Dewa Memasak – Bagian 156: Pertandingan yang ditentukan (2)
Anderson mengerutkan dahi. Jo Minjoon memberinya nama yang aneh lagi.
‘Tetapi memberi Kaya nama yang bagus.’
Dia merasa ekspresi ceria Jo Minjoon justru menjengkelkan. Mulut Anderson terkatup dan dia sedang melemaskan jari-jemarinya. Sushi. Meski dia berkata dengan percaya diri, sejujurnya, dia tidak terbiasa membuatnya. Umumnya, bagi orang barat, sushi lebih seperti makanan cepat saji dari pada hidangan yang mewah. Itu seperti hamburger ala Jepang. Tidak mungkin dia mencurahkan waktunya agar bisa membuat makanan cepat saji dengan baik. Walaupun kadang-kadang dia membuatnya karena sedang bosan, dan semuanya baik. Dia berpikir bahwa keahliannya tidak berbeda dengan keahlian Jo Minjoon.
“Tapi bukankah akan lebih menyenangkan jika ada sesuatu yang dipertaruhkan?” celetuk Emily.
“Itu salah satu dari dua hal, penalti atau hadiah. Secara pribadi, aku lebih suka hadiah. Apa kau punya sesuatu untuk diberikan padaku?” sahut Jo Minjoon sembari membersihkan tangannya menggunakan handuk basah.
“Tidak.” jawab Emily lalu menoleh pada Martin. Martin mengangkat bahu.
“Bahkan jika melihat PD yang menyedihkan seperti itu, tidak akan ada hasilnya.”
“…Kau sudah tahu jawabannya. Ayo kita tentukan penaltinya.”
Jo Minjoon dan Anderson saling bertukar pandangan dalam gugup. Meski mereka berlagak percaya diri, masing-masing dari mereka tidak punya pengalaman khusus dalam membuat sushi. Jadi entah siapa yang akan menang dan siapa yang akan mendapat penalti. Jo Minjoon perlahan-lahan bertanya.
“Tapi apa perlu melakukan itu? bahkan jika kita tidak…”
“Tidak, kita harus. Lihatlah, bagaimana reaksi penonton.”
[Yang kalah menggunduli rambutnya. Dan jangan coba-coba mengelak…]
[Itu terlalu jauh. Bagaimana kalau tidak makan selama sehari? Jika dipikir-pikir, setelah makan seperti itu, menurutku, mereka tidak akan nafsu makan lagi.]
[Ini akan bagus jika Kaya di sana alih-alih Minjoon. Sebuah pertandingan untuk memiliki Minjoon. …Maaf.]
Penonton lebih tertarik pada penalti lebih dari yang mereka pikirkan. Tidak, bila diipikir-pikir, itu sudah jelas. Ada yang bilang bahwa hal yang paling menyenangkan di dunia ini untuk ditonton adalah api dan pertengkaran. Jadi, jika ada penalti, itu akan memuaskan, seperti dua hal itu. Anderson melihat Emily dengan jengkel. Emily tersenyum sedikit lalu berkata.
“Karena pembicaraan berlanjut sampai pada titik ini, hanya ada satu jawaban. Menangkanlah.”
“…Apa yang akan kami lakukan sebagai penalti?”
“Oh, kau memberiku hak untuk memutuskan?”
Emily tersenyum penuh arti. Ketika ketidaknyamanan mendatangi Anderson, Sera berbisik di telinga Emily. Kemudian, senyum di wajah Emily semakin lebar. Jo Minjoon menahan dirinya untuk tetap santai lalu berkata.
“Apa kau punya ide?”
“Entah aku harus menyebutnya penalti ataukah hadiah. Ide ini dari Sera, aku tidak tahu apa kalian suka atau tidak.”
“Jangan berputar-putar, kumohon katakan apa itu?”
“Hubungan layaknya master dan pelayan.”
“…Gila.”
Wajah Anderson mengeras. Akan tetapi sejujurnya, itu cukup bagus sebagai penalti sekaligus hadiah. Anderson menatap Jo Minjoon dengan sengit. Entah apa yang sedang terjadi hingga mereka berlanjut sejauh ini. Namun, ekspresinya sangat serius.
“Mari kita lakukan.”
“…Sungguh?”
“Kenapa? Apa kau bermasalah dengan itu?”
“Tidak. Bukan itu…ya, oke. Ayo kita lakukan. Aku pasti menanglah.”
Anderson hanya menyeringai alih-alih menjawab.
Segera, para staf mulai membawakan peralatan yang dipinjamkan Samuel. Tidak ada yag spesial dengan peralatannya. Penanak nasi, talenan, pisau, parutan, dan batu asah. Selain itu, hanya ada bahan-bahan untuk sushi.
