Dewa Memasak – Bagian 149: Rival (1)
“…Apa sebegitu lezat?”
Anderson mengernyit seolah dia tidak bisa percaya. Jo Minjoon mengangguk.
“Itu hampir mirip dengan yang kita makan di restoran Olive Island Alan.”
Evaluasi itu tidak dilebih-lebihkan. Meski dia tidak bisa melihat hidangan 10 poin hingga akhir, tetapi Higashino membuat hidangan selevel itu sendirian dengan bahan-bahan yang terbatas, itu berarti kedai itu sama baiknya dengan restoran Olive Island.
“Untuk kedai yang dijalankan seseorang dan mirip dengan Olive Island,…karena kau yang mengatakannya, itu pasti tidak dilebih-lebihkan.”
“Jika kau datang ke Jepang nanti, akan bagus jika kau pergi ke sana.”
“…Aah, Sera dan aku tidak bisa menikmati sekali. Setiap restoran sushi yang kita kunjungi ikannya dalam kondisi buruk, dan saat kita masuk ke kedai ramen atau udon, kita melihat kebanyakan dari mereka menggunakan mie buatan pabrik.
“Masters bukanlah orang yang sering kau jumpai.”
“Aku dengar dari staf, kau menemukan tempat yang baik-baik saja. Apa kau bisa merasakannya hanya dengan menonton?”
“Yaa, mirip.”
Jo Minjoon mengangkat bahunya. Anderson berbaring di tempat tidur dan melihat JO Minjoon dengan tatapan aneh.
“Kau tahu, kau sangat menyebalkan kadang-kadang?”
“Aku?”
“Iya. Seorang pria yang memiliki semua apa yang disebut bakat, dan bersikap seperti orang normal, dan bahkan selalu bekerja keras.”
“Kau sudah tahu bahwa chef tidak bisa melakukan apapun hanya dengan bakat, tanpa bekerja keras, kenapa sih kau seperti ini?”
“Apa kau pernah melihat orang iri yang berpikir logis di suatu tempat di dunia ini?”
Mendengar ucapan yang tidak sopan itu, Jo Minjoon menoleh lalu menatap Anderson. Anderson mengerutkan dahi.
“Apa. Kenapa?”
“Kau iri padaku?”
“Kenapa? Aku tidak boleh iri?”
“…Tidak, ini lucu, karena aku juga iri padamu.”
Anderson mengernyit seolah itu tidak masuk akal baginya. Siapa yang iri terhadap siapa. Dia tidak pernah berpikir dia akan mendengar ‘aku iri padamu’ dari seseorag yang mempunyai indera pengecap mutlak.
“Kau mengejekku?”
“Itu kebenaran.”
“Kenapa kau iri padaku?”
“Kau memasak dengan baik.”
Anderson masih melihat Jo Minjoon dengan bingung. Jo Minjoon menggoyangkan tangannya dan berkata,
“Tapi aku tidak mengatakan aku masih iri padamu. Pada tahap awal Grand Chef…Aku sungguh iri padamu. Kau tumbuh dari keluarga chef yang handal dan menyerap semua pengetahuan mereka…Keahlian dasarmu membuat bakatmu berkembang dengan baik, dan pendirian yang aku rasakan dalam dirimu tentang masakan saat kau memberi aku saran, juga terlebih lagi…”
Jo Minjoon tersenyum jahil.
“Kau bisa menghadapi Kaya di final dan aku tidak. Aku juga iri dengan itu.”
“…Si brengsek gila.”
“Ada yang bilang, jika kau tidak ingin berakhir seperti orang normal, kau harus punya sisi gila.”
“yang penting, pada hal apa kau gila.”
“pada memasak. soal apa lagi aku gila?”
“Hanya pada memasak?”
Anderson menajamkan matanya. Jo Minjoon menoleh.
“Tidurlah. Kita juga punya siaran internet besok siang, jadi akan masalah jika kita punya lingkaran hitam di bawah mata.”
“Jika saja kau keluar, aku akan tidur. Jadi jangan pikirkan.”
“Lampunya mau dimatikan?”
“Iya.”
Klik. Lampunya sudah dipadamkan. Setelah 6 jam, pada pukul 5 pagi, Alarm mulai berdering. Deringnya seperti musik jazz yang biasa terdengar di bar tua.
