas, cita rasanya sangat berbeda jauh.”
[ Itulah daya tarik negara asing. Mereka membuat cita rasa yang berbeda dengan bahan yang sama. Betapa enaknya. Aku juga ingin berpartisipasi pada program semacam itu. ]
“Apa siaran yang kau lakukan lancar?”
[ Hari ini adalah hari pertama syuting, jadi bagaimana aku bisa mengatakan itu baik-baik saja atau tidak? Aku perlu membiasakan diri terlebih dahulu. Itu tidak begitu sulit. Waktu siaran pendek dan para stafnya juga baik. Tapi, mereka tentu akan berubah kalau aku membuat kesalahan dalam memasak dan membuang-buang waktu mereka. ]
“Meski begitu, melihat kalian semua mapan membuatku merasa senang. Tapi, aku tidak tahu apa yang dilakukan Anderson saat ini. Aku bisa menghubungi semuanya kecuali dia.”
Itu bohong jika dia bilang bahwa dia tidak merasa kecewa atas pertemanan mereka yang menjadi dingin. Mendengar suara Jo Minjoon yang terdengar kecewa, Chloe berkata dengan tenang.
[Seperti biasa, Anderson pasti punya alasan tersendiri. Kau tahu kan dia seperti apa. ]
“…Iya. Aku tahu.”
[ Kau masih sering menghubunginya? Maksudku…Kaya. ]
Mendengar pertanyaan Chloe, Jo Minjoon tersentak. Dia menyembunyikan kekecewaannya lalu berkata.
“Tidak. Apa boleh buat, dia pasti sangat sibuk sekarang. ….bahkan mungkin, dia akan semakin sibuk seiring berjalannya waktu.”
[ Kita juga, harus semakin sibuk. ]
“Benar.. Mari kita berusaha lebih keras lagi.”
Mereka berdua membicarakan ini dan itu, lalu percakapan di antara mereka berakhir. Setelah Jo Minjoon melihat layar merah yang mengindikasikan bahwa percakapan berakhir, Jo Minjoon menggerakkan jarinya. Layar beralih beberapa kali, lalu tidak lama kemudian layar menampilkan jendela pesan.
[ Aku: Kaya, telepon aku saat kau senggang. ]
Pesan yang telah dia kirim dua hari lalu belum mendapat balasan. Pesan itu bahkan belum sampai. Betapa sibuknya dia…
“Meski dia sibuk, apa dia sampai tidak sempat memeriksa pesan?”
Jo Minjoon bergumam dengan suara uring-uringan, kemudian dia mematikan layar lalu memejamkan matanya. Padahal, dia masih ingin bangun lagi untuk mematikan lampu karena cahayanya terlalu menyilaukan mata.
Dia perlu tidur tetapi saat dia menutup matanya, gambaran churrasco muncul di kepalanya, yaitu potongan besar daging yang ditusuk, aroma arang dan daging bisa tercium hanya dengan melihatnya, kau bisa merasakan aroma arang dan daging hanya dengan melihatnya, dan tekstur kenyal daging churrasco.
Serta feijoada Emily yang tidak familier dan masih primitif mendekat ke depan matanya. Itu bukan semata-mata karena dia merindukan aroma, citarasa, dan warnanya, melainkan karena rasa syok yang dia dapat dari makanan-makanan itu.
Sebenarnya, dia mendapat kesan lebih dalam dari feijoada alih-alih churrasco. Sejujurnya, tidak sulit memasak daging dengan lezat jika kau menggunakan bahan yang bagus dan arang yang bagus. Kau bisa mengatakan bahwa membuat daging terasa tidak enak justru lebih sulit. Tentu, mengiris daging dengan tekstur yang bagus dan sesuai adalah keterampilan yang cukup tinggi. Aka tetapi, dia tidak mendapat kesan mendalam hanya dengan itu.
