Dewa Memasak – Bagian 123: Tenda yang membungkus kios jalanan (2)
Bab Sponsor!
Thailand dan Jepang adalah negara induk masakan yang paling terkenal bagi orang Asia. Meskipun kau juga bisa melihat masakan china juga memiliki beberapa poin kuat, tetapi kebanyakan orang China yang tinggal di luar negeri mengkulturisasi masakan berdasarkan negara tempat tinggal mereka. Sedangkan masakan Jepang dan thailand tidak kehilangan warnanya dengan mudah.
Oleh karena itu, ada banyak kasus di mana menyantap makanan thailand di AS atau di Eropa dipertimbangkan sebagai preferensi kuliner yang modern.
Pataya, tempat di mana mereka tiba. Tempat itu juga merupakan salah satu kota dengan relaksasi yang terkenal bersama dengan kota Bangkok. Jantung mereka sudah penuh dengan ekspektasi tentang pantai yang bersinar warna hijau zamrud yang akan segera mereka lihat dan kios-kios warna-warni yang berderet sepanjang jalan, semua orang tersenyum sangat bahagia.
Namun saat mereka selesai menjalani prosedur imigrasi dan hendak meninggalkan bandara, mereka harus menenangkan hati mereka yang sungguh gembira. Martin berbicara pada mereka dengan ekspresi yang entah apa artinya.
“Aku punya sebuah misi untuk kalian.”
“…sebuah misi?”
“Oh, tidak perlu sewaspada itu. Kalian hanya harus berkonsentrasi dalam gaya mencicipi seperti biasanya. Kalian datang jauh-jauh ke Thailand, dan seperti halnya yang dikatakan Rachel sebelumnya, kalian harus mengisi perut dengan baik. Hari ini, khususnya, kita akan memberi kalian biaya makan tak terbatas.”
“Saat dia mengatakan itu dengan jujur, mereka merasa sedikit tidak nyaman. Emily menajamkan matanya lalu berkata.
“Dan?”
“Iya. Dan ada satu alasan kenapa aku memberi kalian pertimbangan bagus ini. Selesaikan sebuah misi.”
“…Misi seperti apa itu?”
“Tidak perlu dipikir seserius itu. Misinya tidak begitu berat. Setiap kalian menyantap makanan di mana pun, kalian akan diberi poin. Dari setiap poin, kalian akan diberi satu petunjuk.”
“Petunjuk apa?”
“Tempat di mana partisipan selanjutnya berada.”
Pada saat itu, Jo Minjoon berseru ‘ooohh’. Baiklah, Martin juga sudah mengatakan itu sebelumnya bahwa Anderson dan Rachel bukanlah yang terakhir. Martin lanjut berbicara dengan suara tenang.
“Dua partisipan sedang menunggu kalian dan sekarang kalian akan dibagi menjadi dua tim.”
“Masing-masing dari kami mencari satu partisipan?”
“Iya. Jika kalian mungkin beruntung dan cerdas, setelah kalian mengosongkan hidangan dan mendapat petunjuk yang sungguh penting, kalian bisa segera menyelesaikan misi. Dan satu hal lagi yang harus kalian tahu.”
Martin berhenti sejenak. Saat mata mereka berempat penuh dengan rasa penasaran, dia membuka mulutnya.
“Tim yang menemukan partisipan pertama kali akan bisa menghabiskan malam di penthouse paling mahal di Pattaya. Baiklah, bagi tim yang terlambat hanya akan menginap di hotel.”
Mendengar itu, mata Emily berkilat. Kau akan bertanya-tanya apa artinya itu bagi seorang putri dari keluarga konglomerat, tetapi justru karena itu, dia tahu nilai dari hadiah yang Martin berikan bahwa itu berharga. Dia bertanya dengan cepat.
“Bagaimana kita membagi tim?”
“Aku akan mengatakan bahwa kalian bebas memilih tim…tetapi sayangnya, partisipan yang akan muncul hari ini berhubungan dengan kalian. Emily, Rachel, hari ini, kalian tidak akan bisa menjadi satu tim.”
“…Ini agak membingungkan, jadi mereka berdua adalah orang yang kami kenal?”
“Tidak. satu orang kenalan Emily dan satu lagi kenalan Anda, Rachel. Jadi, masing-masing dari kalian harus menemui teman kalian masing-masing.”
Rachel tidak menjawab, dia jatuh dalam pikirannya. Seperti yang Martin bilang, orang itu adalah kenalannya, mau tak mau Rachel merasa tidak nyaman. Dia tidak bertemu dengan siapapun selama 10 tahun setelah suaminya meninggal. Ini hanya akan menjadi kesulitannya untuk mendengar hal-hal baik dari siapapun yang akan dia temui. Dia teringat kata-kata yang dia bagikan dengan Douglas kemarin.
