Dewa Memasak – Bagian 154: Global & Lokal (4)
Tentunya, bukan berarti sebuah perubahan telah terjadi karena langkahnya itu. Level mengecapnya masih 8 dan apa yang orang-orang pikirkan tentang ini pun masih sama bahwa indera pengecapnya yang mutlak luar biasa. Sebenarnya, kata-kata yang muncul pada layar obrolan pun semua seperti itu.
Kemudian Jeremy menatap hidangan dengan hangat.
“Ini lezat tapi..kupikir restoran ini akan lebih populer untuk turis dari pada orang-orang Jepang. Aku benar, kan?”
“Mmm…saya tidak bisa membantahnya. Orang-orang bersepakat seperti itu, saya tidak bisa menangkap semua selera mereka. Tentunya, bukan berati kami tidak punya pelanggan orang Jepang… Setidaknya, separuh pelanggan adalah orang Jepang.”
Bahkan seperempat pelanggan pada restoran campuran Jepang bukanlah orang Jepang. Meski itu restoran global berbintang tiga Michelin, itu proporsi yang sangat aneh. Jo Minjoon perlahan kembali memikirkan sushi yang baru saja dia makan.
‘…Sushi itu memang lezat, tetapi terasa seperti sushi yang memakai topeng.’
Dia berpikir mungkin ini tidak cocok dengan selera dan kesan Jepang.
“Membawa keduanya sebenarnya tugas yang sulit. Negara asing…Lebih tepatnya, tidak masalah karena orang barat menyukainya bukan? Yang chef harus perlakukan dengan baik adalah pelanggan yang berada di dalam restoran. Memikirkan orang-orang di luar sana apakah mereka suka atau tidak, itu adalah hal yang bodoh.”
“…Aah, saya paham yang Anda bicarakan. Meski begitu, saya tetap memikirkannya. Apakah ini makanan campuran yang bertopeng Jepang ataukah makanan Jepang yang bertopeng campuran. Yaa, itu mungkin tergantung masing-masing orang.”
Mendengar itu, Rachel menoleh pada Anderson dan Jo Minjoon. Dia bertanya layaknya guru.
“Bagaimana menurut kalian tentang ini?”
“Lebih tepatnya, Anda ingin kami menjawab bagaimana?”
“Proporsi makanan lokal dan global, apa yang paling penting adalah keseimbangannya. Bagaimana pendapatmu?”
[Itu PR.]
[Aku selalu menemukan pertanyaan seperti itu sulit diatasi.. Aku merasa mungkin aku tidak akan menjawabnya jika aku setengah hati.]
Jo Minjoon dan Anderson saling berpandangan. Anderson berbicara terlebih dahulu.
“Jawabannya adalah bahan-bahan ini.”
“…Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Karena bahan-bahan ini menunjukkan dengan baik karakteristik suatu negara. Dengan pengertian itu, aku tidak paham betul ucapan Jeremy. Jika itu tentang sushi yang baru saja kita makan, menurutku, susi itu memberikan banyak kesan Jepang.”
“Benar. Lalu, Minjoon?”
“Bagiku…kondimen dan bumbunya. Apapun bahan-bahan yang mungkin digunakan, jika menggunakan saus dari suatu negara, maka warna negara itu akan keluar. Sebenarnya, kebanyakan orang-orang yang hidup di eropa barat berpikir bahwa ikan mentah dan kecap asin, pasti hidangan Jepang. Jika ada keju di dalamnya, baru itu hidangan Eropa barat. Jadi, menurutku saus adalah hal yang lebih penting.”
Jo Minjoon berpikir. Jika dia ingin mengglobalkan makanan Korea dan ingin melokalkannya di negara lain…saus yang bagimanakah yang paling umum?
Meski belum terjadi, di masa depan, di masa dia berasal, dalam waktu singkat, gochujang (고추장) akan populer di Eropa barat. Meskipun kimchi tidak sepopuler gochujang, kimchi tetap diinginkan. Meski tidak semua orang barat menyukai kimchi yang belum dimasak karena aromanya yang amis, tetapi kimchi bagus digunakan sebagai bahan untuk memberikan rasa manis.
‘Itu dari sisi bumbu.’
Tidak ada salahnya memiliki prasangka bahwa orang Korea lebih menyukai makanan Korea. Tentunya, kebanyakan memang seperti itu. Saat dia memikirkan apa yang terjadi jika dia bisa menangani semua bumbu dan kondimen di dunia, Anderson memegang bahu Jo Minjoon lalu menggoyang-goyangkannya. Jo Minjoon terkejut dan menoleh pada Anderson.
“A..Apa? Ada apa?”
“Tidak, guru Rachel dari tadi memanggilmu. Kenapa kau melamun saja? Apa yang kau pikirkan?”
“…Ah, karena kau mulai membicarakan makanan global dan lokal, kepalaku penuh dengan banyak hal.”
Tampaknya dia bahkan tidak mendengar apa yang Rachel katakan padanya karena dia berkonsentrasi pada apa yang ada di kepalanya. Rachel tersenyum lembut dan berkata.
