Dewa Memasak – Bagian 136: Apa itu dapur (1)
“Anderson, sampai kapan kau bertingkah seperti anak kecil? kumohon dewasalah.”
‘…Ini bukan sesuatu yang aku ingin dengar dari seseorang yang berkencan di tengah siaran.’ kata Anderson dalam hati sambil menatap Kaya dengan ekspresi aneh tetapi dia hanya diam dan memalingkan muka. Dia tidak ingin tertangkap di layar sama anehnya dengannya.
Karena Anderson tidak menjawab lagi, Kaya memasang wajah bangga menganggap dirinya sudah menang. Jo Minjoon terkikik melihat Kaya. Bagi Anderson, Kaya menjengkelkan, tetapi di mata Jo Minjoon, dia cantik. Tanpa sadar Jo Minjoon mengulurkan tangannya lalu mengacak-acak rambut Kaya. Kaya mengerutkan dahi dan memelototi Jo Minjoon.
“Oh, apa ini? Jangan pegang rambutku.”
“Itu aneh. Aku memperbaiki itu untukmu.”
“Aneh?! Duh, rambutku jadi berantakan…dan siapa orang yang mengatakan padaku untuk tidak mempertahankan rambut acak-acakanku.”
Kaya menggerutu lalu memeriksa rambutnya. Penampilan rambutnya jelas sangat berbeda dari pada sebelumnya. Bukan karena dia tidak memperhatikan penampilannya, tetapi dibanding gadis seumurannya, dia jelas kurang berdandan. Lalu, kenapa dia mempertahankan riasan gotiknya setiap hari? Tentu, sekarang itu menjadi karakternya.
“Bagaimana jika pelanggan menginginkan dirimu memakai riasan gotik di dapur?”
“Lagipula, mereka tidak akan bisa melihatku di dapur.”
“Jaman sekarang, dapur terbuka sedang tren. Oh, benar. Guru Rachel, apa Rose Island pusat punya dapur terbuka?”
“Iya. Daniel, sembari berada di dapur, berharap bisa melihat wajah-wajah pelanggan yang sedang menyantap dan menikmati hidangan, dan sesekali komplain, dia ingin melihat semua itu. Dia bermimpi menjadi chef yang tidak hanya bisa mengatur dapur, tetapi juga aula.”
Jo Minjoon merasa paham apa yang dibicarakan Rachel. Jo Minjoon menoleh untuk melihat Kaya. Kaya membungkuk untuk memperbaiki rambutnya dengan mengaca di lensa kamera lalu menoleh.
“…….Kenapa?”
“Tidak, aku hanya penasaran. Apa kau suka dapur terbuka? Atau kau lebih suka tidak terlihat oleh pelanggan di aula?”
‘…Dia selalu menanyai Kaya.’ gerutu Anderson dalam hati. Jika mereka masih menyimak, obrolan penonton mungkin membahas seperti ini. [Apa mereka bertanya-tanya restoran seperti apa yang sebaiknya mereka buat bersama-sama? ] Saat Anderson hendak mencoba menghapus bayangan obrolan penonton yang mengambang di depan matanya, Kaya berpikir sejenak kemudian mengerang seolah itu sulit.
“Mmm…Aku tidak tahu. Menurutku, akan menyenangkan melihat pelanggan makan, tapi mungkin aku akan lelah jika melihat mereka setiap hari. Selain itu, menurutku, aku akan terganggu jika banyak mata tertuju padaku.”
“Menurutku itu logis. Lihat saja di sana…”
Jo Minjoon menunjuk ke satu sisi. Kaya melihat ke arah yag ditunjuk Jo Minjoon kemudian wajahnya tampak tercekik. Di salah satu sisi aula, tampak sebuah dapur terbuka. Di dapur tersebut tidak tampak begitu sibuk. Kebanyakan chef berada di tempatnya, dan hanya orang-orang yang tampaknya masih junior yang mondar-mandir dengan sibuknya untuk memberikan bahan-bahan pada chef senior.
