Dewa Memasak – Bagian 151: Global & Lokal (1)
Martin tidak mengakui tebakan Jo Minjoon. Namun, sudah tidak berarti lagi. Jo Minjoon dan yang lainnya sudah separuh yakin. Sikap putus asa Martin juga menjadi salah satu alasan mereka.
“Tokyo Harmony,…hanya mendengar namanya membuatku merasa itu restoran campuran. Apa ada yang sudah ke sana?” kata Anderson yakin.
“Aku sudah.”
Satu-satunya yang menjawab adalah Emily. Emily, yang sedang melihat Anderson dan Jeremy, melirik ke arah Sera, lalu menyeringai dan berkata.
“Kalian semua harus pergi ke sana. Setahuku, sudah lama sejak tempat itu mendapat gelar restoran Michelin. Restoran itu awalya tidak punya bintang apapun sama sekali lalu mendapat 3 bintang sekaligus. Oleh karena itu, aku pergi ke sana.”
“…Mmm, Aku pernah dengar sekali. Tetapi aku hanya melihat fotonya karena aku tidak berkesempatan ke sana.”
“Foto…” gerutu Anderson dengan suara aneh.
“Apa sebaiknya kutunjukkan fotonya?”
“Tidak, aku tidak mau. Kau sebaiknya tidak melihat foto suatu tempat yang akan kau kunjungi pertama kali.”
Anderson menolak dengan tegas.
“Kenapa?” tanya Jo Minjoon bingung.
“Menurutku, aku tahu jawabannya. Boleh aku menjawabnya untukmu?”
Emily mengangkat lengannya lalu bertanya layaknya siswa di kelas. Anderson membuat gestur agar Emily melakukan apa yang dia suka. Emily memasang ekspresi serius dan berkata. Itu tampak seperti Emily mengikuti sebuah kuis.
“Karena kau ingin menikmati cita rasa pertama, kan?”
“…Cita rasa pertama?”
Jo Minjoon melihat Emily dengan ekspresi aneh kemudian melihat Anderson. Anderson mengangguk seolah membenarkan ucapan Emily.
“Kau juga paham dengan baik. Penampilan juga berperan dalam menentukan cita rasa makanan. Tentu, untuk kedai yang normal, maksudku, tempat yang menjual hamburger atau ramen, kau bisa menebak bentuknya seperti apa, itu sedikit berbeda. Tapi kalau restoran seperti ini berbeda.” kata Emily bangga.
“Yaa, bahkan penampilannya juga berbeda. Restoran normal tentu juga plating dan mendekorasi…tapi normalnya, semakin mahal restoran, semakin bagus penampilan hidangan. Mereka bahkan mempekerjakan seniman makanan untuk fokus mengkreasikan penampilan hidangan. Tapi…”
Jo Minjoon memiringkan kepalanya seolah itu agak membingungkan.
“Bukankah juga menyenangkan momen setelah melihat foto hidangan? Kau tidak tahu cita rasanya, dan hanya tahu penampilannya. Kau penasaran ingin mencicipinya, dan begitu hidangan itu disajikan di depan mata…menurutku, emosi yang kau rasakan juga akan bagus.”
“Baiklah, itu berbeda pada masing-masing orang. Ada orang-orang yang seperti itu meski sekian lama, dan ada pula orang-orang yang merasakannya lalu menghilang dengan cepat. Sepertinya untuk Anderson, akan cepat hilang.”
“Hmm…Omong-omong, aku dengar orang Jepang suka mengungkapkan sesuatu dengan samar, tapi hal itu tidak tampak pada nama restoran. Justru, sepertinya mereka melakukan itu untuk mempertahankan tema restoran.”
Harmoni. Kombinasi. Jelas itulah arti namanya. Orang-orang akan menyambungkan atau menemukan hubungan itu antara hidangan Jepang dan hidangan dari seluruh dunia. Mungkin, itulah poin terkuat Jepang, yaitu melokalkan hidangan manca negara, dan mengglobalkan hidangan Jepang.
‘Menurutku, Korea juga punya keinginan melokalkan makanan.’
Contohnya, makanan yang populer seperti pizza dan pasta. Beberapa topping diletakkan, seperti keju, kentang, krim, dan lain-lain. Untuk adonan,… bahkan beberapa membuat adonannya sendiri agar punya bentuk seperti pai atau roti isi. Begitu pun dengan pasta. Berbeda dengan di barat, yang memasukkan saus yang lengket pada pasta, kalau seperti itu di Korea, saat mereka mengangkat pasta dengan saus krim, saus akan jatuh.
