Dewa Memasak – Bagian 153: Global & Lokal (3)
“Itu adalah hal yang paling mengerikan yang aku dengar dalam perjalanan ini. Aku membayangkannya. Kumohon, jangan katakan hal itu lagi.”
“Jika kau seorang wanita, itu tak terhindarkan berpikir seperti itu.” jawab Sera sambil menyeringai.
Jeremy hanya mengerang dan tidak membalas lagi. Jelas itu foto yang bagus karena penampilan mereka berdua menarik. Sera berpikir bahwa hal itu bukan tidak mungkin bagi wanita terpikir hal semcam itu.
‘…Ini bukan waktunya memikirkan tentang hal itu.’
Jeremy menjernihkan tenggorokannya lalu berkata.
“Sebenarnya, jaman sekarang, tidak banyak tempat yang hanya fokus membuat makanan khas suatu negara. Meskipun orang-orang terbiasa dengan junk food, jelas kenyataannya ada lebih banyak epicurean dari pada sebelumnya. Dan kebanyakan dari mereka, menginginkan sesuatu yang menyenangkan.”
“Ah, apa kau mengatakan bahwa makanan normal tidak menyenangkan karena orang-orang sudah pernah menyantapnya dan sudah terbiasa dengan makanan itu?”
“Separuh betul. Jaman sekarang, orang-orang telah berkembang dan emncoba banyak sekali hal-hal baru…tapi sejujurnya, dengan mencoba hal-hal yang baru, akhirnya kau akan mencampurkan sesuatu yang berasal dari negara lain. Yang paling utama, kau punya potensi tak terbatas dari budaya negara lain…Jadi apa ada alasan untuk mencoba menemukan sesuatu yang baru hanya dalam satu negara saja?”
Mendengar penjelasan Jeremy, Sera mengangguk setuju. Sera melihat Jo Minjoon dan berkata,
“Tapi omong-omong, bukankah kau terlalu berlebihan dalam mencurahkan ekspresimu pada cita rasa meski kau seorang chef?”
“Itu tepat sekali karena aku seorang chef.”
“…Aku iri.”
“Tentang apa?”
“Bahwa kau bisa melakukan keduanya, baik memasak dan mencicipi. Terlebih, kau juga bagus pada keduanya.”
“Itu punya sisi positif dan negatif. Mulai sekarang, hidupmu akan berlanjut seperti ini. Kau bisa menjelajahi seluruh dunia, mendapatkan perhatian orang-orang di kota itu dan di restoran, dan bisa mencoba makanan baru dan menarik seperti hari ini. Itu adalah kehidupan yang tidak bisa aku miliki.”
“Apa kau menghiburku?”
“Jelas ini bukan untuk menggodamu.” kata Jo Minjoon sambil tersenyum ceria.
Hidangan berikutnya yang mereka pesan adalah sushi.
“Saya berusaha yang terbaik untuk membuat sushi yang lebih lezat dari restoran sushi.”kata Samuel dengan tegas.
“…Apa itu mungkin? Baru-baru ini saya mendapat suatu pemikiran sembari mengunjungi kedai sushi. Cita rasa jelas berbeda bergantung dari bagaimana mengepal nasi, bentuk kepalan, dan seberapa presisi dalam mengiris ikan, dan lain-lain. Mungkinkah ada master sushi di sini?”
“Tidak, tidak ada. Karena itulah semakin banyak pikiran yang saya curahkan pada sushi ini. Bagaimana saya bisa membuat sushi yang luar biasa tanpa seorang veteran berpengalaman. Saya pun pernah berpikir untuk menyerah, menghilangkan sushi dari menu, tetapi saya tidak mau… karena saya membuat makanan fusion di Jepang.”
“Kalau begitu…ah, apa ini…”
Keraguan di mata Jo Minjoon langsung luntur. Dia berkata seolah mendapat jawaban.
“Anda memutuskan untuk berjuang dengan resep Anda sendiri?”
“….Bagaimana Anda tahu?”
“Saya juga sepemikiran dengan Anda.. Jika saya membuat sushi, bagaimana saya membuatnya dengan kualitas yang terbaik. Hanya satu jawaban, yaitu bahan-bahan yang bagus dan resep yang sempurna, tidak hanya untuk sushi, tapi juga yang lain. Untuk melengkapi kekurangan dalam keterampilan tangan, setidaknya saya harus memeras otak.”
