Dewa Memasak – Bagian 138: Apa itu dapur (3)
Kata-kata itu terdengar kekanak-kanakan. Mungkin karena maksud di balik itu sangat manis dan indah, hingga Jo Minjoon tidak bisa membenci kata-kata yang kekanak-kanakan itu. Namun, kata-kata Alan memang bagus, itu juga benar.
“Aku tidak bohong. Aku tidak akan menyerah dalam memasak. Alan, aku janji aku tidak akan berhenti hingga nanti aku punya restoran yang terbaik, jadi jangan khawatir.”kata Jo Minjoon dengan nada tenang.
“…Sekarang, karena kau bilang begitu, aku agak sedikit tenang.”
“Tapi apa yang kau bicarakan sebelumnya, tentang kau keluar dari dapur?”
“Kapan itu menurutmu?” tanya Alan balik dengan senyum lembut. Jo Minjoon jatuh dalam pikirannya sejenak lalu membuka mulutnya.
“Pastinya saat kau belajar di bawah asuhan Rachel untuk pertama kalinya?”
“Tidak, justru sebaliknya. Aku pernah berharap sebelumnya, saat aku menjadi chef demi, chef sous, chef kepala, kisahnya akan berbeda. Penderitaan ini akan berakhir dan aku akan bisa menangani dapur dengan gembira seolah dapur itu milikku.”
“…bukan itu yang terjadi?” tanya Jo Minjoon balik dengan ekspresi tidak mengerti.
Alan tersenyum ceria lalu menoleh pada Rachel. Rachel melihat Alan dengan ekspresi kau tidak akan tahu apa maknanya. Sementara menatap wajah Rachel, Alan perlahan memikirkan kenangan di dalam hatinya.
“Harapan adalah sebuah langkah yang sebaiknya kau buat di depanmu. Seperti yang aku bilang, saat aku menjadi chef demi, chef sous…mengenangnya membuat hatiku merasa lebih tenang. Alasan kesulitanku saat ini karena aku bermula dari bawah. Sesuatu akan berubah ketika aku menjadi chef kepala. Dan…” tutur Alan lalu mendecakkan lidahnya dan mengangkat bahu.
Setelah itu, dia menghela nafas dan berkata dengan suara teratur.
“Saat aku menjadi chef kepala, aku menyadari bahwa itu bukan posisi yang nyaman, tetapi posisi yang membuatmu mengemban tanggung jawab paling besar di bahumu. Kau bisa melihatnya berulang kali di internet, penampakan chef kepala yang berteriak di dapur seperti orang gila. Bagaimana menurutmu tentang itu?”
“…Bukan karena temperamennya yang buruk, kan?” tanya Kaya bingung. Mungkin bila ada seseorang yang berteriak padanya seperti itu, dia tidak yakin mampu membantahnya.
“Ada banyak kasus di mana temperamen mereka memang buruk, tetapi temperamen bukan hanya hal yang menyebabkan suasana yang keras itu.” sela Anderson.
“Benar. Kau harus bekerja sambil menahan dirimu sendiri untuk tidak perlu berteriak seperti itu. Yaa, bukan karena aku merasa buruk tentang itu. Sejujurnya, aku bertekad untuk mulai menggigit seperti hyena saat aku menjadi kepala koki karena temperamenku.”
“…Kau sudah bertekad melakukannya?”
“Itu resolusi yang cukup mudah. Oleh karena itu, aku siap duluan. Kenapa? Tidak boleh?”
Mendengar jawaban Kaya, Anderson tidak bisa berkata apa-apa dan berekspresi bengong. Alis Kaya menegang, melengkung seperti ombak. Kemudian dia melirik Jo Minjoon tetapi mata Jo Minjoon tertuju pada Alan.
“Menurutku, aku tahu apa maksudmu. Karena beban menjadi chef kepala dan harus memimpin dapur, sehingga kau menghabiskan hari berteriak seperti itu, ya kan? Dan tidak mungkin bisa merasa santai.” jelas Jo Minjoon.