Bila dipikir-pikir, itu hal yang menakjubkan.. Beberapa orang mungkin merasa bahwa itu lezat dan yang lain tidak, meski hidangannya sama. Standard untuk itu bisa berbeda bergantung lingkungannya.
‘Jika standar pengecapanmu berubah bergantung lingkungan tempat kau tumbuh besar…Lalu di mana standarku diatur?’
Sejujurnya, dia hanya berpikir tentang apa yang dia harapkan karena tidak ada standar dalam masakan ibunya, yang kadang-kadang hambar sampai-sampai dia tidak bisa merasakan apa pun, dan kadang-kadang sulit baginya bahkan untuk mendekatkan masakan itu ke mulutnya.
Mungkin, kesulitan menyantap masakan ibunya merupakan hal yang membuat Jo Minjoon menentukan pengecapannya sendiri. Sembari memikirkan itu, secara tak sadar Jo Minjoon tertawa. Rachel membuka matanya lebar-lebar lalu menatap Jo Minjoon.
“Kenapa kau tertawa seperti itu?”
“Yaa, aku tiba-tiba terpikir sesuatu bahwa ibuku yang tidak bisa memasak dengan baik justru memberiku bakat mengecap.”
“…Bagaimana bisa?”
“Orang-orang umumnya terbiasa dengan cita rasa yang diciptakan ibunya sejak kecil. Tapi bagiku, untuk terbiasa, mmm makanan yang di masak ibuku…sedikit buruk.”
“…Menurutku, ibumu akan sedih dia mendengar itu.”kata Rachel dengan caggung.
Kau tidak akan tahu jika itu masa lalu, tetapi sekarang dia adalah ibu dari muridnya. Dia tidak bisa setuju karena Jo Minjoon. Sedangkan Jo Minjoon menyeringai seolah itu tidak perlu.
“Jika dia merasa sedih karena ucapanku, dia akan kursus masak sebelum ini. Omong-omong, bukan masalah. Aku justru berterima kasih, aku bisa mendapatkan pengecapanku.”
“Kasus seperti itu bukannya tidak ada. Biasanya orang tertarik memasak karena dua alasan, orang tua mereka memasak dengan sangat baik atau sangat buruk. Tapi, kenapa kau tiba-tiba memikirkan hal ini?”
“Jika dipikir-pikir, hal itu menakjubkan. Bergantung pada negara tempat kau tumbuh besar, pengecapanmu juga berubah. Aku bertanya-tanya bagaimana pengecapanku terbangun dan atas dasar apa…Kenapa Anda melihatku seperti itu?”
Ucapan Jo Minjoon terhenti lalu bertanya pada Rachel. Rachel melihat Jo Minjoon dengan tatapan gemetar seolah dia benar-benar syok. Rachel menggelengkan kepala karena terkejut.
“Ti, tidak. …Tidak ada. Aku hanya teringat seseorang…Pemikiran itu, bagus. Terus berpikirlah seperti itu. K elak kau akan mendapatkan sesuatu.”
“Iya. Pasti.”
Melihat Jo Minjoon yang tersenyum, Rachel balas tersenyum secara natural. Apa boleh buat. Meski ada badai di hatinya saat ini.
‘Dia mengatakan hal yang sama…seperti Daniel.’
Mungkin kebetulan. Hal itu bisa dikatakan oleh siapapun, dan mungkin ada orang yang mengatakan hal yang sama pada Rachel hingga dia teringat sesuatu. Namun, karena Jo Minjoon yang mengutarakannya, Rachel merasa maksud di balik itu lebih dalam.
“Aku juga…….”
Anderson ragu tetapi akhirnya ikut bicara. Dia melirik Rachel dan Jo Minjoon kemudian menunduk melihat jari-jarinya.
“Aku juga sependapat. Sama seperti produk orang Jepang yang menunjukkan nama restoran…Memasak punya idealisme sendiri dibaliknya, lebih dari apa yang kau pikirkan. Berdasarkan apa yang kau pikirkan saat memasak, restoran itu sendiri bisa berubah.” Kata Anderson dingin.
“Itu pemikiran yang bagus.”
