Dewa Memasak – Bagian 148: Tangan seorang master (5)
‘Meski mereka bilang bahwa ada banyak orang luar biasa di dunia…’
Jo Minjoon tidak bisa membayangkan bahwa dia mendadak bertemu dengan seseorang dengan level memasak 9. Seorang pria tua yang berada di dapur mendekati mereka perlahan. Dia mencukur rambutnya yang berwarna campuran hitam dan putih sehigga tampak abu-abu. Dia mempunyai beberapa keriput di samping mulutnya yang membuatnya tampak keras kepala.
“Apa anda pelanggan?” tanyanya dalam bahasa Jepang.
Pemandu mendekati mereka dan hendak menerjemahkan kata-katanya. Ketika pria tua itu tahu bahwa mereka tidak bisa menjawab, dia baru sadar. Kemudian kata-kata dalam bahasa Inggris keluar dari mulutnya. Pengucapan dan aksennya sangat lancar hingga tidak bisa dibandingkan dengan Yamamoto.
“Anda tidak tahu bahasa Jepang. Apa Anda bisa berbahasa Inggris?”
“Oh, Iya. Anda berbicara bahasa Inggris dengan sangat baik.”
“Jadi, siapa yang pelanggan dan siapa yang bukan?”
Tatapan Higanoshi melewati Jo Minjoon dan Rachel lalu bergerak ke staf. Jo Minjoon dan Rachel tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Martin perlahan melihat ke sekelilingnya. Tempatnya tidak luas, tetapi cukup untuk semua staf mendapat akomodasi.
“Kami semua adalah pelanggan. Apa boleh kami membawa masuk kamera kami?” tanya Martin.
“Saya tidak peduli selama Anda tidak membuat keributan.”
Higashino menjawab terang-terangan. Itu sikap yang cukup ketus dengan mempertimbangkan bahwa dia mengucapkannya pada pelanggan, tetapi entah itu karena tingkat memasaknya, Jo Minjoon berpikir, sikap Higashino dapat diterima.
Jo Minjoon membawa tubuhya ke meja bar di depan Higashino.
“Apa Anda tidak punya menu?”
“Tidak. Jika kau ingin sesuatu, katakanlah. Aku akan membuatkan semuanya selama kami punya bahan-bahannya.”
“…Apapun?”
Rachel bingung. Dia telah mengunjungi restoran kelas atas selama hidupnya yang tidak singkat, tetapi ini pertama kalinya pemilik restoran mempercayakan menu itu sendiri pada pelanggan. Kemudian Jo Minjoon perlahan-lahan membuka mulutnya,
“Katsudon.”
Katsudon, tonkatsu dengan nasi. Itu bukan hidangan yang dia suka. Dia suka makanan seperti gyūdon atau oyakodon, dia suka tonkatsu, tetapi sulit baginya menyukai katsudon.
Alasannya sederhana. Katsudon adalah yang paling sulit di antara hidangan nasi dalam mangkok dengan lauk pauk di atasnya. Kau harus mempertahankan kerenyahannya walau ada saus tertuang di atasnya. Judulnya mungkin sederhana, tetapi sebenarnya, sulit untuk membuatnya dengan keahlian yang biasa.
Untuk ukuran toko lokal, entah dengan hidangan lainnya, tetapi Jo Minjoon tidak pernah melihat satu pun kedai yang memasak katsudon dengan benar. Di tambah lagi, ini adalah asal makanan Jepang tersebut. Jo Minjoon tidak melihat satu katsudon pun yang level masakannya di atas 6 melalui jendela kedai…Jadi tidak ada lagi yang bisa dikatakan.
Higashino mengangguk seolah dia paham kemudian melihat Rachel. Rachel melongo sejenak. Ketika tangan Rachel berhenti menyentuh dagunya, dia berkata.
“Ikan makarel atka bakar. Dan juga kochi. Dengan hati ayam, baso, dan juga banyak varian di atasnya.”
