Dewa Memasak – Bagian 137: Apa itu dapur (2)
Setelah mencuri dari seseorang, perasaan curang melonjak tetapi terasa cukup menyenangkan. Tentunya, mungkin ada beberapa kekurangan, tetapi apa yang bisa dia lakukan? Dia mempunyai kemampuan semacam itu. Alfredo percaya bahwa Jo Minjoon tidak akan mampu memahami resepnya meskipun dia memakannya. Lebih nyaman berpikir seperti itu.
Tentu bukan berarti dia bisa membuatnya ulang dengan sempurna hanya karena tahu resepnya. Pasta Alfredo bukanlah sesuatu yang bisa ditiru pembuatannya hanya dengan mengetahui temperatur dan rasio yang tepat. Kekuatan yang digunakan untuk menekan adonan, waktu, dan sudut, ….jika semua itu bisa kau tiru, kau pasti berada di level yang mana itu adalah resepmu sendiri.
“Bagaimana Minjoon? Menurutmu, apa kau tahu?”
“Jika saya mengatakan saya tahu, menurut saya, itu tidak nyaman.”
“Hahaha, melihatmu menjawab dengan panjang lebar, sepertinya kau belum bisa memahami resepnya.”
“Yaa, saya bisa mengatakan rasio adonan… tapi menurut saya, bukan itu yang spesial.”
“Kau paham dengan cepat. Dasarnya adalah jalur terbaik. Seperti mendaki gunung. Kau punya jalur khusus, tapi menurutmu apa perlu memilih jalur lain? Omong-omong, kau tetap mengesankan. Orang-orang biasanya berpikir bahwa ada sesuatu yang spesial di dalamnya.”
Jo Minjoon menjawab hanya dengan senyuman. Kaya mengusap bahu Jo Minjoon lalu berkata dengan bangga.
“Bagus.”
“Itu adalah dasarnya.”
Sepertinya semua orang lelah untuk bereaksi. Anderson melihat Alfredo lalu bertanya.
“Tetapi berapa banyak mie yang Anda buat perhari? Dari yang saya lihat, sepertinya Anda tidak hanya membuat linguine.”
“Aku membuat banyak jenis, tapi yang paling populer jelas linguin, lalu diikuti spaghetti, fettuccine, tagliatelle, dan lain-lain… Aku pun membuat sedikit pasta untuk fusilli, lasagna pendek, dan pasta isian. Bukannya tidak lezat ataupun tidak populer, hanya saja pasta panjang di rumah kami adalah yang terbaik yang diakui secara global. Ada beberapa pelanggan bodoh yang justru tidak memesan pasta jenis panjang di restoran kami.”
Alfredo bahkan membuka informasi yang tidak mereka tanyakan. Melihat ekspresi arogan dan bahunya yang naik, Jo Minjoon tertawa. Dia berpikir bahwa seorang master tidak banyak bicara dan kata-katanya berat sekali, tetapi alih-alih seperti itu, penampilan master yang satu ini menyegarkan.
“Apa Anda tidak masalah jika saya meniru resep Anda seperti ini?” tanya Jo Minjoon
“Haha, jika kau bisa melakukannya, lakukanlah. Untuk membuat pasta yang enak, pertama kau harus mempunyai pergelangan tangan yang bagus. Bisa-bisanya seorang pria punya lemak di situ? Pacar di sebelahmu sungguh malang.” (Hahahhahha)
“….Pacar?”
“Oh, bukankah orang di sebelahmu itu pacarmu? Sebab menurutku, kalian berdua sangat mesra sekali.” jawab Alfredo dengan ekspresi natural.
Kaya terbatuk lalu bergeser selangkah menjauhi Jo Minjoon setelah menjauhkan bahunya yang menempel bahu Jo Minjoon.
“Omong-omong, linguinenya lezat. Itu yang paling lezat dari yang pernah saya makan. Terima kasih karena membuat saya merasa benar-benar datang ke Italia.” kata Jo Minjoon.
“Kenapa berterima kasih?”
Di posisi Jo Minjoon, dia benar-benar bersyukur. Itu adalah pasta sempurna pertama yang dia makan seumur hidupnya. Tentunya, Alan, yang membuat pasta itu, atau lebih tepatnya memasak pasta itu di dapur, juga berperan besar…tetapi menurut Jo Minjoon, partisipan yang paling besar dalam hal ini adalah Alfredo, sebab hidangan itu tidak mungkin selezat itu tanpa pasta Alfredo.
‘Akankan aku bisa menirukannya?’
Dia paham kondisi pembuatannya dengan sangat baik. Dalam situasi apa dia harus memijat pasta, sistem mengatakan itu semua padanya. Masalahnya adalah apakah dia mampu menirukannya atau tidak. Bukan. Bukan untuk sekarang, melainkan apakah nanti dia mampu melakukannya setelah bertahun-tahun berlatih secara konstan….Dia berpikir seperti itu. Meski itu pemikiran yang sangat optimis, tetapi apa boleh buat, dia tetap merasa bingung.
