Dewa Memasak – Bagian 120: Hukum pengecapan (2)
Ini adalah kemalangan, mereka tidak pergi ke Rose Island. Pada akhirnya, Martin memberi mereka 150 Real sama rata. Sejujurnya, sulit untuk menyantap makanan mewah dengan jumlah itu, meski begitu, jika menggunakannya secara normal, itu jumlah yang cukup bahkan untuk 3 kali makan.
“…Menakjubkan, Rachel. Saat Emily dan saya protes, Martin bahkan tidak bereaksi dengan matanya.”
“Ini pengalaman yang aneh.”
‘itu lebih seperti uang dan kekuatan.’ Tetapi Jo Minjoon tidak mengutarakannya.
“Guru, jika Anda ingin sesuatu yang ingin Anda makan, silahkan utarakan pada saya. Jika Anda tidak ingin bepergian ke restoran, saya akan memasak untuk Anda.” kata Anderson.
“Aku bersyukur dengan niat baikmu, tetapi saat kita datang ke Brazil, bukankah seharusnya kita merasakan cita rasa Brazil yang memikat?”
“Karena Anda bilang ‘memikat’, aku memikirkan ini, akan sulit untuk melihat karnaval, bukan?”
“Karnaval tahun ini, berakhir 6 bulan yang lalu. Mereka menyelenggarakan karnaval pada bulan Februari.”jawab Martin kecewa sambil mengangkat bahu.
Jo Minjoon juga merasa kecewa mendengarnya sekaligus merasa lega. Dengan karakter Jo Minjoon, dia akan kesulitan menyesuaikan diri dengan suasana yang panas dan meriah itu.
‘Jika dipikir-pikir, warganet juga berpedapat bahwa aku tidak asik dan tampak cupu.’
Tetntu beberapa orang mungkin berpendapat bahwa sisi Jo Minjoon yang itu adalah daya tariknya, tetapi mau tak mau dia merasa sedih.
“Minjoon, bagaimana denganmu?”
“…Ya?”
“Kemana kau ingin pergi. Apa kau punya ide, sebuah hidangan Brazil yang ingin kau makan?” tanya Emily bersemangat.
Mungkinkah Emily merasa bersyukur karena Jo Minjoon berpihak pada Emily dan membuatkan makan malam kemarin? Kedua matanya penuh dengan niat baik yang begitu dalam. Jo Minjoon menggelengkan kepala perlahan.
“Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku tidak begitu tahu dengan hidangan Brazil.”
“Mmmm…Bagaimana feijoada yang kau makan kemarin?”
“Itu lezat. Sebenarnya menurutku, itu lebih lezat dari pada churrasco. Ini adalah pengalaman yang aneh.”
“Lebih lezat dari pada churrasco ya… Menurutku, aku samar-samar tahu preferensimu dalam pengecapan.”
Rachel mengangguk. Pertama, daging. Berapa banyak orang di dunia ini yang membenci daging? Yang paling utama, jika itu daging yang di masak oleh profesional yang berpengalaman selama bertahun-tahun, tekstur daging berkualitas bagus akan menjadi hidangan dengan level yang berbeda.
Karena Rachel tidak bersama mereka kemarin, dia tidak tahu kualitas churrasco dan feijoada, meski begitu, dia bisa tahu apa yang lebih diprioritaskan Jo Minjoon dalam suatu hidangan.
Seberapa terlihat ide dan metode memasak seorang chef dalam suatu hidangan? Sejujurnya, untuk hidangan seperti feijoada, proses itu lebih kompleks dan butuh lebih banyak usaha, hidangan itu bisa lebih memperlihatkan ide an metode memasak seorang chef dari pada churrasco.
Tentu jika dia punya pengetahuan tinggi terhadap daging, dia akan bisa membaca filosofi dan ide chef hanya dengan gerakan pisaunya. Akan tetapi, bagi Jo Minjoon, yang punya indera pengecapan yang bagus dan bakat sekali pun, untuk bisa melakukan itu di usianya saat ini, hal itu tidak mungkin karena pada akhirnya, pengalamanlah yang berperan.
