Dewa Memasak – Bagian 129: Florencia dini hari (2)
“Senang bertemu lagi dengan kalian.” kata Alan dengan suara terat ur. Dia memeluk Rachel dan Emily sejenak, kemudian melihat Jo Minjoon.
“Minjoon, Sepertinya kau sedikit tumbuh?”
“Tidak. Sol sepatuku yang tumbuh, tidak mungkin aku tumbuh.”
Jo Minjoon tertawa riang dan menunjuk sepatunya. Setelah Alan menyapa Anderson, dia melihat Jeremy dan Sera.
“Lama tak jumpa Mr. Jeremy. Saya ingat dengan baik dalam hati saya, evaluasi yang Anda berikan setelah Anda datang ke restoran saya.”
“..Ah, Aku tidak begitu ingat, tapi apa aku memujimu?”
“Entahlah. Dari yang saya ingat, Anda bilang… mungkin kue beras apel yang saya buat untuk hidangan penutup menjijikkan, sedangkan orang lain mengutarakan begitu banyak komentar bagus sampai-sampai perut Anda sakit sehingga Anda akan menahan diri. Yaa, seperti itu kira-kira.”
“Hoho, akhir-akhir ini orang-orang tidak punya waktu. Aku tidak suka melihat isi yang sama lagi.” Kata Jeremy sambil tertawa alami.
Mungkin dia tidak berpikir akan menanggapi itu, tetapi Alan menyeringai, mundur, lalu tersenyum dengan lembut.
“Senang bertemu Anda. Aku Alan Craig. Panggil saja aku Alan.”
“Oh, Iya. Aku Sera Keitch. Senang bertemu Anda seperti ini. Anda adalah seseorang yang ingin saya temui suatu hari.”
“Tunggu. Alan, kau tahu Sera?”
“Dia muncul sebagai model di halaman utama majalah Cuckoos sebagai epicurean paling seksi di dunia. Semua orang seharusnya tahu, tahu tentangnya.”
“…Tetapi kau bukan tipe orang yang membaca majalah.”
Alan mengelak untuk menjawab dan melihat ke arah lain. Jeremy menyeringai di sebelah Alan.
“Meski tidak membaca majalah, sesekali kau harus membelinya. Itulah kenapa kekuatan sampul majalah begitu besar.Aku paham apa yang kau bicarakan.”
Sera tersenyum dengan seksi seperti model lalu melihat Emily. Emily menggerakkan bibirnya dengan lamban seolah-olah itu mengganggunya, tetapi dia tidak mengatakan apapun.
“Tetapi bagaimana Alan datang? Oh, ini karena guru Rachel?”
“Itu adalah alasan terbesar. Bagaimana mungkin aku tidak datang saat guruku datang.”
Alan menyunggingkan sebuah senyuman yang tidak cocok dengannya, lalu melihat Rachel. Rachel menjernikan tenggorokannya.
“Terima kasih telah kembali, Guru. Aku ingin melihat Anda berdiri di dapur lagi.” kata Alan dengan suara serius.
“…Kau tidak belajar lama di bawah asuhanku, tetapi perasaanmu sama dengan yang lain.” kata Rachel dengan wajah agak terharu.
Saat ini, Alan masih berusia pertengahan 30-an. Saat Rachel meninggalkan dapur, Alan baru berusia 24…jelas, dia hanya belajar beberapa tahun dengan Rachel. Jadi Rachel mau tak mau berterima kasih atas perasaan Alan. Alan menjawab dengan suara tenang seolah itu pasti.
“Hanya karena pendek bukan berarti dangkal.”
Segera setelah itu, mereka menaiki sebuah van dan pergi menuju Florence. Saat mereka pertam kali tiba di bandara, mereka berpikir bahwa bangunan yang indah dari masa kerajaan Romawi akan menyapa mereka, tetapi yang di depan mereka hanyalah jalanan yang lurus dan lebar. Martin, menghubungi mereka dengan radio. (walkie-talkie?)
[ Oh, oh. Apa kau bisa mendengarku?]
“Iya. Kami bisa.”
[ Saat ini, entah saatnya mereka makan siang ataukah makan malam. Oleh karena itu, menurutku akan baik untuk mengunjungi tempat hingga malam tiba. Alan. Kau tahu banyak tempak bagus, kan? ]
“Aku bahkan tahu berapa banyak bangunan yang ada di Florence. Jangan khawatir.”