“Semacam itu. Tetapi bukan hanya itu. Menjadi chef berari bahwa kau juga memikirkan tentang reputasi dan penjualan restoran. Kau harus mengembangkan menu baru, menunjukkan cita rasa yang enak tetapi tidak berlebihan, dan sekaligus, hidangan-hidangan yang tidak akan mengecewakan harapan para pelanggan tetap.”
Alan menghela nafas lalu menggelengkan kepala.
“Sejujurnya, aku pun masih merasa itu sulit. Orang-orang yang kukenal bilang bahwa apa yang dikhawatirkan saat aku punya dua bintang tapi…aku masih tidak bisa terbiasa dengan beban itu. Setiap hari terasa seperti perang. Apa dapur baik-baik saja? Apa mereka membawa bahan-bahan seperti biasa? Apa tidak ada keluhan dari pelanggan? Dan jika ada, apa ada masalah dengan hidanganku, ataukah pelanggan itu yang terlalu cerewet? Kau mulai kepikira banyak hal…dan semakin banyak yang dipikirkan, kepalamu semakin sakit.”
“Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku tahu semua itu tetapi…menurutku, aku paham maksudmu.”
Dia ingat perkataan Rachel bahwa memasak masih tetap terasa sulit. Rachel saja seperti itu, apalagi Alan. Bagaimanapun, semakin masuk ke dalam, secara alami akan terasa semakin sulit. Seperti itu, bukan? Kemungkinan besar, Jo Minjoon akan bekerja dengan Rachel ketika siaran berakhir. Itu berarti, dia tidak punya banyak waktu untuk bertemu dengan chef lain. Oleh karena itu, dia ingin mendapatkan banyak informasi sebisa mungkin. Tentu, Rachel akan mengajarinya banyak hal, tetapi dia yakin pasti ada hal-hal yang hanya Alan yang tahu.
“Pada akhirnya, hal yang paling berat adalah mentalitasmu. Karyawan stres karena bos mereka atau kantor mereka, tetapi kita stres karena pelanggan kita. Ironisnya, pelanggan adalah salah satu yang paling mengganggu seorang chef…tetapi merekalah yang paling chef cintai, dan chef menerima cinta paling banyak dari pelanggan.”
“Lebih baik tidak menganggap resek pelanggan, bukan?”
“Apa menurutmu, orang brengsek, bertingkah brengsek sejak awal? Seorang pelanggan yang selalu meninggalkan pujian dan tersenyum saat meninggalkan restora, serta berekspresi puas setelah makan menu spesial harian. Setelah itu, dia tidak kembali. Kemudian, kau menyadari bahwa dia menulis semua kekecewaannya tentang restoran di blognya. Itu adalah luka terbesar yang chef harus hadapi. Dibanding seseorang yang kehilangan kekasihnya, rasa kehilangan itu tidak seberapa.”
Berapa lama sudah waktu berlalu, Alan mampu mengungkapkan semua itu. Suasana berubah berat. Alan menepukkan tangannya.
“Tentu, ini hanya obrolan tentang sisi gelap. Sama seperti keluhan, senyum dan pujian juga akan mengikutimu. Penghiburan dan kebahagiaan yang diberikan padamu juga akan besar. Akan tetapi, meskipun kau bahagia, kau mungkin menderita penyakit karena serangan yang tiba-tiba masuk. Agar tidak terserang penyakit, kau tidak boleh lemah. Minjoon, Anderson, Kaya, kalian lemah atau kuat?”
Tidak ada yang mengatakan mereka kuat. Orang-orang seperti itulah. Meski ada banyak yang berpura-pura kuat, orang kuat yang sesungguhnya tidak akan bisa ditemukan hanya dengan melihat mereka. Tentu mungkin ada beberapa orang yang dibayangkan kuat. Namun, mereka bertiga tidak tahu hingga pada poin itu tentang diri mereka sendiri.
Kemudian Martin melirik Alan. Alan berkedip perlahan lalu berkata.
“Jika kalian tidak tahu, mau kah kalian menjalani tes?”
“Tes?”
“Berdirilah di dapurku.”
Alan menunjukan pasta yang sudah hilang.