‘A…ambil pengalamanku, Minjoon.’
Jika Jo Minjoon hanya menginginkannya, Rachel berencana menjadi penyokongnya dan perisainya kapanpun dia menginginkannya. Rachel begitu menginginkan Jo Minjoon. Jo Minjoon adalah batu permata. Meskipun Rachel bukan seniman permata, dia tahu dengan baik cara memoles permata lebih dari siapapun. Dia adalah istri seorang permata.
Rachel berkata,
“Bagaimana dengan kopi?”
Ketiga yang lainnya berseru bersamaan dan mengangguk. Brazil sangat terkenal dengan kopinya hingga mereka bertanya-tanya kenapa mereka tidak terpikirkan itu hingga saat ini. Anderson melihat Rachel dan hendak mengatakan sesuatu dengan hati-hati. Dia tampak seperti pencari kerja yang bertanya-tanya apakah yang dia katakan tidak membuat masalah nantinya.
“Kopi dan brunch (TL: Sarapan sekaligus makan siang / breakfast + lunch)…jika dipikir-pikir, itu tidak diperbolehkan karena kita harus maka tiga kali sehari. Karena ini sarapan, bagaimana dengan sarapan ringan ala brazil?”
“Lalu apa itu?”
Apa yang Jo Minjoon tahu hanyalah sarapan ringan ala Amerika dan Inggris. Anderson mengangkat bahu lalu menjawab.
“Keju, potongan makanan dingin, keju panggang, buah-buahan, sereal, pao de queijo, kue jeruk atau pisang. Tidak perlu memasukkan semua itu dan kau tidak perlu menyantap itu saja. Tetapi normalnya, kesannya seperti itu.”
“Aku setuju.” kata Emily.
Rachel dan Anderson melihat Jo Minjoon. Jo Minjoon mengangkat tangannya.
“Apa boleh buat, aku tidak tahu apa-apa? Aku hanya bisa mengikuti kalian.”
“Bagus. Ayo pergi. Tetapi guru, apa Anda punya restoran yang ingin Anda datangi?”
“Entahlah. Aku punya beberapa, tetapi karena sudah 10 tahun, entah dia masih hidup atau sudah mati. Pria tua itu lebih tua dariku.”
Betapa sedihnya saat orang di sekelilingmu mengatakan tentang kematian dengan begitu santai. Rachel tersenyum masam sejenak lalu mengatur ekspresinya kembali. Melihat wajah Rachel, Jo Minjoon berpikir bahwa alasan kenapa keriput para lansia terkesan menyedihkan mungkin karena mereka harus merelakan orang yang sungguh mereka hargai.
Memikirkan bahwa Rachel memiliki kerutan yang begitu dalam di usianya yang kepala 6, mungkin karena kesedihan yang dia rasakan karena kehilangan orang yang dicintainya. Jo Minjoon merasa tercekik.
Beruntungnya, restoran yang terpikir oleh Rachel hanya 10 menit jauhnya. Sebenarnya, itu diperhitungkan dari kecepatan langkah kaki Rachel, jika hanya Jo Minjoon dan Anderson, mereka akan sampai kurang dari 5 menit.
Namun, berjalan perlahan-lahan juga punya keuntungan tersendiri. Pertama, bisa menikmati pemandangan yang tidak bisa dilihat dengan benar. Sebenarnya, tidak ada yang spesial dengan bangunan di sana, hanya ada banyak bangunan antik di sekitar, tetapi itu hal yang biasa dilihat jika pergi ke Eropa atau AS.
Yang mereka lihat justru adalah orang-orang di sana. Ada banyak kelompok etnis sebagai salah satu karakteristik penduduk Brazil, meski begitu, pemandangan orang-orang berkulit hitam bersandar di kursi di bawah parasol yang sedang bercakap-cakap dengan santai, menyentuh hati mereka begitu dalam.
“Minjoon, kau bilang bahwa kau tidak punya pengalaman bepergian ke manca negara, bukan?”