Suaranya terdengar aneh, agak masam, tetapi bersemangat pada bagian akhir. Samuel tersenyum ceria dan bertanya.
“Jadi kau melengkapinya?”
“Aku terus berusaha. Proses melengkapinya itu juga menyenangkan.”
Ada senyum tulus di mata Jo Minjoon. Dia suka memasak. Dengan mengatakan bahwa dia menyukai Samuel toh tidak akan berlebihan. Itulah alasan dia memutuskan berjalan di jalur ini. Sekarang, dia bisa mendaki dinding maupun gunung di depannya…dengan gembira bahkan ketika nanti dia merasa sesak dan kecewa.
[…Aku iri. Tidak ada yang lebih baik dari pada hidup dengan melakukan apa yang kau suka.]
[Akan menyenangkan bila memiliki bakat pada apa yang disukai. Hidup akan terasa menyenangkan.]
[Semakin aku lihat, semakin aneh. Menurutku, Jo Minjoon menganggap dirinya sangat banyak kekurangan. Haruskah itu dianggapnya hal bagus karena dia rendah hati ataukah dia bodoh? Melihat bagaimana dia berbicara tampaknya dia penuh percaya diri]
[Dia akan mengatakan itu karena objektivitasnya sangat tinggi hingga dia tidak puas dengan dirinya yang sekarang. Aku agak suka sisi ambisius Jo Minjoon itu.]
Jo Minjoon tidak bereaksi terhadap komentar-komentar penonton yang membahasnya di layar obrolan. Baginya, menanggapi sesuatu seperti itu, memalukan, dan dia tidak ingin menunjukkan bahwa dia senang ataupun sedih pada komentar orang lain.
Hidangan keluar. Ada 3 jenis sushi, yaitu norimaki ayam yang terbalut daun kale, sushi berbentuk kubus yang merupakan campuran dari beberapa jenis ikan, dan yang terakhir sushi belut laut dengan kulit yang renyah.
‘……9 poin.’
Bahkan tidak hanya satu. Belut sushi 8 poin, jadi kecuali itu, yang lainnya 9 poin. Yang paling utama, skor komposisinya tidak normal. 10 poin. Itu berarti kombinasi dari ketinganya sempurna.
‘Betapa enaknya itu…’
Jo Minjoon tenggelam dalam pikirannya sejenak. Dia memikirkan yang mana dulu yang akan dia santap. Tetapi beruntungnya, pertimbangan Jo Minjoon tidak berlangsung lama.
“Ada urutan dalam menyantap sushi ini. Pertama, silakan makan norimaki ini.”tunjuk Samuel.
Mendengar itu, Jo Minjoon mengangkat norimaki dengan hati-hati. Bulir nasi yang terbalut kale saling menempel seperti nasi ketan. Ada daging ayam dan ada pula irisan okra. Jika dilihat pertama kali, irisan okra ampak seperti paprika merah yang belum matang.
[Ah, aku ingin makan itu.]
[Kenapa aku menonton ini saat lemari pendinginku tidak ada isinya.]
Ketika Jo Minjoon mendekatkan norimaki ke hidungnya lalu mencium aromanya, dia bisa merasakan aroma kecap manis yang keluar dari okra, ayam, dan daun kale. Tercium seperti saus teriyaki. Saat Jo Minjoon memasukkan norimaki ke dalam mulutnya dengan penuh ekspektasi…
“Hee…..”
Erangan itu terdengar begitu ekspresif. Beberapa komentar dalam obrolan menyebut bahwa itu adalah adegan laga hollywood, tetapi bukan itu. Itu adalah kekuatan hidangan 9 poin yang dapat mengontrol seseorang. Tekstur okra di antara kale terasa luar biasa. Kulit yang terasa seperti antara kacang polong dan paprika masak, dan bulir jagung yang ada di dalamnya, membuat Jo Minjoon merasa seperti meminum minuman bersoda.
Dengan memperhitungkan bahwa bulir nasi saling menempel seperti nasi ketan, bagian luarnya terlalu lembut. Di tambah lagi, di bagian tengah, ada tekstur yang lunak dan kenyal dari daging paha ayam…sampai-sampai kau tidak akan punya sesuatu untuk ditanyakan. Saus teriyakinya pun tidak normal. Karena memiliki aroma yang samar, Jo Minjoon terkesima dan bertanya.
