Dewa Memasak – Bagian 147: Tangan seorang master (4)
Tangan Jo Minjoon bergerak ke layar sistem. Dia tentu tidak bisa menyetuhnya. Resep itu adalah sebuah perpaduan. Setelah mengasapi ikan makarel, jus apel dan kecap asin dioleskan, lalu dikaramelisasi sehingga menjadi krispi. Setelah mengoleskan wasabi pada bagian dalam, letakkan nasi yang sudah matang berserta kupasan kulit apel.
Itu sangat berbeda dari cara yang normal untuk membuat sushi. Namun, Jo Minjoon suka dengan resepnya itu. Dia telah lama memikirkannya, tempat di mana dia akan menempatkan kebangsaannya dalam masakannya. Namun, itu sudah terlalu terlambat. Terlepas memasak makanan dai suatu negara, dibanding makanan yang telah dia makan dan nikmati selama hidupnya, pemahamannya masih sangat kurang.
Spesialisasi Jo Minjoon adalah menyampuri cita rasa dengan hal-hal seperti pure, saus, dan lain-lain. Metode yang lebih disukainya kebanyakan menyimpan cita rasa bahan utamanya. entah itu saus atau ikan. Itulah metode yang dia pikirkan saat ini, dia bisa mencampurkan buah dan ikan.
Tentunya, itu mungkin sulit pada poin kau harus mengiris sushi dengan ukuran yang sesuai. Meski sistem tidak mengatakan bagaimana bentuk yang paling ideal, bagaimana menggunakan tangannya pada resep itu merupakan masalah lain.
“…Apa kau baik-baik saja?”
Meski jarang bagi staf untuk berbicara, mau tak mau mereka khawatir. Jo Minjoon sedang melihat ke udara dan bergumam sendirian, tetapi dahinya yang berkerut segera mengendur lalu wajahnya tersenyum.
Indera pengecap yang mutlak. Meski mereka tahu dia adalah orang dengan bakat yang bisa tercatat dalam sejarah, tetapi ini pertama kalinya bagi mereka, melihat momen yang sangat tidak familier dan jauh. Jo Minjoon menoleh perlahan. Staf yang berbicara pada Jo Minjoon tersentak sejenak lalu gemetar. Dia bisa melihat kegembiraan dalam mata Jo Minjoon yang berwarna coklat.
“Sungguh baik-baik saja…!” jawab Jo Minjoon dan segera masuk ke dapur.
Rachel sudah berdiri seolah dia sudah selesai berbicara. Jo Minjoon berkata dengan suara penuh sesal…
“Apa kita sudah akan pergi?”
“Iya, harus. Kita juga harus mencoba yang lain.”
“Kalau begitu tunggu sebentar. Aku punya sesuatu untuk dikatakan pada Mr. Yamamoto.”
“Apa kau membicarakan aku?”
“Iya. Apa Anda punya sesuatu untuk mencatat?”
Yamamoto memberi Jo Minjoon kertas dan bolpen. Jo Minjoon menulis resep yang baru saja dia pikirkan. Rachel melihat Jo Minjoon. Apa dia menyusun resep itu dalam waktu sesingkat itu? Rachel takjub dalam hati.
‘Pengecapannya istimewa…Tetapi kepalanya yang berputar dengan cepat juga sangat menakjubkan.’
Sebenarnya, bahkan di dapur pun, bakat bukan yang dominan, melainkan seberapa bagus otak bekerja. Mengkalkulasi pergerakan orang di dapur, mengerjakan pesanan yang menumpuk, dan menyusun hidangan baru… Jika kau cerdas dalam semua aspek itu, semakin cerdas, kau akan semakin beruntung.
Sementara Martin mengarahkan kamera ke resep, Yamamoto perlahan membaca resep itu lalu terbelalak menatap Jo Minjoon.
“Bukankah ini…resep?”
“Ini resep yang saya buat karena terinspirasi saat menyantap sushi Anda. Menurut saya, alih-alih menyimpannya di kepala, akan lebih baik jika suatu hari nanti Anda yang memasaknya.”
“Buah apel dengan sari apel…Aku tidak tahu bagaimana nantinya, tapi aku bisa menduga cita rasanya.”
“Menurut saya, mungkin ini resep terbaik yang pernah saya pikirkan sejauh ini.”
“Sebenarnya, pekerjaan yang dibuat seseorang hari ini cenderung lebih baik dari pekerjaannya di hari sebelumnya. Terima kasih telah mempercayakan bayi ini pada saya.”