Jika aku harus berdiri di tempat itu…Sejujurnya, aku akan bisa menahannya satu atau dua kali tetapi menurutku, lelah mental akan sangat terasa. Tidak banyak pelanggan yang melihat para chef, dan kebanyakan mereka hanya melihat ke dapur sejenak lalu berkonsentrasi lagi pada makanan. Tetapi meski begitu, para chef yang berdiri di dapur mau tak mau waspada dan merasa gugup terhadap tatapan dari aula meski tidak selalu tertuju pada mereka.
Kaya menggelengkan kepalanya. Rambut Kaya yang berayun-ayun tampak seperti rambut permaisuri mesir, mungkin dia sungguh merawat rambutnya.
“Oh, aku jelas tidak cocok diekspos oleh tatapan orang-orang.”
“Tidak akan ada satu hari pun yang terbebas dari tatapan orang-orang.”
“…Dan kau?”
Pada saat itu, Jo Minjoon hanya merasa bingung dengan pertanyaan singkat itu, yang artinya apa kau akan terus menatapku ataukah kau juga akan mendapat banyak tatapan orang-orang. Tampaknya sederhana, tetapi sebenarnya, sebuah masalah yang jawabannya tidak bisa diketahui dengan mudah.
Tetapi beruntungnya, dia tidak butuh jawaban pertanyaan itu. Alan berdehem dan membuka suara
“Mari kita ke dapur sekarang. Kau bilang kau ingin makan pasta sebelumnya, kan?”
“Oh, iya.”
“Sebenarnya, aku ingin tahu setengah mati bagaimana membuatnya mendapat skor terbaik, tapi karena sama seperti yang aku duga, aku merasa lega sekaligus sedih. Aku pikir aku harus memperoleh beberapa poin tentang pasta selagi di Italia, tapi kalau seorang chef, pasti memiliki keserakahan untuk keluar dari prasangka suatu negara.”
“jika membuat pasta luar biasa adalah sebuah prasangka, maka itu prasangka yang baik.”
“Aku tahu. Aku hanya mengatakan demikian.”jawab Alan dengan nada lembut.
Ketika dia menjadi juri, dia selalu bersikap tegas, jadi, Jo Minjoon merasa ada jarak dengan Alan. Akan tetapi, karena saat ini Jo Minjoon bertemu dengan Alan sebagai chef dan pelanggan, Alan menjadi pribadi yang lebih nyaman.
Mereka memasuki dapur. Chef perempuan yang mempunyai wajah seperti anak-anak berlari menuju Alan dan berdiri di depannya. Alan menggelengkan kepala. Bahasa Italia yang kental keluar dari mulutnya.
“Berta. Jangan ke sini dan tetaplah di tempatmu. Aku akan menangani ini.”
“Oh..Boleh aku membawakanmu sesuatu?”
“Apa kau tidak dengar aku akan menangani di sini?” kata Alan dengan suara dingin.
“Ini membuatku teringat masa lalu.” bisik Kaya di telinga Jo Minjoon.
Jo Minjoon menggelengkan kepala dan berkata
“Menurutku lebih buruk dari itu.”
Mungkin karena mereka adalah orang-orang yang bekerja di dapurnya, sikap Alan lebih galak dan menakutkan dalam memperlakukan mereka. Meski begitu, chef muda itu tidak pergi dengan mudahnya. Entah apa dia seumuran Kaya. Berta, yang berambut coklat tebal, melirik Kaya. Alan mengernyit. Emily meletakkan tangannya di bahu Alan lalu berkata.
“Tampaknya dia punya sesuatu untuk dikatakan pada Kaya. Berilah dia kesempatan, Alan.”
“……..Berta, kalau kau punya sesuatu untuk dikatakan, cepat katakan lalu kembalilah.”
“Iya, iyaa!”
Berta mengangguk dengan wajah sangat gugup. Meski dia seusia Kaya, auranya jelas lebih lemah. Tinggi badannya sekepala lebih rendah dari Kaya, mungkin dia lebih pendek dari Chloe. Dia gemetar seperi kelinci. Dia mengatakan sesuatu. Bahasa Inggrisnya tidak begitu lancar, tetapi tidak masalah untuk mengerti apa yang dia katakan.
