Dewa Memasak – Bagian 144: Tangan seorang master (1)
Jika orang barat harus memilih hidangan Asia yang paling populer, kebanyak orang akan memilih makanan Jepang tanpa berpikir lama. Meskipun cita rasanya agak kurang untuk menjadi hidangan favorit, itu adalah makanan yang paling sesuai yang semua orang akan suka di mana pun.
Jo Minjoon pada dasarnya suka mie, jadi jelas dia suka ramen. Sejujurnya, hanya dengan melihat keelastisitasannya, udon lebih menarik. Akan tetapi, tidak banyak kedai udon yang bisa membuat cita rasa mie yang benar dari kaldu.
Sebenarnya, itu bagian yang tak terhindarkan. Mie udon lebih tebal dibanding ramen sehingga sulit membuat kaldu meresap ke dalam mie jika tidak ahli. Tentu, jika memasaknya dalam waktu yang lama, kaldu pasti bisa meresap ke dalam mie, tetapi elastisitas mie akan berkurang. Kisah akan sedikit berubah jika rasio bahan -bahan adonan dan waktu fermentasi berubah, bisa jadi akan lebih rapuh dari ramen.
Oleh karena itu dia suka ramen dari pada udon. Sederhananya, apa yang paling dia sukai adalah ada beberapa cita rasa bahan-bahan di dalam sebuah hidangan, seperti sebuah pizza,dan hasilnya adalah kesederhanaan cita rasa keseluruhan. Menurutnya, saat bahan-bahan, seperti kaldu dan dedaunan aromatik, char siu dan tauge, daun bawang, dan lain-lain bertemu dengan mie, tidak ada yang bisa mengikutinya.Namun, meski suka ramen sebanyak itu, apa yang ada di kepala Jo Minjoon saat ini adalah sushi. Lebih tepatnya, hidangan yang berhubungan dengan ikan. Alasannya sederhana.
‘11 Maret Gempa Bumi Besar.’
Gempa bumi ini, yang disebut Gempa Bumi Besar Jepang Timur 11 Maret, berlalu selama lebih dari enam bulan. Setelah itu, beberapa bahan-bahan yang datang dari Jepang, yang terpapar radioaktif, membuatmu ragu akanbahan tersebut. Setelah beberapa tahun, pemerintah Jepang berkata bahwa itu tidak mempengaruhi tubuh sama sekali, tetapi sejujurnya, itu sulit dipercaya.
Sebelum itu terjadi, saat ini adalah kesempatan terakhir untuk menyantap sushi yang asli dalam keadaan masih segar. Setelah beberapa waktu berlalu, meski kau punya uang dan kekuasaan, kau tidak akan bisa mendapat makanan ini, jika tidak sekarang.
‘Aku harus banyak makan ikan.’
Liurnya terkumpul di mulutnya. Ikan Atka mackerel panggang, ikan cod yang direbus dalam kecap asin, sushi, dan lain-lain. Selain itu, yang juga membuatnya nyaman adalah akhirnya dia bisa menyantap makanan dengan nasi putih yang benar setelah sekian lama. Setelah Grand Chef berakhir, dia tinggal di Korea sejenak, tetapi sejak itu, dia belum bisa menyantap dengan benar makanan dengan nasi putih yang baik dan hidangan pendamping.
“Rasanya kau sungguh mendambakannya. Kau tampak dalam suasana hati yang bagus dari pada saat mengunjungi Olive Island?”
Pagi hari. Anderson melihatnya sembari meninggalkan bandara Tokyo seolah itu menakjubkan. Jo Minjoon tersenyum dan berkata.
“Kau mungkin akan mengingat perjalanan ini untuk sekian lama.”
“Kenapa? Karena kita datang untuk siaran?”
“Tunggu. Kau akan menyadarinya saat waktunya tiba.” jawab Jo Minjoon masam.
Dia merasa menyesal bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan Meski begitu, jika dia mengatakan ‘Maret tahun depan, sebuah gempa bumi besar akan terjadi, jadi semua dievakuasi.’, hanya orang gila yang akan menerima kata-katanya begitu saja.
Dia tidak kembali ke masa lalu untuk menjadi pahlawan atau seorang peramal. Meski itu menyakiti hatinya, sekarang waktunya untuk fokus memasak dan siaran. Jo Minjoon menoleh melihat Martin lalu bertaya.
“Jadi bagaimana kita melakukannya hari ini?”
“Sederhana. Kalian akan dibagi berpasangan dan pergilah ke manapun kalian mau. Kalian tidak perlu mengkhawatirkan biaya makanan.”
