Dewa Memasak – Bagian 140: Apa itu dapur (5)
Setelah demi chef ditentukan, Alan tidak hanya mengajari Jo Minjoon resepnya, tetapi juga orderan dan metode memasak. Dia mendengar beberapa hal, tetapi apa yang dipentingkan Alan adalah mengingat urutan memasak pasta.
Tidak masalah kapan membuat satu atau dua hidangan sekaligus, tetapi jika banyak pelanggan, penting untuk mengingat urutan memasak pasta, karena jika salah mengambil pasta untuk yang lain, maka kau akan menyajikan pasta yang belum matang atau pasta yang terlampau matang.
Beruntungnya mereka hanya bertanggung jawab terhadap linguine. Tetapi bukan berarti mereka memasak linguine dan chef yang lain memasak pasta yang lain. Pada menu Olive Island yang diberkan pada pelanggan, hanya ada pasta linguine yang mereka makan itu. Mereka bertanya kenapa Alan menerapkan itu, Alan menjawab seperti ini.
“Kita mengubah menu satu hari dalam seminggu. Dan menu pada hari itu akan berubah setiap musim.”
Hal pertama yang terpikir oleh Jo Minjoon saat mendengar itu adalah apakah ada hidangan lain yang mendapat skor serupa. Kesulitan pasta ini mungkin lebih tinggi, ini sama sekali tidak mudah… Akan tetapi, dia penasaran dengan resep-resep yang lain. Sebenarnya, resep ini sulit dibuat tanpa linguine Alfredo. Dia ingin belajar resep dengan 10 poin yang bisa dia buat dengan bahan-bahan yang normal.
‘…Bahkan saat aku memikirkan ini, aku merasa seperti pencuri.’
Jo Minjoon menekan bibirnya dengan ekspresi tidak nyaman. Ada banyak orang yang melakukan pekerjaan di restoran terkenal selama berbulan-bulan hanya untuk mempelajari resep di sana. Dengan hanya bisa mengantongi resep Alan yang terekspos dalam sehari, dia cukup sedih.
Setelah berlatih beberapa kali, tidak ada lagi yang perlu dia persiapkan. Yang tersisa adalah menunggu pelanggan.
Saat mereka punya waktu sejenak untuk bersantai, chef di sekitar mulai berkumpul dan mengobrol. Yang paling populer di antara mereka bertiga adalah Anderson. Orang tua Anderson, Amelia dan Fabio, adalah orang Italia-Amerika, sesuai nama mereka. Karena itu, Anderson juga bisa berbicara bahasa Italia. Bagi mereka yang tidak lancar berbahasa Inggris, mereka hanya bisa berbicara dengan Anderson…atau berbicara dengan yang lain menggunakan juru bahasa.
Sementara Anderson ditahan oleh koki lain, ada satu orang yang mendekati Kaya dan Jo Minjoon. Dia adalah chef termuda yang tidak bisa menahan rasa gembiranya saat dia pertama kali bertemu mereka, Berta. Dia melonggarkan syal kuning di lehernya kemudian mengulurkan bolpoin dengan wajah antusias.
“Boleh aku…mita tanda tangan kalian berdua?”
“Oh, tentu.”
Jo Minjoon tersenyum ceria kemudian menanda tangani syal itu. Ketika Kaya menerima bolpoin, dengan hati-hati, Berta bertanya.
“Jika tidak keberatan, bolehkah kau menanda tanganinya di atas tanda tangan Jo Minjoon?”
“…Ya? Kenapa?”
Meski mungkin ada orang-orang yang mendapat tanda tangan kalian berdua, tapi tidak mungkin ada yang memintanya seperti ini. Aku ingin menjadi yang pertama. Meski tidak bisa menjadi yang terakhir…menjadi yang pertama mempuyai romansa tersendiri.”
“Yang pertama….” ulang Kaya.
Kemudian dia mengulurkan tangannya lalu menulis di atas syal. Itu tulisan tangan yang kacau. Pipinya merona karena malu.
“Tulisanku tidak bagus.”
“Tidak. Yang penting adalah tanda tanganmu, mmm…bernilai. Iya. Terima kasih.”
