Dewa Memasak – Bagian 127: Di istana kerajaan (3)
“Lagi…….?”
“Iya. Ada masalah?”
“Tidak, bukan begitu.”
Jo Minjoon ragu kemudian mengunyah daging punggung. Badannya gemetar, setelah itu dia menghela nafas. Ini sangat lezat hingga bulu kuduknya berdiri. Cita rasa tom yum yang menyebar di seluruh sudut mulutnya, cita rasa daging kepiting, dan cita rasa daging punggung. Tidak ada yang kurang atau perlu diperbaiki. Alis Jo Minjoon berkerut. Dia tidak mengerti sama sekali kenapa hidangan yang lezat ini masih kurang.
“Ini sungguh lezat, sampai-sampai aku tidak tahu lagi resep ini apakah masih bisa dikembangkan lebih lanjut.”
“Perkataanmu benar, jika kita orang yang normal. Akan tetapi, kita adalah chef.” kata Rachel penuh keyakinan. Persis seperti kebenaran yang sempurna seperti ini yang tidak akan berubah apa pun yang dikatakan seseorang.
“Seorang chef harus melampaui batasannya. Menurutku, kau pasti bisa mengerti.”
Jo Minjoon menekan bibirnya seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak mengutarakannya. Dia teringat risotto buatannya, risotto buah pir. Estimasi skor masakannya adalah 6. Dalam proses memasaknya, dia tidak melewatkan satu tahapan pun dan dia berkonsentrasi penuh. Dan apa hasilnya? Bukankah hidangan 8 poin adalah hasilnya?
Oleh karena itu, menurutnya, dia paham apa yang Rachel coba utarakan. Namun, itu juga punya batasan. Jika itu adalah resep 9 poin, hidangan itu mempunyai segalanya. Hidangan itu mengandung keahlian dan dedikasi yang tercurah ke dalamnya begitu banyak. Jadi, harus diubah sebagaimana lagi?
Tentu, kau tidak akan tahu kalau Rachel sendiri yang memasak. Dia pasti bisa mencapai bagian kecil lainnya yang tidak bisa dirasakan. Namun, apakah bagian kecil itu bisa membawa sebuah perubahan menakjubkan seperti mengubahnya menjadi hidagan dengan skor 10 poin?
Jeremy datang dengan memegang sebuah panci kecil yang berisi sedikit sup alpukat.
“Kenapa kau tidak mencoba ini dulu?”
“Oh, ini sudah selesai?” tanya Jo Minjoon dengan ceria sambil mendekati Jeremy. Jeremy menuangkan sedikit sup ke sendok Jo Minjoon dengan spatula. Dia bahkan menjilat kuah sup yang jatuh ke tangannya lalu mengangguk.
“Ini enak. Aku sangat suka dengan cita rasa jernih seperti ini. Tentu, ada rasa berminyak sedikit untuk dibilang sangat jernih…tetapi pada akhirnya, ini adalah cita rasa sederhana dari alpukat.”
“Bukankah sebelumnya kau bilang kau suka dengan makanan yang beraroma kuat?”
“Cita rasa dan aroma adalah hal yang berbeda. Sama seperti teh. Meskipun aroma kuat, tetapi bisa jadi cita rasanya tidak terasa. Meski begitu, bukan berati aku suka hal yang tidak terasa.” jawab Jo Minjoon dengan tenang.
Skor sup alpukat adalah 8 poin. Skor itu sendiri juga menakjubkan karena yang membuat sup adalah Sera dan Jeremy. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai level memasak 5 dan 6.
Sebenarnya, dia berpikir bahwa yang sesungguhnya membuat hidangan itu adalah Rachel alih-alih mereka. Tidak hanya sebatas sebagai chef kepala, dia mengontrol semuanya. Jika Rachel bisa melihat situasi keseluruhan secara real time dan mengontrolnya, sebenarnya tidak masalah siapa yang mengambil panci atau pisau.
‘Inilah kenapa dia disebut seorang legenda.’
Mata Jo Minjoon yang menatap Rachel tampak tidak biasa. Anderson melihat Jo Minjoon dengan mata yang sedikit khawatir kemudian menyikut Jo Minjoon.
“Kenapa kau melongo?”
