Dewa Memasak – Bagian 143: Di Perempatan Jalan (3)
Selang beberapa waktu, setelah Rachel membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan restorannya, percakapan bahkan terus bergulir di antara mereka. Ketika malam semakin larut dan hampir menjelang fajar, Alan berdiri dari tempatnya.
“Aku harus pergi sekarang. Ini hari yang indah.”
“Oh, tunggu. Ayo pergi bersama-sama. Aku akan mengantarmu ke garasi.”
Emily buru-buru berdiri. Alan menyeringai sejenak kemudian memperbaiki ekspresinya. Setelah mereka berdua pergi, orang-orang mulai mengobrol lagi. Anderson terus mengobrol dengan Rachel dan Jeremy mengobrol dengan Sera. Karena situasinya berubah seperti itu, hanya Kaya yang tersisa di sebelah Jo Minjoon.
Kaya menatap ponselnya, tapi bukan pada pesan yang berasal dari seseorang yang mengaku sebagai ayah kandungnya. Yang paling utama, dia bahkan tidak tahu kebenarannya. Meski benar pun, dia tidak ingin segera menjawabnya seolah dia telah menunggu momen itu. Di tambah lagi, untuk menjadi seorang ayah, yang tidak pernah menelpon seumur hidupnya lalu tiba-tiba menghubungi setelah terkenal…dia khawatir bahwa pengirim pesan itu mungkin orang jahat yang sedang berpura-pura, yang baru-baru ini sering muncul di TV.
‘Mungkin, dia hanya tidak bisa menghubungi. …Tidak, itu tidak benar. Kaya, sadarlah. Kau tidak boleh lemah.’
Meski berusaha menepis pikiran itu, Kaya perlu memperbaiki sorot matanya yang tertuju pada kata-kata yang ada di ponselnya, yang kebanyakan adalah obrolan orang-orang setelah siaran langsung.
Allison Raskin : Italia. Sejujurnya, menurutku, makanan Italia tidak sebegitu lezat. Tentu, ada pula pizza ala Italia yang dimasak di kompor…Entah apakah itu keren, aku orang Amerika tapi aku paling suka pizza ala Amerika.
ㄴSara Rubin : Pizza Italia juga lezat! Sampai-sampai mereka menaburkan keju sepuluh kali lebih banyak.
ㄴAdam Jones : @Allison Raskin @Sara Rubin Kau akan sakit jika seperti itu.
Lynda Q : Minjoon meraih empat keuntungan sekaligus, restoran michelin, pekerjaan, upah siaran, dan Kaya.
ㄴKaya Lotus : Apa kau yakin dengan yang terakhir?
ㄴLynda Q : @Kaya Lotus Jika kau bisa lihat, semua orang juga yakin seperti itu. Omong-omong, nama panggilanmu bagus.
ㄴJonathan Rowling : @ Lynda Q @Kaya Lotus Kau tidak tahu siapa dia sesungguhnya. Sebelumnya, saat Kaya sedang diwawancara. Dia menerima banyak sekali perhatian dari reaksi di internet. Kaya buru-buru meletakkan jempolnya pada tombol ‘Hapus’ tetapi menurunkannya kembali. Dia berpikir jika dia menghapusnya, mereka mungkin sungguh bisa menduganya. Jo Minjoon mendekatkan kepalanya ke sisi Kaya dan menjernihkan kerongkongannya.
“Aku tidak tahu kenapa orang-orang ingin tahu apa yang dikatakan orang lain.”
“Aku juga penasara.”
“Kau tidak mengatakan itu di depanku… Meski kau sedikit mengutuk Anderson.”
“Kau punya sisi yang tidak ingin kau tunjukkan pada orang-orang tertentu. Namun, kau berusaha mendekorasinya. Membicarakan tentang orang lain tidak tampak benar. Dan aku tidak ingin terlihat seperti itu.”