“Aku juga, ah…baru saja lulus dari sekolah menengah. Meski aku tidak punya bakat semenakjubkan dirimu, ah…meski begitu, aku ingin menjadi seperti dirimu. Kau adalah….kau tahu. Oh, panutan. Kau adalah panutanku.”
“…Oh, terima kasih.”
“Kalian berdua serasi! Permisi.”
Berta melihat Jo Minjoon dan Kaya. Setelah berkata seperti itu, dia pergi karena malu. Jo Minjoon saling berpandangan dengan senyum canggung. Kaya berkata,
“Jika ini sebuah siaran langsung mereka akan menggoda kita lagi, bukan?”
“Meski tidak, pada akhirnya kita terus akan digoda saat ini tayang. Martin, Apa kau akan mengedit ini?”
“Harus.”
Mendengar jawaban tak terduga itu, Jo Minjoon terbelalak melihat Martin. Martin seketika berkata sambil tersenyum simpul.
“Dengan lebih banyak bumbu-bumbu yang kuat.”
“Lihat kan. Dia seperti itu.”
“…Budak penonton.”
“Bonusku bergantung dari jumlah penonton.”
“Martin selalu mengatakan bahwa dia selalu bersyukur dan berterima kasih pada kita atas jumlah penonton yang meningkat. Jika kau menerima bonus dari itu, kenapa kau tidak membelikan kami sesuatu yang lezat?”
”Bukankah sekarang aku membelikan ini untuk kalian?”
“…Kau membeli ini dengan anggaran produksi!”
Martin tidak menjawab lagi dan hanya pura-pura tidak tahu. Jo Minjoon menepuk bahu Kaya lalu berkta.
“Jangan kesal. Jika menurutku kau menjadi dewasa, kau selalu bertingkah kekanak-kanakan, begitu pula sebaliknya. Kenapa kau seperti itu?”
“Perempuan punya waktu tertentu kapan mereka ingin menjadi anak-anak dan kapan menjadi dewasa.”
“Kau juga akan bertingkah sebagai wanita di depan Martin?”
“Kenapa? Kau ingin aku hanya melakukannya padamu?”
Pada saat itu, Jo Minjoon kehilangan kata-kata. Sepertinya, Kaya juga menganggap level yang dia katakan cukup tinggi. Jo Minjoon mengalihkan pandangan dan Kaya pun merona dan hanya menatap lantai. Alan, yang baru saja menyelesaikan membuat pasta, melihat mereka lalu mengangguk seolah sudah paham.
“Sepertinya mereka membuat film sekali lagi. Apa genrenya?”
“Entahlah. Melo penuh gairah?”
“Aku berharap suatu hari nanti ada film laga.”
“Kau tidak tahu. Mereka mungkin membuat film dewasa dulu.” kata Emily sambil tersenyum ceria.
Jo Minjoon berpikir bahwa Emily merasa lebih bahagia dari biasanya. Tentu, dia selalu punya temperamen yang bagus, tetapi hari ini lebih bagus lagi. ‘Apa mungkin karena Alan?’ Dia tidak bisa berhenti memikirkan seperti itu karena setiap kali Emily melihat Alan, dia berusaha tersenyum lebih cantik dari biasanya.
“Sera, bukankah Emily tampak lebih ceria dari pada biasanya?” kata Jo Minjoon.
“Haa?…Oh, jelas. Karena apa ya?”
Sera berekspresi bingung sejenak kemudian berkata sambil tertawa seolah dia menyadari apa yang dilihat Jo Minjoon. Emily merona. Alan menyajikan pasta di piring seolah dia berpura-pura tidak mempedulikan perkataan Sera.
“Ini adalah level al dente yang ideal bagi penduduk asli Italia. Ini akan lebih lezat dari yang kau makan di meja karena aku sendiri yang membuatnya.”
“…….Alan. Apa kau tahu citramu di Grand Chef sangat hancur?”
“Karena ini bukan Grand Chef.”