Anderson perlahan bangun dari tidurnya. Meski mereka tidak siaran sampai larut malam atau sepagi ini, tetapi alasan kenapa dia bangun sepagi ini sederhana, yaitu ‘Aku tidak boleh kalah hari ini.’
Akhir-akhir ini, Jo Minjoon dan Anderson mulai bersaing dengan aneh. Mungkin, lebih baik memikirkan itu sebagai kompetisi sebelah pihak dari Anderson…Dia tidak ingin terlihat sedang tidur sementara Jo Minjoon sedang memasak sarapan sendirian, bagi Rachel, kamera, dan Jo Minjoon.
Dia mungkin bisa menang hari ini. Meski Jo Minjoon rajin, dia tidak akan berada di dapur pukul 5 pagi. Saat Anderson berjalan ke dapur sambil berpikir seperti itu, dia terkejut.
“…Apa ini?”
Lampu dapur menyala. Ada beberapa bahan diletakkan di atas papan talenan, dan beberapa hidangan di meja. Alih-alih sarapan, sepertinya ada yang sedang bereksperimen. Saat dia membuka oven yang telah mati, dia melihat ikan makarel panas di dalamnya.
Jo Minjoon sedang tertidur sembari duduk di kursi di dekat meja. Apa dia tertidur setelah mengatur alarm oven sembari menunggu? Anderson berkata,
“Hei, bangun.”
Jo Minjoon tidak bereaksi. Begitu juga saat Anderson menggoyang-goyangkan badan Jo Minjoon. Yaa, melihat makarel di dalam oven masih panas, dia mungkin baru saja tertidur. Kelelahan yang terakumulasi selama satu hari memang tidak normal, jadi wajar saja dia tertidur.
‘…Apa aku harus membersihkan ini semua.’
Anderson melirik Jo Minjoon. Jika dia meninggalkannya seperti ini, jelas dia akan kesal seharian. Anderson menghela nafas dan membaringkan Jo Minjoon di sofa. Betapa ngantuknya dia hingga dia tidak menunjukkan tanda-tanda bangun meski setelah dipindahkan.
Dia membawakan selimut dari tempat tidurnya, tetapi dia tidak ingin menyelimuti Jo Minjoon. Apalagi di depan kamera. Anderson hanya membentangkan selimut ke atas badan Jo Minjoon lalu kembali ke dapur.
“Apa sih yang ingin kau buat…”
Anderson perlahan melihat ke meja. Ada berbagai bahan-bahan untuk katsudon, dan gyudon dengan telur gulung. Dia juga bisa melihat sushi, yang dibuat dengan salmon beku yang mereka bawa dari pasar, dan kalau makarel yang ada dalam oven, itu dimasak dalam entah saus apa itu.
Anderson mengangkat sumpit lalu mencubit asal daging makarel, lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Kemudian, mata Anderson mengendur, sebagian karena dia belum bangun secara penuh dari tidurnya, dan sebagian lagi karena rasa minyak yang manis dari makarel yang membangunkannya.
Ini lezat. Ada beberapa kali makanan Jo Minjoon tidak lezat, tetapi ini spesial karena hidangan ini menghidupkan kembali kesan Jepang itu sendiri. Mungkin, dia membuat ulang apa yang dia makan kemarin. Sembari memikirkan itu, dia melihat Jo Minjoon yang tidur di sofa.
“Apa yang dia buat seharian, dan apa yang ada di dalam oven ini…?”
Jika Jo Minjoon tidak tertidur, lalu apakah dia bisa menyantap makarel pada waktu yang tepat …emosi yang akan dia rasakan terhadap rekan lain yang menyantap ini tidak akan sebanding dengan sekarang. Jantungnya berdegup kencang. Sedikit ketakutan merayap di kaki Anderson. Dia bisa tahu bahwa Jo Minjoon yang dia lihat pertama kali berbeda dengan Jo Minjoon yang sekarang.
Kesan pertama Anderson tentang Jo Minjoon adalah orang brengsek, yang mengatakan hal tidak masuk akal, dengan mengatakan Kaya akan menang hanya dengan belut bakar. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, semakin dia menyadari bahwa Jo Minjoon bukan tipe orang yang serampangan, tetapi orang yang santai. Resolusinya terhadap memasak dan kemampuannya tidak lemah sama sekali. Namun, dia tidak berpikir bahwa Jo Minjoon menakjubkan, bahkan saat dia tahu bahwa Jo Minjoon punya indera pengecapan yang mutlak.