Rachel tersenyum lembut melihat Anderson. Apa dia tidak mau kalah dari Jo Minjoon? Dia menunjukkan pemikirannya tepat sebelum pujian di ucapkan, Dia merasa sungguh kenak-kanakan dan dewasa sekaligus sebab dia mengatakannya meski tahu dia akan mendapat perasaan itu.
Sembari melihat mereka bertiga, Sera melirik Emily dengan tatapan samar.
“Hubungan rival ini, bukankah sungguh lucu dan keren?”
“Iya. Selalu seperti itu. Sangat disayangkan epicurean tidak bisa bersaing.”
“…..Menurutmu begitu?”
“Iya, seperti itu. Kita hanya makan dan menulis pendapat kita, jadi apa menurutmu kita bisa mendapat rival seperti itu?”
Mulut Sera terkatup kaku. Kau tidak bisa tahu apa yang sedang dia pikirkan melalui bibirnya itu. Sementara Emily mulai ragu, Sera menoleh dan berkata. dengan suara putus asa.
“Benar. Tidak mungkin ada sesuatu seperti itu.”
–
Tiga bintang Michelin. Maksudnya sederhana. Suatu restoran yang patut dikunjungi saat perjalanan. Sederhana tetapi syarat makna.
Meskipun ada yang bilang bahwa evaluator Michelin agak lunak terhadap Jepang, hal itu tidak mengubah arti 3 bintang untuk ditolak orang-orang.
Tokyo Harmony berlokasi di pantai dermaga Tokyo. Bangunan dua lantai, tetapi tampak seperti 5 lantai hanya dengan melihat tingginya. Dindingnya berbentuk bulat seperti dome terbuat dari kaca, sehingga kau bisa melihat ke laut saat berada didalam gedung.
“Wow…jelas, setelah datang ke Tokyo dan mengunjungi restoran ini, menurutku, aku mungkin aka mengingat pemandanga ini.”kata Jo Minjoon terkesima.
Lautan tercermin di matanya sembari menghirup udara segar. Kedua matanya menatap meja ala barat, lantai marmer yang bersih, dan langit-langit di atap.
“Kita akan segera mulai siaran langsung. Kita punya banyak sekali penonton yang bersiap hari ini. 140 ribu, 10 ribu lebih banyak dari pada sebelumnya. Kalian semua ingat kata-kata perkenalannya, kan?” kata Martin.
“Iya.”
“Bagus. Kalau begitu, sebelum mulai siaran, katakan semua kesulitan atau keluhan yang ingin kalian utarakan sekarang. Misal aku menyukaimu kawan, atau yang lain. Aku akan menghapusnya dari adegan.”
“Aku tahu kau tidak akan menghapusnya.”
Mendengar ucapan Anderson yang blak-blakan, Martin menggaruk-garuk kepalanya dengan canggung. Kemudian mengangkat tangannya. Tiga. Dua. Satu. Enam orang tersenyum pada kamera secara bersamaan.
“Halo. Ini adalah Perjalanan kuliner.”
Suara yang lantang, tetapi tidak berisik. Kemudian kata demi kata meluncur di layar.
[Oh, sudah mulai tapi di mana ini.]
[Aku dengar di Jepang, tapi ini tampak sangat mewah. Apa ini restoran Michelin?]
[Ah, menurutku aku tahu di mana ini. Ini restoran bintang tiga di Tokyo. Bukankah ini Tokyo Harmony. Di sana sungguh lezat.]
Mereka berenam hanya menonton layar obrolan yang bergulir. Hanya setelah Martin menempelkan wajahnya pada layar, mereka kembali fokus. Jo Minjoon berkata.
“Ini adalah restoran di Jepang yang bernama Tokyo Harmony. Restoran ini mendapat tiga bintang Michelin. Kita semua sangat penasaran.”
“Benar, tapi mungkin kalian lebih penasaran lagi.”
“Ini pertama kalinya bagiku menyantap makanan Asia dengan peringkat bintang tiga.”
Sebenarnya, hanya dengan melihat level masakan, kedai Higashino tidak di level bawahnya. Memang tidak ada hidangan 10 poin, tapi skor rata-ratanya mirip dengan restoran bintang tiga.
