Dewa Memasak – Bagian 139: Apa itu dapur (4)
Saat dia mencicipi linguine Alan sekali lagi, dia masih merasakan rasa manis yang sama. Itu bukan rasa manis dari gula dan juga bukan rasa manis dari buah.
‘Sayuran.’
Dia bisa merasakan jejak sama sari yang keluar dari wortel dan bawang bombay saat kau memasaknya. Namun, sayuran yang ada hanya basil yang di masukkan ke dalam minyak zaitun dan bok choy.
‘bisakah rasa manis bok choy menutupi ini?’
Jo Minjoon mengernyit. Karena bok choy bukan sayuran dengan rasa manis yang kuat. Daya tarik bok choy ada pada kerenyahan tekstur dan batangnya yang lembab, dan cita rasanya nomor dua. Bok choy tidak bisa menutupi linguine dengan ras manisnya.
Tidak ada sayuran lagi di dalamnya. Sistem jelas mengatakan itu padanya. Namun, cita rasa yang keluar bukan dari bahan ini terasa di mulut.
Jawabannya adalah salah satu di antara dua. Ada titik buta sistem atau resep itu tidak umum atau seluar biasa itu untuk memberikan rasa manis. Ini bukan gaya yang berbeda seperti gastronomi molekular. Tidak mungkin membawa cita rasa itu hanya dengan bahan-bahan ini.
‘Jika hanya digunakan untuk memberikan citarasa dan sayuran tersebut dibuang…’
Itu mungkin saja. Dan bahan itu tidak akan terbaca oleh sistem. Karena pada akhirnya, bahan itu tidak ada dalam hidangan. Melihat resepnya, kemungkinan itu dimasukkan sebentar lalu dikeluarkan…itu tidak aneh bahwa sistem tidak mengatakan daftar bahan-bahan itu.
Hal yang penting adalah bahan apa saja yang mereka masukkan. Dia bisa merasakan bahwa itu rasa manis dari sayuran, tetapi lebih dari itu, Jo Minjoon tidak bisa merasakannya melalui pengecapannya.
Jo Minjoon melihat Kaya sekilas. Dia punya ekspektasi bahwa Kaya, barangkali dia bisa menebak jawabannya. Namun, Kaya masih menatap pasta Alan dengan ekspresi bingung dan Anderson tampak terus memasak alih-alih berpikir, karena dia berdiri di depan meja masak lagi.
Pada akhirnya, Jo Minjoon pergi ke lemari pendingin dan memeriksa sayuran. Alan berdiri di sebelahnya lalu bertanya.
“Kau sudah mengeluarkan bahan-bahan sebelumnya, lalu kenapa kau ke sini lagi?”
“…….Alan, jangan bertingkah seperti itu, aku bisa melihat semuanya. Aku sudah menyadarinya.”
“Apa itu?”
“Resep yang kau katakan sebelumnya, itu belum 100%.”
Alan melihat Jo Minjoon tanpa berkata apa-apa dengan wajah yang mengatakan ‘benarkah?’. Tetapi justru karena dia berekspresi seperti itu, Jo Minjoon merasa sangat yakin dalam hatinya bahwa masalahnya adalah sayuran apa yang Alan gunakan.
‘Wortel. Lobak. Labu. Bawang bombay…yang mana itu.’
Kandidat yang mungkin di lemari pendingin hanya itu. Kemudian. Kaya, yang melihat Alan dan Jo Minjoon dengan curiga, diam-diam berdiri di sebelah Jo Minjoon lalu berdehem.
“Kenapa kalian masih di sini?”
“Lalu kenapa kau datang ke sini?”
“Itu pelanggaran privasi.”
Kaya mengatakan hal yang tidak logis lalu membuang muka. Jo Minjoon bergeser lalu berkata.
“Silahkan pilih!”
“…Kau tidak ingin memilih sesuatu?”
“Kalau begitu berdirilah di sana.”
Jo Minjoon mengangkat bahunya. Kaya menggigit bibirnya lalu melihat mata Jo Minjoon dan lemari pendingin bergantian. Hanya dengan sekali lihat, tampaknya dia ingin mengambil sesuatu, tetapi karena Jo Minjoon memperhatikannya, tampaknya dia tidak mau menunjukkannya.
