Dewa Memasak – Bagian 157: Alasan mereka lapar (1)
Siaran langsung berakhir. Pesan terakhir di layar obrolan adalah [Aku lapar]. Sesi makan dan kompetisi telah berakhir. Ketika semua staf dan produser hendak meninggalkan ruangan, Samuel menghampiri Rachel dengan ekspresi serius.
“Rachel, Jika tidak masalah…boleh saya membicarakan sesuatu dengan Anda?” tanya Samuel.
“Aku tidak masalah tapi…”
Rachel menoleh pada Martin. Martin mengangguk setuju, seolah tidak masalah. Samuel mulai berbicara dengan ekspresi lebih ceria.
“Saya tidak akan lama. Silakan lewat sini. Saya akan mengantar Anda.”
Samuel mengantar Rachel ke ruang sebelah yang kosong. Rachel berjalan dengan santai lalu duduk di kursi. Samuel duduk di sebelahnya lalu diam. Apa sangat sulit mengatakannya? Kedua tangan Samuel yang tertangkup gemetar dan lidahnya membasahi bibirnya. Akhirnya, Rachel yang berbicara lebih dulu.
“Jika kau hanya diam saja, ini akan lama, tidak seperti yang kau katakan tadi, bukan?”
“Maaf. Saya tidak yakin cara memulainya…”
“Aku akan membantumu. Pertama, kau ingin membicarakan soal apa? Apa kau ingin bertanya, meminta sesuatu, atau jika bukan itu, apa ada sesuatu yang menurutmu aku perlu tahu?”
“…Jika saya sungguh harus menggolongkannya, saya ingin bertanya sekaligus meminta sesuatu. Restoran saya…bagaimana menurut Anda?”
“Kau tampak sangat serius sekali jadi aku penasaran soal apa itu, tetapi kau sudah menanyakan itu selama siaran, bukan?”
“Saya penasaran apa jawaban Anda jika tidak ada kamera di sekeliling Anda.”
Tatapan Samuel serius. Rachel menatap Samuel seperti tidak mengerti.
“Samuel, kau adalah chef kepala di restoran bintang tiga. Kenapa seorang chef yang berada di puncak karir yang diidam-idamkan para chef lain, sangat peduli pada sesuatu seperti responku?”
“…Tidak semua chef kepala dari restoran bintang tiga sama. Jika Anda adalah chef dengan level rata-rata, saya tidak akan menanyakan hal ini pada Anda. Saya tidak akan menunjukkan sisi lemah saya. Namun, Anda adalah Rachel Rose, bersama dengan Daniel Rose, Anda berdua adalah legenda dan idola bagi chef masakan barat. Meski saya hanya punya separuh tempat duduk sebagai chef masakan barat.”
Tatapan Rachel gemetar saat Daniel disebut-sebut. Rachel menghela napas.
“Akan lebih baik jika aku tidak pernah mendengar apa yang baru saja kau katakan. Semua itu berarti apa yang aku katakan nanti bisa berdampak besar bagimu. Ini pertama kalinya aku mengunjungi restoranmu dan aku pun tidak mencoba semua makanan yang kau sajikan di sini.”
“Saya tahu. Saya cukup mampu untuk memilah saran mana yang harus dilakukan dan mana yang sebaiknya diabaikan. Jadi Anda tidak perlu cemas.”
Rachel masih tampak keberatan menjawab, namun, dia tidak bisa mengabaikan kesungguhan Samuel. Akhirnya, dia berkata.
“Apa yang Jeremy katakan di awal, itu yang harus kau perhatikan. Soal melayani turis lokal atau turis manca negara. Aku yakin kau sedikit cemas dengan keputusan itu.”
“Iya, memang itulah masalahnya. Saya pikir jika mengharmonisasikan keduanya, saya bisa menggaet kedua pangsa pasar itu, tetapi ternyata tidak. Harmonisasi keduanya justru tidak berakhir membawa semua hal positif, tetapi justru berakhir menyedihkan dan sama-sama buntu. Saya gembira menerima bintang tiga, tetapi saya tidak punya idealisme terhadap pendapat para epicurean yang berkunjung.”
