Dewa Memasak – Bagian 142: Di Perempatan Jalan (2)
Mata Kaya gemetar, penuh kekacauan. Bahkan setelah membaca pesan, memejamkan mata, dan mematikan ponsel pintarnya, pesan itu tidak pergi dari kepalanya. ‘Maaf tiba-tiba menghubungimu, Kaya. Tanpa basa-basi, akulah ayah kandungmu. Jika kau melihat pesan ini, bisakah kau membalasnya?’
Dia teringat apa yang dikatakan Tess Gilly saat mereka bertemu beberapa waktu yang lalu bahwa ayahnya sedang mencarinya. Mendengar itu, Kaya berpikir ayahnya yang itu, yang membuat ibunya hamil Gemma lalu pergi.
“Dia tidak di sisi Gemma”
“Apa yang kau gumamkan sendirian?”
Kaya terkejut mendengar suara tepat dari sebelahnya lalu dia menoleh. Barulah dia sadar bahwa tangannya masih menggenggam tangan Jo Minjoon sembari menutupinya dengan kardigan miliknya. Kaya buru-buru mengangkat kedua tangannya sambil berkata.
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Menurutku, kau sedang melihat ponselmu…Apa ada komentar buruk lagi?”
“Tidak. Bukan sesuatu seperti itu. Sekarang bahkan aku tidak akan terluka oleh komentar-komentar buruk…mungkin. Omong-omong, sekarang aku tidak selemah itu, aku tidak akan mudah hancur.”kata Kaya yakin.
Jo Minjoon menyeringai lalu mengangkat tangannya. Kardigan Kaya tergantung di tangannya. Pipi Kaya memerah lalu menarik kardigannya.
“Aku melepaskan kardiganku karena aku gerah.”
“AC-nya nyala.”
“Itu baru saja nyala. Sebelumnya panas. Aku akan memakainya lagi.” jawab Kaya.
Kemudian dia memakai kardigannya sambil menghirup nafas dalam-dalam.
Masih panas.
–
Di dalam penginapan, Kaya hanya berdiri terpaku sembari badannya diguyur air hangat yang keluar dari pancuran mandi. Rambutnya yang basah terjuntai di punggungnya dan tetes air mengalir terus-menerus melalui bulu matanya yang panjang. Sensasi rambutnya yang menyentuh lehernya terasa tidak menyenangkan.
Bukan, dirinyalah yang sedang merasa tidak nyaman. Besok, dia akan meninggalkan tempat ini dan membiarkan tubuhnya terjun dalam kesibukan lagi. Dan…dia terpikir bahwa pesan yang muncul tiba-tiba itu adalah representasi yang keliru. Akan tetapi, pertama-tama bagaimana orang itu bisa tahu nomor teleponnya?
Kaya tidak pernah melihat ayah kandungnya sekalipun karena ayahnya pergi sebelum dia mampu berpikir rasional. Jadi, jelas dia tidak ingat. Sejujurnya, dia pernah memikirkan tentang ini saat dia masih muda. Selain ibunya, Grace pun tidak tahu siapa ayahnya.
“…Maafkan aku, Bu.”
Suaranya yang pelan hanyut bersama air. Kaya melihat air mengalir turun di permukaan badannya sekian lama, kemudian menutup keran air. Di bawah alisnya, lipatan kelopak matanya yang dalam bergerak cepat. Kaya membuka mata lalu menatap tajam dirinya yang terpantul di cermin.
“Kaya, bertahanlah.”
Namun, apa yang harus dia lakukan setelah menahan diri? Menelpon ibunya? itu hanya akan membuat ibunya khawatir untuk hal yang percuma.
Menurutnya, setelah mandi, kepalanya akan sedikit lebih ringan, tetapi nyatanya, kepalanya sama beratnya dengan kain yang basah. Emily melihat Kaya lalu bertanya dengan ekspresi khawatir.
“Kaya, apa terjadi sesuatu? Kau tampak muram.”
“…Hidup selalu diikuti masalah”
“Bukankah kau baik-baik saja hingga sore? Apa kau bertengkar dengan Minjoon?”
“Minjoon tidak menyulitkanku.” jawab Kaya dengan tatapan sengit.