“Pemikiran kalian berdua sama-sama benar. Inilah yang menjadi dilema bagi chef-chef yang menjalankan restoran fusion. Jawaban mereka berbeda-beda. Entah itu benar atau salah, hal itu mungkin bergantung pada berapa lama mereka menapaki jalan mereka.”
“Jadi apa jalur Guru?”
“Lihatlah.”
“…Ya?”
Mendengar jawaban yang tak terduga itu, Jo Minjoon melihat Rachel dengan ekspresi bingung. Begitu juga dengan Anderson dan yang lainnya. Hanya Jeremy yang sedang menyeruput sake seolah itu tidak mengejutkan.
Bagi seorang chef, untuk mengatakan ‘lihatlaah’ alih-alih sesautu yang berkaitan dengan cita rasa, itulah maksud tatapannya. Rachel mengangkat bahu seolah dia tahu mereka akan bereaksi seperti ini.
“Salah satu prasangka yang dimiliki orang adalah jika para chef fokus pada penampilan hidangan, mereka menganggapnya seolah-olah chef-cchef itu melakukan sesuatu yang sangat berbeda.”
“Ini bukan prasangka…tapi bukankah itu benar? Pada akhirnya, masakan adalah soal cita rasa karena bagaimanapun itu akan masuk ke mulutmu.”
Sera bertanya seolah-olah dia tidak mengerti. Meski dia seorang epicurean, dia juga seorang wanita. Sama seperti banyak wanita, mereka terkesima dengan hidangan yang cantik. Akan tetapi, mereka paham bahwa penampilan hidangan tidak berkaitan dengan cita rasanya. Sebenarnya, bagi restoran bintang tiga, penampilan hidangan yang mewah akan sia-sia ketika sudah dimasukkan ke dalam mulut. Kemudian, sering kali kau mengerutkan dahi setelah itu.
Namun Rachel menggelengkan kepala. Kedua matanya penuh percaya diri.
“Akan seperti itu jika hidangannya tidak lezat. Tetapi jika hidangan tanpa cacat didekorasi sedemikian indahnya hingga kau terkesima…maka ceritanya berbeda. Chef merangsang hati pelanggan melalui lidah mereka. Stimulasi itu akan menggerakkan hati pelanggan. Jika mereka semua tampak berbeda…kau akan bisa membuat mereka merasakan makanan di saat hati mereka sudah terhanyut. Perbedaannya lebih besar dari yang kau pikirkan.”
“…Tetapi masalah apa yang dimiliki oleh makanan global dan lokal?”
“Bisa membayangkan cita rasa hanya dengan penampilannya, itu berarti kau bisa menebak warna dari negara mana pada hidangan itu sebelumnya. Meski kau menyajikan sandwich yang sama, jika kau mengatakan ini adalah panini, orang-orang akan merasakan Italia di balik keju yang melar. Meskipun kau tetap harus memenangkan hidangan melalui cita rasa, apa yang dipikirkan pelanggan sebelum menyantap hidangan adalah faktor penting.”
Jo Minjoon berpikir dia bisa memahami kata-kata Rachel dan juga bagaimana dia mendapat level mendekorasi 10. Jo Minjoon berpikir.
“Lalu aku…Apa yang harus aku dalami?’
Apa jelas resepnya? Meski dia tahu bahwa dia merasa paling percaya diri dalam komposisi resep, tetapi dia tidak bisa memasukkan hatinya ke dalam hidangan. Hal itu juga karena keserakahannya. Dia juga ingin bisa mendekorasi seperti Rachel dan punya indera sesensitif Kaya. Akan tetapi, dia tidak punya banyak waktu sebab ketika perjalan mencicipi ini berakhir dan dia mulai bekerja di bawah Rachel..Dia tidak akan punya banyak waktu untuk mempertimbangkannya.
Kemudian, tawa Sera meledak. Rachel terkejut melihat Sera. Sera menunjuk layar obrolan dengan wajah yang memerah karena menahan tawa.
“Rachel, mereka bilang pidatomu itu membosankan. Orang-orang berpikir kau seperti kepala sekolah”
“…Oh, ya?”
Rachel beralih melihat layar obrolan, matanya terbelalak setelah membaca beberapa baris, seketika ekspresinya kesal.
“Aku sangat suka pidato dari kepala sekolah. Itu semua menjadi darah dan kulitku.” kata Anderson dengan nada lembut.
“Hentikan pujianmu. Aku tidak setua itu hingga bisa tertipu dengan pujianmu.” jawab Rachel dengan kesal.
Mereka melanjutkan makan. Halibut bakar yang diletakkan dalam sup kaldu dengan sayuran, bebek bakar dengan gandum utuh, mustard, dan sedikit wasabi dioleskan di situ, dakkochi, dan lain-lain. Hidangan Jepang yang paling mewah di letakkan di atas meja.