Mereka tidak membenci usahanya mengekspresikan perasaannya dengan bahasa Inggris sebisanya. Kaya melihat namanya yang tertulis di atas nama Jo Minjoon. Jarinya yang ramping dengan bentuk kuku yang panjang membelai tulisan itu. Berta, segera menerima kembali syal itu dan mengikatkannya kembali di lehernya.
“Aku akan menyimpannya seumur hidup.”
Entah itu diucapkannya agar sopan ataukah dia benar-benar tulus. Bahkan setelah itu, kata-kata indah nan lembut terucap di antara mereka selama beberapa saat. Sama seperti yang lain, momen manis juga akan berakhir 4:50. Para chef segera berdiri bersiap-siap untuk pelanggan yang segera datang.
Alan melihat mereka sambil berdiri di antara dapur dan aula. Beberapa pelanggan yang baru saja masuk mendapatkan daftar menu yang diberikan para pramusaji. Alan berkata dengan suara tenang.
“Alasan aku memberimu ruang di dapurku bukan demi siaran yang menarik. Alasannya sederhana. Aku percaya pada kemampuan, mentalitas, dan jiwa kalian. Aku yakin meski di bawah tekanan, kalian tidak akan menyajikan hidangan yang kacau atau bertingkah tidak kompeten hingga membuat pelanggan menunggu.”
Tatapan Alan bertemu dengan tatapan Jo Minjoon, Kaya, dan Anderson, kemudian lanjut berbicara dengan suara pelan.
“Akan bagus jika firasatku tidak salah. Aku hanya mengharapkan pelanggan yang tertawa bahagia. Hanya itu yang akan membuatku dan kalian mengakhiri hari dengan tertawa.”
Saat dia hendak menyelesaikan bicaranya, daftar pesanan keluar dari mesin. Alan menariknya keluar lalu berteriak dengan suara tegas.
“Meja no 13. Menu set special untuk 4 orang. Mulai!”
Pemasak bagian hidangan pembuka mulai menggerakkan tangannya dengan cepat. Belum waktunya bagi Jo Minjoon dan kedua asistennya memasak. Butuh 20 menit untuk menikmati semua hidangan pembuka. Mereka bahkan tidak sampai 8 menit untuk membuat linguine.
Jo Minjoon menoleh perlahan melihat Kaya.
“Kaya, periksa suhu air.”
“Sudah benar.”
“Anderson. Kau sudah membuat minyak zaitun basil, kan?”
“Aku membuatnya untuk 100 porsi.”
Jo Minjoon mengangguk. Dia perlahan melihat bahan-bahan. Sudah cukup. Dari asal, kualitas, dan kesegarannya., semua bisa dia periksa dengan instan. Alan tetaplah ALan. Tidak ada satupun bahan yang di meja masak yang kondisinya jelek.
Dia dengan tenang memeriksa waktu. Mereka harus mulai memasak pasta ketika piring amuse-bouche telah kembali. Waktu yang dibutuhkan untuk makan hidangan pembuka, ceviche dan mozarelaa, sekitar 7 menit, dan itu pas dengan lama proses memasak linguine.
“Kaya, Linguine.”
“Iya. Pertama, ini untuk 4 orang, kan?”
“Setelah dua ment, kita harus memasak untuk 3 orang lagi.”
“Aku paham.”
Dia harus memasak sesuai dengan jumlah orang di meja. Itulah yang membuat mereka sangat berfokus. Tetapi Jo Minjoon tidak merasa ini sangat sulit. Pada dasarnya, dia adalah orang dengan kepala yang cerdas. Ketika dia bersekolah, mengingat adalah kelebihannya, dan mengingat pesanan tidak terlalu sulit.
Anderson mengiris cumi dan bok choy lalu memberikannya pada Jo Minjoon. Jo Minjoon menutupi minyak dengan aroma kubis, sama seperti resep, dan setelah itu, dia memasukkan cumi dan bok choy lalu menumisnya. Dia menaikkan api dengan menuangkan wine putih kemudian Kaya memasukkan pasta di saat yang tepat. Dan selesai.