Emily menggerakkan tangannya bermaksud agar Kaya tidak salah paham.
“Aku tidak bermaksud begitu. Sepertinya kau tidak akan menceritakannya padaku meskipun aku bertanya. Jadi setidaknya, bagaimana sebaiknya aku menghiburmu?”
“Aku baik-baik saja. Aku bisa mengatasinya sendiri.”
“Apa perlu melakukan itu?
Yang menimpali perkataan Kaya bukanlah Emily, melainkan Sera. Dia, yang berbaring di atas sofa sambil menonton TV yang menyiarkan program berbahasa Italia, melihat Kaya seolah sulit memahaminya. Kaya menekan bibirnya seolah bimbang sejenak. Sera adalah orang yang sulit dihadapi karena dibalik penampilannya yang anggun, temperamennya kasar. Apalagi kata-kata yang dia lontarkan, itu bahkan lebih rumit lagi. Kaya ragu-ragu sejenak lalu menjawab.
“Pastinya aku tidak ingin bermasalah dengan siapapun.”
“Bagaimana mungkin menghibur jadi masalah? Itu jelas, bahwa orang yang menghiburmu, tidak akan menderita secara khusus. Justru, mereka mungkin merasa itu berharga karena telah menghibur seseorang. Apalagi jika orang tersebut sangat dekat denganmu.”
Sedikit samar siapa yang dimaksud Sera. Entah yang dia maksud adalah Jo Minjoon ataukah semata-mata seseorang yang akrab dengan Kaya. Akan tetapi, pada saat itu, yang muncul di kepala Kaya adalah Jo Minjoon. Seketika, dia paham apa yang dia rasakan.
‘Aku ingin di sebelah Jo Minjoon. Terhibur atau pun tidak. Aku ingin bersamanya.’ Hanya dengan begitu, perasaannya mungkin akan lebih tenang. Namun…
“Aku masih tidak ingin.”
“…….Kenapa?”
“Hubungan yang aku terima, jika aku melanjutkannya lebih jauh lagi, aku akan sangat malu untuk menghadapi Minjoon.”
Sera tidak bisa mengatakan apa-apa lagi karena bukan haknya untuk ikut campur. Rachel tersenyum lembut menyimak percakapan mereka lalu berkata.
“Senangnya melihat kalian.”
“…Melihat ini?”
“Semua kekhawatiran itu adalah tanda-tanda masa muda. Hanya karena kau sudah lanjut usia, bukan berarti kekhawatiranmu hilang, haya saja tidak mudah menjaga wajah dan hati yang cantik.”
Mendengar pujian Rachel, Kaya menyentuh hidungnya dengan canggung. Kaya diam-diam duduk di lengan sofa yang diduduki Rachel. Sera, yang melihat itu, menyeringai lalu berkata.
“Aku lihat di siaran bahwa kau sering duduk di bagian lengan kursi. Apa itu semacam kebiasaan?”
“Oh! Di rumahku, kami hanya punya satu sofa untuk dua orang. Sebenarnya, ada banyak sofa yang dibuang di jalanan tetapi kita tidak punya tempat untuk meletakkannya. Oleh karena itu, saat ibuku dan adikku duduk, aku selalu duduk di lengan sofa.”
Itu adalah masa lalu yang kelam. Namun, karena Kaya menceritakannya dengan santai, mereka tidak tahu apakah mereka harus berekspresi sedih atau tidak. Sera sukses untuk tidak menunjukkan emosinya melalui wajahnya, tetapi dia gagal menerima jawaban Kaya sehingga dia tidak tahu harus menjawab apa.
“Kemiskinan adalah sebuah tragedi saat kau mengalaminya, tetapi jika kau berhasil mengatasinya, justru itu akan membuatmu bersinar lebih dari sebelumnya. Orang yang mampu mengatasi kemiskinan tanpa senjata apapun tampak lebih menakjubkan daripada orang yang sejak awal tidak berusaha mengatasinya.”kata Rachel.
“Anda memuji bahwa saya menakjubkan, bukan?”
“Lebih bagus jika dianggap mengagumi. Semua orang di dunia akan mendukungmu sebanyak cahaya yang kau pancarkan. Dan mungkin, aku salah satu dari orang-orang itu.”