Namun, semakin lama, Jo Minjoon semakin berkembang dengan hebatnya. Pertama, sejujurnya, dia berpikir bahwa Jo Minjoon ada di bawahnya soal pemahaman tentang bahan-bahan maupun tentang kerajinan kilat pada bahan makanan. Tetapi sekarang, dia tidak bisa menganggapnya remeh. Bagaimanapun dia melihat Jo Minjoon, Jo Minjoon tidak kurang apapun dibanding dia. Anderson justru berpikir dirinyalah yang kurang dibanding Jo Minjoon.
‘Apa aku akan terus iri padamu?’
Dia tidak ingin berada di belakang Jo Minjoon lebih jauh lagi. Dia harus mengejar banyak hal dalam waktu singkat. Meski Jo mungkin tidak tahu kecakapan itu sama sekali, ada satu hal yang Anderson inginkan. Dia iri pada Jo Minjoon dan agar Jo Minjoon iri terhadapnya. Seperti itulah. Hubungan semacam itu yang ingin dipertahankan.
Sebagai rival, sebagai teman…
–
Pagi hari. Jo Minjoon bisa merasakan sinar matahari masuk melalui jendela. Jo Minjoon membuka matanya sedikit kemudian menutupnya kembali. Dia masih mengantuk dan lelah. Tidak ada bagian tubuhnya yang terasa sakit tetapi jari-jarinya terasa berat hingga dia tidak bisa mengangkatnya.
‘Oh, oven. Aku menaruh makarel ke dalam oven.’
Karena dia mengatur alarmnya, oven tidak akan terus berjalan, tetapi masalahnya adalah setelah itu. Karena waktu sudah berlalu, mungkin ikannya sudah berubah hingga tidak layak makan. Jo Minjoon bangun. Selimut di atas badannya terjatuh. Dia merasa bahwa jelas-jelas dia tertidur di kursi dapur.
‘Apa ada malaikat yang memindahkanku…’
Mungkin karena dia belum bangun sepenuhnya sehingga dia memikirkan hal-hal yang mustahil. Jo Minjoon kembali ke dapur. Wajahnya, yang kusut karena belum cuci muka, mengeras. Ada banyak hidangan disiapkan di atas meja. Ada telur orak arik, dan juga ikan goreng dan nasi. Ini menu makan ala Jepang. Jo Minjoon bertanya
“Ada apa ini?”
“Memangnya ada apa? Ini menu sarapan.”
“Oh, apa kau yang memindahkanku ke sofa?”
“…Aku tidak akan pernah melakukan itu. Kau sendiri yang pergi dan berbaring di sofa.”
Anderson berhenti sejenak kemudian menjawab. Jo Minjoon tanya dengan bingung.
“Benarkah? Aku tidak mabuk tapi aku tidak ingat.”
“Kau mabok dalam tidurmu. Diam dan panggillah para wanita. Aku sudah membuat sarapan.”
“Oh, iya. “Oke.”
Jo Minjoon hendak pergi saat dia menoleh pada Anderson.
“Tetapi apa yang kau lakukan pada makanan yang kubuat tadi?”
“Aku makan semuanya.”
“Terima kasih sudah membereskannya. Dan sudah membaringkan aku.”
“Aku sudah bilang aku tidak pernah melakukan itu…!”
Mendengar itu, Jo Minjoon tersenyum ceria lalu pergi ke kamar para wanita. Rachel, Sera, dan Emily tampaknya baru bangun beberapa saat yang lalu dan mereka sudah mencuci muka.
Jo Minjoon, yang duduk di meja, tampak gembira. Apa boleh buat. Saat kau tinggal di luar negeri, hal yang paling berat adalah saat waktunya makan. Meski dia makan nasi mangga di Thailand, dan yang lainnya, hidangan nasi itu membawa kesan thailand yang sangat kuat. Apalagi di Italia, dia tidak sering memasak nasi dan hanya makan banyak salad.
