Dewa Memasak – Bagian 130: Florencia dini hari (3)
“Bawang merah, kubis kecil, dan daging panggul.”
Mulut Jo Minjoon menyebutkan bahan-bahan tanpa ragu. Sejujurnya, jika memasukkan bahan-bahan di awal, mau tak mau, levelnya pasti lebih sulit di banding misi menebak isi kantong tahu. Namun, dia tidak bisa menunjukkan sisi lemahnya. Orang-orang di dunia sudah mengenalinya sebagai chef dengan indera pengecap yang mutlak. Setidaknya, secara resmi kemampuannya untuk menebak bahn-bahan adalah yang terbaik di dunia, tidak, dalam sejarah.
‘Jika apa yang mereka inginkan adalah ini…’
Jo Minjoon bisa memainkan sedikit gurauan sederhana. Sebenarnya, apa yang membuatnya yakin dalam merasakan bahan-bahan seperti ini adalah perkataan Anderson padanya di bandara. Perkataan itu cukup mempengaruhinya. Starbook. Meskipun citranya terbangun melalui hal itu, yang ditunjukkan dalam hidangan, Anderson berkata bahwa hal itu justru disambut dengan baik. Meskipun dia tidak menang melalui memasak, tujuan nyata seorang chef bukanlah kemenangan, melainkan membuat pelanggan bahagia.
Jika dia bisa menaikkan kepuasan pelanggan, menurutnya, hal itu justru sebuah kebajikan seorang chef. Sejujurnya, secara akal sehat, saat Jo Minjoon menyebutkan bahan-bahan yang digiling hingga halus yang seharusnya tidak bisa dia rasakan, tidak ada tanda keraguan pada suara Jo Minjoon.
Setiap kali dia menyebut satu bahan dengan benar, semua orang menunjukkan emosi berbeda pada wajah mereka. Emily berekspresi bangga yang terlihat seperti dia melihat adiknya sedangkan Alan mengangguk seolah dia tahu itu pasti terjadi.
Rachel melihat Jo Minjoon dengan mata terharu seperti biasa sedangkan Anderson memasang wajah sirik melihat ekspresi Rachel. Ketertarikan muncul di mata Jeremy. Sera terkejut. Dia mengecek semua bahan yang tertulis di kertas. Tidak ada yang salah.
Tidak mungkin. Meski dia mempunyai indera pengecap yang mutlak dan mempunyai lebih banyak syaraf pengecap lebih dari orang normal, hal itu tidak bisa dibandingkan…Mungkinkah orang bisa menebak bahan-bahan yang digiling halus seperti itu?
Sera
“……Tidak mungkin.”
Malam. Dengan melihat pantulan dirinya, Sera bergumam. Emily yang membujuk dari kejauhan, berkata dengan suara melambung.
“Aku sudah bilang, kan? Soal lidah Jo Minjoon. Kita tidak mengedit apapun.”
“Bukan karena aku tidak percaya…Aku tidak tahu dia mampu hingga seperti itu.”
“Sebenarnya, aku juga terkejut. Karena misi menebak isi dumpling dan saat ini, levelnya sungguh sangat berbeda.”
Sejujurnya, Emily juga merasa tidak nyaman. Dia ragu apakah Jo Minjoon mampu menebak semua bahan-bahan itu yang digiling hingga hampir menjadi serbuk, meski satu-satunya yang mereka bicarakan adalah Jo Minjoon. Tentu, dia berpikir bahwa Jo Minjoon mampu melakukannya, dengan mempertimbangkan apa yang telah dia lihat sampai sekarang. Meski begitu, mau tak mau Emily merasa sedikit tidak nyaman.
Tetapi hari ini, ketidaknyaman Emily menghilang. Hari ini adalah peletakan batu pertama bagi Jo Minjoon tentang indera pengecapnya yang mutlak. Penggemar Jo Minjoon yang suka dengan indera pengecapnya yang mutlak akan bisa lebih mempertahankannya lagi karena sekarang mereka sangat yakin terhadap Jo Minjoon. Emily meletakkan pengering rambut lalu melihat Sera. Penampilannya, yang lebih putus asa dari pada biasanya terlihat agak menggemaskan. Emily tidak bisa mengacuhkannya.
“Apa kau tertekan karena kau pikir kau menjadi aktor pendukung?”
“…Aku tak tahu. Awalnya, aku bingung, tetapi hari ini aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri dia mampu menebak semua bahan dengan benar…entahlah. Haruskah aku bilang bahwa aku seorang musisi ekstra yang melihat Beethoven? Emily, bagaimana kau bisa menahannya? Sensasi inferioritas ini.”
“Karena ini masalah yang kau tidak perlu merasakannya.”
“Kenapa?”
“Orang-orang bilang bahwa Beethoven hebat, tetapi tidak semua orang bilang bahwa dia yang terbaik, bukan karena dia punya kekurangan, melainkan karena di dunia ini, menyebut seseorang sebagai yang terbaik, itu tidak berarti.”