“Melihat bahan-bahanya, tampak seperti kau ingin kita menang hanya dengan sushi dasar.” kata Jo Minjoon sambil memiriksa mata pisau.
“Karena hanya ini yang bisa saya pinjamkan, maka lakukanlah dengan baik. Saya juga penasaran bagaimana hidangan Anda nanti.”
Mendengar komentar Samuel, Jo Minjoon perlahan memeriksa bahan-bahan. Tampaknya mereka harus membuat wasabi sendiri, karena wasabi yang disediakan belum diparut dan masih punya akar yang masih utuh.
Jo Minjoon mengambil wasabi dan mulai menggerakkan wasabi di atas parutan searah jarum jam. Memarut wasabi dengan gerakan searah agar mendapatkan rasa manis adalah sesuatu yang bahkan orang-orang yang tidak tertarik akan sushi tahu.
Setelah memarut wasabi, sekarang waktunya memilih ikan. Ada dua jenis ikan. Salmon dan tuna. Bagian perut kedua ikan itu punya banyak sekali pola permarmeran.
“…Ini bagian yang sangat mewah untuk ditangani seorang pemula. Maaf ya, Tuna, Salmon.”
Nasinya sudah dibumbui. Pada akhirnya, apa yang akan membedakan cita rasa sushi tampaknya adalah bagaimana mereka mengepal nasi, keahlian menggunakan pisau, dan seberapa banyak wasabi yang mereka balurkan dan berapa banyak kecap asin yang digunakan.
Dia bahkan tidak bisa mendapat bantuan dari sistem untuk skor estimasi. Apa yang bisa membedakan resep di sini adalah jumlah wasabi dan jumlah nasi, tetapi keduanya bukan sesuatu yang bisa diterapkan segera dengan mudah meski tahu resepnya.
“Boleh aku bertanya sebelum kita mulai?”
“Apa itu?”
“Aturannya, yang menang apakah yang pertama menyajikan sushi?”
Emily tidak bisa segera menjawab. Terlebih, kompetisi ini, yang bukan kompetisi sungguhan, bukanlah sesuatu yang dia tawarkan. Emily melihat ke sekeliling.
“Tentu kau tidak bisa menyajikan sesuatu yang tidak sempurna pada pelanggan. Lanjutkan membuat hingga kau merasa itu sudah sempurna.” Jawab Rachel
“Iya, aku paham.”
“Namun…”lanjut Rachel.
Anderson dan Jo Minjoon memperhatikan bibir Rachel dengan seksama. Perlahan Rachel berkata.
“Chef juga tidak boleh membuang-buang bahan. Karena kau akan membuatnya dengan tanganmu sendiri, entah hasilnya enak atau tidak, pastikan makanan itu tidak berakhir di tempat sampah.”
Perkataannya berputar-putar, tetapi pada intinya, dia mengatakan pada mereka untuk memakan sendiri makanan yang belum sempurna. Jo Minjoon dan Anderson mengangguk-angguk.
Mereka mulai memasak. Jo Minjoon mengiris perut tuna dahulu menjadi irisan yang tipis. Potongan pertama gagal. alih-alih ketebalan yang seragam, irisan yang dia buat, satu sisinya tebal dan satu sisi lainnya tipis. Tentu, bagian yang terpotong juga tidak lurus, meski dia membuat irisan selanjutnya dengan sempurna, bentuknya akan aneh. Bagian yang gagal ini semua berakhir di mulut Jo Minjoon. Dia bahkan tidak mencelupkannya ke dalam kecap asin. Tidak mungkin dia bisa menggunakan kemewahan setelah membuang-buang bahan.
Jo Minjoon membuat 10 irisan lagi sebelum menyentuh nasi. Anderson sedang dalam tahap yang sama. Tentu, jika kau ingin membuat sushi untuk sekedar menyantapnya, mereka punya cukup nasi untuk digunakan. Namun, keduanya tidak puas hanya dengan sekali buat. Lagipula, ini adalah sebuah kompetisi. Terlebih, sebuah kompetisi antara dua orang yang menganggap rival satu sama lain.
Membentuk nasi bukan tugas yang mudah. Sulit untuk menyesuaikan jumlah nasi yang tepat. Mereka pun harus memastikan bahwa mereka tidak mengepal nasi terlalu kuat dan mengacaukan bentuk nasi. Di sisi lain, mereka juga harus memastikan nasi cukup terkepal, karena kalau tidak, kepalan nasi bisa hancur dengan mudah.
