Dewa Memasak – Bagian 131: Florencia dini hari (4)
Kaya mengakhiri telepon. Mungkin itu menjadi cara termudah untuk memudarkan sihir. Kaya berjalan menuju Jo Minjoon. Kemudian, seperti sedang mengetuk pintu, tangan Kaya mengetuk punggung tangan Jo Minjoon yang menutupi wajahnya yang masih takut.
“Apa ada orang di dalam?”
“…Ya. Ada.”
“Kenapa kau terperangah seperti itu? Kenapa? Apakah stimulasi ini berlebihan bagi Tuan Indera Pengecap Mutlak?”
“Apa kau juga seperti ini dengan orang lain?”
“Jangan terlalu keras. …Aku paham. Aku tidak. Aku tidak melakukan itu.”
Kaya memperlakukan Jo Minjoon seolah dia seperti anak nakal. Jo Minjoon bingung. Sejak kapan Kaya sesantai ini di depannya? Jo Minjoon melirik rambut Kaya yang berwarna coklat lalu berkata.
“Apa kau mewarnainya?”
“Iya. Sekarang aku juga memakai pelembut rambut. Aku sudah mengatakannya yaa waktu itu?”
“Tidak, omong-omong, cantik kok. Tapi, aku lebih suka rambut hitammu.”
“Yaa, sejujurnya kalau tidak sadar kau bahkan tidak akan tahu kalau berubah karena warnanya coklat tua.”
Kaya berkata seperti itu lalu menggulung rambutnya dengan telunjukknya. Jo Minjoon, yang melihat tingkah Kaya, bergumam
“Apa sebaiknya aku juga mewarnai rambut?”
Kaya memasang ekspresi keberatan lalu berkata.
“Tidak, jangan pernah. Jika kau mewarnai rambutmu, aku akan mewarna rambutku jadi pirang.”
“…Kenapa aku tidak boleh?”
“Aku tidak suka. Aku suka rambut hitammu.”
Melihat Kaya kesal seperti itu, Jo Minjoon tersenyum alih-alih merasa terusik. Kenapa Kaya terkesan sangat cantik apapun yang dia lakukan? Secara tak sadar, Jo Minjoon mencubit pipi Kaya. Kaya memutar bola matanya saat Jo Minjoon mencubit pipinya lalu memelototi tangan Jo Minjoon.
“Apha ini, lepashkan.”
“Karena kau bertingkah seperti bocah, maka aku memperlakukanmu seperti bocah. Ini salahmu.”
“Lepashkan tanganme, ayo kita bichara.”
Setelah Jo Minjoon melepaskannya, Kaya melotot pada Jo Minjoon sambil menggosok-gosok pipinya.
“Sakit lho.”
“Maaf ya.”
“…Kau selalu buru-buru minta maaf. Aku jadi tidak bisa marah lagi.”
Mereka berdua terus mengobrol seperti itu seiring berjalannya waktu. Bagi beberapa orang, mungkin itu percakapan yang kurang penting, tetapi percakapan itu tidak berlangsung lama. Mereka perlu perlu berbincang secara normal. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang sempit itu…
…hingga mereka bisa menahan rasa kantuk mereka. Obrolan ringan, yang datang dan pergi bersama hembusan angin yang dingin, terasa seperti memeluk mereka dalam kehangatan. Satu jengkal atau barangkali dua jengkal jauhnya jarak mereka berdua, tetapi perasaan dan percakapan di antara mereka bersatu.
“Jadi, besok, kau akan pergi ke restoran Alan?”
“Iya. Kita tidak pergi pagi hari, tetapi pada saat makan siang.”
“Betapa enaknya. Aku juga ingin pergi denganmu.”
“…Apa kau punya waktu?”
“Tidak. Itulah kenapa aku ingin pergi.”