“Aku akan mengajari kalian resep pasta itu sebisaku sebelum petang. Apa kalian yakin bisa membuktikan diri pada pelanggan nanti malam?”
“…Membuktikan apa?” tanya Kaya balik dengan nada tidak nyaman.
“Bahwa kalian chef.” Jawab Alan serius.
–
Sudah lama sejak terakhir kali mereka memakai seragam memasak, tetapi rasanya sama sekali tidak asing padahal mereka meminjam itu dari orang lain. Sebagian dari diri Jo Minjoon merasa begitu. Rasa tidak asing itu disebabkan mentalitasnya menjadi mirip seperti chef sungguhan, dia terpikir seperti itu. Tentu itu adalah pemikiran yang kenak-kanakan…
“Aku memakainya lagi setelah sekian lama, tetapi ini tidak terasa asing sama sekali. Apa jiwaku juga sudah seperti chef? Ada apa, Minjoon? Kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu?”
“…Tidak apa-apa.” jawab Jo Minjoon sambil memalingkan kepalanya dengan ekspresi canggung.
“Jangan bermain-main seperti itu saat memasak. Akan kutaburi garam kalian.” kata Anderson jengkel.
“Apa aku terlihat seperti anak kecil yang tidak tahu bedanya tempat kerja?”
Anderson menutup mulut seolah tidak perlu menjawabnya. Di dapur, saat itu, di antara waktu makan malam dan makan siang, Alan dan para chef mengatur nafas dan beristirahat, kecuali chef dengan level rendah tentunya. Tiga orang masih mengaduk isi sup, saus, dan lain-lain dalam panci.
Di sebuah meja, chef yang lain melihat mereka bertiga dengan tatapan tertarik.
“Kita masing-masing bisa mengambil alih satu meja masak. Setidaknya untuk sekarang.” gumam Jo Minjoon.
Kemudian, Martin dan Alan menghampiri mereka. Jo Minjoon melihat ke sekelilingnya lalu menatap ke belakang mereka.
“Ke mana yang lain pergi?” tanya Jo Minjoon.
“Mereka pergi untuk mengeksplor jajanan di jalanan florensia.”
“Dan kita hanya berlatih memasak di sini?”
“Kenapa? Kau tidak suka?”
“Tidak, bukan begitu.”
Meskipun hidangan Florencia lezat, di depan kesempatan yang mana bisa merasakan sendiri udara di dapur Alan, itu tidak seberapa.
“Kami berencana membuat kompetisi di antara kalian bertiga agar program ini menarik, selain itu juga karena keterbatasan ruang di dapur.”
“Kompetisi?”
“Yang bisa membuat linguine zaitun paling lezat di antara kalian bertiga, dia akan bekerja sebagai chef demi yang bertanggung jawab pada bagian pasta. Dan dua yang lain bekerja sebagai asistennya.”
Kaya, Anderson, dan Jo Minjoon saling berpandangan satu sama lain. Ada banyak momem mereka saling berkompetisi sebagai ketua tim dan anggota tim, tetapi kali ini sebagai asisten. Bagi mereka yang tidak lain adalah teman sekaligus kawan, mau tak mau, mereka sangat tidak suka.
Kaya berkata dengan suara yang penuh dengan motivasi.
“Baiklah. Kalau begitu, katakan resepnya.”
“Parutlah basil, masukkan ke dalam minyak zaitun, kemudian goreng bawang putih di minyak itu. Iris bok choy dan cumi, lalu masukkan ke dalam minyak. Setelah menaikkan api ke masakan dengan wine putih, tumislah sekali lagi lalu taburkan garam. Masak linguine selama 7 menit lalu tumis selagi masih agak basah.”
Jo Minjoon mengatur resep yang dikatakan Alan. Tidak lama kemudian, dia bertanya dengan wajah bingung.
“Itu…saja?”
“Iya.”
Alan berkata dengan wajah percaya diri. Dan karena itu, Jo Minjoon semakin bingung. Skor masakan estimasi yang terlihat adalah 9.
‘Apa itu?’