“Kau agak dermawan hari ini.”
“Jepang adalah negara yang tidak terburu-buru.”
Mendengar itu, Jo Minjoon melihat ke sekelilingnya, melihat jalanan yang penuh dengan mobil, mungkin karena ini jam kerja, dia tidak sependapat dengan ucapan Martin. Martin lanjut berbicara dengan suara tenang.
“Berdiskusilah dan pilih pasangan kalian. Aku tidak akan ikut campur.”
Setelah itu, kepala Jo Minjoon dan Anderson menoleh. Rachel. Di sebelahnya, ada Jeremy yang menggerutu dengan wajah tertekan.
“Meskipun aku sudah tua, tampaknya aku bukan tipe yang populer.”
“Hei, kenapa kau bertingkah seperti ini? Jeremy. Ayo kita pergi.”
“Hohoho, akankah pria tua ini cukup?”
“Pengalaman seorang epicurean tidak pergi bersama dengan usia. Aku ingin merasakan milikku dan pengalaman Jeremy hari ini.”
Emily tersenyum ceria lalu menyilangkan lengan pada Jeremy. Sera melihat Emily lalu menyeringai.
“Kau menyilangkan lengan pada pria lain, Alan tidak akan suka melihat ini.”
“Alan bukan orang yang… yang paling penting, ada urusan apa dengan Alan?”
Sera hendak menjawab sesuai instingnya tetapi hanya melotot padanya. Sera mengangkat bahu lalu menoleh melihat Jo Minjoon dan Anderson. Dia mengangkat tangannya lalu berkata dengan suara jenaka.
“Salah satu dari kalian, cepat pergi dan ajak aku. Rachel, tolaklah siapapun. Cepat.”
“Hmm…”
Rachel melihat Anderson dan Jo Minjoon dengan wajah perhatian. Dia tidak lama-lama berpikir. Dia melihat Anderson dengan tatapan bersalah.
“Anderson, aku ingin mendapat pengalaman mengecap bersama Jo Minjoon kali ini. Bagaimana kalau kau mengahabiskan waktu seharian dengan wanita yang lebih muda dan cantik dari pada aku?”
“Iya. Saya paham.”
Anderson terlihat agak sedih, tetapi dia tidak mengatakan hal-hal yang tak diperlukan dan mengangguk dengan cepat. Membantah ucapan Rachel adalah sesuatu yang tak terbayangkan baginya. Sera menyilangkan lengannya dan menaikkan sudut mulutnya.
“Akan bagus jika kau datang padaku duluan, kan?”
“…Ayo pergi.”
Ketika tim Anderson dan Emily telah pergi, otomatis yang tersisa hanya Jo Minjoon dan Rachel serta kameramen yang bertanggung jawab atas mereka dan beberapa staf yang tersisa. Jo Minjoon melihat Rachel dan bertanya,
“Guru, apa ada tempat yang Anda rekomendasikan?”
“…Entahlah. Sebenarnya, yang kutahu kebanyakan restoran Eropa…pada saat seperti ini, kau harus yakin pada kaki dan penciumanmu. Bagaimana kalau berjalan dan pergi ke suatu tempat yang berbau lezat?”
“Tetapi kalau kedai sushi, berbau amis.”
“Kau ingin makan sushi yaa?”
“…Sebenarnya, iya, saya penasaran. Bagaimana rasa sushi yang dibuat di Jepang? Ada beberapa orang di Korea yang di sebut master sushi, tapi tempat itu sangat mahal saya bahkan tidak terpikir akan pergi ke sana.”
“Mungki ada juga yang seperti itu, tapi bukankah karena kau berpikir bahwa semua sushi sama saja?”
Melihat senyum Rachel yang sepertinya tahu semuanya, Jo Minjoon tersenyum malu dan mengangguk.
“Sebenarnya memang seperti itu. Pada akhirnya, sushi hanyalah cita rasa bahan-bahan dan nasi…Entah apa ada perbedaan jelas bagaimana para master dalam mengepal. Bagaimana menurut Anda, Guru?”
“Minjoon. Apa kau ingat apa yang aku katakan terakhir kali? untuk makanan menjadi lezat, kau harus meletakkan hatimu ke dalamnya.”
“Iya.”
“Jika kau yakin dengan hal itu, kau tidak akan bisa melihat dengan matamu sendiri, sama seperti hatimu, yang dapat mengubah cita rasanya. Mengiris dan mengepal… Bukankah hal ini lebih dapat dipercaya jika pengalaman panjang dapat mempengaruhi rasanya”
Tampaknya hal itu lebih bisa diterima. Akan tetapi, menurutnya, metode mengepal nasi dan mengiris ikan bukanlah variabel yang menakjubkan untuk mengubah skor masakan.
