Dewa Memasak – Bagian 141: Di Perempatan Jalan (1)
Ada piring yang disajikan dan ada pula piring yang kembali. Kau bisa tahu betapa lembut dan manisnya jembatan antara dua proses yang bahkan tanpa memutar kepalamu.
Hidangan dari mereka bertiga seperti itu. Hidangan buatan Anderson, Kaya, dan Jo Minjoon seperti itu. Setelah menyajikan pasta untuk meja terakhir, kegugupan yang mengikat mereka perlahan melonggar. Jo Minjoon mengambil nafas sembari mematikan kompor.
“Ini menyenangkan.”
“…Iya tetapi terlalu panas.”
Kaya mengusap keringat yang mengalir turun di dahinya dan mengibaskan bajunya. Kemudian, diam-diam mendekatkan mulutnya ke telinga Jo Minjoon. Jo Minjoon mencium aroma kulit Kaya yang basah oleh keringat mengalir masuk ke hidungnya, kemudian suara serak segera terdengar.
“Ayo masuk ke ruang pendingin.”
“Tidak, kau tidak boleh.”
“Katakan saja boleh yaa?”
“Jangan nakal, yaa.”
Jo Minjoon meraih dagu Kaya dengan wajah canggung lalu menjauhkannya lagi. Dia menjernihkan tenggorokannya.
“Aku juga panas. Jangan menempel padaku.”
“…Kau jahat.”
Kaya melotot pada Jo Minjoon dengan ekspresi penuh hina lalu pergi. Anderson mendecakkan lidahnya lalu menggelengkan kepala.
“Apa kau tahu bahwa sungguh menyebalkan melihat kalian berdua.”
“…Aku paham apa yang coba kau katakan, tetapi jangan katakan apapun.”
“Aku juga benci ikut campur urusan orang lain, tapi mau tak mau, aku frustasi.”
Jo Minjoon hanya melihat Kaya alih-alih menjawab. Kaya mendekati Berta, yang sedang mencuci piring dan mengobrol dengannya sebagai penganggu. Sama seperti lada yang meleleh saat dimasukkan ke dalam air, perlahan Jo Minjoon menunjukkan perasaannya dengan berkata.
“Menurutku, Kaya sungguh gadis yang baik.”
“…Aku tidak berpikir aku akan mendapat pemikiran itu seumur hidupku.”
“Kenapa? Dia seperti itu. Dia menjalani kehidupan yang keras, bicaranya kasar, tapi hatinya tidak seperti itu.”
“Hatinya? Itu hanya berlaku padamu. Kau mengatakan seperti itu karena kau tidak pernah melihat wajah Kaya saat mengutukmu.”
“Benar juga.”
Jo Minjoon menaikkan bahunya dan mendekati Alan. Bukan berati mereka punya sesuatu untuk dibicarakan, melainkan Jo Minjoon ingin melihat bagaimana pelanggan di luar dapur, di aula, yang sedang memakan linguine.
Hanya ada 3 meja yang masih menyantap linguine. Sepasang lansia, pasangan muda, dan sebuah keluarga dengan dua anak kecil. Linguine mereka tergulung di garpu dan setiap kali itu masuk ke mulut mereka, Jo Minjoon menelan ludah. Saat mata mereka memejam perlahan, hatinya juga menghela nafas lega.
“Aku ingin pergi dan bertanya pada mereka.” kata Jo Minjoon.
“Apa?”
“Apakah linguineku lezat? Aku ingin menanyakan itu pada semua orang.”
“Kenapa tidak?”
“Barangkali sikap entengku malah mengganggu emosi yang diberikan hidangan pada pelanggan. Karena aku tidak bisa memperbaiki cita rasanya lagi, aku tidak ingin mengganggu waktu bahagia mereka. Selain itu,…” tutur Jo Minjoon dengan suara yang penuh kebahagiaan.
“Menurutku, tidak perlu menanyai mereka.”
Pasangan lansia dan pasangan muda, serta keluarga berempat itu, semuanya makan linguine dengan wajah puas. Alan tidak bisa mendengar percakapan mereka, tetapi dia merasa bisa tahu, bahkan saat dia tidak bisa mendengarnya.
