Dewa Memasak – Bagian 128: Florencia dini hari (1)
Mengerjakan sesuatu dengan niat baik tidak selalu menunjukkan hasil yang baik. Seperti itulah, hidangan buatan Rachel untuk Raja dengan segenap kekuatan memberikan situasi yang buruk secara tak terduga,…tidak, sebuah situasi yang sedikit aneh.
Jeremy benar soal itu. Mungkinkah kepuasannya karena daging punggung goreng buatan Rachel naik seketika? Dia melontarkan komentar buruk di setiap restoran yang dia datangi.
“Aromanya meresap tetapi cita rasanya tidak terasa dengan benar. Aku bilang padamu untuk memasak tetapi kau melakukan kecurangan.”
Karena dia adalah seorang epicurean, dia bisa melakukan evaluasi seperti itu. Akan tetapi, apa yang membuat situasi rumit bukanlah karena dia berbicara pada dirinya sendiri, melainkan dia mengutarakan sendiri hal itu pada chef. Meski begitu, jika itu dalam bahasa Inggris dia akan bisa mengerti…Tetapi Jeremy mencari di kamus bahasa Thailand dan mengeluhkannya dengan sungguh-sungguh.
Akankah dendam orang-orang itu sampai ke surga? Sehari sebelum mereka seharusnya meninggalkan Thailand, sebuah suara awan hujan terdengar, segera setelah itu, hujan turun dengan derasnya. Pada akhirnya, penerbangan ditunda. Staf dan partisipan semuanya harus tetap berada di ruang tunggu bandara.
Sembari duduk di kursi yang tidak nyaman, Jo Minjoon merangkum hidangan yang dia santap selama dia berada di Thailand pada buku catatan kecilnya. Di dalam buku itu, tidak hanya soal makanan yang dia santap di Thailand, tetapi juga hidangan-hidangan yang dia santap di Brazil, dan bahkan saat dia di Grand Chef, resep dan tips dan karakterisasi hidangan dirangkum berdasarkan negara asal masakan.
Sebagai contoh di India, rempah-rempah lebih disukai untuk memasak hidangan dengan buah dan cabai, dan tidak termasuk produk susu. Betapa bingungnya dia saat pertama kali mendengar itu. Buah-buahan dan cabai, keduanya bukan kombinasi yang mudah untuk dibayangkan karena budaya di sana.
Sera, yang melirik catatan Jo Minjoon, mengekspresikan ketakjubannya.
“Kau sungguh cermat sekali.”
“Aku memutuskan untuk menjadi chef. Hanya ada satu jalan yang harus aku lalui, jadi, setidaknya aku harus melakukannya dengan baik.”
“…Minjoon, kau seorang pria yang bekerja keras, keren sekali. Terus pertahankan gaya itu. Kau tampak sangat seksi.”
“Apa itu pelecehan seksual?”
“Yang dilakukan seorang wanita semenarik diriku bukanlah pelecehan melainkan rayuan.” kata Sera sambil menyembulkan ciuman ke udara. Pada saat itu, Jo Minjoon yang menundukkan kepalanya, tampak cukup menggemaskan. Emily menarik Sera lalu menghela nafas.
“Jangan menggoda orang polos.”
“Lagi-lagi kau mengguruiku, aku bukan anak kecil.”
Jo Minjoon hanya memandangi mereka berdua. Ada satu hal yang dia sadari sembari bersama mereka, yaitu Sera cukup berhati-hati dengan Emily. Awalnya, Emily tampak kehilangan kendali karena karakternya yang blak-blakan, tetapi setelah sekian waktu, Emily justru tampak seperti sedang menjaga keponakannya yang manja. Sera aneh. Mungkinkah kau mengatakan bahwa dia adalah adik yang mengagumi kakaknya tetapi berpura-pura tidak peduli? Dan sebenarnya, perbedaan usia mereka juga seperti itu, Sera berusia 24 tahun dan Emily berusia 31 tahun.
“Hei, lihat ini.”
Anderson memanggil Jo Minjoon. Jarinya menunjuk sesuatu di ponselnya. Jo Minjoon, yang menengok, segera menyeringai.