Higashino mencatat pesanan. Yang lain bahkan ada yang menanyakan hamburger atau pasta, tetapi Higashino tidak mengatakan ‘tidak’ pada siapapun. Jo Minjoon melihat itu lalu menelan ludah. Akhirnya dia paham kenapa Yamamoto sulit mengekspresikan identitas kedai ini dengan tepat.
Dia mencatat pesanan dari 10 orang kemudian masuk ke dapur lalu mulai memasak. Di sana bahkan tidak ada 10 kompor gas, tetapi dia tidak tampak terburu-buru. Dia mendidihkan air dan minyak, memanaskan wajan, dan mengiris sayuran.
Tidak ada asisten. Itu terlalu menakjubkan untuk diabaikan seperti tidak ada apa-apa. Meski tidak ada pelanggan lain saat mereka masuk, mungkin ada waktu tertentu ketika meja-meja di restoran itu penuh. Bahkan saat ini pun Higashino mengerjakan pesanan sepuluh pelanggan sendirian.
‘Yang paling utama, semua menunya…’
Jo Minjoon membuka mata lebar-lebar lalu melihat apa yang Higashino lakukan. Pekerjaannya aneh. Jika kau chef normal, saat pesanan datang membludak seperti ini, mengerjakan tiga hidangan sekaligus adalah batasnya. Jika kau harus melakukan lebih dari itu, pesanan di dalam kepalamu akan campur aduk.
Akan tetapi, Higashino berbeda, bukan karena tangannya yang cepat hingga mata Jo Minjoon tidak bisa mengikuti gerakannya, melainkan tangan Higashino tidak berhenti sedetik pun. Dia menyiapkan semua bahan-bahan yang dibutuhkan suatu hidangan, dan tidak membuang-buang waktu.
“Tidak mungkin….”
Jo Minjoon melihat Higashino seolah dia sedang bermimpi. Jika ada sebuah peraturan di dapur, lalu Rachel dan Jo Minjoon adalah yang terbaik sebelumnya, maka Higashino patut dipuji sebagai pekerja individu.
Jika orang seperti itu berlevel 9, lalu bagaimana seseorang dengan level 10?
Setelah beberapa saat, sebuah katsudon diletakkan di depan Jo Minjoon.
[Katsudon]
Kesegaran : 97%
Asal: (Tersembunyi, terlalu banyak bahan)
Kualitas: Tinggi
Skor Masakan: 9/10
Dia paham skor masakannya 9. Katsudon adalah sebuah hidangan yang membutuhkan kerja keras dalam prosesnya. Dengan memperhitungkan bahwa ini adalah hidangan nasi dalam mangkok, ada banyak ruang untuk meningkatkan skornya. Hal yang penting adalah cita rasanya. Sendok Jo Minjoon terjulur perlahan diliputi kegugupan.
Katsudon buatan Higashino terkesan biasa. Pertama, nasi yang berwarna coklat seolah itu direndam dalam kecap asin, tampak seperti nasi goreng Indonesia, dan cita rasanya pun demikian. Nasi katsudon itu tidak kering dan keras seperti nasi goreng, tetapi kombinasi nasi yang lembut dan lengket yang tertutup telur dan bawang bombay dan rasanya sungguh enak.
Dari Tonkatsu, keluar sebuah cita rasa yang tidak ia duga sama sekali. Renyah, tetapi bukan berarti renyah yang biasa. Sama seperti kue kering, tetapi tidak keras, justru kelembutan yang dia rasakan setiap kali mengunyahnya. Jika tidak basah terkena sup, mungkin akan terasa keras.
‘Rasa ini…’
Jo Minjoon membuka matanya lebar-lebar lalu menyantap tonkatsu saja kali ini. Cita rasa yang muncul setiap kali dia mengunyah tonkatsu yang digoreng, tidak familier. Pada saat itu, dia akhirnya tahu rahasianya. 9 poin. Meski dia tidak bisa melihat resepnya, dia merasa seperti dia tahu hanya dengan rasanya. Jo Minjoon menatap Higashino lalu bertanya,
“Lapisan adonan ini ….. apakah Anda memasukkan air yang diseduh dengan daun bawang di dalamnya?”