Pada kasus feijoada, itu sedikit berbeda. Selain bahan-bahannya, memasaknya pun perlu waktu lama dan dedikasi. Hanya dengan itu saja tentu masih sulit untuk membuatnya lezat. Suatu resep dirancang dan dirancang ulang lagi dalam waktu yang lama, dan pengalaman-pengalaman itulah yang terisi di atas piring kecil.
Melihat itu, Jo Minjoon hanya bisa membayangkan bagaimana dia akan menjalankan sebuah restoran di masa depan; bagaimana dia harus mengatur dapur agar bisa membuat menu yang persiapannya membutuhkan beberapa hari; dan bagaimana dia akan membuat struktur organisasinya, bagaimana dia akan melokalkan hidangan manca negara, kapan dan di mana.
Sebenarnya, itu semua terlalu jauh di masa depan untuk dipikirkan Jo Minjoon. Akan tetapi, apa boleh buat, itu juga bukan sebuah pertimbangan. Semakin dia pikirkan, semakin kepalanya sakit, tetapi itu justru membuatnya senang dan tersenyum. Seperti halnya semua orang, kebahagiaan membayangkan hal-hal itu meninabobokan Jo Minjoon.
Sementara hanya terdengar suara nafas yang tenang dan damai serta suara detik jarum jam dinding, suara lain juga terdengar. Klik. Saat kunci terbuka, pintu kamar perlahan terbuka. Suara langkah kaki di atas karpet terdengar, segera setelah itu, suara desah nafas terdengar.
“…Kau tidur setenang serangga di atas permadani.”
Mungkin itu bukan suara yang keras hingga tidak sampai membangunkan Jo Minjoon. Orang yang sedang melihat ke sekeliling itu, sekilas melihat ke arah kasur lalu merebahkan diri di sebelah Jo Minjoon seolah-olah tidak ada yang bisa dilakukan olehnya. Tidak lama kemudian, suara berisik mereda kembali, hanya ada suara detik jam dinding dan nafas dari kedua orang itu.
–
“Astagaa!!”
Jo Minjoon, yang terbangun dari tidurnya, terkejut dan mengumpat dalam bahasa Korea. Apa boleh buat. Saat dia membuka mata, apa yang dia lihat adalah wajah Anderson yang sedang ngiler. Anderson tampaknya terbangun karena itu, tetapi dia malah mengerutkan dahi dan memejamkan matanya rapat-rapat.
(Catatan PR: Ini mengingatkanku pada Kyou Kara Maou. Sungguh)
“Duh, diamlah. kenapa kau seperti itu?”
“Kenapa kau ada di sini? Ada apa ini?!”
“Untuk sekarang, tolong diam atau pelankan suaramu. Kepalaku berdenging.”
“…Jadi ada apa ini? Aku tidak paham situasi ini sama sekali.”
“Aku malas menjelaskan. Kau kan pintar, tebak saja sesukamu.” jawab Anderson dengan suara lelah lalu membenamkan wajahnya pada bantal lagi.
Jo Minjoon, yang menatap rambut pirang di atas bantal, sedang mengatur isi kepalanya. Dia sekarang sedang siaran, lalu Anderson muncul. Untuk Anderson yang tiba-tiba muncul, tahu tempat siaran, dan bahkan tidak ditahan oleh staf siaran saat dia masuk seperti ini, hanya satu hal yang mungkin terjadi.
“Kau juga muncul? dalam program ini…?”
“Jika kau tahu kenapa kau bertanya?”
“Tidak. Tapi, kau seharusnya bilang padaku. Kenapa kau merahasiakannya hingga saat ini?”
“Mereka menyuruhku merahasiakannya.”
“Siapa? Martin?”
Anderson mengangguk sementara wajahnya tetap terbenam di bantal. Akan tetapi, Jo Minjoon mengerutkan dahi seolah-olah dia masih tetap bingung.
“Tetapi kenapa kau tidur di kasurku?”