Tentunya, keduanya punya teknik manual yang hebat. Untuk mencapai level keahlian itu tidak begitu sulit. Namun, pengalaman menyantap sushi di kedai Yamamoto masih segar dalam ingatan Jo Minjoon. Jelas bahwa dia tidak bisa menduplikasi keahlian Yamamoto, karena Yamamoto telah mengembangkan keahliannya selama hidupnya. Namun, hal ini tidak bisa mengubah fakta bahwa Jo Minjoon tidak puas dengan sushinya. Begitu pula dengan Anderson.
Mengoleskan wasabi secukupnya, mengepal nasi hingga konsistensinya tepat, dan membalurkan sejumlah kecap asin dengan pas. Kenapa tugas sederhana ini membutuhkan waktu yang lama?
“…Bukankah mereka berdua terlalu serius?” tanya Sera pada Emily dengan nada bosan.
“Mereka chef. Mereka harus seperti itu karena harga diri mereka dipertaruhkan. Plus, kau bilang sendiri sebelumnya, mereka berdua adalah rival.”
“Tapi, tetap saja…”
Sera merasakan sensasi aneh. Sensasi seperti hal yang seharusnya tidak terjadi justru terjadi.
€
[..]
[…ZZZZZ]
[Ah, Aku baru pergi. Apa sudah selesai?]
[Sudah. Tapi untuk urusanmu.]
[Gila kau. Sudah dua jam?]
[Lebih tepatnya, ini sudah 1 jam 40 menit.]
Sera menatap tanpa sadar ke jendela obrolan 1 jam 40 menit. 100 menit. Iya, 100 menit. Sudah 100 menit. Sudah lama sekali, separuh dari makanan yang mereka santap sudah tercerna. Namun, mereka masih belummbisa mencicipi sushi Anderson dan Jo Minjoon.
“Sushi apa sih…Sushi macam apa yang coba mereka buat dengan susah payah?”
Dia berkata seolah tidak mengerti. Yang paling penting, dia tidak paham bagaimana mereka bisa berdiri selama 100 menit. Mereka telah membuat sushi selama 100 menit. Terlebih, semua sushi yang mereka buat hanya pergi ke perut mereka masing-masing. Bukan karena perut mereka kosong. Mereka sudah menyantap banyak hidangan.
[Sepertinya Jeremy tertidur.]
[Dia memang sudah tua. Bagi Rachel…yaa, karena mereka adalah murid-muridnya, dia pasti gembira menonton muridnya mencurahkan banyak usaha]
[Bagiku, alih-alih gembira… lebih tepatnya suka cita. Aku merasa seperti menonton seniman yang mencurahkan jiwa artistiknya. Tentu, jika aku pergi ke kedai sushi dan harus menunggu berjam-jam, aku akan berdiri dari tempat duduk lalu pergi.]
Anehnya, Sera bisa paham apa yang penonton bahasa di layar obrolan. Sera meletakkan tangan di dadanya. Debar jantung yang dia rasakan dari balik kulit dan bajunya tidak normal. Seluruh badannya terasa memanas dan sumber panasnya adalah dua chef yang sedang memasak itu.
Kau bisa katakan, hal itu disebabkan oleh sebuah kompetisi. tetapi hal dasar yang mendorong mereka berdua hingga seperti itu adalah hasrat dan cinta mereka terhadap memasak. Fakta bahwa mereka bisa fokus dalam satu hal dan bisa mencurahkan perasaan dan jiwa mereka terhadap memasak tampak keren dan membuat Sera iri.
“Emily, bisakah seseorang bisa sangat fokus pada satu hal?”
“Kau sedang melihat sendiri buktinya.”
“Meski aku sedang melihatnya, aku tidak bisa mempercayainya. Bahkan aku…aku berharap seseorang bisa melihat aku dengan cara yang sama.”
Emily melihat Jo Minjoon dan Anderson tanpa berkata apa-apa. Mereka sudah mengosongkan 2 penanak nasi. Para pelanggan di aula sudah pergi karena restoran tutup untuk waktu istirahat. Samuel dan para chef di restoran, berdiri di antara para staf yang menonton kompetisi dengan penuh minat.
Pada saat itu, Anderson dan Jo Minjoon saling berpandangan hampir bersaman, mereka berdua menyajikan hidangan bersamaan.
“Ini sudah siap.”
Apa sushi itu sudah tidak punya kesalahan? Mereka meletakkan masing-masing satu sushi salmon dan sushi tuna di atas piring sebelum menyajikannya.
Sebenarnya, cita rasanya jelas kurang dibanding sushi dari kedai spesial sushi. Namun, tidak seberapa. Untuk memulainya, kualitas ikan harus bagus, dan nasi dicampur dengan cuka, yang sudah dipersiapkan oleh restoran. Memikirkan bahwa Anderson dan Jo Minjoon tidak punya banyak pengalaman dengan sushi, fakta bahwa mereka mempersiapkan sushi hingga selevel ini, itu sudah prestasi yang bagus sekali. Jo Minjoon berkata dengan ekspresi bersalah.