“Meski begitu… Memikirkan bahwa aku akan selalu berakhir sebagai aktor pendukung, sebagai tambahan…Ini agak menyedihkan.”
Melihat wajah tidak nyaman Sera, Emily menyeringai. Emily mengoleskan losyen ke tanganya lalu menotolkannya ke hidung Sera. Sera mengernyit.
“Apa yang kau lakukan?”
“Pertanyaanmu sudah ada jawabannya. Sebenarnya, seseorang yang disebut sebagai orang yang paling luar biasa jenius tentang musik di dunia ini adalah orang yang spesialisasi dalam musik klasik. Tapi, apa kau mendengarkan musik klasik?”
“…Aku bukan tipe orang yang mendengarkan musik klasik sebanyak itu.”
“Sama seperti itu. Benar bahwa lidah minjoon sangat sensitif hingga dia diklaim mempunyai indera pengecap yang mutlak dan seorang jenius. Akan tetapi, hanya karena hal-hal yang dirasakan lidahnya soal cita rasa tidak selalu menjadi standar mutlak karena preferensi orang bermacam-macam. Kau hanya harus menunjukkan warnamu.”
‘Warnaku adalah epicurean seksi.’ pikir Sera seperti itu yang kemudian meratakan losyen yang ada di hidungnya. Matanya menatap Emily dengan tenang. Emily tersenyum jahil.
“Losyen itu mahal. Gunakan dengan baik.”
“…Kau sungguh menjijikkan.”
“Apa itu yang seharusnya kau katakan pada seseorang yang mengatasi kegalauanmu?”
“Itulah kenapa kalian semua menjijikkan. Entah kenapa kalian tampak keren.”
Sera mengatakannya dengan tanpa beban kemudian menyentuh wajahnya seolah dia tidak mengatakan apapun. Rachel, yang sedang memperhatikan mereka berdua, tersenyum ceria.
“Kalian akrab sekali.”
“…Pernah sekali aku mengatakan itu pada Anderson dan Kaya. Menurutku, sekarang aku paham bagaimana perasaan mereka.” kata Emily tidak suka.
“Sekarang dari yang aku lihat, seseorang yang dipanggil Kaya itu tampaknya juga menakjubkan. Seperti apa Kaya itu?” tanya Sera.
“Dia teranugerahi bakat. Dalam memasak, sejujurnya dia yang terbaik. Aku ingat bahwa indera pengecapannya juga sensitif, hanya saja dia berada di balik bayangan Jo Minjoon. Bahkan saat dia mencoba risotto Alan satu kali, dia bisa membuat ulang dengan sama persis…”
“Oh, aku juga melihat itu. Bukankah Kaya secara tak terduga punya indera pengecap yang mendekati mutlak?”
“Indera pengecap yang mutlak, yang tidak pernah muncul dalam sejarah sampai saat ini, sekarang muncul pada dua orang dalam waktu bersamaan. Kau bersiap-siaplah. Untuk pergi ke restoran Alan besok, kau harus cukup istirahat. Besok akan menjadi hari petualangan yang agak berat.”
Ekspresi Rachel, sebagai pendengar pembicaraan mereka berdua, tidak terlihat nyaman. Hal itu karena dia teringat perkataan Jo Minjoon padanya waktu itu. ‘Orang yang cocok dengan guru bukan saya, melainkan Kaya.’ Meski Rachel juga tertarik pada Kaya, dia tidak akan bisa segera mendekatinya karena jadwal Grand Chef.
‘Jika itu mungkin.’
Rachel bangun dari duduknya. Emily melihat Rachel yang sedang memakai mantel lalu bertanya dengan ekspresi aneh.
“Anda mau pergi kemana?”
“Oh, Aku terpikir sesuatu.”
Tempat yang Rachel datangi setelah mengatakan itu adalah kamar para pria. Setelah dia menekan bel, berapa waktu kemudian, suara Jeremy terdengar.
[ Apa yang kau lakukan malam-malam mengunjungi kamar yang berisi banyak pria?]
“Hentikan kata-kata kotormu. Apa Minjoon sudah tidur? Jika belum, tolong katakan padanya bahwa aku mencarinya.”
[ Dia sedang keluar. ]
“Kalau begitu, apa dia ada ruang peristirahatan di aula?”
[ Tidak. ]
Mendengar jawaban singkat itu, Rachel mengernyit. Jeremy berkata dengan suara yang menjengkelkan.
[ Dia pergi dari hotel, dengan izin Martin. Dia bilang dia harus pergi menemui seseorang. Siapa namanya yaa? Kau tahu kan, si gadis itu. Aku tiba-tiba tidak bisa mengingat namanya.]
“Gadis?”
[ Kenapa? kau tahu kan, seseorang yang dia telepon selama sejam di bandara. Senang melihatnya.]
“Kaya Lotus?” seru Rachel.
–
Saat itu, Jo Minjoon hendak berbaring di kasur setelah mandi, tiba-tiba dia mendapat telepon. ‘Aku juga di Florencia. Apa kau bisa keluar?’ Mendengar kata-kata itu, secara tak sadar dia berkata ‘IYA’. Dia baru menyadari bahwa dia sedang di tengah siaran. Tentu, karena sudah malam, mereka hanya akan tidur, jadi hal itu tidak akan berarti meski dia sedang siaran….