Makanan yang dia makan di Jepang kebanyakan mirip dengan menu Korea. Jika dipikir, itu hal yang ironis. Makanan yang disiapkan ibunya adalah sesuatu yang tidak bisa dia katakan enak meski bergurau, tetapi hatinya merasa tenang di depan menu makanan yang mirip dengan masakan ibunya itu.
Rachel tersenyum ceria lalu berkata.
“Apapun yang terjadi, kau suka makan nasi.”
“Aku pikir bahwa aku bukan tipe yang terobsesi dengan itu, tetapi sekarang, perlahan aku mulai menjadi seperti itu. Saat aku makan nasi, aku baru merasa sudah makan, dan bagaiamanapun aku makan tanpa nasi, itu hanya terasa seperti aku mengisi ulang energi…Aku bahkan tidak tahu aku mengatakan apa.”
“Aku paham apa yang kau katakan. Orang barat merasa seperti itu pada roti. Bagaimana bisa seseorang mengubah kebiasaannya dalam sehari.”
Jo Minjoon tersenyum ceria dan memasukkan nasi ke mulutnya. Nasi yang berwarna ungu karena sedikit bercampur dengan beras hitam. Memiliki aroma yang lebih kuat dibanding nasi putih, dan rasa manis juga lebih terasa. Dia mulai merasa lebih baik bahkan saat dia hanya menyantap nasi tanpa lauk pauk.
‘Resep seperti apa yang dimiliki nasi…’
Jika ini bukan bokkeumbap(볶음밥) atau bibimbap(비빔밥), sulit mendapat skor lebih dari 7 untuk estimasi.. Karena nasi adalah sesuatu yang benar-benar dasar, dia tidak bisa memikirkan membuat sesuatu yang spesial dengan nasi. Lebih baik membuat hidangan pendamping nasi yang spesial, tetapi hampir tidak pernah ada yang memasak nasi dengan cara yang spesial. Emily melirik Jo Minjoon dan berkata.
“Kau handal dalam menggunakan sumpit. Hingga bisa makan nasi dengan sumpit.”
“Oh, jika kau orang Korea, kau pasti bisa. Saat aku SMP, aku ikut kompetisi adu cepat memindahkan kacang kedelai menggunakan sumpit.”
“Hahahha, itu kompetisi yang lucu.”
“Kau tidak tahu betapa sengitnya saat itu. Tanganmu juga sangat sakit.”
“Sekarang pun memang sakit.”
Sera mengangkat babi jahe, itu adalah daging babi yang direndam dalam kecap asin dengan jahe. Melihat ujung sumpit yang gemetar, tampaknya dia tidak bisa menaruh kekuatan di tangannya dengan benar. Itu kekanak-kanak, tetapi Jo Minjoon merasa sensasi superioritas saat itu. Mungkinkah dia mengatakan bahwa dia menjadi elit dengan menggunakan sumpit. Jo Minjoon menyeringai dan berkata,
“Secara pribadi, menggunakan garpu lebih sulit bagiku, khususnya saat menyantap salad, aku tidak tahu bagaimana makan salad menggunakan garpu. Jika kau menyendokkannya, semuanya jatuh, dan jika kau menusukkannnya, yang dibawahnya tidak ikut terambil.”
“Hmm. Entah bagaimana itu menenangkanku, bahwa ada yang bilang menggunakan garpu itu susah. Meski begitu, bukan berarti kemampuanku menggunakan sumpit bagus. Oh, entahlah. Ada garpu di sini kan? Aku hanya perlu satu.”
“Oh, Sera. Aku juga mau satu.” kata Emily buru-buru menoleh pada Sera.
Ketika Sera manyun, Jeremy melihat dari dekat telur gulung yang ada di sumpitnya. Lapisan kuning dan putih yang menyatu seperti crepe tampat cantik.
“Anderson, telur gulung yang kau buat lebih cantik dari yang dibuat Jo Minjoon.”
“Terima kasih.”
“….Aku tidak bisa membiarkan kata-kata itu begitu saja. Jeremy, telur gulungku juga tidak normal.”
“Jangan khawatir. Buatanmu lebih enak. Tapi aku lebih suka tekstur yang ini.”
Anderson melayangkan tatapan sengit pada Jo Minjoon. Jeremy gembira melihat mereka berdua.
“Haruskah kita beradu membuatnya?” kata Anderson.
< Rival (1) > Selesai