Sera mendekat ke sebelah Jo Minjoon lalu melihat ke aula. Dia tidak mengerti.
“Bagaimana rasanya saat melihat itu sebagai chef?”
“Ini yang terbaik. Apa perlu ditanya? Chef ada untuk memberi pelanggan kenangan akan kelezatan. Saat pelanggan meninggalkan meja dengan hati senang, chef dikenal seumur hidupnya hanya dengan itu. Senyuman orang-orang itu…mengatakan bahwa hidupku berharga. Aku sangat bahagia.”
“Aku iri.”
“Tentang apa?”
“Semuanya. Kau punya indera pengecapan mutlak yang membuat iri setiap epicurean dan chef, sedangkan kau sendiri, bahagia hanya karena senyum pelanggan.”
Jo Minjoon yang sedang melihat ke aula menoleh pada Sera. Sera tersentak sejenak. Jo Minjoon jelas tiga tahun lebih muda dari pada dirinya, Jo Minjoon baru melewati masa muda sebagai remaja. Tetapi kedalaman sorot matanya, lebih dalam dari pada dirinya.
“…Ada apa dengan sorot matamu itu?”
Tatapan itu membuat orang merasa gugup entah kenapa. Bisa dibilang itu terasa seperti bagian dalam hatimu terbaca dan tersentuh yang mana Kaya pun jatuh cinta pada Jo Minjoon karena sorot mata itu. Sera menelan ludah. Dia merasa semua otot wajahnya mengeras.
“Sera juga epicurean yang bagus.” kata Jo Minjoon.
“Berdasar apa kau mengatakan itu?”
Sera menunjukkan senyum provokatif, tetapi senyum itu hanyalah kepura-puraan. Jo Minjoon bisa melihat ketidaknyamanan Sera yang tersembunyi dibalik kepercayaan dirinya.
“Sera, jika ada sesuatu yang paling dibutuhkan chef, menurutmu apa itu?”
“…Entahlah. Apa ambisi untuk membuat makanan yang lezat?”
“Itu mungkin bisa menjadi jawaban. Soal itu, banyak pendapat yang berbeda-beda. Beberapa mengatakan chef harus punya hati terhadap pelanggan dan beberapa mengatakan bahwa chef harus melindungi filosofinya sendiri. Yaa, sejujurya ada sebuah jawaban untuk pertanyaan seperti ini. Tapi…”
Jo Minjoon menatap fokus pada mata Sera. Dia berbicara seperti seorang guru pada muridnya.
“Kau mengatakan itu dengan mulutmu sendiri. Bahwa ambisi untuk membuat makanan lezat adalah hal yang paling penting bagi chef. Kemudian, jika kau juga penuh dengan perasaan ingin menikmati makanan sebagai epicurean, bukankah itu sudah cukup? Jangan iri padaku. Sera, kau sangat bersinar hanya dengan itu.”
Meski tidak sering, Jo Minjoon pernah melihat pendapat positif tentang Sera di internet. Sera dinilai sebagai bintang epicurean cosplay yang bermodal penampilan. Akan tetapi, Jo Minjoon tidak setuju dengan penilaian itu.
Sera sangat paham komposisi seperti apa yang ada dalam suatu hidangan. Jo Minjoon tidak mengatakan ini hanya karena level mengecap Sera 8. Di setiap ucapan Sera selalu berujung pada proses memasak.
Menurut Jo Minjoon, Sera adalah epicurean yang bagus. Oleh karena itu, Jo Minjoon tidak sependapat dengan perasaan mindernya itu.
“Kau sungguh berpikir seperti itu…?”
“Orang-orang berpikir aku lembut. Tidak. Jika aku tidak memikirkan dengan baik tentangmu, aku tidak akan menghiburmu seperti ini.”
Sera menutup mulutnya sejenak. Dia terpikir beberapa hal di kepalanya. Dia merasa iri sekaligus kagum terhadap Jo Minjoon yang menyadari kemampuannya, dia tidak bisa berpikir bagaimana dia seharusnya menerima ini. Haruskah dia tetap mengatakan bahwa dia lebih buruk dari pada Jo Minjoon ataukah berterima kasih padanya.