“Maaf. Aku tahu, penting untuk menyajikan makanan yang lezat, tetapi penting juga untuk memastikan pelanggan tidak perlu menunggu.”
“Jangan khawatir tentang itu. Ini bukan kompetisi semacam itu.”
[Ah, sudah selesai.. Itu sangat berlebihan. Tentu aku yakin semua chef hidup seperti itu, tetapi untuk mencari kesempurnaan saat membuat sesuatu seperti sushi…]
[Ini lucu jika dipikir-pikir. Sushi pada dasarnya adalah sandwich ala Jepang, seperti kau menyusun ulang sandwichmu sesuai sudut bahan-bahannya. Tentunya sedikit berbeda.]
[Jadi, siapa pemenangnya? Aku sudah menunggu selama berjam-jam untuk tahu siapa pemenangnya.]
Anderson dan Jo Minjoon sama-sama berusaha sangat keras, tetapi pemenang harus ditentukan. Mereka berempat saling berbagi pemikiran mereka. Ada satu perbedaan antara sushi Anderson dan sushi Jo Minjoon. Ketebalan ikan dan jumlah wasabi dari kedua sushi sangat mirip. Perbedaannya adalah Jo Minjoon membuat lekukan di bagian tengah kepalan nasi, membentuk cekungan udara, sedangkan Anderson tidak melakukanya.
Diskusi tidak berlangsung lama. Rachel segera berkata,
“Sebelum mengumumkan pemenang, aku akan mulai dengan mengatakan bahwa kalian telah melakukan pekerjaan yang hebat. Aku yakin semua orang yang menonton siaran hari ini akan merasakannya. Mereka semua melihat betapa seriusnya kalian dalam memasak.”
Jo Minjoon dan Anderson tidak merespons dan hanya menatap bibir Rachel dengan mata berat.
“Sebenarnya, sushi kalian berdua sangat mirip. Namun, hasilnya sudah kami sepakati. Anderson!” lanjut Rachel.
“Iya?”
“Selamat. Kau menang.”
Senyum ceria terbentuk di bibir Anderson. Itu adalah ekspresi gembira yang tulus seperti anak kecil, bukan seperti Anderson yang biasanya. Jo Minjoon tersenyum masam, dia menundukkan kepala. Dia pikir dia mungkin menang kali ini, tetapi dia berakhir kalah lagi. Kalah ya kalah, tetapi dia merasa perlu tahu alasannya.
“Dalam aspek apa, kekurangan sushi buatanku?”tanya Jo Minjoon.
“Kau membuat lekukan kecil di tengah kepalan nasi.”
“Iya. Apa itu menjadi masalahnya?”
“Itu mungkin terasa enak jika kau menyantapnya segera. Namun…”
Rachel mengangkat tangannya. Jarinya menunjukan pada talenan lalu perlahan berpindah ke piringnya.
“Rasanya berubah ketika sampai di sini. Sushi adalah sejenis makanan. Jika di sini adalah meja dengan gaya bar dan kita menyantapnya segera setelah kau membuatnya, itu akan sedikit berbeda. Namun, untuk membuat cukup sushi untuk 4 orang, Namun, untuk membuat sushi yang cukup untuk empat orang, menyajikannya, dan sekian waktu yang kami perlukan untuk mulai memakannya. Selama selang waktu itu, irisan ikan perlahan-lahan akan menggelendong mengikuti lekukan, yang kemudian membebani kepalan nasi.
Rachel menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk membuat lingkaran dan menekannya bersamaan sebelum perlahan melepaskannya. Jo Minjoon akhirnya bisa mengerti. Kepalan nasinya terbelah menjadi dua dengan mudah. Dengan hanya itu, cukup membuat perbedaan dalam pengalaman mencicipi.
“Seorang chef tidak bisa hanya belajar memasak di atas talenan. Pertandingan sebenarnya terjadi di meja, di atas piring pelanggan, dan di dalam mulutnya. Tetapi, menurutku, ini pengalaman yang bagus bagi kalian berdua.”
“…Iya, terima kasih.”
Jo Minjoon menjawab dengan nada kecewa. Dia berpikir dia bisa menang. Dia berusaha mengubahnya dan berakhir tertelan oleh perubahan itu. Jo Minjoon melihat Anderson. Anderson bersandar di kursi dan menyilangkan kakinya. Dia melihat Jo Minjoon.
“Hei.”
“Apa?”
Anderson mengangkat cangkir kosong, tertawa, lalu menurunkannya.
“Air.”
< Pertandingan yang ditakdirkan (2) > Selesai