“Anda memasukkan pala ke dalam saus teriyaki yaa?”
“Benar sekali.”
Samuel melihat Jo Minjoon seolah sudah menduga indera pengecapnya bekerja. Jo Minjoon berkata dengan ekspresi tidak nyaman.
“Siapapun bisa tahu akan hal ini.”
“…Saya juga menebak itu, dan ternyata benar.” celetuk Anderson. Kemudian dia merona karena semua pandangan tertuju padanya.
“Apa saya tidak boleh menebaknya?”
“Ya, itu hanya tak terduga. Saya pikir Anda bukan tipe orang yang ingin berpartisipasi dalam hal-hal seperti ini.”
“Hmph.”
Anderson menoleh. Samuel menatap Jo Minjoon. Wajahnya penuh ekspektasi terhadap kesan yang akan keluar. Indera pengecap yang mutlak. Mau tak mau, dia penasaran bagaimana cita rasa makanannya bagi seseorang yang mempunyai lidah yang lebih sensitif.
Namun, dia tidak menanyakan itu. Setidaknya, dia ingin dipertimbangkan oleh Jo Minjoon. Samuel menekan hasratnya lalu berkata.
“Ketika cita rasanya mulai hilang, silakan makan sushi belut. Oh iya, dan Anda tidak boleh makan jahe dulu karena ini tidak berbeda dengan satu hidangan utuh.”
Jo Minjoon mengangkat sushi belut seolah dia tidak begitu paham. Melihat kulit bagian luarnya yang mengembang, tidak tampak seolah mereka baru saja menggoreng belut itu. Apa mereka menaburkan tepung terigu ataukah tepung sagu? Poin anehnya adalah sushi belut bukan yang terakhir, melainkan disantap di tengah. Makanan yang digoreng, apalagi belut, mau tak mau, akan sangat mempengaruhi hidangan apapun yang di santap setelahnya. Dia berpikir akan lebih cocok jika sushi belut disantap terakhir.
Namun, semua itu punya alasan tersendiri. Jika tidak, tidak mungkin skor komposisinya 10. Jo Minjoon menyantap sushi belut sembari setengah ragu.
Tampaknya ada sejenis saus di bawah belut. Meski dia tidak bisa melihatnya, tetapi saat dia menggigitnya, dia berpikir dia bisa tahu saus apa itu bahkan tanpa bantuan sistem. Tekstur yang selembut krim, aroma jahe dan bawang putih yang menangkap aroma amis, dan rasa manis yang membuatmu berpikir berasal dari buah-buahan. Itulah pure. Sebuah pure yang dibuat dengan mencampurkan buah, jahe, dan bawang putih.
‘Bahan-bahannya…’
Jo Minjoon mulai menebak tanpa melihat sistem. Entah karena dia telah berlatih seperti ini berulang kali, presisi lidahnya dalam merasakan cita rasa berbeda.
Secara khusus, lingkungannya yang memberikan kesadaran dan kerja keras untuk memiliki lidah yang memenuhi ekspektasi dunia. Tidak Bahkan banyak epicurean berfokus dalam menebak bahan-bahan dengan benar seperti ini, tetapi mereka tidak bisa yakin, sebenarnya apa saja yang ada di dalamnya karena kebanyakan chef tidak akan menyebutkan semua bahan-bahan yang mereka masukkan ke dalam hidangannya.
Namun, Jo Minjoon bisa tahu meski chef menyebutkannya atau tidak. Ketika epicurean lain mengatasi masalah tetapi tidak yakin itu salah atau benar, Jo Minjoon punya lembar jawaban sempurna yang disebut sistem. Perbedaannya jelas.
Dan saat ini….
‘….Sudachi, madu, pear….bukan. Ini sedikit berbeda, cita rasaya segar. Apa yang mirip dengan itu. Oh, benar. Semangka. Ini semangka. Dan…’
Setelah Jo Minjoon memikirkan semua bahan-bahan, dia melihat ke sistem. Kemudian tersenyum. Dia menebak semuanya dengan benar. Anderson yang melihatnya dari samping, mengerutkan dahi dan berkata.
“Apa yang kau gumamkan sendirian? Bahan-bahan?”