“Oh, Iya betul”
“Kau benar dalam hal memutuskan untuk mengikuti program ini. Jika selebriti muncul terlalu banyak dalam program TV, eksklusivitas program ini mungkin hilang. Kita bukan selebriti, melainkan chef. Para chef akan kehilangan eksklusifitas, bukan pada saat mereka sering muncul di TV, melainkan saat hidangan mereka menurun dan menjadi ramai terduplikasi di jalan-jalan. Kau tahu, ada banyak restoran yang mendapat bintang tiga, yang tidak bisa bertahan pada evaluasi ulang, bukan?”
“Ada juga beberapa yang tidak ingin menerima itu karena itu mengganggu.” sela Anderson.
Rachel mengangguk dengan ekspresi lembut.
“Benar. Tetapi hal yang penting adalah alasan kenapa bintang mereka dicabut bukan semata-mata karena kurang cita rasa. Ini tiga bintang, restoran bintang 3. Jika chef kepala tidak berubah, kualitas hidangan akan tetap seperti biasanya. Meski begitu, bintang mereka dicabut. Minjoon, apa kau juga memikirkan tentang itu? Menurutmu apa masalahnya?”
Jo Minjoon tenggelam dalam pikirannya sejenak. Seperti yang Rachel baru katakan, jika chef kepala tidak berubah, level dapur akan sama saja. Sedangkan evaluasi menjadi semakin ketat. Lalu apa yang mungkin menjadi alasannya? Saat dia hendak menjawab, Anderson menjawab lebih dulu,
“Apa karena inersia?”
“Katakan lebih spesifik.”
“Saat mereka menerima 3 bintang, restoran berada di puncak kejayaan. Dengan kata lain, menu pada saat itu adalah yang terbaik. Lalu chef kepala dan pemiliknya pasti akan kesulitan untuk mengubah menu. Jika gaya menu distandarisasi tetap seperti itu dan tidak ada perubahan…evaluasi akan berubah sedikit lebih ketat.”
“Berbicara sebagai epicurean, itu bukan sedikit, tetapi banyak. Dapur chef yang tidak ada riset dan perubahan, tidak menarik sama sekali. Pikirkanlah. Jika kau punya seseorang yang kau sukai, tetapi jika dia memakai pakaian yang sama esok hari, dan besoknya lagi, apalagi jika tidak miskin, semata-mata karena mereka tidak punya niat dan perhatian untuk memilih pakaian lain, bagaimana perasaanmu sebagai orang yang menyukainya? Benar kan?” sela Emily.
Itu sungguh perbandingan dari segi wanita, tetapi yang lain pun sangat paham. Rachel menjetikkan jarinya.
“Seperti itulah, seperti yang diekspresikan epicurean. Akan tetapi, di posisi chef, mereka hanya bisa seperti itu. Jika aku memakai pakaian lain, apakah mereka akan bilang itu tidak cantik, dan jika iya apa sebaiknya aku tetap seperti sekarang ini? Itulah kenapa momen ini penting.”
“Bagaimana ini dan itu bisa saling berhubungan?” tanya Jo Minjoon.
“Itu jelas, jika kau menginvestasikan waktu dan dedikasi pada suatu bidang, semakin lama akan semakin dalam. Akan tetapi, jika kau ingin menjadi benar-benar baik tidak hanya satu bidang, tetapi pada satu bidang yang luas, pengalaman biasa tidak akan cukup. Jika kau merasa budaya dan pikiran orang asing akan membantumu kelak, wawasanmu akan semakin luas. Alih-alih mengkomposisi sebuah resep dalam dunia yang kecil, bukankah akan lebih berwarna jika mendesainnya pada dunia yang lebih luas?”jelas Rachel dengan suara pelan.
Martin, yang sedang melihatnya, merasa ada kesan mendalam. Ini jelas sebuah program hiburan tetapi mendadak berubah menjadi program edukasi. Namun yang paling pentig, adegan ini tidak buruk. Hiburan tidak harus lucu, tetapi menarik. Jika dia mengeditnya dengan baik, dia bisa melihat beberapa ruang untuk membuatnya menarik.