Rasanya tidak perlu menambahkan kata-kata seperti setidaknya di depanmu. Jo Minjoon sedikit melirik foto yang muncul di ponsel Kaya. Itu adalah tangkapan layar saat siaran langsung yang diambil oleh para staff, yaitu pada saat Kaya dan Jo Minjoon tengah saling berpandangan dengan lembut. Pada saat itu, mereka tidak menyadarinya, tetapi saat melihat tangkapan layar itu, mereka merasa aneh.
Kaya menoleh. Tatapan canggung mereka bertemu. Dan mereka semakin canggung satu sama lain. Jo Minjoon memalingkan pandangan ke dapur lalu berkata.
“Apa kau ingin makan cemilan malam?”
“Ba…Baiklah. Itu bagus. Ayo.”
Meski agennya jelas-jelas memperingatkan dirinya untuk menjaga makan karena dia akan menjalani pemotretan majalah, tetapi mendadak peringatan itu terhapus di kepalanya. Karena mereka berdua berdiri, yang lain pun melihat mereka. Kaya berkata dengan canggung.
“Kita hendak membuat cemilan ringan, apa kalian mau sesuatu?”
“Mmm…akan bagus jika ada roti. Apa kita punya oven di sini?”
“Tidak, ini hotel. Apa lagi yang bisa dibuat dengan wajan penggorengan…selain pancake atau crepe? Aku akan membuatnya sekarang.” kata Kaya sambil beranjak pergi.
“Apa kau perlu bantuan?” tanya Anderson.
“Oh, Duksam. Aku sangat menghargai niatmu. Tapi itu tidak perlu.”
Nadanya lembut, tapi disitulah masalahnya. Karena tidak mungkin Anderson berkata lembut pada Kaya dan sebenarnya Kaya pun mengatakan itu dengan soro mata dingin seolah dia tidak akan membiarkan dia lolos jika dia beranjak dari tempat duduknya, maka Anderson hanya menyeringai lalu menyandarkan punggungnya di sofa. Kaya menggerutu tentang Anderson.
“Anderson itu selalu menyebalkan di kala tertentu.”
“Kenapa?”
“Apa kau sungguh tidak tahu?”
Jo Minjoon membuang muka. “Iih, dasar nakal” Kaya menyeringai lalu bergumam lalu membuka lemari pendingin. Entah itu opsi dasar di hotel ataukah sudah dipersiapkan oleh staf,…tetapi di sana ada banyak sekali bahan-bahan, yaitu telur, produk susu, keju, makanan kaleng, tepung kue instan, dan lain-lain.
“Apa sebaiknya yang aku buat? Pancake? Crepe?” tanya Kaya.
“Hmmm….Bukankah terlalu sedikit untuk di santap di malam hari?”
“Lalu apa yang enak di santap di malam hari? Pilihlah cepat.”
“Mari kita buat masing-masing. Aku akan membuat crepe dan kau membuat pancake. Tampaknya ada ruang yang cukup untuk kita berdua berdiri.”
Kaya melihat kompornya lalu mengangguk. Dia bertanya-tanya apakah itu terlalu kecil untuk mereka berdua berdiri bersama-sama, tetapi itu tidak masalah.
Kaya melihat ke dalam lemari kemudian datang dengan membawa tepung pancake instan. Jo Minjoon melihat itu dengan ekspresi aneh lalu bertanya.
“Kau seorang chef, tapi kau menggunakan campuran instan?”
“Apa ada aturan bahwa chef tidak boleh menggunakannya?”
Jo Minjoon mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat adonan dari dalam lemari pendingin. Walau disebut bahan-bahan, itu cukup sederhana, hanya tepung, susu, dan telur. Setelah mengocok telur, masukkan tepung hingga membentuk adonan kental, lalu tuangkan susu sedikit demi sedikit ke dalam adonan, dan selesai.
Tentu jika kau ingin membuat dengan metode yang asli, akan bagus jika mendiamkannya selama sejam atau setidaknya setengah jam. Tapi sejujurnya, itu jelas akan memberatkan menyantapnya saat itu. Jo Minjoon melelehkan mentega di wajan lalu menyeringai.