[ Berapa banyak? ]
“20032.”
Keheningan mengalir melalui radio. Alan meletakkan radio seolah dia telah menang. Anderson, yang sedang fokus menyetir bertanya.
“Bagaimana kau tahu itu?”
“Aku hanya menebak.”
“…Kau menebak?”tanya Emily dengan wajah terkejut. Alan mengangkat bahu lalu berkata
“Aku bahkan tidak tahu berapa banyak garpu di dapurku, bagaimana aku tahu jumlah bangunan di Florence? Meski begitu, saat ini, Martin akan menginvestigasi apakah itu benar atau aku hanya menebak.”
“…Kau juga suka menjahili orang?”
“Aku tidak sehina itu. Aku hanya suka menjahili Martin.”
“Kenapa Martin?”
“Sebelumnya, saat dia datang ke restoranku, dia muntah di lantai. Itu bahkan terjadi setelah aku mengingatkan dia untuk mengontrol diri terhadap alkohol…”
Tawa Jo Minjoon meledak. Lalu dia bertanya karena penasaran.
“Sekarang dari yang aku lihat, ada banyak orang brengsek yang datang ke restoranmu? Setidaknya, aku tidak berpikir mereka mempermasalahkan cita rasanya.”
“Memang benar. Bahkan saat aku menjalankan Rose Island milik guru Rachel yang ada di Venice, setidaknya ada satu orang brengsek dalam satu hari.”
“Ada apa dengan mereka?”
“Aku akan menjawabnya. Ada orang-orang yang meludahi hidangan dan sesekali orang-orang muntah pada hidangan itu…ada orang-orang yang merokok di tempat VIP dan di tempat yang bukan untuk area merokok, hanya karena mereka pelanggan VIP. Ada juga beberapa orang yang tidak membayar tagihan, itu hanya sekali tapi ada beberapa orang yang berpura-pura memesan sesuatu lalu meninggalkan kecoak mati pada hidangan.”
“…Yang terakhir itu sepertinya bukan orang brengsek, melainkan sakit jiwa.”
“Perasaan orang-orang seperti ini, yaitu ketika kau sering mendengar hidangan itu lezat, itu adalah momen yang baik…Namun sekali mendapat pengalaman itu, energi baik yang tersusun selama satu hari akan menghilang seketika.”
Rachel mencebik dengan wajah menyesal. Alan menambahkan.
“Omong-omong, karena kita sekarang menjalankan sistem reservasi, setidaknya teroris semacam itu jarang terlihat. Tentu, pada restoran yang belum begitu populer, mudah sekali diserang oleh orang-orang seperti itu. Sebenarnya, reservasi itu pun juga ada kesulitannya. Ada orang-orang yang hanya membuat reservasi tetapi tidak muncul. Ada banyak kasus di mana kau memesan meja hanya untuk membuang-buang uang. Tidak datang. Kau pernah dengar, bukan?”
“Oh, Iya. Aku sugguh tidak mengerti itu. Mereka hanya harus menelpon sekali untuk mengkonfirmasi pembatalan.”
“Bahkan aku pun tidak mengerti. Masalahnya adalah masalah-masalah yang tidak bisa dimengerti itu terlalu sering terjadi. Ada banyak restoran yang menurutmu akan bangkrut karena tidak populer. Oleh karena itu, ada lebih banyak restoran yang tidak menjalankan sistem reservasi sama sekali.” Jelas Alan sambil menyeringai dan melihat Jo Minjoon seolah dia tidak bisa melakukan apapun dengan itu.
“Kenapa? Apa kau khawatir saat nanti kau akan menjalankan restoranmu sendiri?”
“Aku tahu. Aku memikirkan masa depan yang terlalu jauh.”
“Tidak. itu adalah hal yang diinginkan. Akan tetapi, jika kau merasa tidak sanggup dengan masalah-masalah itu, maka jangan lakukan. Kau tidak perlu membuat dirimu sendiri stress secara mental.”