Kaya bersandar pada susuran tangan dengan wajah tertekan. Saat itu, Jo Minjoon merasa gugup di sebelah Kaya, dia bersiap-siap untuk memegangi Kaya jika sesuatu yang tak diharapkan terjadi. Kaya menoleh sambil tetap bersandar, dia menatap Jo Minjoon tanpa berkata apa-apa. Kaya mengulurkan tangannya.
Jo Minjoon memilih untuk membalas menatap Kaya alih-alih meraih tangannya.
“Kau mau memegang tanganku?” tanya Kaya sambil mengayunkan tangannya.
Jo Minjoon bukan hendak memegangi Kaya seandainya dia terjatuh. Namun, tanpa berkata apa-apa, Jo Minjoon meraih tangan Kaya. Meskipun udara dingin menyelimuti tangan mereka, darah panas yang mengalir di pembuluh darah menghangatkkan tangan mereka. Kaya merasakan kehangatan itu lalu berkata.
“Sekarang, aku bisa menggenggam tangan orang lain dengan benar untuk pertama kalinya sejak aku lahir. Aku bukan tipe orang yang sering berjabat tangan. Akan tetapi, lucunya adalah beberapa kali aku memegang tangan orang lain, tidak ada yang menggenggam tanganku seerat ini.”
“Apa kau takut?”
“…Iya. Aku ingin membual di depanmu, tapi aku justru merasa semakin ingin jujur padamu. Aku takut. Di masa lalu, aku hanya hidup sebagai satu bagian di dunia ini, tapi sekarang, seluruh dunia melihatku. Aku baru paham bahwa aku telah sukses…tidak hanya itu. Lucunya adalah…”
Kaya memegang tangan Jo Minjoon dengan erat lalu menunjuk tangan kanannya dengan tangan kirinya.
“…Meski aku sangat takut, tapi karena ada seseorang yang memegang tanganku seperti ini … aku bisa tenang. Bukan berati kau memelukku, hanya menggenggam tanganku. Orang-orang sungguh lucu, bukan?”
Jo Minjoon hanya menatap Kaya. Kebetulan, bayangan bulan muncul di balik kepala Kaya. Di balik rambutnya yang panjang dan tergerai, cahaya bulan yang terpantul dari permukaan air, bersinar, dan menampakkan teksturnya.
“Apa yang terjadi? Tentang yang kau bicarakan sebelumnya? Kau bilang sesuatu akan segera terjadi.”
“Itu belum terjadi. Jadi, jangan khawatir.”
“Boleh aku bertanya tentang apa itu?”
“Aku sudah bilang. Jika aku menceritakannya padamu, aku akan bergantung padamu. Dan jika aku bergantung padamu, aku menjadi lemah. Aku tidak suka. Aku ingin menjadi kuat. Oleh karena itu, bergantung pada orang lain…”
Kaya berdiri. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya sembari berdiri tegak. Sepertinya pakaiannya tertarik dan tudungnya menekan rambutnya, tetapi segera setelah itu, tudungnya terlepas seperti karet gelang yang terjentik. Warna rambut Kaya menjadi perhatian Jo Minjoon. Sama seperti warna rambutnya yang berubah, pribadinya juga berubah.
“Aku tidak ingin melakukan itu. Aku ingin menjadi dewasa. Oleh karena itu, aku harus berusaha lebih keras. Aku harus. Tapi…”
Tatapan Kaya tertuju pada tangan Jo Minjoon. Pada pandangan pertama, tidak bisa dibedakan jari mana milik siapa. Kaya mengambil nafas lalu perlahan berkata dengan suara gemetar.
“Tangan ini, sulit aku lepaskan.”
Sebenarnya, dia tidak berencana melakukannya. Namun, selama beberapa minggu terakhir, setelah Jo Minjoon tidak berada bersamanya, dia menyadari bahwa dia ada di dunia ini sendirian. Artinya, bagi Kaya, Jo Minjoon luar biasa berarti lebih dari yang dia pikirkan.