“Saat aku menjalankan restoran, aku akan memisahkan area memanggang.”
“Meskipun keahlian mereka bagus, biasanya memang seperti itu. Saat mereka menjadi chef kepala, mereka tidak akan punya waktu luang untuk membuat hal-hal seperti itu.”
“Itu sebabnya aku agak kaget. Kau tahulah. Kenapa orang dengan pengalaman yang paling banyak tidak bekerja di depan.”
“Seperti yang kau bilang sebelumnya, tampaknya kau berubah pikiran.”
“Iya, berkat guru Rachel.”
“Apa kau mulai mengagumi…guru Rachel?”
Kaya melihat Rachel. Di ujung sorot matanya, terbesit rasa iri. Jo Minjoon melirik wajan Kaya lalu berkata.
“Baliklah. Itu gosong.”
“Oh, iya.”
Beruntungnya, pancake tidak terlalu gosong. Sisi yang terpanggang berwarna coklat yang tampak lezat dan di bagian dalam berwarna kuning anak ayam, jadi itu tampak semakin menarik. Setelah memasak empat pancake, Kaya memasak sebuah pancake yang berukuran separuh telapak tangan. Dia hanya memanggang satu sisi dan di sisi yang lain dia tambahkan selai, krim, dan lain-lain lalu separuh sisi ia tangkupkan ke sisi yang lain. Kemudian dia meletakkan buah-buahan kecil seperti ceri dan blueberi.
Crepe Jo Minjoon lebih sederhana dari pada Kaya. Lebih tepatnya, lebih pendek. Pertama, crepe jauh lebih tipis dibanding pancake. Tidak perlu terlalu lama memasaknya, dan di atasnya, ada beberapa bahan diletakkan, seperti keju, irisan tipis ham, basil, dan pesto…atau pisang dengan coklat, atau strawberi dengan krim, dan lain-lain.
Selain membuat adonannya, crepe memang cemilan yang bisa disantapdengan nikmat. Umumnya, orang malas untuk membuat adonannya sehiggga mereka tidak sering membuatnya…tapi sejujurnya, crepe adalah hidangan yang paling cocok untuk di makan sebagai camilan keluarga.
“…Kau sudah selesai membuat semuanya.”gumam Kaya sedih.
Itu artinya waktu untuk mereka habiskan berdua di dapur juga berakhir. Jo Minjoon melirik Kaya lalu berkata sambil mundur sedikit.
“Kau juga harus mengistirahatkannya.”
“….Ini bukan stik, apa kau ingin mengistirahatkan crepe dan pancake dulu?”
“Kenapa tidak? Kreativitas yang lebih aneh dari seorang chef adalah hasil yang lebih baik yang bisa diberikan. Tidak. Ayo coba dulu. Cita rasanya mungkin aneh dan bahan-bahan mungkin tidak terlalu bagus.”
Itu bukan sesuatu yang semestinya dia katakan, karena dia bisa tahu kesegaran bahan-bahan dan hidangan melalui sistem. Kaya melihat Jo Minjoon seolah dia tidak berdaya, tetapi dia segera mengendurkan ekspresinya dan duduk di kursi.
“Baiklah. Aku akan membiarkan cara berpikirmu yang tidak logis.”
“Terima kasih sudah maklum.”
Jo Minjoon menuangkan sirup maple di atas pancake yang ada mentega di atasnya. Mentega itu meleleh karena pancake masih hangat, lalu perlahan menyebarkan sirup di atasnya. Aroma sirup maple dan mentega menyebar sejenak, kemudian terserap ke dalam pancake. Sambil menatap pancake, Kaya berkata.
“Ibu tidak memasak sebanyak itu untuk kami. Ibu biasanya membuatkan kami pancake dengan keju atau ham pada level yang normal. Bukan karena ibuku pelit, tetapi karena dia tidak punya energi. Betapa lelahnya ibuku. Salah satu hidangan yang ibuku buat untukku adalah pancake. Itu mudah dan sederhana.”