Karena mereka bercengkerama, bahkan 10 menit jarak perjalanan tidak terasa lama. Tempat yang mereka tuju adalah bangunan yang memberi kesan restorasi. Dindingnya terbuat dari batu bata merah, dan jendelanya terbuat dari material plastik. Kau bisa melihat bahwa jendela itu baru saja diganti baru-baru ini. Atapnya terbuat dari genteng keramik warna merah, kesan yang diberikan membuatmu berpikir bahwa bangunan itu seperti rumah yang biasa digambar oleh anak kecil.
Sulit jika dikatakan pelanggan meluber, akan tetapi, di sana tidak banyak meja kosong. Hal itu memberi kesan kuat bahwa pelangan kebanyakan bukanlah turis, melainkan pelanggan asli. Alih-alih berpakaian bagus, para pelanggan berpakaian kasual dalam suasana seperti hanya mampir dari sebuah perjalanan. Emily mengangguk seolah-olah puas.
“Pastinya, untuk tahu tentang cita rasa dengan baik, akan lebih baik pergi ke restoran yang dikunjungi banyak penduduk asli dari pada turis.”
Rachel tidak menjawab dan terus melongokkan kepalanya mengintip ke dapur. Tidak lama kemudian, seorang pekerja wanita menghampiri lalu berbicara dalam bahasa Inggris yang bisa diketahui itu hafalan.
“Silakhan dudug, saya akan mencatat pesanan Andha.” (Silakan duduk, saya akan mencatat pesanan Anda)
“Tidak, tidak…Apa Douglas ada di sini?”
Rachel berbicara bahasa Portugis dengan lancar. Pekerja menjawab dengan wajah ceria. Kali ini, dia juga berbicara dalam bahasa Portugis.
“Douglas? ……Oh. Apa Anda, teman dari bos sebelumnya?”
“Sebelumnya?”
“Oh, jangan khawatir. Dia tidak pergi atau apapun itu. Sekarang ini, dia pensiun dan sedang beristirahat. Dia datang ke toko sekali-kali…tetapi entahlah, aku tidak tahu apakah hari ini dia akan datang atau tidak.”
“Dan siapa bosnya sekarang?”
“Putri Mr. Douglas. Namanya Kamila…”
“Oh…Baiklah.”
Rachel duduk sembari menjawab dengan wajah aneh padahal dia belum meningal. Akan tetapi mungkinkah Rachel berharap dia bekerja di toko seperti dalam ingatannya, sementara Rachel telah meninggalkan dapur dan restoran karena ingin pensiun. Rachel tersenyum santai dan menoleh pada semua orang.
“Kau bilang ingin makan sarapan ala Brazil, bukan? Katakan padaku jika kau ingin makan yang lain. Ada menu yang direkomendasikan dan menu yang sebaiknya tidak pernah kau makan.”
“…Bukankah kau membawa kita ke sini karea mereka punya keahlian?”
“Hanya karena wajahnya cantik, bukan berarti badannya juga cantik.”
Pada akhirnya Jo Minjoon memilih sarapan ala Brazil di tengah ketidaknyamanan. Jo Minjoon juga memesan feijoada. Dia ingin merasa tergerak lagi seperti saat dia menyantap sesendok feijoada Emily. Bahkan harganya tidak begitu mahal, 2 porsi hanya 25 Real.
‘Kedai churrasco yang kemarin mahal.’
Karena menu prasmanan dan lokasinya di pantai, itu logis. Pada saat yang sama, dia juga berpikir bahwa untuk melayani pelanggan dengan bahan-bahan yang bagus seekonomis mungkin, mereka harus berpindah ke suatu tempat yang sewanya murah.
‘Akan tetapi jika sewanya murah, tidak akan ada tempat bagus yang banyak dikunjungi turis…’
Dari segi apapun, hal itu bukan suatu masalah untuk dipikirkan sekarang. Pramusaji datang membawa hidangan. Bergantung pada isi sarapan ala Brazil, harga dan jumlahnya bervariasi bak bumi da langit, dan Jo Minjoon memesan hidangan yang paling biasa. Dia juga ingin menyantap sarapan yang sama seperti orang-orang Brazil makan, tetapi dia juga khawatir terlalu kenyang karena feijoada.