‘Apa kau berencana untuk mengangkat orang alih-alih Daniel?’
Apa jawaban Rachel? Saat dia memikirkan itu, Rachel menoleh pada tatapan dari seseorang yang dia rasakan. Anderson berusaha untuk tidak menunjukkannya, tetapi dia terus melirik Rachel. Rachel tersenyum masam dalam hati. Dia hanya memasak untuk Anderson beberapa kali dan memperlakukannya dengan baik saat dia masih kecil, tetapi sepertinya Anderson mengukir niat baik itu terlalu dalam di hatinya.
Tentu, bukan berarti dia tidak suka dengan sikap Anderson. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa membenci seseorang yang mengagumi dan menyukaimu. Dia justru merasa bersalah, karena di banding Anderson, perhatiannya lebih tertuju pada Jo Minjoon.
“Aku akan pergi dengan Anderson.”
Mendengar kata-kata Rachel, Anderson memasang ekspresi tercengang seolah dia terkejut lalu tersenyum ceria. Martin menyeringai melihat Anderson yang seperti itu, kemudian dia bertanya pada Emily.
“Sepertinya kalian berdua menjadi satu tim, apa kalian keberatan?”
“…Apapun yang aku katakan, tidak tampak seperti dia akan memilihku. Bagiku, akan bagus bila aku satu tim dengan Minjoon, tetapi entah apa dia suka?”
Emily menoleh untuk melihat Jo Minjoon. Dia meraih tasnya lalu berkata.
“Apa yang kita makan pertama kali?”
–
Sembari berjalan dia jalanan Pattaya, ada 4 hal yang mencuri perhatian mereka paling banyak. Pertama adalah wajah raja, yang ada di TV, poster, papan reklame, dan juga taksi. Saking banyaknya hingga kau akan mengingat wajahnya seumur hidupmu meski hanya jalan-jalan di jalanan Thailand selama satu hari.
Staf memberi saran dengan hati-hati. Dalam keadaan apapun, semestinya mereka tidak menunjukkan wajah raja dengan jari mereka. Dia berkata bahwa Ppenduduk Thailand memperlakukan raja hampir seperti buddha, jadi jika mereka tampak berlaku tidak sopan, mereka bisa ditangkap karena penistaan.
Hal berikutnya adalah hal lucu yang berhubungan dengan hallyu. Dia hanya mendengar kata itu dan tidak pernah mengalaminya…tetapi mendengar musik KPOP yang dimainkan di stasiun-stasiun atau toko-toko, dia merasa aneh. Mungkinkah hal ini bisa dikatakan bahwa dia bangga sekaligus malu? Dia merasa seperti anak kecil yang naik panggung seni di sekolah. Tentu, tidak ada orang yang mempedulikan itu.
Sisanya adalah tenda dan kios. Penduduk Thailand, yang tidak mempunyai dapur di rumah mereka dan tidak tahu konsep makanan rumahan, cenderung menyantap makana di kios jalanan. Hasilnya, budaya membungkus makanan menjadi berkembang. Melihat tenda transparan yang menutupi kios, dia merasa sungguh luar biasa. Menjelang petang, jalanan dihiasi dengan cahaya matahari senja dan banyak bentuk tersembunyi di balik tenda transparan itu…
Tentu, bukan berarti semua orang membungkus makanan mereka, kios yang dikunjungi Jo Minjoon dan Emily seperti itu. Di atas adonan putih dan kuning yang dipanaskan di wajan besi dengan minyak kelapa, potongan pisang, selai stroberi dan susu kental di taburkan.
Pisang yang diiris menggunakan pisau setengah lingkaran, diletakkan di depan panekuk dan Jo Minjoon dan Emily membaginya sama rata. Mereka harus makan banyak hidangan sedikit lebih cepat dan mendapatkan poin. Meski begitu, saat dia ingin menikmati makanan lagi, mereka berdua memesan satu hidangan lagi dan menyantapnya, itu adalah batas mereka.
Skor masakan itu 5. Akan tetapi dengan melihat bahan yang terkandung, mungkin masakan itu tidak lezat. Di bagian dalam adonan tepung yang lembut dan lengket, aroma kelapa menyebar samar Saat irisan pisang yang berbalut susu kental bertemu dengan selai stroberi, Jo Minjoon tertawa tanpa sadar. Emily bertanya dengan mata bulatnya.
“Kenapa kau tertawa?”
“Haha…karena ini terlalu manis dan lezat, aku merasa berdosa.”
Sejujurnya, ini bukan hidangan yang enak. Setidaknya pada standard Jo Minjoon, seperti itu. Namun stimulasi cita rasanya, jelas lebih kuat. Itulah pesona makanan.
“Ada banyak hal lebih baik dari pada ini. Kemarilah.”