Satu hal yang pasti adalah hal ini cukup lucu, kata-kata Jo Minjoon mampu menghibur hatinya. Sebenarnya, tidak berbeda dengan apa yang dikatakan Emily padanya, tetapi kata-kata itu terasa berbeda karena keluar dari mulut Jo Minjoon. Sera melihat Jo Minjoon sejenak lalu berkata.
“Kentang goreng. Kau lebih suka mencelupkannya ke dalam saos atau menuangkan saos di atasnya?”
“Aku lebih suka mencelupkannya.”
“Aku lebih suka menuangkan saos di atasnya.”
Jo Minjoon melihat Sera seolah bertanya apa yang coba dia utarakan. Sera menyeringai dan berkata.
“Hanya karena seorang dengan indera pengecap mutlak lebih suka mencelupkan, bukan berarti yang menuangkan di atasnya salah.”
Emily, yang menyimak pembicaraan mereka, terkikik. Alan, yang berada di sebelah Emily, melihatnya lalu bertanya.
“Kenapa kau tertawa?”
“Ada gadis yang tetap merasa minder meski aku sudah melipurnya, tapi sekarang sudah percaya diri setelah mendengar kata-kata yang sama dari Jo Minjoon. Ini menakjubkan. Apa kata yang sama bisa berbeda bergantung siapa yang mengucapkan?”
“…Mungkin seperti itu. Aku pun, saat mendengar ‘ini enak’, bergantung siapa yang mengatakannya, kebahagiaan yang aku rasakan akan berbeda. Saat guru Rachel…atau epicurean yang handal sepertimu mengatakan bahwa makananku lezat, aku jelas akan merasa lebih baik.”
“Oh kumohon, jangan katakan hal seperti itu di depan kamera.”
Wajah Emily merona karena malu. sementara mereka menikmati suasana itu, Rachel tersenyum ceria di depan Rachel dan Kaya.
“Kalian berdua sudah melakukannya dengan baik hari ini.”
“Apa yang kita lakukan? Pada akhirnya, kami hanya membantu Minjoon.”
“Tetapi tidak ada hidangan tanpa pendukung. Kalian menyelesaikan peran kalian dengan sempurna. Apa tidak cukup memujimu hanya dengan itu?”
Anderson menjawab seolah dia mencibir dirinya sendiri tetapi Rachel tetap tersenyum karena itu benar. Jo Minjoon bukan satu-satunya yang menakjubkan. Meski saat kau melakukan hal yang sama selama berjam-jam, untuk tidak membuat kesalahan apapun dalam prosesnya, itu telah membuktikan diri mereka sendiri. Rachel berkata.
“Aku merasa seperti nenek tua ambisius karena aku terus mengatakan ini di depan kamera… Meski begitu, aku tidak bisa menahannya. Anderson, Kaya, Aku juga ingin memberi kalian tawaran yang sama seperti pada Jo Minjoon.”
Anderson terbelalak. Itu jelas tawaran tentang apa. Rachel berbicara tentang memasuki Rose Island, dapur Rose Island. Anderson buru-buru membuka mulut lalu menutupnya lagi. Jika dia bicara sekarang, dia merasa suaranya akan terdengar gemetar. Rachel menepuk lengan Anderson dengan ekspresi bersalah.
“Kau selalu menunjukkan padaku sikap yang santun, tapi aku hanya bisa membalasmu dengan ini.”
“Ti, tidak. Terima kasih. Aku sungguh…sungguh berterima kasih.”
Dia merasa semua dukanya yang tertumpuk hingga sekarang hanyut, dan tangisnya akan mengalir keluar. Anderson terisak dan menelan tangisannya yang hampir keluar di tenggorokannya. Anderson melihat Rachel dengan seksama.
“Saya pasti akan membalas Anda karena Anda sudah percaya pada saya.”
“Mendapat resolusi itu bagus, tapi jangan merasa terbebani. Ini bukan untukmu, tetapi untuk pelanggan. Perasaan seorang chef punya warna tersendiri yang tampak pada hidangan mereka.”
“Menurutku, jika Guru Rachel berdiri di dapur, aku akan bisa memasak dengan hati gembira seumur hidupku.”