Tetapi beruntungnya, Martin adalah orang yang fleksibel. Setelah menjelaskan situasinya dan meminta izin pergi sebentar, Martin menjawab diikuti senyuman penuh arti.
“Sebenarnya, aku akan mengirim kameramen bersama denganmu, tetapi karena ini sudah malam, aku akan melepaskan kesempatan ini karena banyak hal bisa terjadi pada malam hari. Kau akan cepat kembali, bukan? Aku menyarankan demikian. Kau tahu bahwa kita punya siaran langsung besok, bukan?”
“…Iya, terima kasih.”
Meskipun Martin mengatakan itu dengan bercanda, tetapi akhirnya, dia memutuskan untuk mengizinkan Jo Minjoon.
Tempat Kaya memanggil Jo Minjoon adalah Ponte Vecchio. Tempat itu hanyalah jembatan peninggalan jaman romawi. Ketika Hitler perang melawan Inggris dan kabur ke Florencia, dia menghancurkan semua jembatan kecuali Vecchio, jadi tidak perlu menjelaskan lagi betapa bernilai dan indahnya jembatan itu.
Orang-orang berjalan di tengah kedai-kedai yang menjual cincin berlian dan perhiasan emas. Lampu-lampu yang tergantung di dinding memancarkan cahaya kuning dan di antaranya, sinar bulan yang berwarna putih kebiruan menyinari permukaan danau.
Indah. Meskipun Jo Minjoon telah melewati jembatan ini pada siang hari, dia tidak bisa menikmati pemandangan ini dengan benar karena dia sedang fokus makan. Tidak hanya itu, malam hari di jembatan Vecchio punya karakteristik lain dibandingkan pada siang hari.
Jo Minjoon melihat ke sekelilingnya. Kebanyakan mereka yang berjalan-jalan di tempat itu adalah pasangan. Dia melihat seorang wanita sendirian, yang bersandar dengan lengan tersilang pada besi pegangan, tetapi dia tidak tampak seperti Kaya. Dia memakai kaos bertudung dan jaket kulit serta celana jins hitam yang ketat. Itu bukan mode yang disukai Kaya… Wanita itu tidak tampak seperti Kaya karena rambut yang menjuntai keluar dari tudung kaosnya bukan hitam, melainkan coklat.
“…Dia masih belum sampai.”
Pada saat dia meraih ponselnya lalu menelpon Kaya, nada dering terdengar dari ponsel wanita yang baru saja dia lewati. Jo Minjoon menghentikan langkahnya lalu melihat ke belakang. Wanita itu membuka layar ponselnya lalu berkata.
“Ya?”
[ Ya? ]
Suara yang sama terdengar dari ponsel dan dari wanita itu. Jo Minjoon berbalik tanpa berkata apa-apa. Saat dia mendekat 10 langkah jauhnya dari wanita itu, Jo Minjoon berkata.
“Di mana kau? Aku tidak melihatmu.”
Wanita itu melihat ke sekelilingnya seolah ada yang salah dan saat matanya menemukan Jo Minjoon, dia menggerakkan kepalanya menghadap Jo Minjoon. Segera setelah itu, senyum lebar mengembang di wajah wanita itu, di wajah Kaya. Dia berkata sembari tetap memegang ponselnya.
“Aku di Ponte Vecchio. Di tengah, di bawah lampu. Ada pahatan di sebelahku, tetapi aku tidak tahu pahatan siapa ini. Apa itu Leonardo atau Dante? Kau di mana?”
“Aku juga di Ponte Vecchio. Apa kau memakai pakaian hangat? Agak dingin di malam hari.”
“Seperti yang kau lihat… Tidak. Aku memakai kaos bertudung dan jaket. Ini sudah cukup hangat.”
“Apa kau keluar sendirian?”
“Semenakjubkan apa aku hingga keluar dengan pengawal?” jawab Kaya sambil menyeringai.
“Lalu sampai kapan kita bermain seperti ini?” tanya Jo Minjoon.
“Entahlah. Haruskah aku memberimu tanda?”
“Tanda bagaimana?”
“Mantra cinderella pudar ketika tepat jam 12 malam. Kita juga harus membunyikan lonceng. Aku akan membunyikan lonceng itu untukmu.”
Kaya menempatkan ponselnya di depan wajahnya. Kemudian, perlahan mendekatkan bibirnya ke mikrofon ponselnya.
Dari ponsel yang menempel di telinganya, Jo Minjoon bisa mendengar nafas Kaya perlahan. Segera setelah itu, dia merasa bibir Kaya berada di dekatnya.
Cup. Saat itu terdengar, momen memanglah sebuah momen, lalu hening lama…tetapi sepertinya suara itu terngiang di telinga Jo Minjoon seperti sebuah lonceng. Kaya tersenyum ceria.
“Sihirnya sudah pudar, bukan?”
< Florencia dini hari (3) > Selesai