“…Lidahmu sangat sesitif.”
Higashino melihat Jo Minjoon dengan tatapan aneh. Pada saat itu, perasaan senang meluncur di dada Jo Minjoon. Ada banyak alasan di balik itu. Rasa katsudon di mulutnya adalah salah satunya, ditambah lagi, dia bisa menyadari rahasia adonan lapisan tanpa bantuan sistem.
‘Agar bisa memasak seperti ini..’
Dia merasa dunianya telah melebar. Kemudian. Rachel menatap Higashino dengan rasa penasaran.
“Kau tampak familier…Apa kita pernah bertemu?”
“Tidak, tapi saya tahu Anda. Rachel Rose. Aku pikir Anda sudah pensiun.”
Mendengar suara Higashino yang tenang, Rachel terbelalak seolah dia terkejut. Kemudian tersenyum samar.
“Yaa, saya sedikit terkenal waktu itu. Tetapi masalahnya adalah saya pikir saya mengenal Anda.”
“Saya pernah bekerja di kedutaan Jepang sebentar. Mungkinkah, Anda….”
“Kedutaan Jepang! Pantas saja. Saya pikir bahwa seseorang yang mampu membuat cita rasa seperti ini pasti memiliki masa lalu yang tidak biasa. Mungkin, saya pernah berjalan melewati Anda saat itu.”
“Dagingnya, tidak akan sedap bila sudah dingin.”
“Anda ketus sekali…”
Meski kau tersenyum ramah, karena Higashino menjawab dengan sikap blak-blakan, maka sulit melanjutkan percakapan lagi. Rachel menyantap ikan bakar dengan wajah tidak puas. Kemudian melihat ke sekelilingnya perlahan. Jo Minjoon sedang menatap ikan makerel bakar dengan tatapan membara.
“Kenapa? Apa kau ingin coba?”
“…Ooh, aku tidak bisa. Aku sudah kenyang…Menurutku, menyantap semua katsudon ini adalah batasku.”
Sejujurnya, dia sedang berpikir ingin pergi ke toilet untuk memuntahkan semuanya lalu makan lagi. Namun, dia tidak bisa melakukan itu. Jo Minjoon melihat ke sekelilingnya. Hidangan dengan berbagai warna, ada hamburger, pasta tomat, ikan makerel asin bakar, tofu, kecap asin, dan tentu sosis vienna. Semua tampak lezat.
Apa boleh buat. Bukannya hidangan-hidangan itu memiliki pahatan mewah seperti yang Rachel buat, melainkan semua hidangan itu tanpa cacat. Tofunya lembut dan tidak pecah sama sekali. Kalau sosis vienna atau ikan bakar, dan lain-laian mempunyai bentuk irisan yang ideal, sederhana, dan mulus.
Itu terlalu pas, tidak berlebihan ataupun kurang. Dekorasi yang tepat yang dapat menstimulasi selera makan. Bahkan bentuk kecap asin encer yang tersebar pada permukaan ikan cod tampak seperti sebuah lukisan, yang mana si pelukis menyiratkan tujuan dalam setiap tetes dan goresan lukisannya.
“Beberapa waktu yang lalu…jadi, aku sedang membicarakan semi final. Ketika hanya tinggal aku, Kaya, Anderson, dan Chloe…Kami membahas tentang restoran seperti apa yang ingin kami jalankan.”
“Dan restoran seperti apa yang ingin kau jalankan?”
“Sama seperti ini. Sebuah tempat yang tenang dan nyaman. Saat pelanggan datang dan mengatakan hidangan yang mereka inginkan, aku akan memasaknya jika memungkinkan. Sejujurnya, meski ini sebuah harapan, tapi ini bukan impian.”
“Kenapa bukan impian?”
