Dewa Memasak – Bagian 159: Alasan mereka lapar (3)
Tentun tidak mungkin Anderson paham kenapa Jo Minjoon mengucapkan selamat. Melihat wajah bingung Anderson di depannya, Jo Minjoon sebenarnya terkejut. Dia sungguh tulus mengucapkan selamat pada Anderson. Meskipun ada perasaan iri, tetapi tidak sampai dia merasa sirik.
Kenapa ini? Mungkin hal ini bukan karena pertemanannya dengan Anderson yangsemakin erat, meski saat Kaya meraih level 8, Jo Minjoon pun merasa cemburu.
‘aku penasaran kapan aku naik level.’
Bukan berarti ketegangan mulai kendur. Suka cita masih terasa. Namun, tidak seperti sebelumnya, perasaan putus asa tidak pernah datang padanya.
Mungkin ini ada hubungannya dengan fakta bahwa dia tidak sangat fokus lagi pada skor hidangan. Alih-alih terdorong ke sana kemari oleh skor, sekarang dia menganggapnya sebagai panduan. Dampak dari perubahan itu tidaklah kecil.
Di pagi hari. Ketika staf menonton, keenam anggota duduk bersama mengelilingi meja. Mungkin karena itu adalah sesi makan terakhir mereka di Jepang dan dalam perjalanan. Tidak ada yang dengan mudah mengangkat alat makan. Mereka semua merasakan sensasi kehilangan. Emily mengatakan sesuatu dengan nada yang bicara yang rumit.
“Ketika aku bekerja, seringkali aku harus makan sendiri. Sudah lama sejak aku makan seperti ini dengan orang lain. Semuanya…terima kasih.”
“Makanan selalu lebih baik saat kau menyantapnya bersama orang lain. Apalagi makanan timur.”
Jo Minjoon tersenyum samar ketika dia berbicara. Mereka mulai makan. Sera mengekspresikan kekagumannya setiap kali makanan masuk ke mulutnya melalui sumpit. Dia berkata dengan pelan.
“Ini menakjubkan. Meskipun ini masakan gaya rumahan, hidangan ini masih terasa sangat elegan.”
“Pada beberapa poin, persepsi masakan rumahan berubah dianggap murah dan kurang enak, tetapi bukan ternyata tidak. Sebagai contoh, aku masih belum bisa melupakan cita rasa galbi-jjim yang aku makan di rumah kakek-nenekku pada saat tahun baru ketika aku masih kecil.”
Ketika Jo Minjoon memikirkannya, galbi-jjim adalah salah satu makanan gaya rumahan yang paling sedap yang pernah dia makan, dan galbi-jjim adalah makanan Korea. Ketika Jo Minjoon mengenang kelezatan di depalanya, Anderson menatapnya dengan tidak biasa. Jo Minjoon tidak seperti ini waktu itu. Mungkin ini karena masakan ibunya buruk, tetapi Jo Minjoon tidak punya ketertarikan atau kepercayaan pada masakan rumahan. Dia selalu menunjukkan fokus dan respek terhadap hidangan mewah.
‘Dia berubah. Sedikit.’
Akan bagus bila dikatakan bahwa dia berkembang, seolah dia telah melangkah keluar pagar yang membelenggunya.
Apa ini sentimental karena saat ini adalah sarapan terakhir mereka? Mereka lebih banyak berbicara dari pada biasanya, membicarakan banyak hal dan larut di dalamnya, membicarakan tentang kelezatan yang pernah mereka rasakan sepanjang hidup, bahkan membicarakan tentang kehidupan mereka. Mereka bahkan saling memuji satu sama lain juga.
Tentunya, di balik suasana yang hangat, ini juga sedikit memalukan. Akan tetapi, suasana hati justru menjadi bagus. Bahkan saat dia sedang makan, Jo Minjoon tiba-tiba memikirkan itu ‘Seandainya bisa membangun restoran yang pelanggannya bisa menikmati sesi makan seperti ini.’
Namun, restoran semacam itu tidak mungkin ada kecuali yang disebut ‘rumah’. Kau tidak akan bisa membaca hingga ke dalam hati setiap pelanggan. Hal ini menjadi semakin sulit semakin besarnya restoran.