“Memangnya bagaimana pendapat mereka?”
“Katanya ambigu. Hidangannya merupakan sesuatu yang menakjubkan, tetapi hidangan itu bukanlah hidangan Jepang ataupun hidangan barat, dan menunjukkan sesuatu yang tidak kompeten. Mereka bahkan berkata seperti itu.”
Rachel menghela napas. Nada bicara Samuel menjadi lebih emosional. Suara menyiratkan kemarahan yang tidak perlu ditujukan pada siapapun.
“Bahkan ada orang yang berkata bahwa chef kepala tidak punya pemikiran atau usaha apapun. Padahal saya jelas telah mencurahkan semua yang saya miliki! Saya bahkan kurang tidur setiap hari untuk merenungkan bagaimana membuat hidangan yang lebih baik. Setiap kali saya mendengar sesuatu seperti itu, saya ingin membuang saja semuanya dan hanya ingin bersantai, tetapi …hanya dengan melihat seyum kecil di wajah pelanggan…membuat saya menyadari bahwa saya sungguh tidak bisa meninggalkan dapur.”
“Semua chef di dunia ini seperti itu. Kita semua merasa paling hidup saat berada di dapur. Samuel, aku paham perasaanmu. Itu pasti menyakitkan. Namun, khususnya pada saat-saat seperti itu, teguhkan pilar yang kau bangun di kepalamu.”
“Guru saya adalah pilar saya sebelum dia meninggal. Itulah kenapa sekarang, saya ingin menggunakan pendapat Anda sebagai penyokong untuk menahan pilar yang saya bangun dengan batuan guru saya.”
Mendengar nada bicara Samuel yang serius, Rachel tidak bisa sekedar menjawab. Jika chef kepala sebuah restoran bintang tiga bertanya padanya seperti ini, itu berarti pikirannya sungguh sedang terguncang. Tidak mudah mengatakan sesuatu yang sangat penting untuk meneguhkan kembali pikirannya yang terguncang.
“Aku…..”
Itulah kenapa, yang diutarakan Rachel bukan kata-kata, melainkan buah pemikirannya.
“Hanya karena aku seorang legenda bukan berarti aku tidak pernah terguncang. Kau bilang bahwa pilarmu mulai goyah setelah kehilangan gurumu. Aku pun demikian. Suamiku adalah pilarku.”
“…Apa yang terjadi pada suamimu adalah tragedi yang buruk sekali.”
“Iya, itu tragedi. Aku pikir aku bisa mengatasi tragedi itu. Dan sebenarnya, aku belum mengatasinya. Itulah kenapa, aku remuk seperti wanita tua selama sepuluh tahun terakhir ini.”
“Namun, Anda sudah melewatinya.”
“Sudah melewatinya…”
Rachel perlahan mulai memikirkan ucapan Samuel. Apa dia sungguh sudah berhasil melewatinya? Tidak. Dia belum berhasil. Lagipula, dia belum mendapat apapun. Melewati adalah kata yang hanya bisa diucapkan setelah mendapatkan lagi kejayaannya di masa lalu.
Namun, dia tidak mengutarakan sisi ketidak percayaan dirinya itu. Dia tidak ingin menunjukkan seberapa jauh dia terjatuh, dan yang paling penting, dia tidak merasa hal itu akan membantu Samuel. Rachel perlahan memegang pundak Samuel, tepat di atas luka dari seorang anak laki-laki yang bertambah tua tahun demi tahun.
“Tidak ada lautan tanpa badai. Namun, tanpai badai, kapal tidak bisa berlayar. Kadang-kadang, sama seperti aku, kau bisa mencari tempat berlindung di pulau terdekat untuk beristirahat ataupun memutuskan untuk tak pernah kembali…tetapi jika kita tidak lupa akan tujuan kita, kita harus kembali ke laut dan mengembangkan layar lagi.”