“Sepertinya, dia melakukan pekerjaannya dengan baik.”
Itu foto Chloe. Dia memakai costum memasak dan sedang memasak untuk anak-anak. Karena dia melakukan siaran resep 5 menit, sepertinya dia juga ditelpon pihak lain. Selain itu juga, karena di foto itu ada anak-anak, wajahnya terlihat tersenyum berseri-seri. Jo Minjoon bahagia melihatnya. Anderson tidak hanya menunjukkan foto Chloe, tetapi juga Marco, Hugo, dkk.
“Tidakkah kau berpikir untuk memulai Starbook?” tanya Anderson.
“Aku belum pernah memikirkannya.”
“Kau tidak kehilangan apapun dengan menggunakannya. Penting juga bagi chef untuk meningkatkan citranya.”
“…Menurutku, kau akan cukup tertarik dengan hal ini, kau berpikiran cukup terbuka.”
“Aku realistis. Jika ini membantuku aku akan membuatnya. Alih-alih memakan sesuatu tanpa tahu siapa aku, akan lebih lezat untuk mengharapkan aku. Kemudian apa ada alasan untuk tidak menggunakannya?”
“Jika kau menyuruhku untuk mencari alasan, bukannya tidak ada, kau tahu itu. Seperti halnya tes buta. Evaluasi sederhana tanpa melihat bagian luar hidangan.”
“Itu adalah metode yang digunakan dalam kompetisi. Pada akhirnya, citra seorang chef juga ada dalam hidangan. Sebelum makanan menyentuh lidahmu, hal itu akan meningkatkan ekspektasi bukan hanya dari aroma dan penampakan.”
“Aku paham apa yang coba kau katakan… Pada akhirnya, kau mengatakan padaku untuk mulai menggunakan Starbook, kan?”(PR: Jadi, aku baru menyadari itu seperti Facebook, aku lemot.)
Anderson menyentuh layar ponselnya. Banyak wajah-wajah familier bermunculan.
Lihatlah. Kaya juga menggunakannya. Meski dia bukan tipe orang yang sering mengupload banyak hal, lihatlah. Dia sudah punya puluhan ribu penggemar.”
“Dan berapa banyak yang kau punya?”
“…Ah, aku baru mulai membuatnya baru-baru ini.”
“Jadi berapa banyak yang kau punya?”
Mendengar pertanyaan ngotot Jo Minjoon, Anderson menekan bibirnya sejenak seolah dia bingung, kemudian menundukkan kepalanya dengan ekspresi cemberut.
“Dua ribu tujuh ratus.”
“Wah, itu banyak. Tetapi kenapa kau menunjukkan wajah sedih?”
“Itu tidak banyak dibandingkan yang lain. Ya lumayanlah. Bahkan Chloe mencapai enam ribu orang.”
“Kau bilang kau baru mulai.”
“…Sebenarnya, aku yang pertama kali membuatnya setelah kompetisi berakhir.”
Melihat Anderson mengakui sebuah rahasia penting, Jo Minjoon tidak bisa lagi menahan tawanya. Anderson mengerutkan dahi.
“Apa itu sangat lucu?”
“Hahaha….iya, lucu bagi seorang Anderson yang tak tertandingi yang menderita karena hal seperti ini.”
“Tidak.”
Anderson mendengus seolah menyemburkan omong kosong. Jo Minjoon tersenyum dengan ceria lalu berkata.
“Suatu hari, secara alami penggemarmu akan semakin bertambah. Apa yang akan terjadi jika guru Rachel bergabung Starbook? Berapa puluh ribu…Tidak, mungkin saja mencapai ratusan ribu kan?”
“Entahlah. Dia memang terkenal, tetapi dia juga sudah tua. Penggemar guru bukan di usia yang mencari orang-orang terkenal melalui Starbook…”
“Kau adalah penggemarnya dan kau masih muda.”
“Tidak banyak yang seperti aku.”
“Sekarang aku mengerti, kenapa kau mengikuti guru seperti itu? Tidak, aku tahu dia adalah seseorang yang hanya bisa kau ikuti…Mungkinkah…kau pernah pergi saat kau kecil? ke restoran utama Rose Island?”