“Jadi, Martin, apa kau berencana membuat Season 2?”
“Itu bergantung dari jumlah penonton. Jika melampaaui sejuta, maka kesempatannya tinggi.”
“Huuuu, aku tidak yakin apa itu mungkin.”
“Karena kita mewarisi slot jadwal siaran Grand Chef, kita mendapat hasil yang lebih baik dari yang kita ibayangkan.”
Mungkin penonton merasa ini adalah hasil Grand Chef. Jo Minjoon dan Anderson, dua dari chef paling populer di Grand Chef muncul di program ini.”
“Jadi, jika ada Season 2, apa kau punya hasrat untuk berpartisipasi lagi?”
Emily, Sera, dan Jeremy mengangguk. Sebagai epicurean, mereka tidak punya alasan menolak program acara seperti ini. Namun, Jo Minjoon dan Anderson melihat Rachel, Rachel menggelengkan kepala.
“Bagiku itu sulit. Sekarang, aku harus pergi dan memulai kembali restoran, dan anak-anak ini akan membantuku.”
“Kau tahu…ini terasa seperti kau mencuri partisipanku. Aku merasa sedikit cemburu.”
Ekspresi sedih Martin yang menyerupai tatapan gadis remaja tampak sangat lucu. Rachel tersenyum lembut sebelum berkata.
“Jika kau datang ke restoran kami, aku akan mentraktirmu makanan lezat entah itu siaran atau bukan.”
“Itu tawaran yang sangat menarik. Bisakan aku datnag bahkan tanpa reservasi?”
“Jika tidak ada ruang, kami akan meletakkan meja di lorong aula khusus untukmu.”
“Itu… Entah itu pelayanan untuk VIP ataukah layanan untuk kucing jalanan.”
“Aku hanya bercanda.”
Rachel tersenyum lembut. Martin melihat Rachel tersenyum seperti itu lalu berbicara seolah dia terkejut.
“Apa kau tahu bahwa aura di sekitarmu berubah sedikit sejak kau pertama kali tampil di Grand Chef?”
“Bagaimana memangnya aku saat pertama kali datang?”
“Hmmm…Maaf yaa, tetapi kau tampak sangat lelah. Bahumu tampak terasa berat dan senyumanmu kosong. Tetapi sekarang…Kau bersinar, tatapan matamu, dan juga senyummu.”
Jeremy menggigil dan meregangkan tangannya seolah-olah itu terdengar terlalu murahan untuknya. Rachel membelalak pada Jeremy sesaat sebelum menatap Martin lagi dan tersenyum.
“Waktu itu, banyak hal masih tertutup kabut. Tetapi sekarang, banyak hal sudah jelas. Aku bahkan punya dua murid yang tampan. Minjoon, dan …Duksam kita.”
“…Aah, Guru.”
Anderson, yang mulai tersenyum saat dia disebut murid yang tampan, seketika wajahnya memerah dan menatap Rachel dengan tatapan sedih. Jo Minjoon tertawa dan berkata,
“Apa kau ingat? Kau sudah bilang waktu itu. Bahwa kau akan terus menggunakan nama Duksam.”
“Aku mengatakan itu agar kau bisa paham betapa buruknya lelucon yang kau buat pada kehidupan orang!”
“Iya, aku sangat memahaminya sekarang. Ini menghiburku. Kurasa aku bahkan merasa agak menyesal dalam hati nuraniku?” Jawab Jo Minjoon sambil tertawa.
Anderson tidak merespon. Anderson mengangkat sumpitnya. Ujung sumpitnya ditancapkan ke daging sea bream layaknya dua tombak yang tajam.
€
[Pesawat akan segera lepas landas. Semua penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman.]
“…Aku merasa aneh setiap kali aku naik pesawat.”
“Aku juga” kata Sera, yang duduk di sebelahnya.
Mungkin dia punya sesuatu yang ingin didiskusikan dengan Jo Minjoon, sebelum ini, dia mendorong Anderson agar berpindah seolah dia ingin merebut tempat duduk di sebelah Jo Minjoon. Pesawat perlahan mulai lepas landas ke udara. Sensasi menggelitik dari organ-organ yang tertarik menyenangkan tetapi tidak familier.