Dari selangkah di belakangnya, Sera melihat Jo Minjoon dengan tatapan lembut. Sejujurnya, dia juga merasa bahwa pasta itu sungguh lezat dan sempurna… Akan tetapi, entah karena dia bukan seorang chef, dia tidak menduga bahwa pasta itu sebegitu menakjubkan hingga menjadi hidangan 10 poin.
Yang paling utama, jelas pula bahwa dia tidak bisa menebak bahan dasar yang dimasukkan ke dalam adonan. Dia berpikir ada sesuatu yang spesial di dalamnya, jika tidak, tak mungkin rasanya seperti itu. Saat memikirkan perbedaan itu terhadap Jo Minjoon yang punya lidah sensitif dari lahir, dia merasa ada sebuah dinding yang tidak bisa dia lampaui. Dia tetap merasa minder terlepas dari saran Emily.
“Emily, Kau sungguh menakjubkan.” kata Sera.
“Kenapa kau tiba-tiba seperti itu? Itu menakutkan.”
“Kau pasti bisa menebak semua situasi ini saat pertama kali kau melihat indera pengecap Jo Minjoon. Dan mengerti maksudnya ini dengan segera. Aku baru mulai memahami ini… Ini jauh lebih menakjubkan dari yang kupikirkan.”
“Jumlah penonton tidak meningkat secara cuma-cuma saat indera pengecapnya yang mutlak terekspos. Meskipun dia lebih terkenal dari pada pemenang sebelumya mungkin karena romansanya dengan Kaya, tetapi lidahnya adalah alasan terbesar. Seperti yang aku katakan…”
“Aku tahu. Jika kau serakah pada apa yang tidak kau miliki, perutmu hanya akan terluka. Dunia penegecapan kita adalah milik kita sendiri.”
Emily melihat Sera yang hendak berkata kemudian menutup mulutnya kembali lalu memutar bola matanya. Sera melirik Anderson.
“Anderson pasti juga merasa dadanya panas. Pasti sulit bagi dia, di sebelah teman yang sehandal itu.”
“Apakah…”
“Iya. Itu benar. Hanya dengan memikirkan untuk mengejarnya saja, bahumu terasa berat.” kata Sera sambil melirik Emily.
Emily sibuk melihat Anderson, jadi tidak menyadari tatapan Sera. Mungkin, kameramen telah merekam semuanya. Sudah lama sejak terakhir Emily melihat adegan itu dalam siaran.
Rachel menyimak percakapan mereka. Apa yang paling terngiang di telinganya adalah hal mengenai Anderson. Rachel telah mengatakan pada Jo Minjoon bahwa dia menyukainya untuk berada di dapurnya, tetapi dia tidak pernah mengatakan sesuatu seperti itu pada Anderson, yang selalu mengekspresikan niat baik padanya.
‘Apa aku sangat tidak berperasaan?’
Dia tidak bisa memperlakukan semua orang yang berniat baik dengan niat baiknya. Banyak orang, yang tak terhitung jumlahnya di dunia ini, yang menunjukkan senyum padanya. Hal yang hanya bisa dia lakukan untuk membalasnya adalah tersenyum balik.
Tetapi dia merasa sedih saat melihat Anderson. Dia adalah putra dari kenalannya dan niat baik yang diungkapkan Anderson cukup transparan dibanding yang lain. Hal itu membuat hatinya mendidih. Sementara Rachel melihat Anderson sambil memikirkan hal itu, Jeremy meringis lalu berkata.
“Kenapa? Apa kau berpikir ingin berganti kuda?”
“….Berapa kali kukatakan, tolong bicaralah dengan bahasa yang sesuai dengan usiamu.”
“Entahlah, mungkin sampai kau lelah mengingatkannya?”
“Sampai kau mati, kau tidak akan mengatakan apapun untuk memperbaikinya. Mereka masih anak-anak. Berhentilah mengatakan bahwa mereka peralatan dapur.”
“Peralatan dapur? Bahkan aku sekarang bukan chef lagi. Untuk apa aku melakukannya? Justru kau yang sedang melakukannya. Aku masih tidak tahu keserakahan seperti apa yang kau inginkan terhadap Minjoon itu. Apa semata-mata untuk kebangkitan restoran pusat Rose Island? Bukan, apa itu sungguh-sungguh tujuan sejatimu?”
“Apa maksudmu?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi menurutku, sebaiknya aku tidak mengatakannya di depan kamera.”
Rachel melotot pada Jeremy sejenak lalu membuka mulutnya. Namun, dia tidak menyumpahi atau mengumpat pada Jeremy. Mungkin Anderson merasakan suasana itu, sehingga dia menghampiri mereka lalu berkata.