“Apa yang harus saya lakukan…apa yang perlu dilakukan untuk memastikan kapal tidak karam?”
“Alasan sebuah kapal karam itu sederhana, entah karena bencana alam atau menabrak karang. Namun, keduanya dapat dihindari jika kau menetapkan jalur yang benar. Dan berdasarkan pulau mana tujuanmu, jalur itu tentu akan berubah juga.”
“…Anda membicarakan apa yang Anda sebutkan sebelumnya. Rachel, Anda mengatur misi Anda pada penampilan luar Anda.”
“Iya. Lebih tepatnya, aku menentukan misi untuk membuat makanan yang bisa membuatmu bahagia bahkan sebelum memakannya.”
“Itu sulit bagi saya. Saya berusaha mencari titik temu dari masakan-masakan dunia yang berbeda dengan masakan Jepang untuk menunjukkan penggabungan keduanya, tetapi kegelisahan yang berfokus pada penggabungan itu mungkin bukan pilihan yang benar. Keraguan itulah yang terus menyiksa saya.”
Saat Samuel mendapat tiga bintang, dia bahagia bahwa filosofinya dan masakannya telah diakui. Namun, kebahagiannya tidak berlangsung lama. Justru, tiga bintang itu membuat ekspektasi pelanggan meningkat secara signifikan dan usaha untuk memenuhi ekspektasi itu lebih sulit dari yang dia bayangkan.
“Kadang-kadang, saya iri pada para master Jepang yang sudah tua yang berfokus hanya pada satu jenis masakan dan sampai pada fase yang stabil…tidak, justru tidak hanya di Jepang, tapi chef-chef hebat di seluruh dunia. Saya yakin mereka semua punya kekhawatiran mereka sendiri, tetapi saya tidak yakin mereka ragu dengan filosofi masakan mereka.”
“Itu keraguan yang tidak berguna.”
Rachel dengan kukuh menyatakan hal itu seperti tidak ada alasan untuk memikirkan hal itu, seolah dia menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Samuel melihat Rachel dengan dengan ekspresi sedikit terkejut. Rachel merespon dengan penuh keyakinan.
“Jalur yang telah kau pilih jelas masih baru. Sebagai perintis, aku yakin jalur itu akan sulit. Aku akan fokus pada satu aspek tentang apa yang baru saja kau katakan. Hanya karena kau fokus pada satu jenis masakan dari sejak lama, itu tidak menjadikanmu seorang master. Seorang master adalah orang yang mampu mengekspresikan cita rasa yang mereka ingin perlihatkan di atas piring dengan sempurna. Apapun jalur yang kau lalui, saat kau sampai di ujung, aku yakin kau akan menjadi seperti itu.”
Samuel tidak bisa berkata apa-apa. Satu hal yang keluar dari mulutnya adalah sebuah seruan kekaguman yang hampir terdengar seperti sebuah erangan.
“Nantinya akan hujan. Ombaknya akan besar. Kapalmu akan becek dan kemudimu bisa saja patah. Namun, hal-hal itu tidak bisa mengubah jalur yang harus kau ambil. Badai juga tidak bisa menelan pulau di akhir perjalananmu. Biarkanlah kapalmu terapung.”
Rachel tersenyum. Samuel tidak bisa merespon dan hanya bisa menatap wajah Rachel karena dia terbanjiri dengan petuah-petuah dari Rachel. Rachel hendak berkata lagi. Kali ini, dia berkata bukan untuk Samuel, melainkan untuk dirinya sendiri.
“Aku akan membiarkan kapalku terapung.”
€
“Ini…sudah selesai.”
Di malam hari. Sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk, Jo Minjoon komat-kamit dengan nada sedih. Anderson mengintip Jo Minjoon lalu berkata.
“Kenapa? Apa kau kecewa?”
“Kenapa aku harus kecewa? Ketika kita secara resmi mulai bekerja sebagai chef, kita tidak akan punya waktu bepergian kemana-mana. Dengan mengatakan ini mungkin pengalaman bepergian yang terakhir, itu tidak salah.”