Namun, masakan tidak hanya dinilai dari cita rasanya. Sekeliling restoran yang terbuka dan indah, bagaimana mungkin ini tidak mempengaruhi cita rasa masakan? Di tambah lagi, di sana mungkin ada banyak bahan-bahan yang lebih mahal dari yang digunakan Higashino. Jadi sejujurnya, ada kemungkinan cita rasanya lebih baik dari restoran Higashino. Itulah pemikiran Jo Minjoon. Meski kau chef yang handal, kau pun akan mengakui rasa asli yang melimpah dari bahan-bahan mahal.
Salah seorang chef segera menghampiri mereka. Jo Minjoon hanya menatapnya. Seragam memasaknya sangat aneh, tampak seperti kombinasi yukata Jepang dan seragam memasak ala barat. Keseluruhannya berwarna hitam dan ada beberapa pita berwarna putih. Namun, ada sesuatu yang lebih ganjil lagi.
[Chefnya datang, tapi dia orang kulit putih?]
Sama seperti komentar itu. Dia berusia sekitar 40-an. Chef yang menghampiri mereka adalah orang kulit putih dengan rambut berwarna pirang.
“Selamat datang di restoran kami. Saya chef kepala di Tokyo Harmony, Samuel King.”
Dia berbicara dalam bahasa Inggris dengan logat British. Emily tersenyum ceria dan berkata,
“Lama tak jumpa, Samuel. Kau masih tampak keren.”
“Terima kasih. Kau juga cantik, Emily.”
“Ah…saya agak bingung. Karena ini restoran Jepang dengan tema fusion, jelas saya berpikir chef kepalanya pastilah orang Jepang.”
“Yaa, aku setengah Jepang sekarang. Aku belajar memasak di negeri ini lebih dari 10 tahun.”
jawab Samuel dan tersenyum lembut.
Jo Minjoon melihat ke menu. Ada kata-kata yang tertulis dalam bahasa Inggris dan Jepang.
“Tidak ada perbedaan dalam hidangan pembuka ataupun hidangan utama?” tanya Jo
Minjoon.
Sesuai dengan yang Jo Minjoon katakan, meski dikategorisasi menjadi salad, mie, nasi, daging, sushi, seafood, dan lain-lain…tetapi tidak ada rangkaian menu.
“Itu restoran yang saya inginkan. Sebuah restoran yang tidak menganut sistem makan malam yang normal. Pesanlah makanan apapun yang kau inginkan kapanpun kau mau. Apa Anda merasa tidak nyaman dengan itu?”
“Tidak, sebenarnya…saya sunggung nyaman dengan ini, karena saya pun bebas memilih apa yang saya mau.”
Jo Minjoon tertawa gembira. Samuel menoleh pada yang lain lalu berkata.
“Saya tidak akan merekomendasikan satu hidangan tertentu pada kalian. Saya telah menginvestigasi hingga saya bisa katakan bahwa semua hidangan di sini sempurna. Dan saya juga tidak peduli dengan urutannya. Tapi satu hal.”
Samuel menghentikan ucapannya. Pada waktu yang bersamaan, penyaji muncul dari belakangnya dan meletakkan total tiga hidangan di tengah meja. Mereka semua adalah acar jahe.
“Setiap kali Anda menyelesaikan satu hidangan, bersihkan mulut Anda dengan acar jahe. Dengan cara itu, apapun cita rasa yang Anda coba, mulut Anda akan terasa bersih terlepas dari apa yang Anda makan sebelumnya.”
“Ini sama seperti di kedai sushi.”
“Saya tidak akan menyangkalnya. Saya memang terinspirasi dari situ.”kata Samuel sambil menyeringai.
Jo Minjoon melihat ke menu. Tatapannya segera berhenti pada satu tempat. Dumpling daging kukus. Di sebelahnya, tertulis berasal dari Kobe. Jo Minjoon berkata.
“Bagaimana kalau memesan dumpling?”
“Hah…Oh! Dumpling kukus? Jika itu dikukus bukannya digoreng, itu tidak akan menggangu bila dimakan di awal. Baiklah. Aku setuju.”
“Aku juga setuju.”
Seperti itulah, hidangan pertama mereka adalah dumpling kukus. Setelah beberapa saat, dumpling kukus dalam steamer diletakkan di tengah meja. Jo Minjoon menelan ludah dan melihat itu.