Sepertinya pemikirannya itu muncul di wajahnya. Rachel melihat Jo Minjoon dengan tatapan lembut kemudian mencubit pipinya pelan. Jo Minjoon tidak menepis tangannya. Rachel tampak seperti neneknya sungguhan, selain itu, dia juga merasa bingung dengan apa yang dilakukan Rachel. Sama seperti panutannya sekaligus temannya, Kaya, yang sekarang menjadi sahabatnya, Rachel adalah orang yang cukup untuk dikagumi saat kehilangan arah untuk maju.
“Mari kita makan sesuatu sekarang. Bagaimanapun aku mengutarakannya, ini tidak sebanding dengan makan hanya sekali.”
“Maksudnya, Anda tidak tahu tempat manapun?”
“Itulah kenapa kita harus menemukan suatu tempat.”
Tempat yang mereka tuju adalah jalan perumahan yang agak jauh dari jalan utama. Ada beberapa restoran yang tampak di sepanjang jalan, dan Martin cukup sering menyebutkan tentang restoran tua. Tempat yang telah berdiri selama 50 tahun dan beberapa orang melebih-lebihkannya selama 100 tahun.
Melihat tempat itu, Jo Minjoon tidak bisa menyembunyikan rasa irinya karena sulit menemukan restoran yang berusia 100 tahun di Korea. Setelah perang 25 Juni, beberapa restoran tutup, tetapi ada banyak kasus restoran yang tutup karena tidak ada pewarisnya.
“Melihat restoran dengan sejarah yang panjang, menutup usaha membuat saya merasa sedih.”kata Jo Minjoon.
“Jaman sekarang ada banyak kasus mereka mewariskan restoran mereka pada murid mereka alih-alih anak mereka.”
Rachel berkata seperti itu dan melihat Jo Minjoon dengan ekspresi penuh arti. Karena beban tatapan itu terlalu berat, Jo Minjoon secara tak sadar mengalihkan pandangannya. Rachel tertawa lembut lalu bertanya.
“Jika aku berencana membuatmu menjadi penggantiku, apa kau yakin bisa menjalankannya?”
“Tidak.” jawab Jo Minjoon blak-blakan.
Rachel melihat Jo Minjoon dengan tatapan kasar seolah menegurnya karena kurang percaya diri. Jo Minjoon berbicara dengan hati-hati.
“Saya seperti itu sekarang. Saya masih kurang. Tapi jika Guru Rachel mengajari saya semua kekurangan saya…meski saya harus bergadang semalaman, saya siap melakukannya. Jadi, ajarilah saya sebanyak-banyaknya.”
“…Secara tak terduga, kau cerdas sekali. Pada akhirnya, keahlianmu bergantung pada apa yang aku ajarkan? Hahahha. Bagus. Tantangan selalu terasa menarik meski sudah lansia.” kata Rachel sambil tertawa terbahak-bahak.
Jo Minjoon menghentikan langkahnya. Meski sembari berbicara, dia sedang melihat tanda kecil dari sistem yang muncul di tiap restoran yang dia lihat. Meski tidak masuk, dia bisa melihat skor masakan hidangan di sana.
Walau ahli sekalipun, kebanyakan skor hanya samapai 6. Bukan karena mereka kurang ahli, tapi karena sushi pada dasarnya adalah hidangan yang sederhana. Kemudian, pemandu membisikkan sesuatu di telinga Martin. Martin segera menunjuk kedai itu lalu berkata.
“Sebagai informasi, mereka bilang kedai itu berusia 170 tahun.”
Mendengar itu, Jo Minjoon menoleh lalu berekspresi aneh. Melihat dindingnya yang terbuat dari kaca dan komposisi keseluruhan bangunan, sulit dikatakan, itu berusia 170 tahun.
“Tapi bagunannya tampak baru.”
“Mereka bilang bahwa bangunan asli terlalu tua jadi mereka harus membangunnya kembali.”
“Mmm…….” gumam Jo Minjoon.
Tidak masalah dengan bangunannya. Layar sistem yang dia lihat di atas kaca bangunan itu tidak bisa dipahami. Ada banyak hidangan yang skor masakannya hanya 5 dan dia sekilas melihat hidangan 7 poin, tetapi hanya sekilas. Meskipun sushi sederhana, itu sungguh skor yang rendah untuk kedai yang berusia 170tahun. Kebanyakan dari semua.