“Kau tak akan tahu. Jika kau menjadi chef bintang, kau akan sering dipanggil untuk program semacam ini.”
“Aku harus melindungi dapur. Sering-sering.”
“Alan dan Joseph tidak masalah melakukan siaran. Menjalani siaran seperti ini justru membantu pemasaran restoran. Tentunya, jika kau ingin menghasilkan uang yang banyak, lebih baik menjalankan kedai hamburger dari pada restoran mewah.”
Jo Minjoon tersenyum masam pada komentar Anderson. Apa yang dia katakan tidak sepenuhya salah. Realitanya, ada banyak restoran mewah yang berakhir bangkrut karena beban biaya bahan-bahan. Restoran yang tidak bangkrut hanyalah restoran terbaik yang selalu penuh dengan reservasi pelanggan.
“Adakah tempat yang ingin kau kunjungi, tetapi belum kesampaian?” tanya Jo Minjoon.
“Korea.” jawab Anderson singkat.
“Korea? Kau tidak pernah bilang kau suka makanan Korea. Apa yang ingin kau santap?” tanya Jo Minjoon balik dengan terkejut.
“Alih-alih ingin menyantap sesuatu…aku penasaran dengan negara tempat kau tumbuh. (TL: romansa tercium sangat kuat kali ini.)
Sebenarnya, makanan Jepang dan Vietnam ada di mana-mana di Amerika. Restoran Korea mulai beken akhir-akhir ini, tetapi tetap saja, belum sebanyak itu. Oleh karena itu, aku ingin mencoba makanan Korea yang asli setidaknya sekali.”
“…Aku mulai berpikir hal ini setelah mendengar perkataanmu, dan meskipun Korea negara asalku, menurutku, aku tidak begitu tahu makanan Korea.”
Hidup hanya di Seoul seumur hidupnya, satu-satunya momen Jo Minjoon mencoba masakan lokal suatu provinsi adalah ketika dia mengikuti kunjungan lapangan sebagai siswa sekolah.
‘Hal ini mungkin bisa jadi masalah.’
Tidak peduli apa yang kau katakan, dasar masakan Jo Minjoon adalah di Korea. Tanpa pemahaman makanan dari negara tempat dia lahir dan tumbuh besar, hal itu seperti berusaha belajar bahasa Inggris tanpa tahu bagaimana berbahasa Korea dengan benar. Kondisinya tentu sedikit berbeda.
“Apa kau paham sekali dengan makanan Amerika?”
“Ambilkan aku minum dulu. Tidak. Tolong, teh saja. Teh hitam. Pastikan tehnya hangat.”
“…Dia sungguh sering menyuruh-nyuruh aku.”
Meski Jo Minjoon manyun, dia tetap beranjak mengambilkan teh hitam. Melihat air mendidih dengan cepat, satu pertanyaan muncul di kepalanya.
‘…Eh berapa lama penalti ini berlangsung?’
Kembali dengan membawakan teh hitam dengan ketakutan di kepalanya, Anderson mengangkat cangkir teh dengan arogan. Jo Minjoon berkata sembari menuangkan teh ke cangkir Anderson.
“…Kapan penalti ini berakhir?”
“Tidak ada yang mengatakan sampai kapan. Itu berarti selamanya.”
“…Aku tidak mau.”
“Terserah.”
Anderson setuju dengan begitu mudah. Jo Minjoon melihat Anderson dengan tatapan tidak percaya. Anderson menjawab dengan sikap santai.
“Ada banyak orang di dunia ini yang dengan mudah membuang apa yang mereka katakan. Ini sedikit mengecewakan ternyata kau tipe orang yang seperti itu.”
“…Baiklah. Aku akan melakukannya. Ayo kita jalani. Namun, kau harus menentukan berapa lama. Yang mausiawi.”
“Jujurlah. Kau tahu tidak ada durasi waktu. Kau tidak mengatakan apapun karena kau pikir kau akan menang, kan?”