“Ini tidak realistis. Tentu, kedai ini menakjubkan…tapi sejujurnya menurutku, kedai seperti ini bisa diwujudkan karena keahlian menakjubkan yang dimiliki Mr. Higashino. Untuk mendapatkan keahlian itu, butuh puluhan tahun. Aku benar-benar serakah. Aku ingin memasak semua bahan-bahan yang jarang dan berharga di dunia di bawah peralatan dapur yang paling sempurna. Aku tidak ingin berada di dapur pedesaan yang tenang, tapi dapur yang penuh dengan orang-orang seperti sebuah kota. Mungkin, itu bukan keserakahan seorang chef, dan sebaiknya aku berkonsentrasi dalam menangani bahan-bahan di depanku seperti Mr. Higashino………”
Jo Minjoon menatap tangannya yang memegang sendok. Matanya sedikit gemetar.
“Aku tidak bisa melakukan apapun pada perasaanku yang terburu-buru ini. Aku ingin berjalan sedikit lebih cepat dan lebih jauh kalau bisa. Apa ini pemikiran yang buruk?”
Rachel menjulurkan tangannya dengan wajah sedih lalu meletakkan di punggung Jo Minjoon. Tangan Rachel yang lembut menepuk punggung Jo Minjoon. Dia bertanya,
“Bagaimana menurutmu tentang ini?”
“Ya?”
“Apa menurutmu impianku? Menjadi chef?”
“…Mmm, apa Guru ingin menghidupkan kembali Rose Island sama seperti saat suami Anda masih hidup?”
“Kalau begitu, apa aku tenang ataukah terburu-buru?”
Jo Minjoon tidak bisa menjawab dengan cepat. Dia berhati-hati dalam menilai emosi gurunya. Namun, tatapan Rachel yang tenang mendorongnya untuk segera menjawab. Pada akhirnya, mau tak mau dia menjawab.
“Apa Guru terburu-buru?”
“Iya. Sangat” jawab Rachel singkat. Dia pun sudah lansia. Tentu, berusia 60-an saat ini tidak begitu tua, tetapi entah kapan penyakit akan muncul. Kegelisahan itu tidak berguna, tetapi apa boleh buat, perasaannya tidak nyaman. Sehari lebih cepat. Dia ingin mengembalikan pemandangan di hari itu.
“Tetapi bukannya aku tidak suka dengan aku yang terburu-buru. Setiap hari yang telah berlalu, rasa sesal yang aku rasakan membuatku ingat betapa berharganya hari esok. Jadi, jangan menyalahkan keterburu-buruanmu. Meski kau mungkin merasa ketidaknyamananmu tertelan kembali, itu justru menjadi makananmu.”
“…Terima kasih, Guru. Aku jelas merasa nyaman setelah mendengar ucapan Anda.”
“Kau keren. Dan suatu hari, kau juga akan menjadi chef yang keren.”
“Tetapi guru…”
Jo Minjoon membuka mulutnya seolah berusaha mengatakan sesuatu tetapi justru menutup kembali mulutnya. Dia punya sesuatu untuk dikatakan tetapi sulit untuk diungkapkan di depan ekspresi Rachel yang hangat. Bibir Jo Minjoon terkatup. Dan saat dia hendak mengutarakannya, kata-kata yang keluar justru yang lain.
“Perutku memberi tanda. Aku harus mengosongkan perutku. Aku bisa makan lagi saat ada ruang lebih.”
“…Bukankah kau berlebihan? Kau hanya perlu istirahat.”
“Tidak. Hidagan-hidangan itu yang membuatku ingin makan meskipun aku harus melakukan itu. Aku akan segera kembali.”
Jo Minjoon pergi. Rachel hanya menyantap ikan tanpa mengatakan apa-apa. Setiap kali dia mengunyahnya, rasa ikan segar keluar menyeruak seperti bom. Rachel menyerigai lalu menatap Higashino.
“Ini hidangan yang benar-benar enak. Terima kasih.”
“Menurut saya, Anda punya murid yang sungguh lucu.”
“Lucu…iya, memang. Anda lihat kan, dia tahu air yang diseduh dengan daun bawang? Dia, anak yang sesensitif itu. Tidak. Dia tidak hanya sensitif, tapi dia mugkin bisa menebak semua yang ada dalam hidangan jika dia mencobanya.”