Oleh karena itu, Kaya menggenggam tangan Jo Minjoon. Dia berpikir itu tidak istimewa. Tapi ternyata tidak seperti itu. Dia menyadarinya setelah menggenggam tangan Jo Minjoon. Dia bukan ingin menggenggam tangan Jo Minjoon, melainkan tangan itu yang tidak ingin dia lepaskan.
‘Aku pasti…’
Alis Kaya naik seolah dia marah, tetapi matanya gemetar dan berkaca-kaca. Matanya tertuju pada Jo Minjoon. Entah karena Jo Minjoon orang Asia, sehingga sulit membaca ekspresinya, entah apa yang sebenarnya dia rasakan. Wajah Jo Minjoon tampak tidak berekspresi, seperti tidak berperasaan.
Kaya tidak ingin melihat wajah itu. Dia bisa saja menutup mata dan memalingkan wajah. Namun, dia tidak melakukannya. Tidak. Dia tidak bisa. Tampaknya, Jo Minjoon melepaskan tangan Kaya, segera setelah itu, perlahan Jo Minjoon menarik bahu Kaya. Kaya merasakan dagu Jo Minjoon yang menyentuh lehernya. Suara Jo Minjoon membuat hawa di balik tudungnya terasa panas.
“Jangan takut.”
Kata-kata itu menenangkannya, menepuknya. Pada momen itu, Kaya merasa segala ketidaknyamanan di hatinya sirna. Dia merasa seperti kembali ke rumahnya. Tentu, saat dia sungguh berada di kampung halamannya, tidak sehari pun dia merasa nyaman.
Kaya juga memeluk Jo Minjoon. Pada saat Kaya mendekatkan pipinya ke leher Jo Minjoon, dia merasakan sesuatu yang aneh. Segera setelah itu, dia menyadari bahwa hal itu disebabkan oleh luka yang membekas di leher Jo Minjoon.
Kaya memegang bahu Jo Minjoon. Di bawah sinar lampu, luka yang punya warna aneh terlihat lebih jelas. Kaya berkata dengan suara lebih pelan dan kasar dari sebelum-sebelumnya.
“Aku bilang padamu waktu itu. Kau yang paling penting setelah keluargaku.”
“Iya?”
“Itu bohong.”
Mendengar kata-kata itu, Jo Minjoon bahkan tidak punya waktu untuk tercengang. Kaya menguburkan wajahnya ke leher Jo Minjoon. Tampaknya memang seperti itu, tetapi tidak. Kaya mendaratkan bibirnya ke permukaan luka Jo Minjoon. Nafas panas dan menggelitik keluar dari bibirnya yang gemetar bahkan sebelum hawa panas itu hilang. Bibir Kaya mengecup luka di leher Jo Minjoon.
Namun kenapa kecupan itu terdengar seperti saat kau mendecakkan bibir setelah menyantap hidangan. Perlahan, Kaya mendongakkan kepalanya lalu bulu matanya yang panjang terangkat. Dia menatap Jo Minjoon.
“Kau sama pentingnya dengan keluargaku.”
Kaya tertawa.
“Sama halnya seperti bekas lukamu yang tak mungkin hilang, perasaanku juga tak akan berubah.”
–
Di penginapan, Semua partisipan mengetahui bahwa Jo Minjoon pergi keluar kemarin malam. Anderson, yang ingin bertanya tentang bagaimana hasilnya pada saat Jo Minjoon kembali, malah tertidur sembari duduk di sofa. Peserta yang lain segera mencari Jo Minjoon begitu mereka bangun.
“…Dia belum kembali ya?” tanya Sera dengan wajah tidak mengerti. Jeremy tertawa sambil tersenyum jahat.
“Jika seorang pria dan seorang wanita tidak kembali sebelum tengah malam, kisahnya sudah jelas.”
“……Jeremy, kau sudah tua, jangan berasumsi begitu mudah. Iya kalau benar, kalau tidak bagaimana. Apa layak dibicarakan di depan anak kecil?”
“Lalu kau bagaimana? Kau juga terus mengatakan ini dan itu sesukamu. Kau yang bertingkah seperti itu, lebih lucu.”