Kaya mendecakkan bibirnya dengan wajah cemas. Dia menyodok lengan Jo Minjoon dengan bahunya.
“Kau sungguh tidak akan pergi?”
“Tidak akan.”
“Serius?”
“Serius.” Jawab Jo Minjoon sambil membuka matanya lebar-lebar.
Kaya manyun dengan wajah kesal lalu berguman dengans suara tertekan.
“Kau punya lidah lebih halus dariku, jadi kenapa kau bersikap seperti ini?”
“Lidahmu lebih baik dari pada aku.”
“Hmph.”
Dia mengerutkan hidungnya lalu menjulurkan jarinya yang seputih buah persik. Benda yang dia raih adalah sebuah kantong yang berisi keciwis. Jo Minjoon berseru. Kaya memegang keciwis seperti anak-anaknya lalu melirik Jo Minjoon. Jo Minjoon menyeringai lalu bertanya,
“Apa kau akan menggunakan semuanya?”
“…….Kenapa?”
“…Aku juga mau.”
“Hei! Apa kau juga akan bersikap seperti pengecut?”
“Alan bilang sebelumnya bahwa dapur adalah miniatur sebuah negara. Jadi perampasan adalah hal biasa.”
“Merampas juga ada batasannya! Kalau begitu ayo lakukan seperti ini. Setelah satu menit aku mulai memasak…”
Kaya, yang sedang berbicara, sorot matanya berubah gelap. Di ujung tatapannya ada Anderson. Tampaknya dia gagal dengan linguine yag baru dia buat, jadi Anderson, yang sedang mendekati mereka, tersenyum simpul. Matanya tertuju pada keciwis yang dipegang Kaya.
“Kau memegang benda yang lucu.”
“…Aku dibodohi.” Gerutu Kaya dengan wajah bingung,
Pada akhirnya, tampaknya dia menyerah mempertahankan keciwisnya, dia buru-buru mengambil sejumlah yang ingin dia gunakan. Dia berusaha mengulur waktu Jo Minjoon dan Anderson. Kaya mengikat erat kantong yang berisi keciwis dan memasukkannya jauh ke dalam lemari pendingin, lalu berlari ke meja masak.
Jo Minjoon mengeluarkan keciwis dan mengatur pikirannya di depan meja masak. Jika Kaya yang memilih ini, kemungkinan tinggi keciwis memang dimasukkan ke dalam resep. Lalu bagaimana dia menggunakan itu tetapi tidak dimasukkan ke dalam daftar bahan. Lebih tepatnya, bagaimana kau mengeluarkan rasa keciwis tetapi tidak memasukkannya. Itulah masalahnya.
Kaya merebus keciwis dengan air. Tampaknya dia berencana membuat kaldu sayur. Dipikir-pikir, itu jelas. Untuk mengeluarkan ciata rasa keciwis dengan benar, membuat kaldunya adalah cara yang paling cepat. Tetapi Jo Minjoon yakin, itu salah.
Jika dia membuat kaldu seperti itu, dia akan melihat kaldu sayuran dalam daftar bahan-bahan. Tetapi dia tidak melihatnya. Apalagi, meskipun dia memikirkan resep yang dibuat Kaya… sistem masih mengatakan padanya bahwa skor masakan estimasi adalah 9.
Anderson yang sedang memarut keciwis dan membuat sap di sudut dapur. Tampaknya dia berencana menggunakannya sebagai saus. Namun, Jo Minjoon juga yakin kali ini juga salah.
“Minjoon, kenapa kau tidak memasak?”
“Aku sedang menyusun resep di kepalaku. Bagaimana cara mengeluarkan cita rasa yang mirip dengan buatanmu. Bagaimana resep yang paling mendekati?”
“Kau bisa melakukannya hanya dengan memikirkannya…?” tanya Alan dengan ekspresi lelah.
Tentu, saat kebanyakan chef mengumpulkan pengalaman, hanya dengan membuat resep di kepalanya Jo Minjoon mampu menebak cita rasa seluruhnya tetapi hanya sampai pada tingkat tertentu.