Msski itu semua lezat, Jo Minjoon merasa sedikit kecewa. Dia melihat menu lagi. Kebanyakan hidangan yang keluar 9 poin atau 8 poin. Dia pikir, jika di sana adalah restoran bintang tiga, setidaknya, akan ada hidangan 10 poin,…nyatanya tidak ada.
‘Ada juga hidangan 10 poin di restoran Alan, yang bahkan bukan restoran bintang 3.’
Meski semua itu berkat pasta, tetapi tetap saja hidangan itu berskor 10 poin. Mungkin tempat ini adalah retoran bintang tiga tanpa hidangan berskor10 poin.
Namun, dia juga tidak bisa memesan semua yang ada di menu. Pada akhirnya, Jo Minjoon melihat Samuel dengan wajah penasaran. Samuel, yang bermuka masam karena membaca review bagus dan juga agak buruk, tersentak dengan tatapan Jo Minjoon.
“…Apa Anda ingin mengatakan sesuatu?”
“Mmm…Apa Anda sungguh tidak punya satu menu yang menurut Anda perlu kami cicipi?”
“Bukankah sudah aku bilang sebelumnya, masing-masing dan semua hidangan di sini dibuat dengan mencurahkan usaha maksimal…. Apa rasanya kurang?”
“Tidak, bukan begitu. Hanya saja…”
Ucapan Jo Minjoon terhenti. Ketika dia hendak mengatakan ‘menurutku, tidak ada hidangan yang membuatku sangat syok’, dia teringat ucapan Rachel yang baru saja Rachel katakan.
‘Meski kau harus memenangkan hidangan melalui cita rasa, apa yang kau pikirkan sebelum menyantapnya adalah faktor penting.”
Dia merasa kabut di kepalanya hilang. Jo Minjoon melihat piringnya. Ada udon goreng dengan daging kepiting dan masala di atas piring kecil.
Skornya 9. Itu skor yang bagus. Sebelumnya, dia terkesima hanya dengan hidangan 8 poin, tidak, 6 poin. Namun, apa ini karena dia baru saja makan banyak sekali hidangan yang lezat, standarnya jadi naik. Tidak.
‘Standarku…sudah tersusun.’
Orang-orang dan kamera tidak mengatakan sesuatu, hanya melihat Jo Minjoon yang tenggelam dalam pikirannya. Sepertinya dia sedang berikir sendiri lagi. Meski Jo Minjoon tidak menyadari apa yang dia lakukan, dengan tenggelam dalam pikirannya sendiri, itu dianggap cerewet. Sama seperti penjahat yang tidak bisa dipahami, dia pun seperti orang yang spesial dan berada di dunia yang luar biasa. Tapi pada saat itu, cukup ironis, Jo Minjoon justru menyalahkan kebodohannya.
Dia selalu berpikir dia tidak akan terperangkap oleh sistem. Ketika dia mengungkapkan indera pengecapan yang mutlak dengan meminjam kekuatan sistem, dia yakin akan menggunakan sistem sebagai alat, bukan malah bergantung pada sistem.
Namun, nyatanya dia bergantung pada sistem. Lebih tepatnya, dia terlalu mudah percaya pada sistem. Skor masakan bisa bervariasi bergantung, waktu, usaha, resep, dan teknik…..Bahkan saat dia menyusun resep yang dapat mengeluarkan cita rasa terbaik, dia tahu dia bisa mendapat skor yang lebih tinggi. Meski begitu, dia tahu bahwa hidangan sederhana dengan skor rendah bisa saja lebih lezat dari hidangan dengan skor tinggi.
Jo Minjoon terobsesi dengan skor. Bahkan saat dia menyadarinya, dia pun terkejut dan berkata ‘ini tidak benar’…setelah momen itu berlalu, dia terobsesi sekali lagi pada skor.
Bukan berarti kau harus mengabaikan skor. Dia tidak bisa terperangkap oleh itu. Kenapa dia harus kecewa pada kenyataan bahwa tidak ada hidangan 10 poin. Dia tidak bisa seperti itu.
Jo Minjoon mengangkat sumpitnya lagi dan perlahan memasukkan udon goreng ke mulutnya. Aroma unik masala meleleh seperti es krim. Daging kepiting renyah hancur di antara giginya dan sekaligus melunak karena liurnya. Di balik itu, ada udon tersembunyi, sama seperti kepala kura-kura yang muncul dari karapaknya.
Itu adalah cita rasa yang tidak bisa dia rasakan karena tidak sabar bertemu dengan hidangan berskor 10 poin. Dia berprasangka bahwa hidangan 9 poin tidak sempurna. Ketika hal-hal itu hilang, …walau hidangan yang sama, jelas terasa berbeda.
‘Benar. Ini…inilah yang dinamakan mencicipi.’
Wajah Jo Minjoon ceria.
[Anda memahami ilmu dasar mengecap!]
[Karena pengetahuan Anda bertambah luas, kondisi pertama untuk meraih level mengecap 9 telah telah tercapai !]
< Global & Lokal (4) > Selesai