Rachel mengangguk dengan senyum samar, kemudian menoleh pada Kaya. Kaya bingung dan masih tidak bisa menjawab apa-apa. Rachel berkata seolah dia paham.
“Aku tahu ini sulit bagimu untuk menjawab dengan situasimu saat ini. Akan tetapi, tanggal kadaluarsa untuk tawaranku lebih lama dari yang kau pikirkan. Rasanya aku sudah mengatakan padamu di kompetisi di Grand Chef bahwa kau sebaiknya meraih tanganku nanti pada waktunya. Menurutku, tawaran ini akan mungkin saat kau sudah menyelesaikan semua agendamu di Grand Chef.”
“…Ini sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, jadi, aku kesulitan menjawab. Tetapi, pertama, aku akan memikirkannya dengan serius..”
“Iya. Aku akan menunggu jawaban yang bagus.”
Setelah percakapan singkat di antara mereka berakhir, mereka naik bis kembali ke penginapan mereka. Di tempat duduk di koridor, sembari duduk di sebelah Jo Minjoon, Kaya sedang memikirkan lagi tawaran Rachel.
Itu tawaran yang menarik. Saat dia menyelesaikan semua agendanya di Grand Chef, ada dua hal yang bisa dia pilih. Pertama, bertemu dengan pemilik restoran kecil dan menjadi chef kepala…atau perlahan memanjat di Rose Island, yang mana punya reputasi besar dan bagus.
Berdasarkan pilihannya itu, hasilnya akan berbeda. Jika dia melakukannya dengan baik, dia mungkin menjadi chef kepala yang dikenal saat usia muda. Jika memilih yang kedua, dia mungkin tidak bisa mendapatkan sesuatu yang besar dengan segera, tapi setidaknya, dia akan diberi kesempatan untuk berkembang sembari belajar. Karena dia tidak pernah menerima pembelajaran yang layak, sebuah kesempatan untuk bisa belajar di bawah asuhan Rachel yang hebat lebih berharga dari apapun. Akan tetapi, lucunya adalah Kaya tidak merasakan daya tarik tawaran Rachel pada bagian Rachelnya, tentang restoran pusat Rose Island. Jika dia pergi ke sana…
‘Dia mungkin juga di sana.’
Kaya menoleh sedikit. Mungkin dia bekerja terlalu keras hingga dia tertidur sambil menyandarkan kepalanya di pegangan kursi. Dia berpikir Jo Minjoon akan memiringkan kepala hingga jatuh ke badannya seperti yang terjadi dalam drama, tetapi itu tidak terjadi. Leher Jo Minjoon keras, dan posturenya juga kokoh.
Dia melihat ke sekelilingnya. Emily tampak sedang mengetik pesan pada seseorang karena matanya fokus pada layar ponsel pintarnya. Alan dan Rachel sedang membicarakan tentang hal-hal yang akan terjadi di restoran. Jeremy tertidur. Sera bengong melihat pemandangan eksotis negara asing yang terbentang di balik jendela mobil.
Yang tersisa hanyalah kamera. Kaya menyingkap pakaiannya berpura-pura merasa gerah kemudian melepaskan kardigannya yang penuh dengan lubang, lalu membentangkannya di atas lututnya dan lutut Jo Minjoon. Dia berpikir mungkin Jo Minjoon akan bangun, tetapi beruntungnya tidak.
Di balik kardigan itu, jari jemari Kaya keluar. Saat tangannya, perlahan melewati lutut Jo Minjoon, dan meraih tangan Jo Minjoon, senyum puas muncul di wajah Kaya. Kaya menyentuh punggung tangan Jo Minjoon sejenak lalu menggenggam tangannya. Jantungnya mulai berdebar karena dia merasa melakukan hal yang salah, tetapi hatinya sedikit tenang.
Dia merasa mungkin dirinya akan tertidur seperti ini. Saat Kaya berpikir seperti itu dan hendak memejamkan matanya, getaran muncul dari saku pakaianya. Kaya mengeluarkan ponsel pintarnya lalu melihat layar yang terbuka dengan mata kantuknya.
Setelah itu, tanpa sadar genggaman Kaya pada tangan Jo Minjoon mengeras.
< Di Perempatan Jalan (1) > Selesai