Jika orang-orang yang tidak tahu mendengarnya, mereka pasti terkejut, tetapi tidak ada perubahan pada ekspresi Higashino. Rachel melihat Higashino dengan ekspresi aneh.
“Apa Anda tidak terkejut? Anda sudah tahu atau Anda tidak percaya?”
“Tidak akan ada alasan bagi orang selevel Anda, berbohong seperti itu untuk menggoda pria tua sepertiku. Saya percaya Anda tapi bukan berati saya sudah tahu.”
“Tetapi reaksimu begitu tenang.”
“Karena itu bukan sesuatu yang mengejutkan.”
Mendengar jawaban blak-blakan Higashino, Rachel menatap Higashino seolah entah bagaimana itu disayangkan, bahkan itu bukan kemampuannya sendiri. Entah apakah dia mencari kesenangan pada orang-orang yang terkejut pada kemampuan Jo Minjoon.
“memangnya tidak?” tanya Rachel balik.
“Seseorang dengan pengecapan yang lebih handal dari yang lain menyantap hidangan Anda. Bukankah sudah jelas, mestinya Anda akan penasaran dan bertanya bagaimana pendapatnya?”
“Itu hal yang bagus, dengan mempunyai pelanggan dengan indera pengecapan yang mutlak. Tapi pada akhirnya dia juga pelanggan. Dia tidak sespesial itu.”
“Bagaimana itu tidak berbeda? Dia bisa mengevaluasi hidangan Anda dengan cara yang paling objektif dan mutlak.”
“Apa yang berubah setelah itu? Jika pemuda itu mengatakan bahwa hidangan saya tidak lezat, apa itu berarti bahwa saya memberikan makanan yang tidak lezat pada orang-orang yang mengunjungi kedai saya selama bertahun-tahun?”
“Tentu bukan begitu. Tapi dia bisa merasakan cita rasa dengan tepat dan pada dimensi yang berbeda dari orang lain.”
“Tidak ada yang mutlak soal makanan dan tidak ada pula makanan yang rendah ataupun tinggi. Seseorang seperti Anda, seharusnya sangat paham akan hal itu.”
Mata sipit Higashino beralih menatap Rachel. Meski ada keyakinan di matanya tentang apa yang dia katakan, Rachel pun punya keyakinannya sendiri. Dia tahu seseorang yang hidup di dunia masakan yang sungguh berbeda. Dia adalah suamiya. Jika Higashino juga melihat Daniel dari sudut pandangnya…Dia tidak akan bisa mengatakan hal yang sama.
“Tidak. Ada makanan yang tinggi dan juga rendah. setidaknya itu yang saya pikirkan.”
“Lalu apa itu yang mendorong Anda pada inferiotas yang rumit?”
Tatapan Rachel menjadi tajam. Higashino menghela nafas lalu menggelengkan kepala.
“Itu terlalu berat.”
“…Baiklah. Biarkan saya bertanya. Apa alasan Anda membuka restoran seperti ini?”
Higashino diam sejenak dan hanya menatap Rachel. Dia tidak bisa menjawab meski dia tidak ingin. Namun, dia tidak tahu kenapa dia tidak bisa diam saja. Higashino perlahan menjawab.
“Dari hari ke hari, memasak terasa seperti tugas bagi saya dan saya tidak suka itu. Saya suka memasak, dan jika Anda suka memasak, Anda jelas harus bermain dan menikmatinya. Oleh karena itu, saya membuka restoran seperti ini.”
“Aku tidak bisa melakukannya.” jawab Rachel blak-blakan.
Maksud di tatapannya terlalu kentara hingga Higashino tersentak sejenak.
“Tugas yang tidak Anda selesaikan dan Anda tinggalkan itu, saya akan menyelesaikannya.”
Tatapan Rachel perlahan beralih. Apa yang dilihat matanya adalah Jo Minjoon yang berjalan keluar dari toilet. Senyum hangat muncul di wajah Rachel.
“…bersama dengan anak itu.”
< Tangan seorang master (5) > Selesai