Yamamoto tersenyum ceria. Dia melipat kertas dengan rapi lalu menyimpannya di sakunya. Rachel menoleh pada Jo Minjoon lalu bertanya.
“Kau memikirkan resep itu dalam waktu sesingkat itu?”
“Ah…Sebenarnya itu terpikir secara instan. Sushi Yamamoto memberikan banyak stimulasi. Jika aku harus membuatnya sendiri aku akan kesulitan.”
“Tidak perlu merendah. Kau berhasil. Kau bisa mengolah semua inspirasi yang kau terima dari tempat-tempat yang kita kunjungi, dengan kepalamu sendiri. Mungin, itu lebih dalam dan lebih besar dari apa yang diajarkan gurumu padamu.”
“Iya.”
Suasana hati Jo Minjoon bagus. Saat mereka hendak beranjak pergi, Yamamoto berkata
“Apa kalian sudah memutuskan akan pergi ke mana?”
“Belum. Kami akan memasuki tempat yang tampak oke sembari berjalan. Kami ke sini pun begitu.”
“Kalau mau, aku akan merekomendasikan kalian sebuah kedai…”
“Kedai apa?”
“…Kedai ini sungguh sulit disebut kedai jenis apa. Kau bisa menganggapnya restoran Jepang, tetapi rentang masakannya terlalu lebar untuk disebut restoran Jepang…Kau sungguh bisa melihat banyak hidangan nanti. Sebenarnya, ini tempat yang ingin aku simpan sendiri…tetapi orang itu akan menyambutmu.”
Sejujurnya, mendengar penjelasan Yamamoto, Jo Minjoon tidak tertarik. Alasannya sederhana. ‘banyak hidangan.’. Dia baru saja terkesima setelah menyantap sushi Yamamoto. Dia penasaran dengan master lain yang menuangkan semua waktunya dalam satu bidang seperti udon dan ramen. Jika bukan restoran yang seperti itu, tetapi restoran yang justru memasak beberapa hidangan, dia bertanya-tanya seberapa tinggi level chefnya. Jo Minjoon mengambil peta kasar yang digambar Yamamoto lalu tersenyum ceria.
“Jika situasinya mengizinkan, itu tidak masalah bagi kami. Terima kasih untuk rekomendasinya. Dan juga, terima kasih untuk sushinya. Itu yang terbaik yang pernah saya coba sepanjang hidupku.”
“Aku masih kurang. Jika kau datang lagi suatu hari nanti, aku akan menunjukkan padamu sushi yang lebih baik.”
Mendengar tanggapan Yamamoto yang rendah hati, Jo Minjoon tersenyum ceria lalu berbalik. Saat Jo Minjoon mengikuti Rachel keluar, PD paling muda, Robert, bertanya pada Martin.
“Apa Anda mendapat adegan bagus?”
“Pastinya. Pikirkanlah. Menurutmu, siapa member yang paling menarik di program ini?”
“…Entahlah. Minjoon memang sangat populer, tetapi kalau dipikir-pikir, yang paling populer bukankah Rachel?”
“Pahamkan? Anggota yang kau pikirkan pun semua di sini. Coba Pikir lagi. Ini hanya berlalu setengah tahun sejak Minjoon muncul di TV tapi keberadaannya sebanding dengan Rachel.”
Martin melihat Rachel yang sedang tersenyum sembari berbincang dengan Jo Minjoon. Meski dia membiarkan itu karena mereka selalu bersama, tetapi bila memikirkan tentang nilai sebenarnya yang dimiliki Jo Minjoon…bulu kuduknya berdiri.
“Tidakkah kau takut? Jika langkah pertamanya sejauh ini, betapa berharganya pria itu nanti di dunia masak-memasak.” kata Martin.
“Yaa, dia akan menjadi legenda. Selalu ada seorang legenda.”
“Legenda hanya ada dalam kenangan. Tetapi dia tidak akan berakhir hanya menjadi kenangan.”
“Kalau begitu apa yang akan terjadi.”
“Semua orang menginginkan Jo Minjoon. Mereka ingin mendapatkan imajinasi dan filosofinya. Benar. Dia…”
Mulut Martin gemetar. Bahkan ini bukan pekerjaannya, tetapi memikirkan tentang hari yang akan segera tiba, dia sangat kebingungan.
“Dia akan menjadi barang pesanan.