Itu spekulasi yang tak terduga dan tak terlaksana. Namun, hal itu terdengar masuk akal, bahkan bagi Jo Minjoon, yang menerima hukuman, hampir yakin. Ketika Jo Minjoon hendak membantah perkataan Anderson dengan cepat, dering telepon berbunyi. Suara itu berasal dari ponsel Jo Minjoon.
“Kita akan berbicara setelah aku mengangkat telepon ini.”
“Siapa itu?”
Meskipun Anderson bertanya, ekspresi Jo minjoon mengatakan dengan jelas siapa yang menelpon. Meski ingin mengatakan bahwa Anderson salah, dia pun tidak bisa. Itu sesuai dugaan Anderson. Jo Minjoon berdehem memperbaiki suaranya lalu mendekatkan ponselnya ke telinganya.
“Kaya?”
[Apa kau senggang?]
“Iya. Kita sedang beristirahat. Kalau di sana?”
[Di sini masih pagi. Aku di Seattle.]
“Apa jadwalmu berdasarkan waktu Amerika dari sini?”
[Khususnya, California. Aku akan berada di LA sebentar lagi. Menjadi chef kepala di Restaurant Grand Chef yang baru…yaa, menjadi maskot, tapi berpura-pura seperti chef kepala.]
Jo Minjoon diam-diam menggali ingatannya. Setelah memenangkan Grand Chef, pemenang akan menjadi chef kepala di restoran Grand Chef selama setahun. Itulah salah satu aturan Grand Chef. Jadi, tidak ada yang baru. Di LA, tetapi di daerah mana?
“Kupikir restoran Rachel juga di LA. tepatnya di Venice, di Santa Monica.”
[Restoran yang aku datangi lebih besar dari itu.]
“Alih-alih betapa besar dan mewah restoran itu, apa jaraknya dekat?? Tidak, seharusnya tidak masalah. Jika restoran itu di LA, kecuali berada di titik terjauh, seharusnya dekat. Mungkin kita bisa saling bertemu sering-sering.”
[Entahlah……Aku harap bisa, tapi orang-orang ini memperlakukanku kejam sekali.]
Suaranya terdengah penuh kekonyolan. Melihat senyum di wajah Jo Minjoon, Anderson berkata dengan ekspresi tidak nyaman.
“Apa kau berencana membuatku kehilangan selera?”
“Lagipula kau tidak berencana makan.”
[Hmm? Aku mau sarapan ini]
“Tidak, aku bicara dengan Anderson. Dia bilang dia kehilangan selera.”
[Hmmm, si babi itu perlu sedikit kelaparan. Mungkin setelah itu, dia baru akan sadar.]
Jo Minjoon diam-diam melihat badan Anderson. Bagaimanapun dia melihat, terlalu berlebihan dengan menyebut Anderson babi. Mungkin babi atletis.
“Apa yang dikatakan Kaya?”tanya Anderson.
“Kau harus menguruskan badan?”
“…Aku mengutusmu sebagai majikanmu. Saat ini, katakan pada Kaya bahwa menurutmu dialah yang gendut dan dia harus berdiet.”
“Apa?”
“Lalu segera tutup telepon. Jika kau melakukannya, aku akan mengakhiri penalti sampai di sini, saat ini juga.”
Dia tidak ingin setuju, tapi tawaran Anderson sangat menggoda. Mata Jo Minjoon gemetar ragu-ragu..dan dengan cepat, keraguannya menggerakkan bibir Jo Minjoon.
“Kaya, dengarlah tapi jangan marah. Emm…kau tidak bolah marah, oke?”
[Apa?]
“Sejujurnya, mungkin kaulah yang harus berdiet.”
[Kurang ajar!!…]
Dengan cepat Jo Minjoon menutup telepon sebelum Kaya mengakhiri kalimatnya. Mungkin, di sana, segala umpatan mengalir keluar dari mulut Kaya. Anderson berbaring di tempat tidur dengan wajah puas dan komat-kamit dengan sukacita.
“Inilah kekuasaan.”
< Alasan mereka lapar (1)> Selesai