Ketika Jo Minjoon meletakkan linguine di atas piring dengan cantik, Alan mengangkat piring itu lalu memeriksa semua bagian. Dia membersihkan area yang terciprat minyak zaitun, kemudian mengambil sehelai mie dan mencicipinya. Tidak ada masalah. Dalam sehari, bukan, lebih tepatnya, hanya dalam beberapa jam, dia menguasai resep ini dengan sempurna…
‘Karena dia punya keahlian, ini jelas berbeda.’
Alan mengangguk. Sebenarnya, hanya dengan melihat keahlian memasak, mereka bertiga setara dengan sous chef. Mereka seberbakat itu. Meskipun Kaya ataupun Anderson yang memegang wajan, alih-alih Jo Minjoon, hasilnya mungkin tidak akan begitu berbeda.
Memasak harus sempurna dalam prosesnya agar hasilnya juga sempurna. Bisa membuat hidangan 10 poin dengan stabil, mungkin berkat Anderson dan Kaya yang melakukan tugas mereka dengan baik.
Akan tetapi, mungkin juga karena pelanggan masih belum berjubel. Mereka, yang ada di dalam dapur tidak bisa melihat itu, tetapi Alan bisa. Orang-orang perlahan mulai berkumpul. Selang waktu mesin mencetak pesanan semakin pendek.
Di saat Alan tengah memeriksa hidangan, terdengar langkah kaki dari empat orang menuju Alan. Alan menengok lalu berkata.
“Apa kalian menikmati perjalanan kalian di Florencia?”
“Florencia adalah kota yang selalu keren dan lezat kapanpun kau datang. Jalanan dan hidangan-hidangan penuh dengan romansa.”
“Kalau begitu aku turut senang.”
Mendengar kata-kata Rachel, Alan tertawa lembut. Jeremy menyentuh dagunya lalu berkata.
“Melihat situasinya, yang menang Jo Minjoon,yaa?
“Iya.”
“Jelas karena indera pengecapnya sensitif, jelas berbeda.”
“Mmm, situasinya berbeda…yaa, mirip.”
Memang Kaya yang menyadari cita rasa keciwis, tetapi sebenarnya, Alan masih tidak bisa tahu apakah Jo Minjoon benar-benar tahu atau pura-pura tidak tahu. Sera menyilangkan lengan dan melihat mereka memasak.
“Menurutku, chef jelas paling seksi saat mereka berada di depan meja masak. Benar kan, Emily?”
“Oh, iya. Benar. Ada apa dengan tatapan aneh itu?”
“Tidak ada. Hanya saja tampaknya kau sungguh paham dengan keseksian chef.”jawab Sera sambil melirik Alan.
Emily terbatuk seolah dia tertangkap basah lalu mencubit Sera agar dia berhenti menatap Alan.
“Aduuh! Apa yang kau lakukan?”
“Sssst. Diamlah. Apa kau mau terus mengikat kita seperti ini?”
“Kau juga menggoda Kaya dan Minjoon…”
“Itu dua hal yang berbeda!”
“Itu tidak mirip…oh, aku paham. Jangan pasang wajah ingin menangis.”
“Aku bukan ingin menagis, tapi merasa tidak adil.”
Sera menatap Emily dengan wajah yang mengatakan “itu mungkin”. Jika kau bertanya pada orang-orang ekspresi macam apa itu, apa kira-kira jawaban mereka?
Emily sengaja mengalihkan pandangan dari Sera, dia melihat ke aula. Itu tidak perlu dilakukan, karena toh mereka terus siaran bersama, apa dia merasa bahwa mereka di tim yang sama?. Dia mulai memperhatikan ekspresi orang-orang yang menyantap linguine seolah mereka adalah pelanggannya.
Beruntungnya adalah tidak ada seorang pun yang mengerutkan dahi. Mungkin ada perbedaan, tetapi mereka semua puas. Beberapa dari mereka dimabuk cita rasa hidangan hingga mereka memejamkan mata. Emily tersenyum lega.
“Rachel, Bagus yaa. Menurutku, Minjoon akan menjadi murid yang baik.”
“Iya. Tentu..”
Rachel melihat Jo Minjoon, Kaya, dan Anderson. Pesanan terus datang tanpa akhir tetapi mereka tidak panik. Beberapa mungkin berpikir apa yang luar biasa dari itu.