“Mr. Jeremy, apa Anda merundung guruku lagi?”
“Hohoho, aku bahkan bukan anak SD yang nakal, lalu untuk apa aku merundungnya?”
“Entahlah. Bahkan jika Anda bukan anak-anak, anda tetap nakal.”
“Sialan. aku gagal.” kata Jeremy terkejut.
Sedangkan Anderson menghela nafas. Sementara mereka seperti itu, Jo Minjoon terus melihat setiap sudut dapur. Entah karena ada Alan dan kamera, chef yang sedang memegang wajan, wajahnya tampak gugup. Alan berkata dengan suara tenang.
“Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku sungguh ingin membawamu ke dapur ini. Apa kau ingat hari saat indera pengecapmu terekspos?”
“Itu hari yang sangat sulit dilupakan, bagiku dan orang lain.”
“Kemudian, Emily memberikan tawaran untuk menjadi epicurean. Dan aku bilang padamu untuk tidak tergoda dengan rayuan itu.”
Emily menoleh seolah-olah merasa namanya dipanggil. Alan memelankan suaranya dengan ekspresi tersentak. Dia berkata seolah sedang berbisik hingga hanya Jo Minjoon dan Kaya yang di sebelahnya, yang bisa mendengarnya.
“Waktu itu, kau bilang kau tidak akan tergoda karena kebahagiaan yang diberikan saat kau memasak. Dan aku bilang padamu bahwa jalan terjal seorang chef akan membuatmu lelah.”
“Benar.”
“Belum… Aku harap kau belum mengubah opinimu tentang itu. Program ini. Meski berat, masih akan terasa manis di banding dapur. Jika kau bekerja di bawah guru Rachel, kau tidak akan mengalami hari-hari yang sulit karena kau tidak punya pelanggan…tetapi itu tidak akan semanis sekarang. Tidak hanya akan menjadi waktu yang manis, tetapi juga asin. Aku harap meski ada makanan asin yang masuk ke mulutmu,…kau tidak akan melepehnya.”
“Um.”sela Kaya di tengah pidato Alan yang panjang, Dia berkata dengan ekspresi seolah dia telah mengunyah anggur yang asam.
“Kenapa kau meremehkan Minjoon seperti ini?”
“Aku tidak meremehkan dia, Kaya. Aku berusaha menghalanginya dari kehancuran karena jarak antara realita dan fantasinya…”
“Oleh karena itu, kau mengatakan dia akan kalah karena jarak itu. Itu tidak akan terjadi. Minjoon tidak akan meninggalkan dapur.”
“…Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Minjoon juga tahan dengan aku.” kata Kaya dengan suara seolah-olah agak marah.
Tidak, sebenarnya dia marah. Dia tahu Alan mengatakan ini demi Minjoon, tetapi dia tidak suka Minjoon diperlakukan seolah-olah dia sedikit lemah.
“Minjoon bahkan tahan dengan seorang gadis yang rumit dan manja sepertiku, lalu apa menurutmu dia tidak akan bisa tahan di dapur? Minjoon tidak akan melakukannya. Dia memiliki tekad lebih dari apa yang kau pikirkan, lebih sabar, dan terlihat lebih gagah. Dia tidak akan kabur dari jalan yang sudah dia pilih sendiri.”
“Kaya.” potong Alan dengan suara tenang. Alan menekan bibirnya seolah dia ragu-ragu sejenak lalu berkata dengan suara pelan.
“Aku keluar. Sekali. Dari dapur.”
Normalnya, beban kata-katanya akan membuatmu menyimak itu. Akan tetapi, Kaya tampaknya ingin membuktikan bahwa Jo Minjoon tidak lemah sama sekali. Dia melihat Minjoon dengan tatapan tidak adil seolah hampir menangis.
“Hei, kenapa kau tidak mengatakan apa-apa!”
“Alan mungkin mengkhawatirkan aku. Jangan bersikap seperti itu.”
“…Apa benar dia bermaksud begitu bahwa kau mungkin berhenti memasak?”
“Dia tidak bermaksud begitu. Dia mengatakan itu agar aku tidak berhenti memasak meski sulit.”
“Kau tidak seperti itu.” kata Kaya kekeh. Saat wajahnya manyun, kerutan di bibirnya bersinar, mungkin karena pengilap bibir atau karena bibirnya memang asli lembap.
“Kau tidak berbohong padaku. Tidak pernah sekalipun.”
“…Tidak ada alasan untuk berbohong.”
“Kau bilang padaku bahwa kau ingin menjalankan restoran, kau ingin memasak selamanya. Kau bilang seperti itu.”
Kaya berkata sambil menghirup nafas seolah dia sedang tersedu-sedu.
“Kata-katamu, jangan sampai menjadi kebohongan.”
< Apa itu dapur (2) > Selesai