“Iya, begitulah. Aku merasa bingung sembari memikirkan di mana aku akan menjalankan restoranku dan hal-hal seperti itu. Yaa, untuk sekarang aku harus mengakumulasikan pengalaman sebelum memikirkan itu”
“Jika aku mendapat tempat untuk membuka restoranku, aku akan menelponmu…Tetapi sejujurnya, bahkan dari yang aku lihat, bukan suatu tempat yang didatangi sembari belajar tetang Italia. Ada banyak tempat di AS, dan di tempat lain di dunia yang menyambutku. Mungkin…”
Alan melirik Rachel.
“Mungkin tempat itu lebih dekat dari yang kau pikirkan.”
–
Florencia adalah salah satu negara bagian yang tidak banyak mengalami perang di Italia, dan tentunya di Eropa. Saat mereka melihat budaya bangunan dan katedral dari ratusan tahun yang lalu yang masih bertahan, dan Palacio Medici Riccardi, Jo Minjoon merasa lebih terpesona melihat itu dari pada istana Thailand. Itu adalah pertama kalinya dia merasakan bangunan yang merupakan sebuah karya seni.
‘Aku ingin membuka restoran di tempat seperti ini.’
“Mari putuskan ke mana kita pergi.” kata Emily dengan ekspresi lapar yang sangat kentara dalam sekali lihat.
Sama seperti dia yang kehilangan kendali di depan makanan, dia juga semakin tajam saat kelaparan, itu jelas. Seperti yang kau bisa lihat dengan jelas, dia ingin kabur ke suatu tempat untuk mencari makan, dia tampak menggemaskan.
“aku jelas penasaran tentang pasta.”kata Jo Minjoon.
“Panini kalau aku. Pizza juga enak.”
“Omong-omong, kalian punya banyak waktu, jadi kalian bisa makan semua itu. Akan tetapi, kalian harus menghapus beban terlebih dahulu. Aku merekomendasikan sandwich. Ada kedai yang sangat terkenal dekat sini.” Kata Alan.
Karena dia penduduk asli, beban kata-katanya berbeda. Semua orang mengangguk tanpa sadar.
“Kalau begitu ayo ke sana.”
Tempat yang didatangi Alan bersama yang lain adalah kedai yang tampak seperti truk dan juga kontainer. Hanya ada 3 orang di dapur yang mengolah pesanan, dan di depan mereka ada menu yang ditulis dalam bahasa Italia. Alan membaca menu.
“Pertama, aku akan menjelaskan komposisi paling dasar. Kalian hanya perlu memilih roti untuk sandwich dan kalian juga bisa memilih daging dan saus yang akan di masukkan.”
“…Ini mirip dengan kedai sandwich yang ada di AS?”
“Iya, mirip, tetapi cita rasanya tidak bisa dibandingkan sama sekali. Percayalah. Secara pribadi, aku merekomendasikan lampredotto yang dibuat dari usus sapi.”
“…Oh, tunggu sebentar.”
“Mata Sera berbinar kemudian mengatakan sesuatu pada chef. Di mata Jo Minjoon, itu terdengar cukup lancar, tetapi dia sebenarnya tidak tahu artinya. Setelah selang beberapa waktu, Sera membawa sebuah panini lalu menunjukkan pada Jo Minjoon sembari tersenyum.
“Aku belum melihat dengan benar indera pengecapanmu yang mutlak. Bisakah kau menunjukkan itu sekali padaku?”
“…Kau sungguh seorang anak di area yag tak terduga.”
“Apa yang bisa kulakukan?”
“Sebenarnya, aku selalu penasaran, tetapi aku tidak bertanya padamu karena mungkin aku tidak sopan. Menurutku, kita bisa mulai untuk bertanya tentang ini sekarang. Apa kita tidak sedekat itu?”
“Berikan padaku.”
“Oh, ini.”
Sera melihat Jo Minjoon dengan mata berkedip-kedip. Itu sedikit mengganggu, tetapi Jo Minjoon segera mencicipi panini. Tidak ada jejak sesuatu yang dibakar, dan rotinya cukup mengembang. Jo Minjoon semakin suka dengan panini ini. Jika panini ditekan, perasaan yang sedikit terbakar dan rasanya menjadi lebih berlimpah, tetapi lebih mudah untuk merasakan tekstur roti dan kekerasan asli roti.