Ini bukan semata-mata sebuah kisah. Jumlah wajan dan tempat yang bisa digunakan untuk memasak pasta terbatas. Jadi, sembari mengerjakan pesanan yang diminta hingga jumlahnya melampaui batas, meski bagi chef yang berpengalaman, mau tak mau, mereka akan gentar.
Sikap gentar bisa menyebabkan kesalahan, dan kesalahan menyebabkan hidangan datang terlambat. Alasan kenapa hidangan yang keluar setelah beberapa saat lamanya di restoran yang terkenal juga karena hal ini.
Jo Minjoon tidak membuat kesalahan, begitu juga Kaya dan Anderson. Omong-omong, di sana bukanlah restoran mereka, tetapi bukan berarti kegugupan mereka akan berkurang, jika mereka berpikir itu restoran mereka sendiri. Jika mereka melakukannya, tatapan mereka tidak akan bersinar seperti itu.
“Mmm…”
Rachel, yang hendak mengatakan sesuatu, malah menutup mulutnya lagi. Dia bahkan tidak menyadarinya, tetapi suaranya bercampur tangisan. Namun, itu bukan kesedihan atau semacamnya. Emosinya campur aduk. Jiwa muda yang membara dan hasrat membuat jiwa dan hatinya bergetar. Rachel hendak berkata lagi. Suaranya masih bercampur haru, tetapi kali ini dia tidak berusaha menyembunyikannya.
“Anak-anak itu sungguh elok.”
“Elok…?” tanya Emily bingung.
Dia paham mereka yang berkonsentrasi dalam memasak tampak bersinar dan keren, tetapi dia merasa bahwa kata elok itu berlebihan. Namun, Rachel serius. Dia lanjut berbicara.
“Mereka belum dewasa dan jalan mereka masih panjang, tetapi mereka tidak gelisah berada di jalur mereka dengan pesanan menumpuk di depan mereka.”
“…Mmm, jika bukan elok, apa seharusnya itu pencitraan?”
“Pencitraan…mungkin begitu. Tapi, apa bisa mereka melakukannya? Di tempat dan dapur yang tidak familier, mereka harus membuat resep yang tidak familier di antara chef yang tidak dikenal. Mirip juga dengan situasi di Grand Chef, tapi berbeda. Orang-orang waktu itu menyantap makanan peserta, tetapi di tempat ini, pelanggan adalah orang yang menyantap makanan mereka. Mereka di sana karena mereka ahli, tangan mereka yang masih muda dan tidak punya keriput.”
Sulit untuk memahami, apa tepatnya yang dibicarakan Rachel, tetapi Emily bisa merasakan dengan jelas perasaan Rachel. Emily dan bahkan Sera, yang disebelahnya, tanpa sadar mengangguk. Rachel mengutarakan api di dadanya melaui kata-kata.
“Itu karena cinta mereka.”
Pada saat itu tatapan Sera tertuju pada Kaya dan Jo Minjoon lalu kembali menatap Rachel. Tidak mungkin Rachel membicarakan soal itu. Rachel lanjut berbicara,
“Mereka cinta memasak. Mereka mencintai momen saat mereka sedang memsak. Itulah kenapa mereka mampu mengalahkan tekanan dan ketakutan.”
Rachel bisa mengerti dengan baik perasaan mereka bertiga karena dia juga pernah berdiri di tempat yang sama seperti mereka. Rachel tersenyum hangat.
“Pelanggan seperti apa yang bisa menyantap makanan itu dengan nikmat? Mereka membuat itu dengan banyak cinta. Meskipun negara dan wilayah berubah, satu hal tidak akan berubah.”
“Apa itu?”
“Makanan yang penuh dengan cinta terasa lezat.”
Itu adalah kata-kata yang umum tetapi karena orang yang mengatakan itu adalah Rachel, pada akhirnya, kata-kata itu tidak terasa ringan. Rachel melihat mereka bertiga dengan tatapan penuh kasih sayang, seolah dia sedang melihat cucu-cucunya.
“Itu adalah hukum dapur yang tidak akan berubah selamanya.”
< Apa itu dapur (5) > Selesai