‘…Apa kualitasnya tidak bagus?’
Tengah-tengah. Dia bisa melihatnya dari sistem semua kualitas bahan sushi tengah-tengah. Jo Minjoon melihat ekspresi orang-orang lalu berkata.
“Tetapi kedai ini apa mendapat reputasi yang bagus? dibanding sejarahnya, menurutku kualitasnya tidak begitu bagus.”
“…Apa kau bisa tahu hanya dengan melihat penampakannya?”
“Iya. Di mataku, mereka tampaknya menggunakan ikan dengan kualitas menengah.
Martin terkejut lalu mulai berbicara dengan pemandu. Pemandu bingung dan menundukkan kepalanya. Dia mengambil ponsel lalu mulai mencari di internet. Kemudian dia terkejut.
“Ah, jelas saja. Reputasinya menjadi buruk dalam beberapa minggu terakhir. Putra dari bos sebelumnya mulai menjalankan dapur, tapi tampaknya, dia punya banyak kekurangan. Maaf yaa. Sudah lama sejak aku tidak pergi ke sana, jadi aku tidak menyadari situasinya.”
Martin, staf, dan kameramen semuanya melihat Jo Minjoon dengan wajah terkejut. Rachel tersenyum dengan wajah bangga.
“Kau jelas punya pemahaman yang bagus tentang makanan. Tidak mudah memahami kualitas ikan hanya menggunakan penglihatanmu. Tampaknya kau belajar banyak.”
“Alih-alih belajar…menurut saya, insting saya yang bagus.”
“Tidak perlu merendah seperti itu. Upaya akan membuahkan hasil.”
Rachel melihat Jo Minjoon dan tersenyum, tidak cukup terpuji, tetapi juga indah. Jo Minjoon melihat wajah Rachel dan tertawa secara tak sadar. Meskipun ada sedikit kesalahpahaman situasi, tidak mungkin suasana hati Jo Minjoon buruk saat Rachel menunjukkan niat baik sebanyak itu.
“Karena kau ahli dalam hal ini, aku bisa mempercayakan restoran padamu, Minjoon. Kalau begitu, kau mau sesi pengantar pengajaran denganku?”
“Aku akan melakukan yang terbaik.”
Jo Minjoon sedikit tersenyum lalu menaikkan sikunya. Rachel meletakkan tangannya di lengan Jo Minjoon lalu perlahan melangkah. Jika saja mereka tidak berbeda ras, mereka tampak seperti ibu dan anak yang saling menyayangi. Mereka seakrab itu.
Dia memeriksa ke dalam dapur melalui layar satu per satu. Tentunya dia tidak bisa melhat skor jika tidak ada pelanggan, tetapi yang paling penting, tidak mungkin tidak ada pelanggan jika hidangan di restoran lezat.
Kemudian Jo Minjoon melangkah, dia berhenti di depan sebuah kedai. Di kedai itu, ada banyak sekali pelangga. Ada banyak yang seperti ini di antara kedai-kedai yang mereka lewati. Namun, pandangan Jo Minjoon terfokus pada hidangan. Kebanyakan 7 poin. yang paling utama, ada juga satu sushi dengan skor 8. Tawa Jo Minjoon meledak secara tak sengaja.
‘sushi telur??’
“Ayo masuk ke sini.”
“Apa ini tampak berbeda dari tempat lain?”
“Iya. Kualitasnya bagus, dan kebanyakan semua bentuk nasi dan tektur ikan tampak hidup.”
Sejujurnya, kata-kata terakhir hanyalah pujian biasa karena dia tidak bisa mengatakan skor makanan di sana tinggi. Mereka hendak masuk, tetapi pada saat itu, pemandu membisikkan sesuatu pada Martin dengan wajah terkejut.
“Kedai sushi itu relatif baru. Hanya orang-orang yang tahu yang datang. Aku tahu bahwa seseorang yang bertanggung jawab terhadap masakan Jepang di sebuah hotel di Shanghai yang menjalankannya. Reputasinya sangat bagus hingga ia menjadi kandidat Michelin. Tidak, tetapi siapa anak itu? Meskipun dia adalah seseorang yang sangat familier dengan sushi Jepang, aku belum pernah melihat seseorang yang bisa memahami kualitas dengan matanya seperti itu…”
Pemandu melihat Jo Minjoon layaknya objek penelitiannya. Martin dan pemandu memperhatikan Jo Minjoon, dan Martin bergumam dengan nada gembira.
“Dia adalah peri masak yang Tuhan hadiahkan padaku.”
< Tangan seorang master (1) >