“Apa kau suka pancake ibumu?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Sebenarnya, mungkin aku tidak suka. Kadang-kadang tampaknya hidupku tercermin di atas pancake itu. Tetapi sekarang aku paham. Aku melihat pancake ini sekarang…Aku merasa sedih entah kenapa. Aku rindu ibuku.”
Kaya berkata seperti itu lalu mengambil sepotong pancake ke piringnya. Dia mengiris pancake seolah itu daging lalu memasukkannya ke dalam mulut. Aroma mentega dan cita rasa manis yang unik dari sirup maple terasa seolah itu meleleh di dalam pancake. Kaya tersenyum ceria.
“Coba ini. Ini lezat.”
“Ini sesuatu yang baru saja terpikir olehku, tetapi sangat tidak familier.”
“Apa itu?”
“Bahwa aku ada di meja yang sama dengan Kaya Lotus. Apa kau ingat saat kita pertama kali bertemu? Bukan, saat kita pertama mengobrol. Saat itu kita berdiri di tepi.”
“Kenapa kau membicarakan masa lalu. Ah, membosankan.”
“Aku hanya terpikir. Sama seperti kau memikirkan ibumu saat melihat pancake, aku juga teringat masa lalu.”
Kaya mengerik bagian panekuk yang agak hangus dengan garpunya dan tanpa berkata apa-apa. Jo Minjoon mengiris pancake yang mengandung keju dan ham lalu memberikannya pada Kaya.
“Kau harus memakan kejunya sebelum jadi keras.”
“Kemana orang yang mengatakan bahwa kita sebaiknya mengistirahatkannya dulu?”
“Itu Jo Minjoon beberapa menit yang lalu, bukan Jo Minjoon saat ini.”
“Hee, enteng sekali kau bicara.”
Jo Minjoon menyeringai lalu memasukkan crepe ke mulutnya. 6 poin. Tidak unggul secara khusus, meski begitu, skornya tidak masalah karena sesuai dengan dasar-dasarnya. Dan crepe itu lezat. Pertama, karena kualitas kejunya sendiri bagus. Sementara aroma keju menyebar dan melekat, cita rasa ham terasa lebih jelas. Tidak ada yang perlu dikatakan tentang elastisitas crepe. Melihat Kaya menyeruput keju layaknya mie, Jo Minjoon berkata.
“Jika ada sesuatu yang sulit, kau bisa menceritakannya padaku kapanpun.”
“…Kenapa kau tiba-tiba mengatakan itu?”
“Aku bisa mengatakannya kapanpun. Kudengar melalui telepon sebelumnya, bahwa kau punya masalah.”
Kaya hanya menatap crepe dan keju yang menjulur di depannya. Slurp. Kaya memotong keju dengan kecupan. Dia menggelengkan kepala dengan senyum masam.
“Di dunia ini banyak sekali kesulitan. Aku tidak ingin menceritakannya padamu setiap kali itu terjadi. Aku sudah bilang sebelumnya.”
“Aku tidak mengatakan padamu untuk menceritakan semuanya. Jika benar-benar sulit menahannya, aku ingin kau menceritakannya padaku saat itu.”
“Oke. Aku akan menceritakannya jika terasa benar-benar sulit. Tetapi sekarang, bukan waktunya. Belum terlalu sulit. Ini sedikit melelahkan secara fisik, tetapi ini karena aku tidak bisa tidur sepanjang malam karena seseorang.”
“Tidak hanya kamu. Tapi saat ini, aku juga merasa ngantuk.”
“Apa kau mau tidur? ..Oh, Aku tahu ekspresi itu. Kau terpikir sesuatu yang aneh.”
Melihat mata Kaya yang sayu, Jo Minjoon mengalihkan pandangannya dan terbatuk seolah ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Jo Minjoon buru-buru menjawab sembari pipinya memerah.
“Terpikir apa sih? Lupakan saja. Coba katakan apa yang akan kau lakukan setelah ini. Apa yang akan kau lakukan setelah agenda Grand Chef berakhir?”