Emily mengajak Jo Minjoon berpindah. Matahari terbenam di sebelah barat di atas laut, dan pemilik toko menyalakan lampu kecil karena hari mulai gelap.
Di antara kedai yang penuh, pemandangan turis dan penduduk asli yang duduk, terlalu biasa untuk mendapat perhatian Jo Minjoon. Bagaimana itu mungkin? Dia merasa kesan santai dan hangat dalam pemandangan yang sibuk dan tidak senggang ini.
“Ini enak. Ini.”
“Ini akan menjadi salah satu tempat paling romantis di Asia.”
Mendengar kata-kata Emily, Jo Minjoon mengangguk. Kemudian, suara keras terdengar dari toko. Seorang pemuda bertubuh besar yang memakai kaos lari warna putih dan celana pendek, mengerutkan dahi sembari meninggalkan ayam panggang yang sudah setengah di makan. Dari mulutnya, terdengar intonasi Bahasa Inggris yang kasar
“Hei, Pak! Kenapa ayam panggangnya seperti ini? Ini terlalu keras. Apa kau menggunakan bahan yang sudah kadaluarsa?”
“Oohh… Aku, tidak bisa berbicara bahasa Inggris dengan baik.”
“Hanya bahasa Inggris? Kau pun tidak bisa memasak, lihat, ada yang gosong juga di sini. Kau juga tidak punya hati nurani dengan kau menjual ini,.”
Karena pemiliknya sedikit pendek dan tua, dia tidak bisa menjawab apa-apa dan hanya menekan bibirnya dengan wajah bingung. Orang-orang di sekeliling mereka, mengerutkan dahi dan tidak menyela mereka. Baik turis maupun penduduk asli, mereka tidak ingin ikut campur dalam urusan seperti ini. Yang paling utama, orang yang memulai pertengkaran sungguh kekar, jadi itu cukup menjengkelkan. Sejujurnya, tidak ada seorang pun yang ingin berurusan dengannya.
Jo Minjoon hanya melihat tindakan pemuda itu. Tatapannya cukup sengit dibanding biasanya. Jika ada orang yang suka menyusun benda, ada pula orang yang suka menghancurkan itu dan berkata apapun yang dia inginkan. Jo Minjoon tidak pernah membiarkan tindakan orang-orang semacam itu.
“Minjoon, tahan!”
Jo Minjoon ia tidak menjawab. Dia sudah menahannya, oleh karena itu, dia masih berdiri terpaku. Ada alasan kenapa Jo Minjoon lebih marah dari pada yang lain, bukan karena dia seorang chef, melainkan karena dia bisa melihat skor masakan ayam itu. Dibandingkan dengan apa yang diutarakan pemuda itu, Jo Minjoon tahu dengan baik bahwa hidangan itu tidak bermasalah.
[Barbeku dada ayam ala Thailand]
Kesegaran: 96%
Asal: (Terlalu banyak bahan untuk ditunjukkan)
Kualitas: Tinggi
Skor Masakan: 6
Skor masakan tidak menjadi masalah karena memang makanan murah. Kesegaran dan kualitasnya juga cukup bagus. Setidaknya, itu bukan kios yang mengacaukan makanan. Oleh karena itu, dia tidak bisa setuju dengan semua kritikan tanpa bukti dari pemuda itu.
Tidak lama kemudian, saat pemuda itu melemparkan hidangan ayam itu ke tanah, Jo Minjoon tidak bisa lagi hanya berdiri. Emily buru-buru merentangkan tangannya untuk menggapai lengan Jo Minjoon, tetapi Jo Minjoon sudah berjalan ke depan.
Jo Minjoon, berjalan ke depan, lalu memungut ayam yang jatuh di depan pemuda yang mukanya memerah itu. Pemuda itu melihat Jo Minjoon dengan wajah bingung. Tidak, tidak hanya pemuda itu, Emily, pemilik toko, staf, dan turis yang menonton, semuanya melihat Jo Minjoon. Beberapa orang sudah mengangkat ponsel mereka dan menekan tombol untuk merekam.
Pada pemandangan itu, Jo Minjoon mengunyah ayam yang sudah kotor itu. Dia juga memungut norimaki yang pelanggan brengsek itu buang. Kali ini, tidak hanya sekedar terbuang, tetapi makanan itu jatuh ke tanah dan kotor terkena pasir. Meski begitu, Jo Minjoon tidak ragu. Karena hanya setelah dia makan ayam ini, dia bisa mengatakan sesuatu pada pemuda ini.
Beberapa orang berseru seolah itu jorok dan beberapa orang takjub. Pasir yang terkunyah di antara gigi-giginya kemudian menghilang. Jo Minjoon masih mengunyah daging ayanm dan pasir lalu melihat pria itu. Dia tersentak sejenak. Melihat badan Jo Minjoon yang tidak terlalu besar, dia membusungkan dadanya seolah dia telah mendapatkan dirinya.