“…Kemampuan memuji Anda sungguh bagus.”
Perlahan Kaya mengangkat ujung bibirnya. Sedikit pujian yang diutarakan padanya itu mampu meredakan suasana hatinya.
“Aku mendapat pemikiran bahwa nanti saya bisa memiliki momen-momen yang menyenangkan saat saya masuk ke dapur Anda.”
“Itu karena aku ataukah karena Minjoon?”
“Jangan tanyakan itu. Bukankah Anda sudah tahu jawabnnya?”
Saat mereka mengobrol, bel pintu depan berbunyi. Mereka saling berpandangan. Emily berkata.
“Sepertinya para pria. Aku akan keluar.”
Emily berdiri lalu menuju interpon. Kemudian, dia bingung sekali. Sesuai dengan yang ia katakan, para pria, tetapi di antara mereka, ada wajah yang seharusnya tidak di sana.
“…….Alan?”
Mulutnya mengeras tetapi tersenyum. Emily buru-buru pergi membukakan pintu hingga hampir jatuh tersandung kakinya sendiri. Saat dia membuka pintu lebar-lebar, terdengar sebuah teriakan. Anderson memegangi lengannya dengan postur kuyu lalu mengerutkan dahi.
“Aduuh……..Emily! Pelan-pelan buka pintunya.” erang Anderson kesakitan.
“Oh, oh. Maafkan aku.”
“Kenapa kau menyalahkan dia? Dia pasti terburu-buru.” Kata Jeremy sambil menyeringai.
Pipi Emily merona. Dari sorot mata Jeremy tampaknya dia tahu perasaan Emily. Bahkan saat Emily sudah melihat Alan melalui interpon, Emily terbelalak lagi seolah baru tahu ada Alan.
“Alan? Bagaimana mungkin kau di sini?” seru Emily sembari menatap Alan.
“Aku menyelesaikan urusanku dan malam masih panjang. Guru Rachel akan segera pergi. Jadi, aku ingin melihat wajahnya sekali lagi karena menurutku, akan sulit aku mengantar kalian ke bandara. Dan…”
Alan hendak berkata sesuatu tetapi menutup mulutnya lagi. Anderson berkata dengan suara canggung.
“Oh! Benar. Kita tidak akan bisa berjumpa lagi besok.”
“…Boleh aku masuk?”
“Tentu saja. Masuklah.”
Emily buru-buru membiarkan dia masuk. Alan melihat guru Rachel dan tersenyum ceria.
“Guru, aku datang.”
“Kenapa kau datang lagi?”
“Tentu saja untuk bertemu dengan Anda.”
Rachel melihat Alan dengan tatapan tajam. Rachel tahu betul bukan hanya itu alasannya, tetapi dia mengijinkan Alan menggunakan namanya sebagai alasan kali ini. Rachel melihat Alan seolah dia sedang melihat cucunya lalu berkata.
“Hari ini kami mengunjungi Olive Island. Aku tidak bisa mengajarimu dalam waktu yang lama, tetapi aku bangga kau bisa menemukan sendiri jalan yang benar.”
“Aku masih jauh. Suatu hari, aku akan membuka restoran yang lebih hebat dari restoran pusat Rose Island.”
“Benar. Itu cita-cita yang bagus. Akan bagus jika aku bisa melihatnya selagi aku masih hidup.”
“Anda akan hidup 100 tahun lagi. Jangan berkata seperti orang sepuh. Anda masih muda.”
“Jika 100 tahun lagi aku masih hidup, maka umurku 160 tahun. Apa kau ingin aku hidup dalam kesepian 100 tahun lagi?”
“Kenapa? ada beberapa pria tua yang seksi di antara temanku, apa Anda mau aku kenalkan?” kata Jeremy sambil tertawa jahil.
Rachel bahkan tidak menjawab, tetapi semuanya bersikap seolah-olah belum mendengarnya Rachel tersenyum ceria lalu melihat Anderson dan Jo Minjoon.
“Muridku sudah datang.” kata Rachel santai
“Sekarang yang saya lihat, saya sungguh menjadi murid guru.” kata Anderson dengan suka cita. Suaranya tidak familier tetapi cukup enak di dengar.