–
Meski tidak ada hal yang abadi, tidak butuh waktu lama emosi dari sushi Yamamoto menghilang karena hidangan menakjubkan yang membuatnya lupa akan sushi Yamamoto di letakkkan di depan Jo Minjoon. Malangnya adalah bukan memiliki arti positif, melainkan itu berarti negatif.
‘apa aku harus menyantap semuanya?’
Jo Minjoon menatap lekat piring yang ada di depannya. Tempat Jo Minjoon dan Rachel duduk adalah bar kereta tertutup. Mekipun tidak ada pelanggan, itu tidak aneh karena tempatnya kecil. Dia tidak bisa melihat skor masakan dari tempat yang Rachel ingin datangi setelah merasakan romantisme bar kereta yang menggodanya di jalan.. Jo Minjoon tidak bisa menolaknya. Beginilah jadinya.
“Apa ini tidak masalah?”
“…Kau tahu jawaban apa yang akan kuberikan. Maaf. Menurutku, ini sia-sia.”
Berbeda dari Yamamoto, pemilik kedai tidak lancar berbahasa Inggris. Beruntungnya, mereka bisa bebas mengatakan dan mengekspresikan kekecewaaan mereka sebanyak yang mereka inginkan. Jo Minjoon melihat ramen tanpa berkata apa-apa. Skor memasak 4. Dia bertanya-tanya apa itu bisa dimakan. Mienya jelas bisa dimakan. Meski mie itu jelas mie instan buatan pabrik, tetapi tidak sampai membuat enggan yang memakannya.
Akan tetapi, saat dia menyantap daging cha siu, dia tidak bisa mengendalikan ekspresinya lagi. Baunya sangat amis. Kesegarannya hanya 57% dan dia bahkan tidak berharap apapun tentang kualitas… Bagi mulutnya yang selama ini menyantap makanan enak, hidangan itu sangat buruk kualitasnya.
“Apa yang harus kau lakukan di saat seperti ini? Ini sungguh tidak menyenangkan untuk pelanggan. Aku berbicara sebagai orang dengan pekerjaan yang sama. Masalahnya adalah…”
Jo Minjoon melihat pemilik kedai yang sedang berdiri di sisi yang lain. Seorang nenek yang lebih tua dari pada Rachel. Sama seperti yang lain, Jo Minjoon pun lemah pada orang tua. Rachel berkata dengan suara ciut.
“Kita bahkan tidak bisa berkomunikasi, jadi buat apa kau ingin berdebat? Selain itu…bagi beberapa orang, cita rasa seperti ini mungkin sesuatu yang mereka sesali.”
“Aku pikir semua orang tua bisa memasak dengan baik..tapi tampaknya ini asumsiku saja.”
“Umur tua akan bersinar jika kau menginvestasikan waktu pada pekerjaan.”
Yang paling penting, kedai ini memberi kesan bahwa ramen ini hanya untuk mendapatkan uang, alih-alih kedai khusus ramen. Jo Minjoon tidak menyentuh char siu lagi, dia hendak menelan mie. Nenek pemilik kedai melihat Jo Minjoon lalu tersenyum lembut.
“Apa itu enak?”
Meskipun dia berbicara dalam bahasa Jepang, Jo Minjoon bisa sangat paham. Jo Minjoon menjawab dengan bahasa Jepang yang kaku.
“Iya. benar.”
Meskipun dia tidak berpikir seperti itu sama sekali, tetapi dia menjawabnya sambil tersenyum secara alami sehingga membuat nenek tua itu memberikan segumpal mie lagi pada Jo Minjoon.
Sulit untuk menolak saat nenek tua itu menunjukkan niat baik sebanyak itu. Pada akhirnya, saat Jo Minjoon keluar dari kedai sambil mengelus perutnya dan berjalan dengan aneh, Rachel menepuk punggungnya dengan ekspresi khawatir.
Kau sebaiknya berhenti memakannya. Kenapa kau habiskan semuanya?”
“Dia tersenyum padaku seolah dia sedang melihat cucunya, aku tidak bisa berhenti memakannya.”
“Kau baik pada hal yang tidak berguna.”
Rachel tersenyum seolah dia tidak bisa membenci Jo Minjoon. Martin melihat Jo Minjoon dan berkata,
“Kau belum sekenyang itu kan hingga tidak bisa menyantap makanan lain?”
“…Sejujurnya, iya. Tetapi biarkan aku mencernanya sedikit sembari berjalan.”