“Iya.”
Itu adalah jawaban singkat tetapi mata Jo Minjoon bersinar terang mendengarnya.
“Bagaimana itu?” tanya Jo Minjoon dengan tatapan penuh rasa penasaran.
“Tidak mungkin bagiku untuk mengekspresikannya dengan kata-kata. Meski begitu, pada usiaku saat itu, lidahku sensitif…Hidangan itu mengejutkan. Aku tidak bisa mengatakan lebih dari itu.”
Dadanya berat hanya dengan membayangkan restoran itu. Mungkin, menu 10 poin akan membuat antrian cukup panjang di restoran. Surga semacam apa itu? Jo Minjoon menyesal karena tidak terlahir lebih awal. Jika iya, dia jelas akan pergi ke sana dan bertemu dengan suami Rachel yang masih muda. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan, pelajari dan rasakan dari mereka.
Dia masih punya sebuah kesempatan. Meskipun bukan yang terbaik, dia masih punya Rachel di sebelahnya. Dia ingat perkataan Emily padanya bahwa mendapat perhatian Rachel adalah sesuatu yang kebanyakan chef hanya bisa impikan. Jo Minjoon tidak berencana untuk melepaskan impian itu.
Jo Minjoon melihat Rachel dengan tatapan yang tidak biasa. Rachel lelah dan dia sedang tertidur dengan memiringkan kepalanya. Pada saat itu, Anderson melotot pada Jo Minjoon. Martin menghampiri mereka.
“Aku baru saja dihubungi. Mereka bilang penerbangan akan diberangkatkan dalam satu jam.”
“Oh, kita bisa segera pergi?”
“Iya. Jika kau punya sesuatu untuk dipersiapkan, lakukan sekarang dan jika kau ingin ke toko, silakan.”
“Ke mana kita pergi setelah Italy?”
“Itu rahasia. Aku akan membuatmu penasaran. Kau boleh menebaknya.”
“Baiklah. Sebenarnya, itu berlebihan. Italia. Secara pribadi, aku paling suka hidangan Italia dari semua hidangan Eropa.
Jo Minjoon menelan ludah. Dia punya banyak hal yang membuat dirinya penasaran. Saat dia pergi ke restoran Italia di Korea, poin memasak berbeda pada masing-masing chef, dan dia juga ingin tahu seperti apa aldente yang ideal…dia juga ingin tahu bagaimana cita rasa daging Italia dan cita rasa saus atau pure yang dibuat dari buah-buahan Italia. Memikirkan dia akan segera mendapat pengalaman itu, jantungnya berdebar seolah akan pergi berdarma wisata.
Setelah semua orang mengobrol sejenak, lalu menjadi hening. Beberapa memilih tidur, dan beberapa melihat layar ponselnya. Jo Minjoon yang kedua.
[ Aku: Apa kau sibuk?] ]
[Kaya: Tidak. Aku akan pergi ke bandara sekarang. ]
Beruntungnya mereka. Tampaknya mereka tidak melewatkan waktu karena pesan itu tidak menunggu lama untuk dibalas, Jo Minjoon menggerakkan jarinya dengan wajah gembira.
[ Aku: Bisakah aku menelponmu? ]
[Kaya: Ya]
[ Aku : Aku akan menelponmu. Tunggu sebentar. ]
Jo Minjoon menekan tombol Panggil lalu mendekatkan ponselnya ke telinganya. Karena Anderson melihat Jo Minjoon dengan wajah aneh, Jo Minjoon menyeringai lalu menggerakkan mulutnya untuk mengucapkan ‘Kaya’. Anderson memalingkan wajah setelah memasang ekspresi mencebik.
Nada sambungnya lama, mungkin karena panggilan international, tetapi tidak lama kemudian suara familer terdengar. Misal apa yang keluar dari mulutnya adalah sebuah hidangan, untuk mengekspresikannya adalah sebuah hidangan yang terfermentasi dengan rasa ngantuk dan dimasak dengan kasar.