[Dumpling daging kukus]
Kesegaran : 98%
Asal: (Tersembunyi, terlalu banyak bahan)
Kualitas: Tinggi
Skor Masakan: 8/10
“Kami membuat dan memfermentasikan sendiri kulit dumpling. Saya berusaha yang terbaik agar tidak tampak kurang dari yang disajikan di kedai dumpling. Sekarang, silakan dimakan bersama dengan kecap asin.”
Samuel mencampurkan wasabi dengan kecap asin secukupnya. Jo Minjoon perlahan mengambil dumpling dan mencelupkannya ke dalam saus. Kemudian menatap dumpling dengan penuh cinta.
Dumpling yang seukuran jari tampak bagus dan imut. Kulitnya yang berwarna terang bergoyang-goyang seperti jeli, tapi kulit dumpling itu tidak mudah sobek. Di balik lapisannya yag transparan, kau bisa melihat bahan-bahan di dalamnya. Tetesan kecap asin yang mengalir turun di atas permukaan dumpling, tampak sangat menggoda dan seksi, sama seperti tetes-tetes air di permukaan tubuh seorang wanita.
Itulah kenapa dia merasa bersalah saat dia makan dumpling. Awalnya, dumpling itu menstimulasi bibirnya seperti sebuah kecupan, lalu saat kaldu di dalamnya membasahi kerongkongannya, dadanya menjadi mati rasa seolah-olah dia seperti vampir yang mengisap leher seorang anak.
Kecap asin juga tidak terasa biasa, mungkin karena bercampur dengan sari lemon, sehingga rasa segar dan asam dapat membersihkan kerongkongannya. Sari yang keluar dari tauge dan daging sangat lembab hingga dia hampir tidak bisa membedakan entah dia sedang menyantap dumpling atau sup.
[Jo Minjoon memang yang terbaik saat makan. Dia makan dengan begitu nikmatnnya. Apa itu karena dia begitu sensitif?]
[Aku tidak bisa melihat dia karena aku memperhatikan wajah Emily. Bagaimana dia makan?]
[Tampak seperti dia sedang berciuman dengan wanita. Aku tidak bisa mengekspresikan lebih dari itu.]
Sampai-sampai penonton pun berkata demikian. Kegembiraan, rasa bersalah, dan kecemasan di wajah Jo Minjoon terlalu jelas. Beberapa waktu kemudian, matanya yang terpejam menikmati cita rasa, sedikit gemetar. Dia baru membaca layar yang ada di depannya.
‘Asal daginng……bukan Kobe, melainkan dari Matsaka?’
Jelas-jelas tertulis Kobe di menu. Tentu, daging dari Matsaka tidak lebih jelek kualitasnya dari pada daging dari Kobe, tapi daging dari Kobe diklaim lebih baik. Bukan berarti mereka bermain-main dengan bahan-bahan.
Jo Minjoon menatap Samuel. Samuel melihat Jo Minjoon dan tersenyum lembut.
“Ada ada sesuatu yang tidak nyaman?”
“Tidak. Bukan itu…Ini…”
Jo Minjoon menjilat bibirnya. Dia bertanya-tanya haruskah dia menanyakan hal ini sebab tidak mungkin dia mengetahui kualitas daging. Akan tetapi, jika mereka harus menggunakan daging dari Kobe, bukan yang dari Matsaka, maka penggunaan daging ini adalah kesalahan dari dapur. Perbedaan samar pada daging bisa membuat dumpling terasa lebih enak lagi…. Sembari memikirkan itu, dia tidak bisa menahannya lagi.
Bahkan peternakan di Kobe dan di Matsaka pun berbeda. Ini semata-mata bukan masalah asaldaging, tetapi merek daging. Jadi, cita rasanya juga berbeda. Setidaknya, seperti itu bagi Jo Minjoon. Daging dari matsaka punya lebih banyak pola permarmeran (marbling), sedangkan daging dari Kobe pola permarmerannya lebih harmoni. Jika tidak ada perbedaan pada pola permarmeran itu, tidak mungkin orang-orang lebih menyukai salah satunya.
Jo Minjoon berkata.
“Di menu, tertulis asal daging dari Kobe…tapi yang saya rasakan lebih lembut dan cita rasaya lebih kuat dari pada daging yang aku tahu permarmerannya harmoni. Apa ini sungguh…dari Kobe?”
Kemudian suasana hening…
< Global & Lokal (1) > Selesai