“Aku mohon padamu, tolong diam saja.”
Saat Jeremy tertawa dan hendak mengatakan ‘Lihat kan? Dia aslinya seperti ini.’ Jo Minjoon perlahan menunjukkan diri. Dia tertawa canggung.
“Aku sedikit terlambat, ya?”
“Banyak. Apa kau sudah tidur?”
“Ya, aku tidur sebentar di bangku…Ada apa dengan ekspresi kalian?”
Jo Minjoon melihat mulut Emily yang terbuka karena heran dan bingung. Sera menunjukkan senyum provokatif lalu berkata.
“Yaa, aku juga suka hidup bebas seperti itu.”
“…Apa menutup mata sejenak di bangku adalah sesuatu yang perlu di bahas seperti itu?”
“Ya?”
Sera melihat Jo Minjoon dengan tatapan aneh. Jo Minjoon juga menlihat Sera dengan tatapan yang sama. Mereka saling melemparkan tanda tanya. Orang yang menghentikan itu adalah Anderson.
“Apa kalian ngobrol semalaman?”
“Iyaa. Aku tertidur di bangku sejenak. Kami mengobrol banyak hal karena sudah lama tidak saling bertemu.”
“Baiklah.”
Anderson mengangguk seolah dia tahu itu yang terjadi. Awalnya, dia bahkan tidak bertanya karena dia penasaran. Dia hanya ingin menjernihkan keraguan semua orang tentang Jo Minjoon dengan mulutnya sendiri. Jo Minjoon dan Kaya, meski tidak akan mengakuinya, mereka berdua lebih naif dan polos dari apa yang orang-orang sangka.
Sera dan Emily saling bertukar pandangan sejenak. Mereka memeriksa apakah mereka paham percakapan antara Anderson dan Jo Minjoon. Tidak lama kemudian, Sera berkata dengan nada bingung.
“Tidak ada yang terjadi?”
“Ya?”
“Oh, tidak ada.”
Karena mereka saling bertukar pandang seolah itu aneh, Sera merasa lebih malu karena dirinya memikirkan hal yang bukan-bukan. Jeremy menjernihkan tenggorokannya lalu berkata.
“Itulah kenapa aku bilang pada kalian jangan menyimpulkan terlalu dini.”
Tempat mereka kunjungi untuk sarapan adalah kedai pizza di kota. Akan tetapi Alan tidak ada karena memang direncanakan seperti itu, mereka akan makan siang di restoran Alan. Yang paling utama, sulit juga bagi chef kepala, mengosongkan posisi itu dalam waktu yang lama.
‘Untuk sepotong pizza di pagi hari.’
Dipikir-pikir, itu aneh. Menyantap satu, tidak, 3 wajan Jeon tidak terasa berlebihan. Akan tetapi kalau pizza, memakan separuh wajan sudah terasa makan dalam jumlah besar meskipun lapisan pizza tipis karena dipanggang dalam tungku arang.
Sera memesan pizza margarita lalu berkata.
“Bagi orang Italia jelas akan menyantap satu bulatan pizza meski wanita. Sama seperti tidak membagi hamburger bagi orang Amerika.”
“Yaa, dibanding pizza ala Amerika, yang ini tipis dan tidak lebar, jadi aku bisa memakluminya. Akan tetapi, aku semacam merasa sudah makan banyak. Di negaraku, satu bulatan pizza biasanya dimakan oleh tiga orang. Selain itu, kami tidak makan pizza di pagi hari.”
“Pizza di pagi hari itu sungguh sehat.”kata Sera
Melihat Sera yang berkata demikian, Jo Minjoon merasa hal itu mengagumkan. Tidak semata-mata jenis makanan yang berubah ketika negaranya berubah, tetapi kebiasaan makan, cara menyikapi bahan, dan yang paling penting konstitusi dasar terhadap bahan-bahan juga berbeda. Hanya dengan melihatnya, pizza ini adalah menu yang akan membuat kenyang seharian jika dimakan di pagi hari di Korea.