“Tidak, guru Rachel …Aku baru sadar kalau dia menakjubkan.”
“…Sejak kapan kau memanggilnya sebagai guru?”
“Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja seperti ini.”
Ekspresi Anderson aneh. Dia suka bahwa Rachel dikagumi, tetapi sekarang dia seperti merasa tidak suka jika Rachel dirampas. Mungkinkah itu bisa dibilang bahwa dia adalah seorang kakak yang khawatir adiknya akan merampas ibunya.
Pada kahirnya, ekspresi Rachel tidak santai. Dia melihat galbi daging punggung yang ada di atas piring. Wajahnya seperti seorang ibu yang melihat anaknya yang manja. Dia berekspresi seperti merasa bersalah karena tidak melakukan tugasnya dengan sempurna.
‘Daniel, apa yang aku lewatkan kali ini?’
Suara Daniel seperti akan terdengar, namun sebenarnya tidak. Pada saat itu, Rachel menyadari setelah beberapa saat lamanya bahwa dia telah masuk ke dapur lagi. Dia pun ingat rasa tidak rela dan takut setelah sekian lama tidak berada di dapur.
Dia merasa sesak hingga kesulitan bernafas. Dia teringat pemandangan pada hari itu, di California, di pantai Venice, saat musim panas. Suara berdesis pasir pantai yang panas dan para muridnya yang juga berkeringat di dalam dapur. Ada penampakan suaminya yang tumbang.
“Rachel? Apa kau baik-baik saja?”
Saat Rachel sadar kembali, dia melihat Emily melihatnya dengan wajah khawatir. Rachel melihat ke belakang Emily dengan ekspresi bingung, lalu terkejut dan menggelengkan kepala.
“Oh, aku sedikit melamun.”
“Kau tidak terlihat baik-baik saja..Apa kau terlalu memaksakan diri?”
“Seorang chef di dapur, bagaimana mungkin hal itu dibilang memaksakan diri?”
“Meski begitu, kau sudah beristirahat selama 10 tahun.”
“Oleh karena itu, aku tidak bisa melakukannya lagi. Aku sudah cukup beristirahat.”
Rachel keras kepala dan menjawab seolah dia baik-baik saja. Emily berkata seolah dia tidak bisa tenang sama sekali.
“Meski begitu, jangan melakukannya terlalu keras. Kita masih punya banyak waktu.”
“Iya. Aku tahu. Tidak senggang…”
Mulut Rachel terhenti. Dia melihat mangkok kecil yang berisi daging punggung dengan wajah melongo lalu tersenyum dengan ceria segera setelah itu.
“Benar. Santai. Aku tidak santai.”
“Ya?”
“Anderson, Minjoon, maaf yaa. Aku membuat sebuah kesalahan besar. Jangan buru-buru membalur galbi daging punggung dengan adonan itu, setelah mengeluarkannya diamkan sebentar.”
“Aku paham.”
Jo Minjoon segera mengeluarkan sepotong daging punggung. Saat dia hanya melihat itu tanpa melakukan apa-apa, dia merasa gatal. Bisa dikatakan bahwa ia merasa harus melakukan sesuatu dengan cepat. Tetapi Rachel tidak memberinya isyarat apapun. Air dari potongan daging hampir semuanya telah menetes. Tidak sampai kering, tetapi hingga daging tersebut mulai dingin. Kemudian Rachel berkata.
“Sekarang, balurlah dengan adonan itu lalu gorenglah. Anderson buru-buru melapisinya dengan adonan racikannya, yaitu adonan daging kepiting dengan tepung sagu lalu menyelimutinya lagi dengan tepung roti dan digoreng dalam minyak panas.
‘Akankah itu berubah?’
Jo Minjoon melihat daging yangmulai berubah kuning sambil setengah ragu dan setengah berharap. Jeremy yang sudah mencicipi daging punggung di sebelah mereka, berkata.
“Ini sangat enak. Apa ini bisa lebih lezat lagi?”
“Tunggu saja. Sebuah cita rasa yang melampaui imajinasimu akan muncul.”
Rachel berkata dengan wajah percaya diri. Jeremy melihat sup alpukat dan daging punggung goreng bergantian. Rachel mengerutkan dahi lalu berkata.