“Apa yang kau lakukan saat ini?”
“Makanan ini lezat. Dagingnya tidak keras tetapi kenyal. Ini juga tidak terlampau matang dan bagian luarnya terpanggang sebagaimana mestinya. Bukannya hangus.”
“Apa…?”
“Aku berkata bahwa evaluasimu salah dan kritikan yang kau lontarkan juga salah.”
Jo Minjoon berkata dengan suara teratur. Tetapi di matanya, kemarahannya terlihat. Jika pemuda ini tidak buta, dia pun akan melihatnya. Dia tertawa seolah itu konyol.
“Jadi, kau mengatakan padaku agar aku meminta maaf?”
“Jika kau salah, kau harus meminta maaf. Orang tuaku mengajariku seperti itu, tetapi sepertinya orang tuamu tidak.”
“…Entah dari mana kau mendapat kepercayaan diri seperti itu, apa kau akan sadar setelah aku pukul?”
Pemuda itu berbicara seperti itu, tidak lama kemudian dia melihat ada kameramen dan staff yang berada agak jauh dari mereka. Dia samar-samar menyadari bahwa sedang ada semacam siaran. Meski dia tidak tahu siaran apa itu, dia tidak bisa mengabaikan itu semua. Selain itu, ada banyak kamera di sekeliling, tinggi kemungkinan baginya untuk dipenjara jika dia mengayunkan tinjunya tanpa berpikir dan tanpa berkata untuk membalasnya.
Namun, dia tidak mau merendahkan ekornya karena gengsi. Sembari berpikir seperti itu, pemuda itu meraih kerah baju Jo Minjoon tetapi Jo Minjoon tampak tidak menciut sama sekali. Jo Minjoon menurunkan tatapannya seolah-olah dia meremehkan tindakan pemuda itu lalu melotot pada pemuda itu.
“Kau malu kan? Rasa malu akan menutup mulut seseorang sehingga tidak bisa mengatakan apapun. Meski aku tidak mengatakan apapun sekarang, seseorang pasti akan membuka mulutnya untukku bila aku terjebak dengan pemuda brengsek sepertimu?”
“Jangan bicara seenaknya. Saat aku masih bisa menahannya.”
“Tapi kenapa kau bertindak benar sekarang? Sebelumnya, kau melampiaskan kemarahanmu pada daging yang tidak bermasalah. Kau mungkin bisa menahan itu tetapi orang itu tidak bisa mengatakan apapun. Menurutmu apa alasannya? Karena dia sungguh tidak percaya diri dengan hidangannya? Atau karena dia sungguh membuat hidangan yang kacau? Tidak. Dagingnya tidak masalah. Masakannya juga tidak masalah. Orang itu tidak bisa mengatakan apapun karena kau adalah pelanggannya. Seorang chef tidak bisa marah pada pelanggannya. Tapi apa kau sungguh pelanggan?”
Tatapan Jo Minjoon berubah galak. Pria itu sungguh tidak bisa berkata apa-apa. Biasanya, dengan melihat badannya, meski kau mengatakan kata-kata yang sama, kau akan sedikit memperhalusnya, tetapi Jo Minjoon mendakwa pemuda itu seolah-olah keluarganya yang telah dihina pemuda itu.
Barulah saat itu pemuda itu menyadari bahwa suasana memburuk. Meski badannya besar dan berotot, dia tidak bisa mengendalikan arus. Kekuatan yang dimilikinya saat ini hanyalah memegang pemuda Asia yang berdiri di depannya. Kekuatan yang sesungguhnya adalah dukungan diam-diam dari orang-orang di sekeliling pemuda Asia di depannya itu dan lensa kamera di sekitarnya.
- Bukankah itu Jo Minjoon?
- Orang yang datang ke Grand Chef?
Kata-kata yang dilontarkan beberapa turis adalah pukulan telak. Dia tidak tahu program apa itu, tetapi yang jelas, dia adalah orang yang cukup terkenal. Lebih tepatnya, dia adalah musuh yang membuat pemuda itu tidak akan mendapatkan apapun yang bagus dengan berkonfrontasi dengannya seperti ini.
Pada akhirnya, mau tak mau, dia melepaskan kerah baju Jo Minjoon. Jo Minjoon mengibaskan bajunya yang kusut dengan tangannya lalu berkata.
“Aku akan memberimu sebuah kesempatan.”
“Kesempatan?”
“Kesempatan untuk meminta maaf pada orang ini. Kalau tidak.”
Jo Minjoon mengangkat jarinya. Jarinya yang panjang menunjuk ke arah tangan yang terkepal dengan kuat seperti bola merium. Suara dingin terdengar.
“Pukul aku. Semaumu.”
< Tenda yang membungkus kios jalanan (2) > Selesai