Jo Minjoon melihat panini sejenak. Di sebelah Panini, layar sistem menunjukkan bahwa panini berskor 7 poin. Itu hidangan yang baik karena levelnya mirip dengan apa yang biasa dia buat. Akhir-akhir ini, dia menjadi lebih pemilih karena dia semakin kenal dengan Rachel, meski begitu, hidangan itu sangat lezat disantap.
Momen saat panini masuk ke mulutnya, sistem menunjukkan bahan-bahannya, tetapi Jo Minjoon tidak melihatnya. Untuk sekarang, dia ingin menebak sebisanya.
“…Pertama, jelas ada usus sapi. Mereka menggoreng bawang bombay dan basil segar dalam minyak zaitun…lalu mereka juga memasukkan bawang puutih dan peproncino ke dalamnya. Ada zaitun, caper rendam, rucula…dan di saus tomat, ada tomat, krim segar, satu siung bawang putih…Yaa, bahan-bahan yang sudah aku sebutkan ada di dalamnya. Selain itu,…”
Selanjutnya adalah wilayah sistem. Jo Minjoon perlahan mengarahkan matanya memeriksa bahan-bahan yang belum dia sebutkan. Lalu berkata dengan suara tenang.
“Ada wine putih dan madu. Aku agak terkejut dengan madu. Sepertinya madu dicampurkan dengan saus di saat terakhir.”
Dua bahan. Bahan-bahan yang tidak bisa dia tebak hanya dua. Apa itu karena latihan berkelanjutan dalam merasakan bahan-bahan pada saat menyantap makanan? Karena dia tersenyum bangga, Sera tidak bisa berkata apa-apa melihat Jo Minjoon.
“…Benar. Aku tidak tahu bahan-bahan saus, tetapi kau bisa menebak bahan-bahan yang ada di dalamnya.”
“Sejujurnya, kau bisa melakukan itu jika kau berkonsentrasi penuh. Kau bilang kau biasanya berlatih merasakan bahan-bahan.”
“Kau tahu sendiri aku tidak mempunyai kredibilitas apapun sebagai seseorang yang mempunyai indera pengecap sensitif. Aku tidak bisa melakukannya bagaimanapun aku mencoba.”
Sera mencebik dengan ekspresi tertekan. Jo Minjoon merasa aneh. Level mengecap Sera 8, sama seperti Jo Minjoon, dan lidahnya tidak spesial sama sekali. Setidaknya, itu yang Jo Minjoon pikirkan. Akan tetapi, Sera berkata bahwa dia tidak bisa melakukan apa yang Jo Minjoon lakukan.
‘Apa sistem juga membuat pengecapanku lebih sensitif? ataukah…’
Sebenarnya, lidahnya memang sensitif, tetapi dia tidak menyadarinya. Saat dia terpikir hal itu, Sera memasang ekspresi tidak yakin sama sekali lalu mendekati chef sekali lagi lalu dia bertanya sesuatu. Ekspresi terkejut muncul di wajah chef sejenak, tetapi setelah mendengar kata-kata Sera, dia melihat Jo Minjoon dengan ekspresi tertarik.
Kemudian, dia mengeluarkan bahan-bahan dan mulai mencincangnya. Dia melakukan itu hingga kau bertanya-tanya kenapa dia tidak menggilingnya, lalu mengoleskannya di roti. Jo Minjoon, yang melihat itu dari jauh, terkejut seolah dia terganggu.
“Kau ingin aku memakan itu?”
“Indera pengecap yang mutlak, aku ingin tahu seberapa sempurna itu.”
Mata Sera berkilat. Apa boleh buat. Untuk seseorang dengan indera pengecap yang mutlak, yang muncul sebelum seorang epicurean, tidak berbeda dengan Beethoven yang muncul sebelum musisi. Bahkan Emily, saat pertama kali tahu bahwa Jo Minjoon mempunyai indera pengecap yang mutlak, dia mendekati Jo Minjoon untuk mendorongnya menjadi epicurean.
Panini yang baru di buat, masuk ke mulut Jo Minjoon. Semua orang melihat Jo Minjoon dengan tatapan gugup. Glek. Biji jakunnya bergerak. Kemudian…
Dia berkata.
< Florencia dini hari (2) > Selesai