Kaya mengatakan itu karena dia tidak terbiasa, Alan justru menjawab dengan santai. Jo Minjoon memilih melahap pasta alih-alih memperhatikan percakapan mereka. Normalnya, jika itu hidangan yang sama, meski kau memakannya lagi setelah beberapa minggu, kau pasti kurang terkesan.
Namun, dia tidak mengalaminya. Hal itu sangat menakjubkan. Meskipun pasta minyak sebenarnya adalah hidangan yang tidak membuat lelah, entah karena pesona hidangan 10 poin, sebanyak apapun dia memakannya, kelezatan pastanya tidak berkurang sama sekali. Bahkan Rachel dan Jeremy, yang menyantap pasta untuk mengetahui bagaimana rasanya, tersenyum dengan wajah bangga.
“Alan. Kau banyak berkembang. Kau juga menemukan pembuat mie yang sungguh enak.”
“Oh, itu… Itu seseorang yang Guru juga kenal.”
“Aku?”
“Iya. Sudah lama yaa.”
Jawaban datang dari belakang staf. Para staf juga menoleh untuk melihat, seolah mereka terkejut pada suara yang tiba-tiba muncul. Seorang pria tua dengan rambut kelabu dengan pergelangan tangan terlatih melihat Rachel. Rachel, yang sedikit mengerutkan dahi untuk fokus melihat, terkejut seketika.
“Alfredo?”
“Kau juga sedikit menua.”
“Kau tinggal di sini?”
“Seharusnya aku yang bertanya itu. Orang yang sudah pensiun 10 tahun bukan aku, tetapi kau.”
“….Itu benar juga”
Pria tua itu tidak berbicara dalam bahasa Italia, tetapi dalam bahasa Inggris, dan sama naturalnya dengan penutur asli. Karena itu, tidak ada masalah mendengarkan percakapan mereka. Jelas, mata yang dipenuhi keraguan itu diarahkan pada Rachel, dan Rachel kembali menatapnya dan berbicara dengan suara yang basah oleh ingatan.
“Alfredo adalah pembuat mie yang menyediakan pasta untuk kita saat pertama kali membuka restoran di Venice.”
“Dan mie yang kau makan saat ini juga buatanku.”
Alfredo berbicara dengan suara penuh percaya diri. Jo Minjoon melihat pria tua itu dengan tatapan terkejut.
[Alfredo Argento.]
Level memasak : 6
Level memanggang: 6
Level Mengecap: 8
Level Mendekorasi: 4
Levelnya tidak begitu menakjubkan untuk membuat mie. Tentunya, membuat mie juga bukan teknik yang bisa diukur dengan memasak atau memanggang. Jo Minjoon menatap Alan.
“Alan, boleh aku melihat pasta yang belum dimasak?”
“Oh, ini.”
Alan segera mengeluarkan beberapa pasta dari dalam lemari. Jo Minjoon hanya melihat linguine itu. Ada aroma dari sisi linguine dan teksturnya juga sangat lembut. Skor makanan itu 7. Mie itu sendiri, yang belum dikenai apapun berskor 7. Jo Minjoon tahu dengan baik apa artinya.
Jo Minjoon memakan mie itu tanpa ragu. Pada saat itu, Alan menyeringai lalu berkata pada Alfredo.
“Hati-hati. Temanku itu terkenal karena mempunyai indera pengecap yang mutlak. Mungkin, dia paham, seberapa berbakat Mr. Alfredo.”
”Huhu, hidupku tidak segampang itu bisa digenggam hanya dalam beberapa gigitan. Mereka adalah mie-mie yang mengandung seluruh hidupku. Aku membuatnya dengan memeriksa suhu, kelembapan, dan suhu badanku sendiri dan garam. Meski indera pengecapnya sensitif, dia tidak akan bisa membaca kerja keras itu.”
Alfredo yakin. Jo Minjoon, yang baru saja menelan mie tanpa berkata apa-apa, perlahan memutar bola matanya. Pada akhirnya, dia melihat layar yang biasa muncul di depannya.
[Kau memahami resep pembuatan mie (linguine) oleh Alfredo!]
< Apa itu dapur (1) > Selesai