Tentu, jika keahliannya bekerja sebagai pendukung untuk menaikkan cita rasa hingga batasnya, bukan tidak mungkin untuk mendapatkan skor yang lebih tinggi dari resep. Tapi seperti yang tersirat, itu tidak mungkin.
Level memasak chef sous yang bertanggung jawab di bagian pasta di dapur hanya 7. Hampir tidak mungkin untuk memasak hidangan 9 poin menjadi hidangan 10 poin. Meski bagi Jo Minjoon, tidak mudah membuat hidangan 7 poin dengan resep 6 poin.
Jadi, jawabannya adalah salah satu dari dua hal. Alan mengatakan pada mereka resep yang salah atau dia sengaja tidak mengatakan seluruhnya.
“Apa dia mengatakan pada kami untuk mencari poin yang kurang di resep dan menambahka perlakuan sesuai keinginan kami…”
Jo Minjoon memejamkan mata. Dia menyusun resep di kepalanya berulang kali, tetapi dia tidak bisa mendapatkan jawaban apapun. Untuk sekarang, mau takmau, dia hanya bisa membuatnya.
Mereka bertiga berdiri di depan meja masak mereka dan memasak linguine. Suara pisau yang memotong sayuran terdengar berbeda-beda. Suara pisau Kaya terdengar kasar dan indah, Anderson cepat dan hati-hati, dan Jo Minjoon tenang dan rapi.
Minyak zaitun dengan parutan basil mengeluarkan aroma yang enak yang memanaskan badan mereka. Cumi dan bokchoy dimasukkan. Ketika wine putih dituang, lidah api melonjak ke atas dan membakar linguine yang di masak di atasnya.
Jo Minjoon mengeluarkan linguine sebelum menjadi kering dan meletakkannya di piring dengan begitu cantik. Bok choy dan cumi ditempatkan di sebelah pasta, dengan rapi. Dari luar, setidaknya tampak sama persis dengan pasta yang dia makan sebelumnya. Tetapi Jo Minjoon bisa melihat dengan matanya bahwa skor hidangan itu 9.
Tidak ada rasa bahagia meski itu hidangan 9 poin yang tidak biasa dia lihat. Karena rahasia skor itu bukan dari keahliannya, melainkan dari mie. Jo Minjoon perlahan menggulung mie menggunakan garpu. Ini lezat. Kelezatan mie, elastisitas, dan aroma cumi dan bok choy hidup. Tapi ada yang disayangkan. Alan, yang sedang melirik Jo Minjoon, bertanya.
“Apa menurutmu kau sudah membuat ulang dengan cara yang sama?”
“….Tidak. Ada yang kurang.”
“Benarkah?”
Alan melihat Jo Minjoon dengan wajah menahan tawa. Setelah melihat wajah Alan, sekarang Jo Minjoon tahu dengan sangat pasti bahwa ada sesuatu yang hilang dalam resepnya. Jo Minjoon mendekati yang lain dan bertanya.
“Boleh aku coba?”
“Hanya jika kau mengijinkanku mencicipi buatanmu.”
“Ayo bertukar.”
Jo Minjoon menukar piringnya. Linguine Kaya dan Anderson tidak begitu berbeda. Bahan-bahan dan resepnya sama, jadi pastilah seperti itu jadinya. Meskipun ada perbedaan sedikit pada cita rasa…tetapi itu bukan sesuatu yang besar yang dapat mengubah skor.
‘Pada resep yang Alan katakan, semua bahan-bahan sesuai dengan apa yang dikatakan sistem.’
Karena semua bahan-bahan sudah ada di dalamnya, berarti ada beberapa perbedaan dalam waktu memasak atau perlakuan dalam memasak. Setidaknya, Jo Minjoon berpikir seperti itu. Saat dia memikikan itu dan menyantap pasta buatan Alan, rasa manis yang samar menyentuh ujung lidahnya. Cita rasa itu tidak bisa dia rasakan dalam hidangannya.
Kemudian. Dia merasa dia tahu identitas bahan itu.
“Mungkinkah…”
< Apa itu dapur (3) > Selesai