Apa yang Jo Minjoon coba lakukan sekarang adalah memikirkan perbedaan cita rasa yang samar. Mereka bilang bahwa dia punya indera pengecap yang mutlak, tetapi hanya lidahnya sensitif? Apa dia mampu memikirkan perbedaan amat kecil itu di kepalanya dan membandingkannya?
‘…Dia adalan Beethoven dalam dunia memasak.’
Dia tidak tahu sampai di mana kesalahpahaman Alan. Jo Minjoon menjawab dengan santai.
“Aku mengkalkulasi di kepalaku bahwa hidangan yang aku siapkan saat ini benar. Jika linguineku tidak berbeda dengan yang dijual di sini berdasarkan penilaianmu, itu akan bagus.”
Jo Minjoon memasukkan lingine ke dalam air yang mendidih. Sementara itu, dia mulai mengiris cumi dan bok choy lagi. Pemula akan kesulitan mengontrol waktu karena mereka harus mengiris sayuran dan menumisnya dalam wajan panas sebelum linguine terlalu mengembang.
Tentunya, bagi Jo Minjoon, itu tidak sulit sama sekali. Di lihat pertama kali, caranya memotong tampak biasa, tetapi dia tidak membuat kesalahan sedikitpun… dia memotong dengan tenang dan tanpa jeda. Dia hanya butuh satu menit untuk mengiris separuh cumi dan 10 batang bok choy.
Jo Minjoon memanaskan wajan, menuangkan minyak zaitun, lalu memarut basil di atasnya. Setelah itu, waktunya memasukkan keciwis. Keciwis bulat berguling di wajan seperti bola. Aroma dan cita rasanya mulai meresap ke dalam minyak.
Setelah itu, cumi dan bok choy dicampurkan ke dalamnya, tetapi Jo Minjoon segera mengeluarkan keciwis. Inilah alasan keciwis tidak ada dalam daftar bahan-bahan.
Alan mengerang dalam hati. Dia berkata mungkin kah Jo Minjoon sungguh membuat ulang resepnya, tidak dengan membaca cita rasa, tetapi dengan membayangkannya.
Jika dia punya guru yang benar, tidak salah jika dia menjadi chef kepala di sebuah restoran terkenal mulai sekarang. Suami Rachel, Daniel, pun menjadi chef kepala pada usia 21.
Kaya mencicipi linguine yang dia buat lalu mengernyit. Dia bahkan tidak memberikannya pada Alan. Dia melihat Jo Minjoon yang sedang memasak. Begitu pula dengan Anderson. Saat dia membuat sap keciwis dan memasukkannya ke dalam pasta, dia tidak merasakan rasa manis samar, tetapi rasa keciwis yang berlimpah.
Akankah Jo Minjoon bisa membuatnya? Ekspektasi dan perasaan tidak ingin dia sukses ada dalam diri Kaya dan Anderson. Mereka ingin menang. Akan tetapi, saat Jo Minjoon menyajikan linguine yang selesai di masak ke atas piring, mereka tanpa sadar memegang garpu di depan hidangan itu.
“Aku boleh mencicipinya, kan?” tanya Kaya penasaran.
Jo Minjoon tidak menjawab. Dia sedang menatap udara dengan tatapan lembut. Kaya merinding melihat Jo Minjoon. Tidak ada apapun di situ, tetapi Jo Minjon melihat ke arah itu seolah-olah ada sesuatu di sana. Dia takut karena Jo Minjoon mungkin dirasuki hantu. Dengan hati-hati, dia meletakkan tangannya di bahu Jo Minjoon.
“Minjoon?”
“Ah, hah?”
“Kenapa kau tiba-tiba bengong? Apa kau baik-baik saja?”
“Tidak, aku pikir hidangan ini sukses. Makanlah.”
“Bagaimana kau tahu, kau bahkan belum mencicipinya…”
Kaya yang menggulung linguine di garpunya sembari menggerutu, kemudian mengunyah linguine sejenak, lalu ekspresinya berubah aneh. Bibirnya tersenyum tetapi matanya mengernyit. Ini cita rasa sempurna, sama seperti buatan Alan. Kaya tersenyum dalam kebahagiaan karena cita rasa yang diberikan, tetapi dia juga tidak ingin tersenyum karena dia sudah kalah.