“Tidak. Jangan pernah bermain-main dengan makanan.”
“…Apa kau tahu apa yang akan aku lakukan?”
“Saat ini kau…Aaaah.”
Pada akhirnya, Jeremy mencelupkan daging punggung pada sup yang berwarna hijau itu. Jeremy memakannya dengan ekspresi sombong lalu tidak lama kemudian dahinya berkerut, tangannya mencubit-cubit dagunya seolah dia telah makan sesuatu yang tidak seharusnya. Rachel menghela nafas lalu berkata.
“Camkan di kepalamu perkataan seorang chef.”
“Aku akan mengingatnya.”
Kombinasi kedua hidangan itu tampaknya cukup membuat syok, dan Jeremy segera mengangguk dengan wajah cemberut dan tanpa membantah. Daging punggung sudah selesai digoreng. Jo Minjoon mengangkat daging punggung goreng. Setelah dia mendiamkannya agar minyaknya menetes ke piring, dia melihat galbi dengan wajah terkejut. Sera yang juga melihatnya berkata dengan hati-hati.
“Warnanya sedikit berbeda dari sebelumnya?”
“…Benar.”
“Yang sebelumnya, warnanya bervariasi secara keseluruhan, tetapi kali ini warnanya seragam. Seperti sebelumnya, Rachel meletakkan pahatan kentang goreng serta acar, lalu terakhir dia meletakkan sayuran.
[Daging punggung goreng dalam saus tom yum]
Kesegaran : 97%
Asal: (Terlalu banyak bahan untuk ditunjukkan)
Kualitas: Tinggi
Skor Masakan: 10/10
[Anda mendapat pengalaman membuat hidangan 10 poin.]
[Penguasaan keahlian berkaitan dengan ‘pemahaman terhadap chef kepala’ meningkat!]
[Penguasaan keahlian ‘standar seorang asisten’ meningkat!]
[Pengalaman memasak meningkat!]
Banyak layar bermunculan tak terkontrol. Akan tetapi, Jo Minjoon hanya terpaku pada satu angka. 10 poin. Alih-alih mendapat pengalaman membuat hidangan 10 poin untuk pertama kalinya, dia lebih syok terhadap waktu menunggu yang sebentar tadi bisa membuat perbedaan yang besar. Rachel dengan tenang memotong daging punggung goreng. Dia memasukkan itu ke dalam mulutnya lalu gemetar seolah dia merasa ngeri. Ini sempurna. Dia ingin cepat-cepat menunjukkan pada mereka perbedaan ini. Dia ingin tahu bagaimana Jo Minjoon merasakan perbedaan ini. Namun pada saat itu, saat Rachel melihat wajah Jo Minjoon, dia bahkan lupa dengan kegelisahannya lalu menyeringai.
“Kenapa kau sudah berekspresi takjub saa kau bahkan belum mencicipinya? Ini, makanlah.”
Mau tak mau, Jo Minjoon menjawabnya dengan menerima daging punggung goreng itu dengan tangan gemetar. Perlahan, dia memasukkannya ke dalam mulutnya. Awalnya, cita rasanya sama dengan sebelumnya. Tepung roti yang menstimulasi hingga bibirnya meleleh bahkan sebelum itu hancur, dan pada saat giginya merusak lapisan renyah itu, aroma daging kepiting menyebar dengan tenang seperti aroma teh.
Ketika dia mencicipi daging punggung goreng yang sebelumnya, dia merasakan aroma tom yum yang seolah-olah meledak di dalam mulutnya, tetapi kali ini, hanya cita rasa yang lembut itu yang menyentuh lidah dan langi-langit mulutnya. Itu terasa lebih baik. Sebuah cita rasa yang temaram dan tidak blak-blakan. Cita rasa yang merayunya seperti seorang wanita yang berpakaian anggun.
Jo Minjoon terkikik. Dia terus memakannya hingga wajahnya menegang seolah dia akan menangis. Di balik matanya yang memerah, matanya menatap lekat daging punggung goreng dengan cinta dan kebencian.