Jo Minjoon melihat hidangan yang diletakan di depannya, yaitu roti gulung Prancis dipanggang ala Portugis, ham, yang dibuat dengan mengiris daging kaki belakang babi dan difermentasi, pao de queijo panggang yang mengandung setengah pepaya dan keju di dalamnya, mozzarella dan keju yang disimpan dingin serta kue jagung keju..
Apa yang dia makan pertama adalah pao de queijo. Namanya tidak familier, tetapi momen saat dia memakannya, tekstur dan cita rasa yang diberikan, cukup familier. Cita rasa dan teksturnya seperti roti beras ketan, dan dari dalam roti kasar itu, ada aroma keju yag menyebar. Skor makanan itu 6. Itu tidak menakjubkan, tetapi…
‘Jika ada ini di sebelahku, aku akan memakannya sampai kenyang.’
Bukan berarti hidangan itu luar biasa lezat, tetapi roti itu punya daya tarik samar, yaitu cita rasa yang membuat ketagihan. Dia tidak bisa hanya memakan itu saja, memang karena tidak ada sebanyak itu, yang paling penting dia juga harus mencoba hidangan yang lain.
Saat dia meletakkan daging ham dan mozarella di atas roti gulung lalu memakannya, sejujurnya, tidak ada cita rasa yang spesial. Tatapan Jo Minjoon berpaling pada feijoada, lalu melirik rekan yang lain.
‘…Mereka tidak akan berpikir aku aneh, bukan?’
Jo Minjoon menuangkan feijoada ke atas roti dengan tenang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, berbeda dengan harapannya, ketiga rekan yang lain menoleh memperhatikan Jo Minjoon. Mungkinkah menurut mereka Jo Minjoon telah melakukan hal yang aneh? Saat Jo Minjoon tertawa dengan canggung, Emily berkata seolah-olah itu hal yang tak terduga.
“Minjoon, kau lebih suka menuangkan sup ke atas roti?”
“Kenapa dengan itu?”
“Mm..bukankah lebih baik mencelupnya lalu memakannya? Sup kental akan meresap ke dalam roti, lalu saat kau gigit, rotinya aka memberi kesan seolah kau menariknya dari rawa. Sup yang merembes ke roti aromanya menjadi lebih enak.”
“Entahlah. Saat aku mencelupnya ke dalam roti, supnya tidak semelekat yang aku pikir, dan meletakkannya di atas roti pun tidak nyaman. Jika kau menyantapnya dengan menuangkan sup, tekstur sup akan lebih jelas. Anderson, bagaimana menurutmu?”
“Kau harus mencelupkan rotinya. Itu lebih nyaman. Jika kau menuangkannya dengan sendok, dan kau membuat kesalahan, sup akan mengenai tanganmu lalu tanganmu menjadi kotor.”
Jo Minjoon mengunyah roti dengan ekspresi cemberut. Kemudian, Rachel berkata dengan tersenyum ceria.
“Aku juga suka menuangkannya. Jika kau mencelupnya, remahan roti akan tertinggal di dalam sup lalu tekstur sup akan menjadi agak kasar dan aku tidak suka.”
“Oh, ternyata ada satu orang di pihakku.”
Mendengar kata-kata Rachel, Jo Minjoon tersenyum seolah-olah dia telah diselamatkan. Anderson, yang melihat mereka berdua, berdehem membersihkan tenggorokannya lalu berkata.
“Sebenarnya, jika dipikir-pikir, aku lebih sering menuangkan sup dari pada mencelupnya ke dalam sup. Meski tidak nyaman, itu lebih lezat dan seperti yang Guru katakan, aku juga benci remahan roti tertinggal di dalam sup…”
Tatapan mereka bertiga tertuju pada Anderson. Anderson mengalihkan pandangan pada hidangannya, dia tampak sedikit malu lalu berkata,
“…Selera pengecapan memang beragam”
< Hukum pengecapan (2) > Selesai