“Dapur yang Guru bicarakan sebelumnya…adalah dapur Guru yang di Venice, kan?”
“Itu satu-satunya tempat di mana seharusnya aku berada” kata Rachel dengan suara yang bercampur dengan kesendirian dan kesedihan. Kemudian melihat Jo Minjoon dan Anderson dengan tatapan penuh dengan ambisi kuat.
“Tapi aku ingin membuat tempat itu lebih bersinar dari sebelumnya. Aku tidak ingin menjadikan tempat itu makam Daniel. Aku harap kalian membantuku. Jika hanya itu yang terjadi, nanti…tidak, aku sebaiknya tidak mengatakannya sekarang.”
Rachel hendak berkata sesuatu tetapi menutup mulutnya lagi. Dia melihat Kaya lalu berkata.
“Omong-omong, agak disayang nona Kaya menang. Aku sungguh menginginkan dirinya hingga aku ingin segera membawanya.”
“Tapi, Guru…” Alan membuka suara. Dia berkata dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Anderson dan Minjoon jelas punya keahlian dan mereka pun berbakat. Suatu hari nanti, mereka akan berkembang menjadi chef yang handal. Entahlah jika itu chef demi, tetapi untuk menjadi chef sous, itu akan sulit karena saat ini pengalaman mereka masih kurang. Jadi, apa rencana Anda pada tempat itu?”
“Ini rahasia tetapi…Alan, mendekatlah.”
Rachel berbisik di telinga Alan. Dan Alan membuka matanya lebar-lebar seolah tidak percaya.
“Orang itu? Tidak, tapi bagaimana …”
“Tampaknya aku masih populer.”
Rachel tersenyum dengan bangga. Perbincangan di antara mereka secara alami membahas tentang restoran seperti apa yang ingin Rachel jalankan. Rachel, yang sedang membicarakan itu, tampak seperti gadis yang mengungkapkan impiannya.
“Aku akan mencari kembali bentuk saat Daniel masih hidup. Menu akan sedikit berubah secara periodik dan semua hidangan harus sempurna hingga bisa mengatasi kesukaan dan ketidaksukaan orang-orang. Semua staf akan memikirkan itu bersama-sama denganmu. Hidangan apa yang akan kau buat besok, apa sebaiknya bahannya? Tentunya, masih kurang dengan hanya ini karena tidak berbeda dengan restoran lain. Pengalamanku mungkin bisa membawa hidangan lama Daniel, tetapi akan sulit mengejar pemahaman dan imajinasi atas cita rasanya yang luar biasa. Oleh karena itu, aku sangat menginginkanmu, Minjoon.”
Jo Minjoon hanyak menatap mata Rachel. Dia melihat seorang wanita yang terlalu lelah dibanding usianya. Oleh karena itu, jiwanya justru terbakar api kegelisahan. Wanita tua itu bertanya pada Jo Minjoon dengan suara penuh dengan ketertarikan, ekspektasi, dan rasa terima kasih.
“Terima kasih kau mau datang padaku. Aku akan membantumu jadi kau bisa menggunakan indera pengecapanmu sebaik mungkin. Setidaknya, aku akan membuatnya mungkin, jadi, tidak ada yang mampu mengikuti kreativitas rasa yang kau buat. Apa kau percaya padaku?”
Dia merasa sesak, tetapi keputusan sudah dia buat. Dia tidak bisa melepaskannya, membuangnya, lalu melarikan diri. Jo Minjoon membuka matanya lebar-lebar. Mungkin, orang-orang di sekitarnya menganggap resolusi di matanya diwarnai putus asa yang berlebihan. Namun, apa boleh buat. Dia ingin membayar kepercayaan Rachel meski dia harus menawarkan apapun.
“Saya percaya pada guru. Saya akan melakukannya bagaimanapun situasinya nanti.”
Rachel tersenyum dan begitu pun Jo Minjoon, meski aroma senyuman itu sedikit berbeda…
Apa yang Jo Minjoon lihat mungkin saja hal yang sama.
< Di Perempatan Jalan (2) > Selesai