Tidak terkecuali Jo Minjoon. Ketika sarapan selesai, Jo Minjoon harus masuk ke dalam mobil dengan wajah yang tampak menderita tekanan darah rendah, bahkan pada pandangan pertama. Meski begitu, bagi badan yang tidak bisa menerima keju dengan baik di pagi hari, apalagi mengandung tepung, perut Jo Minjoon bergemuruh bukanlah hal yang aneh.
‘Apa Kaya sudah sarapan?’
Jika dipikir-pikir, Kaya juga terjaga semalaman, jadi apapun yang dia lakukan saat ini, dia pasti dalam keadaan sangat lelah. Mungkin, Jo Minjoon sebaiknya mengantar Kaya lebih awal. Akan tetapi, mereka merasa baik saat bertemu. Tidak mudah bagi mereka untuk mengatakan salam perpisahan. Jo Minjoon mengeluarkan ponselnya.
[ Aku: Apa kau lelah?]
[ Kaya: Aku tidur sebentar di mobil. Mereka bilang kita akan siaaran di restoran. Aku harus tidur lagi sembari makan.]
[ Aku: …maafkan aku. Aku memegangmu hingga larut malam.]
[ Kaya: Apa hanya kau yang memegangku? Aku juga memegangmu. Aku akan tidur sebentar. Kabari aku nanti.]
Itu adalah hal yang tak terduga. Balasan dari Kaya muncul dengan cepat. Akan tetapi, Kaya menghentikan percakapan seolah dia lelah. Jo Minjoon tidak berniat mengirim pesan lagi pada Kaya terlebih karena Kaya mengantuk. Jo Minjoon memejamkan mata. Anderson, yang sedag menyupir, berkata.
“Tentang nama restoran Alan. Bagaimanapun aku melihatnya, nama itu meniru restoran guru Rachel, bukan? Olive Island.”
“…Mungkin. Aku pensiun bahkan sebelum Alan menjadi chef kepala. Situasi saat itu, tidak bisa mempercayakan restoran utama pada anak itu. Meski begitu, melihat dia meninggalkan jejak restoranku dan suamiku, menurutku dia sungguh anak yang baik.”
“Hanya Rachel di dunia ini yang memperlakukan Alan seperti anak kecil.” kata Emily sambil tersenyum.
Ketika mereka sampai di Olive Island milik Alan, mereka berdiri didepan restoran dan Martin menyuruh mereka menunggu sejenak sambil berdiri. Karena hal itu adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sampai sekarang, mereka melihat Martin dengan ekspresi aneh. Martin tersenyum ceria lalu berkata.
“Meski aku tidak tahu dari negara mana asalnya, orang bilang makanan akan lebih enak jika berbagi. Tentunya, bagi kalian ber-6, makanan akan terlalu banyak. Mungkin kalian akan menyisakannya, tetapi, jika ada sepasang garpu dan pisau lagi, mungkin kita bisa menyantap makanan dengan lebih nikmat dari pada ber-6.”
“…Apa inti dari perkataanmu yang sungguh panjang itu?”
“Ada tamu spesial hari ini.”
Tamu. Mendengar kata-kata itu, Jo Minjoon mengernyit. Saat itu, dia mendapat firasat. Namun kemungkinannya belum tentu benar. Jika yang terjadi sama seperti yang dia pikirkan, momen yang dia bangun hingga tidak tidur semalaman akan menjadi sia-sia seketika.
Namun, pada saat itu, Jo Minjoon mendapat tatapan aneh, dia jadi yakin firasatnya benar. Martin menunjuk ke arah belakangnya. Seorang wanita, yang memakai sweater abu-abu tanpa lengan dan riasan gotik tebal, melihat Jo Minjoon tanpa bisa berkata apa-apa. Martin berkata,
“Tamunya adalah pemenang Grand Chef, Kaya Lotus!”
< Florencia dini hari (4) > Selesai