“Ini pasti menyenangkan bagimu Sera. Hidup seorang epicurean harus selalu seperti ini, kan?”
“Kenapa? Apa kau iri?”
“Memang iya. Tentunya, bukan berarti aku ingin menjadi epicurean.”
“Aku dengar Emily berusaha membuatmu menjadi epicurean.”
“Iya betul. Aku menolaknya. Aku lebih menikmati memasak dari pada makan.”
Meskipun seluruh dunia berubah, hal itu satu-satunya yang tidak akan berubah. Pesawat perlahan mulai terbang dengan stabil di angkasa. Jo Minjoon melihat ke luar jendela, ke arah awan-awan bak permen kapas di angkasa. Sera melihat wajah Jo Minjoon sebelum perlahan berkata.
“Terima kasih.”
“…Apa aku melakukan sesuatu yang layak mendapat terima kasih darimu, Sera?”
“Iya. Kau memberiku stimulasi.”
Jo Minjoon diam menatap wajah Sera. ‘Epicurean terseksi di dunia’, judul yang ada pada sebuah majalah peringkat tiga. Namun, apa yang Jo Minjoon lihat bukan garis bibir Sera yang sexy, tetapi ketetapan hati yang terpancar di matanya. Itu ekspresi yang hanya ditunjukkan oleh orang yang telah membuat sebuah keputusan penting. Hal itu jelas terlihat di wajahnya.”
“Hubunganmu dengan Anderson. Minat terhadap memasak. Bakat alami dan semangat yang tak tergoyahkan. Semua itu membuatku syok dan membuatku melihat ke masa saat aku pertama kali masuk ke dunia ini.”
“…Sera, bagaimana kau berakhir menjadi epicurean?”
Normalnya, kau akan berekspektasi seseorang akan menjawab ‘karena kau suka makanan.’ Namun, jawaban Sera jelas tidak biasa.
“Itu karena Emily.”
“…Apa?”
“Aku mengagumi Emily sejak aku masih sangat muda. Dia seperti seorang kakak yang sangat aku sukai. Yaa, lebih tepatnya, seorang kakak yang aku kagumi dan aku hormati. Emily keren. Sejak aku masih remaja, aku ingin seperti dia…dan ketika Emily menjadi epicurean, aku memutuskan bahwa aku juga harus menjadi epicurean.”
Itu jawaban yang tak terduga hingga membuat Jo Minjoon terdiam. Entah Sera berpikir pendek, kenak-kanakan, atau mungkin hanya polos, Jo Minjoon tidak bisa menyebutkan. Sera tertawa seolah pikiran Jo Minjoon terlihat di wajahnya.
“Aku tahu. Itu keputusan tanpa berpikir. Itulah kenapa aku masih punya sisi kekanak-kanakan.”
“…Pencetusnya jelas unik. Namun, Sera, menurutku, itu bukan sisi kekanak-kanakan. Itu sisi yang dimiliki setiap orang. Tidak peduli seberapa yakin kau dengan jalurmu, motivasimu tidaklah cukup untukmu menjadi percaya diri bahwa jalur yang kau pilih sudah benar. Plus, Sera, terlepas dari motivasimu…kau pun bekerja keras.”
“Bagaimana kau tahu? Bagi epicurean, alih-alih merasakan cita rasa sebuah hidangan, itu lebih pada seberapa baik kau mengekspresikan perasaanmu. Itu juga berfokus pada penampilanmu atau kepribadian untuk melihat apakah kau layak jadi bintang. Ada banyak orang yang mengklaim bahwa aku sengaja membangun pencitraan sebagai epicurean. Minjoon, apa kau tidak terpikir tentang itu?”
“Tidak pernah.”
Jo Minjoon tidak mengatakan itu hanya untuk menghargai Sera. Jika iya, akan sulit untuk menatap mata Sera secara langsung saat Jo minjoon menjawabnya. Oleh karena itu, Sera pun mau tak mau jadi penasaran. Dia tidak bisa memehami kenyataan tentang kemampuan yang dimiliki Jo Minjoon. (TL: Dia punya sebuat alat ajaib yang membuat dia tahu bahwa kau telah bekerja keras, Sera!)