“Aku tidak tahu. Untuk sekarang, tawaran Rachel akan menjadi salah satu opsi.”
“Kau ingin aku melakukan apa?”
“Itu jelas. Aku ingin kau ikut denganku. ke restoran Rachel. Itu jelas akan menjadi momen yang bagus untukmu juga. Guru Rachel, dia bukan orang yang mudah dijangkau.”
“Melihat kau terus memanggilnya guru, sepertinya memang semenakjubkan itu orangnya…”
Kaya meredupkan suaranya pada bagian akhir. Dia melihat punggung Jo Minjoon dengan tatapan canggung. Jo Minjoon mengikuti tatapan Kaya ke punggungnya lalu segera menelan ludah. Di belakangnya, Sera dan Anderson sedang melihat mereka seolah itu aneh. Anderson bertanya.
“Apa lezat menyantap makanan berduaan?”
–
Kaya dan Jo Minjoon yang berbincang berduaan tidak menjadi topik pembicaraan mereka semua. Bukan karena hal itu tidak lucu, melainkan Emily, yang mengantar kepergian Alan, tidak kembali hingga matahari terbit.
“Apa kau bersenang-senang?”
“Ooh, janga mengejekku! Tidak ada yang terjadi.” Jawab Emily dengan pipinya yang merona saat menjawab pertanyaan itu. Kejadian itu mirip dengan Jo Minjoon yang semalaman bersama Kaya.
Namun, dalam kasus Jo Minjoon dan Kaya, mereka tidak bisa menaruh perhatian banyak pada insiden Emily. Waktu berangkat ke bandara sudah dekat. Waktu kebersamaan mereka tidak lama. Itulah sebabnya ketika mereka berada di dalam bus yang menuju ke bandara, mereka tetap bersebelahan seolah-olah mereka adalah kekasih dan tidak terpisahkan.
Meski begitu, mereka tidak bisa memperlambat waktu. Penerbangan Kaya lebih dulu dibanding yang lain, dan Jo Minjoon hanya bisa melepas kepergiannya di depan pemeriksaan kedatangan. Dia memekik.
“Semoga perjalananmu menyenangkan.”
“…Kapan kita bisa bertemu lagi?”
“Aku tidak tahu. Aku berharap secepatnya.”
“Ada sesuatu yang ingin aku katakan dan sepertinya harus. Meskipun kau mungkin bilang itu sudah.”
Kaya mencoba keberuntungannya. Tidak sulit untuk menangkap maksudnya. Tetapi tidak hanya tentang Jo Minjoon. Melihat ekspresi khawatir Kaya, kau bisa tahu apa yang hendak dia katakan, bahkan anak balita sekalipun.
“Tapi menurutku, ini bukan situasi yang tepat. Saat situasi kita agak sedikit tenang,…aku akan mengatakannya. Mungkin, saat nanti kita bertemu lagi.”
“Kalau begitu, aku harus menangkupkan tanganku dan menunggu.”
“Entahlah. Tidak perlu berdoa, tapi menurutku, akan bagus jika kau menggosok gigimu.” jawab Jo Minjoon dengan senyum
“Baiklah, aku juga akan memutihkan gigiku.”
Kemudian Kaya memeluk Jo Minjoon. Meskipun kamera sedang merekamnya, dia tidak peduli karena mereka telah menunjukkan semuanya. Jika mereka tidak berpelukan, mereka merasa akan sangat menyesal nantinya. Tidak ada yang diucapkan karena semua yang tidak bisa diekspresikan dengan kata-kata tersalur melalui pelukan itu.
“Aku pergi dulu.”
Itu adalah kata-kata terakhir. Kaya menuju pemeriksaan keberangkatan lalu menghilang dalam antrian. Jo Minjoon berbalik. Kaya terus berjalan di jalurnya. Dia harus. Harus. Jo mengeluarkan tiket penerbangan dari saku bajunya dan melihatnya. Perjalanan kuliner. Tujuan terakhir ditulis dengan tulisan tangan yang sulit dibaca.
< Di Perempatan Jalan (3) > Selesai