[ Aku lelah. ]
“Kenapa kau mengatakan itu sejak awal? Apa kau cukup tidur akhir-akhir ini?”
Karena Jo Minjoon memulai obrolan, Martin mengirimkan tatapan bertanya siapa yang dia telepon. Di sebelahnya, Anderson menjawab Martin. “Dia bilang itu Kaya.” Martin mengirimkan sinyal tatapan pada kameramen untuk merekam Jo Minjoon dari dekat. Jo Minjoon bahkan tidak tahu situasi itu dan lanjut menelpon dengan ekspresi yang nyaman.
“Tidak. Ini masih belum waktunya untuk tidur. Bagaimana di sana?”
[ Ini Dini hari. Jangan menyuruhku untuk tidur. Bagaimana kau tahu kapan kita bisa bertelepon lagi. ]
“Apa itu begitu penting? Badanmu menjadi buruk karena semakin banyak masalah.”
[ Ini masalahku. Aku tidak tahu kapan terakhir aku mengobrol yang benar-benar mengobrol. Orang-orang yang aku temui selalu penduduk setempat, pelanggan, atau chef lainnya. Saat aku menghubungimu atau yang lain sesekali, aku merasa bahwa aku bisa beristirahat. ]
“Siapa yang kau hubungi selain aku?”
[ Jelas, ibuku, adikku, dan…Marco. Chloe dan Aku tidak bisa mencocokkan waktu dengan mudah. Jadi kita saling berkirim pesan sehari sekali. ]
“Chloe juga sibuk. Jadi, apa badanmu baik-baik saja?”
[ Aku tidak tahu. Mereka bahkan tidak mengirimku ke RS, jadi bagaimana aku bisa tahu? “Entahlah. Saat aku tahu nanti, mungkin aku sudah menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Jo Minjoon mengernyit. Dia tidak merasa baik bahkan dengan membayangkan itu.
“Jangan bilang begitu. Jadi, di mana kau sekarang?”
[ Jerman. Tetapi dalam beberapa jam aku akan ke Italia. ]
“……..Italia? Aku juga akan pergi ke sana. Apa kau akan muncul dalam siaran kami?”
[ Tidak mungkin. Mereka bilang mereka menyelenggarakan Grand Chef di Italia, dan mereka bilang padaku untuk menunjukkan diriku sebagai pemenang. Meski aku tidak tahu apapun tentang Italia. ]
“Akankah kita bisa bertemu?”
[ Jika tempatnya dekat, kita akan bisa bertemu dengan menyelinap pada saat dini hari.]
“Itu bagus jika tempat kita dekat.”
Obrolan di antara mereka tidak segera berakhir. 10 menit, 30 menit, 50 menit. Hanya setelah waktu keberangkatan Minjoon tiba, dia mengakhiri panggilan.
“Aku harus segera masuk ke pesawat. Setidaknya, beristirahatlah di pesawat.
[ Iya. Aku akan menutup telepon. ]
Begitu dia mengakhiri panggilan, dia baru menyadari bahwa semua orang sedang melihatnya. Dia berkata dengan ekspresi canggung.
“Apa ada masalah?”
–
Waktu penerbangan 12 jam lebih sedikit. Karena perbedaan zona waktu, mereka tiba di Florencia tepat jam 2 siang. Setelah mereka keluar dari pos imigrasi, Martin menjernihkan tenggorokannya lalu mengumpulkan semua orang. Dia berkata.
“Inilah Italia. Hari ini, kami membawa pemandu spesial yang akan memimpin kalian.”
“Pemandu spesial?”tanya Emily dengan suara aneh.
Pada saat itu, Jo Minjoon terpikir Kaya. Kaya jelas mengatakan dia datang ke Italia. Meski dia berkata bahwa dia akan pergi ke Grand Chef Italia…Mungkinkah? Dia terpikir hal itu.
Martin hanya menoleh ke belakang alih-alih menjawab. Pria yang berada agak jauh darinya perlahan berjalan mendekati mereka lalu melepas kaca matanya. Seketika, Emily berseru.
“Alan……..?!”
< Florencia dini hari (1) > Selesai