“Mereka bilang ini kamarku. Hanya ada satu tempat tidur dan itu sangat besar. Jadi bukankah jelas bagiku untuk mengambil tempat di sini? Aaaah, karena aku terus bicara, aku jadi benar-benar bangun. Ini salahmu”
“Aku bahkan masih seperti mimpi karena mu.”
“Duh, berisik. Biarkan aku tidur sebentar lagi. Aku hanya tidur 3 jam.”
“… … …”
Jo Minjoon melihat punggung Anderson tanpa berkata apa-apa. Pada akhirnya, dia berdiri dari tempatnya. Ini agak mencengangkan, tetapi Jo Minjoon juga merasa bersalah saat Anderson tidak bisa tidur. Kalau orang Amerika, jika dia masih terjaga lalu tidur di kasur yang sama dengan orang lain yang sudah tidur tanpa mengatakan apapun, dia pasti benar-benar lelah. Jo Minjoon menutupi Anderson dengan selimut yang tadinya hanya menutupi pinggangnya lalu melihat ke sekeliling.
“…Apa tidak ada siapa-siapa di sana?”
Dia berbisik pelan sampil melihat ke kamera di atap, tetapi tentu tidak ada jawaban. Pada akhirnya, Jo Minjoon mandi, dia hendak keluar kamar. Anderson masih tidur. Tampaknya tidak ada orang di luar. Saat dia selesai berpakaian lalu keluar kamar, seorang kameramen menghampirinya. Jo Minjoon berkata dengan suara yang terdengar lelah.
“Apa kau menunggu dari tadi?”
Kameramen tidak menjawab seperti biasa. Dia hanya menyeringai lalu mengangguk. Inilah yang namanya persengkokolan.
“Di mana Martin?”
Kameramen menunjuk ke sisi aula dengan telunjuknya. Itu adalah ruang peristirahatan. satu langkah, 10 langkah, dan saat dia berjalan 25 langkah, langkahnya terhenti. Sebagian karena dia telah menemukan Martin, tetapi jika semata-mata karena itu, dia akan lanjut berjalan lagi, di sana terlihat ada wajah yang tak terduga.
“…Oh, ya?”
“Sudah lama ya, Minjoon.”
Orang yang tersenyum dengan lembut dan menjabat tangan Jo Minjoon tidak lain adalah Rachel. Jo Minjoon bertanya dengan wajah tercengang.
“Apa Anda berpartisipasi di sini?”
“Jika tidak, aku tidak akan punya alasan ke sini.”
“Oh…senang berjumpa lagi.”
“Alih-alih senang, itu lebih terasa seperti kebingungan.”
“Memang iya. Saya tidak bisa melakukan apapun dengan itu. Saya juga mulai berpikir bahwa hubungan saya dengan Anda akan lebih lama dari yang saya pikirkan.”
Rachel tersenyum.
“Jika kau berpikir bahwa aku datang ke sini karena kau…meski aku tidak bisa mengatakan tidak dengan yakin, ini tetap bukan karena itu. ataukah aku ingin melihat perkembanganmu? tetapi itu hal yang bahkan bisa dilakukan sebagai penonton. Jadi, alasan aku ke sini adalah karena aku juga perlu program ini.”
“Boleh saya bertanya kenapa?”
“Tentu saja. Alasannya sederhana. Ini untuk menunjukkan pada orang-orang.”
“Menunjukkan apa?”
Rachel tidak segera menjawab. Senyum lembutnya perlahan menghilang. Saat mulutnya terbuka, Jo Minjoon merasa bahwa bahunya terasa lebih berat entah kenapa. Itu adalah kata-kata yang begitu berat.
“Bahwa aku, Rachel Rose, telah kembali.”
–
Saat pukul 8 lewat sedikit, semua partisipan keluar. Saat berdiri di lobi di lantai 1 hotel, Emily melirik Rachel. Dibanding usianya, Rachel juga seseorang yang cukup dikenal oleh Emily. Akan tetapi, sekalipun itu Emily, dia bahkan tidak mengkerut di depan Rachel.