Bukan karena kelezatannya. Tentu, galbi ini lezat, sangat lezat, hingga dia merasa takjub dan emosional. Namun yang membuatnya merinding adalah berbagai pikiran, perasaan, dan persimpangan dalam memorinya. Dia berpikir bahwa hal ini jauh, ini adalah akhir dari hidangan, dan hidangan yang paling sempurna. Akan tetapi, meski dia mengikuti arahan Rachel, dia membuatnya dengan tangannya sendiri, sebuah hidangan yang tanpa cacat.
Terlebih, apa yang membuatnya merasa paling takjub adalah kekuatan waktu. Betapa besar perbedaan hasilnya, karena menunggu, karena momen kecil itu… Dia merasa hal itu terlalu indah. Kesan mendalam hidangan itu sendiri yang menghanyutkannya. Dan pada saat yang sama, dia juga marah karena hal itu terasa nyata di depan matanya. Sebuah hidangan akhir lahir dari tangannya, tetapi hidangan itu bukan miliknya. Hal itu membuatnya sangat marah.
Tidak ada yang melihatnya dengan aneh. Justru, dengan memikirkan tentang indera pengecap Jo Minjoon yang mutlak, mereka melihat reaksi Jo Minjoon sebagai karakteristik kejeniusannya. Martin menyeringai ketika pemandangan seperti ini terekam kamera, bergantung bagiamana dia memproduksinya nanti, dia pasti bisa memberi emosi yang lebih meledak dan menggetarkan bulu roma. Dan bagaimana cara memproduksinya, dia percaya diri bisa melakukannya.
‘Jelas pilihan yang benar dengan merekrut Jo Minjoon.’
Jo Minjoon masih belum menunjukkan indera pengecapannya dengan benar pada program ini tetapi pasti ada satu hari di saat dia akan membentangkan seluruh sayapnya. Martin tidak berpikir akan kehilangan kesempatan itu.
–
Hidangan telah selesai dibuat. Satu set menu yang sederhana, tetapi merupakan hidangan terbaik, telah diletakkkan di depan Raja Thailand dan istrinya …Sembari makan, Raja berseru dari dalam hati dan suaranya basah karena kesedihan. Di akhir sesi makan, dia berkata dengan suara yang penuh dengan emosi yang berputar-putar.
“Itu tadi adalah makanan yang kurindukan. Dan sekarang, menurutku aku akan terus merindukan ini.”
“Tidak akan lama, aku pasti akan menghidupkan kembali kenangan itu. Aku janji.”
Raja meraih tangan Rachel dan terus berterima kasih berulang kali. Kameramen merekam kejadian itu. Semua orang merasa kekuatan chef telah membangkitkan Rachel. Karena Rachel membuat hidangan semacam itu dengan tangan orang lain, dan bukan tangannya sendiri, Jo Minjoon merasa semakin takjub.
Ini waktunya bagi mereka untuk meninggalkan istana. Di dalam mobil, Jo Minjoon, yang sedang melihat pemandangan malam hari, perlahan berkata.
“Guru Rachel. Apa kau tidur?”
“Tidak. Apa kau ingin mengatakan sesuatu?”
“Ini sungguh samar, tujuan seperti apa yang harus saya miliki sebagai chef? Apa membuat makanan lezat akan cukup? Tetapi bagaimana standar kelezatan makanan? Aku terpikir hal-hal seperti itu.”
“Jadi…?”
“Aku ingin Anda sebagai tujuan saya. Aku ingin menjadi…seorang chef yang membuat sesuatu dengan ringan bahkan jika itu tampak sulit dan tidak mungkin.”
Dibanding sebelumnya, suaranya jelas lebih tenggelam, tetapi ambisi dan hasratnya turut serta dalam suaranya. Rachel melihat Jo Minjoon dengan senyum. Dalam memasak, semakin lama, keserakahannya semakin kuat.
“Untuk kebulatan tekadmu, aku akan menyemangatimu. Tetapi kau salah paham tentang sesuatu.” jawab Rachel.
“Salah paham?”
Rachel berkata,
“Bagiku memasak masih terasa berat dan sulit meskipun aku punya pengalaman dan lebih ahli…”
Wanita yang sudah lansia, memegang hidupnya melalui mulutnya.
“Itu tidak menjadi lebih ringan.”
< Di istana kerajaan (3) > Selesai