“Itulah kenapa aku bilang tadi,…bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang sudah direkomendasikan?”
“Tempat yang Mr. Yamamoto rekomendasikan?”
“Iya. Sejujurnya, sebagai seorang PD, ini sangat menarik. Sebuah kedai yang mempunyai banyak variasi makanan hingga kau tidak bisa menentukan temanya sekaligus tempat yang direkomendasikan oleh master seperti Mr. Yamamoto….Bukankah itu menakjubkan?”
“….Jika dipikir-pikir, poin bahwa Mr. Yamamoto yang merekomendasikan tempat itu, memang menakjubkan. Normalnya, kedai dengan berbagai hidangan semacam itu cenderung buruk.”
Jo Minjoon hanya fokus pada makanan yang disajikan saat Mr. Yamamoto menjelaskan tempat yang dia rekomendasikan. Jika dipikir lagi, tidak mungkin seseorang seperti Yamamoto punya level mengecap yang rendah, lagipula, level pengecapannya 8.
‘Apa itu kedai yang spesial?’
Jo Minjoon menatap Rachel. Rachel tampaknya membaca pikirannya lalu mengangguk.
“Ayo. Kiita tidak terlalu sibuk, lagi pula itu dekat, jadi kita tidak kehilangan apapun dengan pergi ke sana.”
“…Ya, setidaknya nanti lebih baik dari pada ramen.”
Rachel tersenyum masam. Dia berpikir betapa menderitanya Jo Minjoon karena pengecapannya yang sesitif.
Jo Minjoon terus memperhatikan sekelilingnya mencari kedai yang bagus sembari beranjak pergi. Tentunya, dia hanya bisa memeriksa kedai yang memiliki jendela, jadi dia tidak yakin dengan semua tempat… Dia pun tidak menemukan tempat satu pun yang patut mereka kunjungi di antara semua yang dia periksa.
‘Kedai yang baik sulit ditemukan kemana pun kamu mencarinya.’
Ada banyak tempat yang tetap menjaga tradisi sejak lama. Namun, tempat seperti itu hanya menjaga budaya dan peringkatnya justru rendah. Jika dipikir-pikir, makanan yang mengikuti tradisi juga berarti hidangan yang tidak berkembang.
Meskipun ada makna bahwa mereka mereplikasi cita rasa dari jaman dahulu kala, tetapi makna dari segi budaya. Sudah jelas bahwa dari pada hidangan abad pertengahan, hidangan jaman dahulu lebih lezat, dan dari pada hidangan jaman dahulu, hidangan kontemporer jauh lebih lezat lagi. Memasak dan selera orang terhadap makanan selalu berevolusi, jadi jika tidak mencocokkan diri pada aliran yang disebut budaya, maka jelas tidak nikmat.
Saat mereka menuju ke restoran yang direkomendasikan Yamamoto, jumlah restoran yang terlihat mulai berkurang dan rumah-rumah banyak bermunculan. Mereka pun bertanya-tanya apakah ini jalur yang benar.
“Tampaknya ini adalah tempatnya.”
Jo Minjoon dan Rachel berhenti di depan rumah yang beratapkan keramik. Ada lampu-lampu yang tergantung di langit-langit, dan ada sesuatu yang tertulis dalam huruf china di bawahnya. Rachel melihat Jo Minjoon dan bertanya,
“Kau bisa membaca itu?”
“Oh, Iya. Ini 식본.”
“식본?”
“Dasar untuk makanan, akar…Tampaknya ini ditulis dengan maksud tertentu. Apa kau mau masuk ke dalam?”
“Iya. Ayo.”
Dengan hati-hati mereka masuk ke dalam. Restoran itu tidak luas. Struktur bangunannya tidak berbeda dari kedai sushi Yamamoto. Ada beberapa meja di sudut dan ada meja bar di depan dapur dengan meja dan kursi tanpa sandaran. Saat dia melihat ke dapur, kaki Jo Minjoon terhenti, dan matanya gemetar karena syok. Rachel menoleh melihat Jo Minjoon dengan ekspresi aneh.
“Ada apa?”
“Oh, tidak ada.”
Jo Minjoon menjawab dengan wajah pucat, mungkin karena dia sangat terkejut. Kedua matanya melihat seseorang di dapur, wajah dan juga layar sistem.
[Higashino Haruki]
Cooking Level : 9
Level memanggang: 3
Level Mengecap: 9
Level Mendekorasi: 8.
< Tangan seorang master (4) > Selesai