Kalau Anderson, dia melirik Rachel dengan maksud lain. Kedua matanya penuh dengan rasa iri yang begitu kuat hingga membuat Jo Minjoon, yang melihatnya, merinding. Jika kau memperhitungkan bahwa Rachel adalah panutan Anderson, bukan, melainkan idolanya sejak kecil, Jo Minjoon tidak memahami Anderson sama sekali…
‘Ini terasa seperti mereka jatuh cinta.’
Satu-satunya momen saat Anderson terkesan seperti anak kecil adalah saat ada Rachel berdiri di depanya. Akan tetapi, karena perbedaan usia yang sangat jauh di antara mereka, itu tidak mungkin. Namun, suasananya sangat berbeda dari biasanya, Jo Minjoon merasa suasananya canggung entah kenapa.
Martin berdehem membersihkan tenggorokannya.
“Minjoon, Emily, kalian berdua pasti sangat terkejut.”
“…Bukan hanya terkejut, menurutku syarafku juga agak terbakar saking terkejutnya. Aku berpikir akan memanggil pengacara.” kata Emily dongkol.
“Mari kita bertemu pengacara dan membicarakan keadaan syarafmu nanti saja.” kata Martin sambil tersenyum jahil.
“Jadi, apa anggotanya seperti ini?”
“Tidak. Beruntungnya tidak. Anggota tambahan akan muncul di depan kalian dengan berbagai cara. Akan tetapi sebelum itu, apa kau ingin memainkan sebuah permainan?”
(Catatan PR: Aku teringat sebelumnya)
Martin mengangkat kaleng stik yang kemarin. Saat Emily dan Jo Minjoon mengerutkan dahi, Rachel bertanya pelan.
“Apa itu?”
“Oh…ini seperti undian. Ini akan menentukan biaya makan Anda.”
“Biaya makan? Aku punya uang.”
“Mohon maaf, tapi Anda tidak bisa menggunakan uang Anda.”
“Kenapa?”
Rachel menatap Martin. Dia tidak melotot pada Martin seperti yang dilakukan Emily kemarin, tetapi Martin merasa momen ini lebih mengganggunya. Martin menjawab dengan hati-hati.
“Karena ini hari pertama, mari kita membuat sedikit lelucon. Untuk menarik minat pemirsa…”
“Kami tidak boleh punya uang agar pemirsa senang? Dan jika kami punya uang, pemirsa tidak akan tertarik?”
“Tidak, jelas tidak seperti itu…”
“Martin, aku hanya bertanya, apa menyenangkan jika kami kelaparan?”
“Tidak, tentu tidak. Oleh karena itu, saya memutuskan jumlah uang yang layak untuk makan tiga kali sehari…”
“Akan ada suatu momen, meskipun hidangan itu tampak lezat, tetapi itu tidak diperbolehkan. Orang yang menerima uang lebih banyak akan makan dengan baik di antara yang lain, dan entah bagaimana dia akan merasa tidak nyaman dan merasa bersalah. Martin, apa itu yang namanya pengecapan?”
Martin tidak bisa menjawab dan hanya menegangkan mulutnya. Rachel berkata dengan suara pelan.
“Meski begitu, karena PD yang mengatakannya, aku akan berhenti sampai di sini. Baiklah. Aku akan mengikuti undian. Namun,…apa kau tahu bahwa di dekat sini ada cabang Rose Island?”
“Oh, apa di sebelah sana?”
“Iya. Salah satu muridku yang menjalankan restoran sebagai chef kepala dan seperti yang kau tahu, menurutku, kita tidak perlu bayar untuk makan di sana. Tentu, itu juga berlaku untuk tamuku.”
Rachel tersenyum ceria lalu menoleh pada yang lain. Ketiga orang itu melihat Rachel dengan tatapan penuh harap.
“Semuanya, apa kalian mau menjadi tamuku?”
< Hukum pengecapan (1) > Selesai