Anderson dan Alan mencicipi itu setelah Kaya, kemudian mengangguk. Alan hendak mengatakan sesuatu tetapi menghela nafas panjang.
“Aku sudah bersiap jikalau kalian semua tidak mampu memahaminya sampai petang tiba…tapi sia-sia. Aku perlu satu bulan lebih untuk mengembangkan resep ini.”
“Aku punya petunjuk yang bagus.”
Jo Minjoon menyeringai lalu menunjuk pasta Alan. Dia segera beralih menatap linguine dengan emosional. Dia mampu mendapat skor 10 melalui resep orang lain dan berkat keistimewaan pasta… Ini pertama kalinya dia membuat hidangan 10 poin.
‘Suatu hari nanti, dengan kekuatanku sendiri, dengan resepku sendiri…’
Waktu itu, saat dia mulai bertekad, jalan di depannya sangat gelap, tetapi sekarang dia merasa bahwa dia akan mampu meraih sukses kapanpun. Apakah petualang dengan peta harta karun merasa seperti ini? Dadanya membara seolah dia adalah pemuda yang sedang demam.
Di belakang Jo Minjoon, Kaya menatapnya seperti seekor kucing, kemudian tersenyum seolah tak bisa berbuat apa-apa. Alan melihat itu dan memikirkannya. Sebenarnya, orang yang pertama menemukan tentang keciwis adalah Kaya. Hal itu berarti indera pengecapnya sangat sensitif hingga sulit dianggap normal.
‘Jika mereka berdua di dapur yang sama…’
Sinergi itu mungkin akan melampaui normal. Air liur terkumpul di mulut Alan. Sama seperti dia berdiri di dapur karena dia suka memasak, dia juka suka sekali makan. Menyenangkan hanya dengan membayangkan hidangan seperti apa yang akan lahir ketika mereka berdua bekerja bersama.
“Jadi, apa Jo Minjoon menang?”
“Benar. Dan sekarang kau akan menjadi assisten Minjoon.”
Mendengar kata-kata Alan, Anderson menyantap linguine buatannya. Meskipun tidak sukses, sepertinya dia tidak bisa membuang makanan buatannya ke tempat sampah. Yaa, itu adalah hidangan 9 poin dan rasanya enak sekali.
‘Aku ingin menunjukkan pada guru Rachel bahwa aku menang.’
Malangnya, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Jo Minjoon merasa haus melihat Kaya, dan Anderson merasa haus ketika melihat Jo Minjoon. Meskipun dia mendapat hasil yang lebih baik di Grand Chef, pada akhirnya perhatian dunia dan Rachel tertuju pada Jo Minjoon.
“Dia merasa seperti sedang melihat ke dinding yang tidak bisa dia lewati. Dia tahu bahwa memasak bukanlah kompetisi dengan yang lain, melainkan dengan dirinya sendiri… Saat dia berdiri di sebelah Jo Minjoon, Anderson merasa jatuh ke dalam kubangan yang lengket dan berlumpur.
Keraguan dan perasaan inferioritas yang rumit yag dirasakan Anderson menyembul ke atas seperti uap panas melalui mulutnya yang setengah terbuka. Tetapi Anderson tidak selemah itu untuk menyerah pada rasa sakit itu. Anderson membuka mata perlahan dan menatap Jo Minjoon,
“…Kau sungguh menakjubkan.”
“Terima kasih.” kata Jo Minjoon canggung.
Rasanya ini pertama kalinya dia mendengar pujian dari mulut Anderson sendiri. Tidak, itu tidak terdengar pujian semata. Emosi dalam suaranya terasa. Itu adalah emosi yang sama yang dia punya saat melihat Kaya.
Anderson mengatakan bahwa dirinya masih muda dan suka berterus terang…dan karena itu, dia mengutarakan keserakahannya yang bernilai dan daya saingnya tanpa menghiasnya sama sekali.
“Tunggulah yang berikutnya. Aku pasti akan mengalahkanmu.”
< Apa itu dapur (4) > Selesai
(Catatan PR: Seorang rival yang buas telah muncul! Apa yang akan dilakukan Minjoon?)