Namun, Sera tidak bertanya alasannya. Apapun alasannya, senang rasanya bila dipercayai seseorang. Sera tersenyum ceria dan berkata.
“Senang mendengar ucapanmu. Selain itu, kau tidak perlu berekspresi khawatir seperti itu. Aku tidak akan goyah lagi. Justru, aku serakah. Sama seperti kau dan Anderson yang saling menerima, dan orang lain yang menganggap kalian berdua sebagai rival, suatu hari, aku juga seperti itu.”
Sera menoleh. Di ujung tatapannya ada Emily, yang sedang mengobrol dengan Anderson. Jo Minjoon tersenyum dan berkata.
“Jika kau merasa tidak ingin kalah, berarti kalian sudah menjadi rival.”
€
LAX. Bandara Los Angeles.
Jo Minjoon perlahan melangkah maju.
‘Sekali lagi…Amerika Serikat.’
Dadanya berdesir. Di negara yang asing ini, memikirkan tentang bagimana dia akan memasak untuk orang asing, hanya memikirkan tentang masa depan, telah membuatnya merasa suram sekaligus suka cita. Dia merasa buah dari usaha kerasnya sudah dalam genggamannya.
“Kukira ini saatnya berpisah.”
“Hmm. Aku yakin kita akan bertemu kembali suatu hari nanti.”
Jeremy menjawab dengan suara yang sangat santai tapi agak kecewa. Tentu mereka tidak punya banyak alasan untuk bertemu lagi. Mereka semua adalah orang yang sibuk. Kecuali mereka berpartisipasi bersama dalam sebuah program seperti ini. Bahkan untuk secara kebetulan saling bertemu, AS…tidak, dunia ini terlalu luas.
“Semuanya, terima kasih atas segalanya. Nanti saat kita bertemu lagi, aku akan membuatkan hidangan yang lebih enak.”
“Aku akan menantikannya. Aku juga terima kasih. Ketika Minjoon membuka restoran di masa depan, aku pasti akan berkunjung.”
“Mungkin kau akan berakhir mengadakan resepsi di restoranku, Emily.”
“Oh, kumohon, berhentilah menggodaku seperti itu.”
Wajah Emily merona. Di tengah canda tawa mereka, Martin perlahan mendatangi mereka. Dia tersenyum.
“Semuanya, terima kasih telah berpartisipasi tanpa ada masalah apapun. Yaa, bukan berarti kita tidak punya masalah SAMASEKALI…”
Tatapan Martin tertuju pada Jo Minjoon. Jo Minjoon memalingkan muka dengan ekspresi bersalah di wajahnya. Martin tertawa sambil berkata.
“Anderson, Minjoon, aku sudah menghabiskan setengah tahun bersama kalian berdua. Aku harap hubungan di antara kita bisa tetap indah di masa depan.”
“Tidak ada alasan akan menjadi buruk.”
Jo Minjoon tiba-tiba merasa sensasi aneh. Martin adalah PD suatu program TV, namun, itu terasa seperti Martin adalah kunci keberuntungannya untuk mendapat sebuah kesempatan besar. Mungkin itu karena dia bertanggung jawab terhadap Grand Chef, sebuah program yang mengubah hidupnya. Jo Minjoon mengulurkan tangannya.
“Terima kasih atas semuanya, Martin.”
Minjoon menatap tangan Jo Minjoon sebelum perlahan menjabatnya dan tersenyum sangat lebar hingga mengerutkan wajahnya.
Percakapan berlangsung sedikit lebih lama, tetapi seperti semua hal, tidak ada yang bisa berlanjut selamanya. Siaran berakhir dan perjalanan selesai. Akan indah jika jalur di depan mereka cukup lebar untuk mereka berjalan bersam-sama, namun, jalur seseorang penuh dengan persimpangan.
Rachel berkata,
“Ayo pergi.”
Baik Anderson maupun Jo Minjoon tidak ada yang bertanya balik ke mana mereka akan pergi. Untuk sekarang, mereka hanya mengikuti ke mana langkah Rachel. Jalur Rachel. Mereka berlayar bersama Rachel sebagai awak kapal Rachel.
< Alasan mereka lapar (2)> Selesai