“…Oh, aku bergumam yaa?”
“Kau sungguh terbuai yaa.”
Mendengar itu, Jo Minjoon tersenyum canggung. Entah karena kesegaran dari pure, dia tidak merasakan aroma amis sedikit pun, sehingga bisa menebak semuanya dengan benar. Dia bangga pada dirinya. Kemudian, Jo Minjoon membaca komentar di layar obrolan.
[Apa kalian lihat yang barusan? Ketika Jo Minjoon mencium aroma, Anderson melihat itu lalu mengikutinya, dan juga dia mengunyah pada saat yang sama dengan Jo Minjoon. Dia sungguh waspada terhadap Jo Minjoon.]
‘….Apa dia sungguh waspada terhadapku?’
Dia memahaminya sedikit, tetapi juga merasa sedikit kecewa. Ada celah yang sangat besar antara keahlian Jo Minjoon yang sebenarnya dan bakat yang terekspos. Mungkin dia bekerja keras karena Anderson. Sama seperti Anderson ingin menjadi rival yang sebanding dengan Jo Minjoon, Jo Minjoon pun tidak ingin Anderson mengambilnya sebagai suatu kesalahan lagi.
Entah karena merasa seperti itu, ekspresi Jo Minjoon saat hendak menyantap sushi yang terakhir lebih serius dari sebelumnya. Barangkali ekspektasinya lebih besar karena dua hidangan sebelumnya yang di sajikan bak sebuah persiapan sesuatu yang besar. Seberapa ideal cita rasa yang terakhir…
Ada tiga jenis ikan tersusun di sushi yag berbentuk kotak. Aromanya tercium rumit. Ada kecap asin, tetapi selebihnya, tidak mungkin dia bisa tahu.
Cita rasanya pun jarang. Terlepas itu lezat atau tidak, dia sangat bingung dengan cita rasa yang tidak familier itu. Pertama, jelas ada beberapa ikan, yaitu daging punggung salmon, perut tuna, dan daging bagian luar rockfish. Rasa sederhana dari salmon, rasa berminyak dari tuna, dan cita rasa kenyal dari rockfish bergabung seolah berasal dari satu ekor ikan. Akan tetapi, yang spesial adalah…
“Cita rasanya beda…”
Jo Minjoon bergumam dengan nada bingung. Sesuai dengan yang ia katakan, mungkin mereka memfermentasikan ikan sebelumnya. Rasa kecap asin pada ikan sedikit berbeda. Terasa asin, manis, dan juga asam.
Dia tidak bisa melihat resepnya. Jelas karena itu hidangan berskor 9 poin. Sebenarnya, dia cukup menyerah saja, tetapi kali ini berbeda. Entah karena pujian-pujian terhadap indera pengecapnya ataukah semat-mata karena persaingan dengan Anderson. Kalau bukan itu, mungkin karena tatapan hangat dari Rachel dan Samuel.
Jo Minjoon menganalisa. Dia berusaha keras melakukannya. Dia fokus pada semua informasi yang dia dapatkan dari ujung lidahnya. Dia tidak peduli apa yang matanya lihat atau apa yang dia dengar. Kemudian dia berkata,
“Apa…Anda merendam tuna dalam kecap asin dan wasabi? Mungkin karena minyak yang Anda tambahkan, beberapa jus, …dan juga pear. Daging rockfish terkunyah paling lama, oleh karena itu, Anda merendamnya dalam kecap asin dengan cuka yang punya aroma pomegranat, sehingga aromanya bertahan hingga akhir. Untuk salmon, Anda meredamnya dalam kecap asin seduh yang sedikit encer. Saya benar, kan?”
Samuel tersenyum ceria.
“Itu benar.”
“Sungguh…”
“Tidak. Kenapa Anda tiba-tiba seperti itu? Anda selalu menebak dengan benar hingga sekarang.”
Jo Minjoon hanya menunjukkan senyum gemetar alih-alih menjawab. Ini menakjubkan. Normal dan sederhana. Namun, dia menebak dengan benar. Dia telah membaca bagian dari sistem yang tidak bisa dia lihat menggunakan lidahnya sendiri.
Satu langkah. Itu hanya satu langkah…
Akan tetapi, jelas dia telah berhasil melakukannya.
< Global & Lokal (3) > Selesai