Dewa Memasak – Bagian 160: Anggota yang diinginkan (1)
Venice. Ketika mendengar kata itu, banyak orang mungkin berpikir tentang ‘The Merchant of Venice’ karangan Shakespeare. Tentu saja, mereka akan memikirkan hal itu karena lokasinya di Italia.
Venice memang berada di Italia. Namun, venice tempat Jo Minjoon berada saat ini bukanlah di Italia, melainkan di California, yang berlokasi di sebelah barat LA, di daerah Santa Monica. Di pantai. Meskipun mungkin berharap ada barisan gedung-gedung dan hotel-hotel mewah, pada kenyataannya, lingkungan tersebut terutama terdiri dari vila-vila tua dan apartemen kecil.
Akan tetapi keadaan itu memberi kesan aneh tetapi indah secara alami pada lingkungan itu. Orang-orang yang mengenakan pakaian renang dan yang berpakaian kasual bercampur baur, dan banyak orang berada di jembatan/dermaga tanpa tujuan, hanya menikmati memancing atau berjalan-jalan hingga ujung dermaga. Sulit membedakan antara turis dan penduduk lokal. Hal ini memberikan kesan pantai yang misterius. Entah itu sebuah ilusi ataukah kenyataan.
Restoran pusat Rose Island berlokasi di pantai Venice. Restoran itu tidak begitu besar. Bangunannya hampir setinggi bangunan dua lantai, tetapi restoran itu hanya satu lantai. Bangunan menarik keluar kesan Yunani kuno, dengan dindingnya yang dicat warna putih dan atap biru yang berbentuk kubah. Pilar bangunanya menyerupai kuil Olympus, dan di banguanan itu bahkan ada balkon terbuka dengan jendela yang didekorasi dengan kayu.
Jika restoran itu berlokasi di tempat lain, mungkin tampak biasa atau bahkan kuno. Namun, dipasangkan bersama dengan pantai venice, bangunan dan pantai seolah saling melengkapi memancarkan keindahan. Plus…
‘…Meski orang-orang itu berpisah.’
Di depan restoran. Jo Minjoon memakai tudungnya menutupi muka sembari mengintip kerumunan orang di depan restoran. Dia takut bagaimana dia harus melewati kerumunan itu. Akan tetapi, dia tidak punya pilihan lain. Dari yang dia dengar, bahkan sebelum Rachel kembali ke LA, orang-orang berkumpul seperti itu di depan restoran. Ada berbagai macam orang, turis yang ingin melihat sendiri popularitas restoran pusat Rose Island, reporter yang ingin mendapatkan wawancara eksklusif, dan tentunya, chef-chef penuh harap yang ingin mendapatkan persetujuan Rachel dan menjadi muridnya.
Pada saat itu, ketika Jo Minjoon ragu-ragu sebelum masuk ke dalam kerumunan, seorang wanita multiras menoleh ke belakang kemudian matanya terbelalak.
“Ah, kau …… Minjoon! Kau Minjoon, kan?!”
“Apa? Di mana?”
“Wow, ini benar-benar Minjoon!”
“Boleh aku berswafoto denganmu?”
Dengan mereka tersenyum sangat gembira sembari bertanya, sulit baginya untuk mengatakan dia sibuk dan menolak permintaan mereka. Pada akhirnya, Jo Minjoon terperangkap di kerumunan orang dan terpaksa memberikan tanda tangan dan berfoto bersama mereka. Tentunya, tidak semua orang seperti itu. Bahkan hanya melakukan dengan sebagian kecil dari mereka, waktu berlalu dengan cepat. Terlebih lagi, reporter tidak tinggal diam.
“Minjoon, bagaimana perasaanmu bekerja di restoran Rachel?”
“Ada banyak cerita di luar sana tentang tanggal pembukaan Rose Island. Apa kau tau tanggal berapa tepatnya?”
“Bagaimana kau berencana mengorganisir staf dapur?”
Banyak pertanyaan terlontar. Jo Minjoon menolak menjawab pertanyaan dengan mengatakan ‘Ada banyak pertanyaan, aku tidak bisa menjawabnya sekarang.’ sebelum dengan cepat berjalan ke pintu masuk. Dia bisa mendengar suara klik terus menerus dari kamera dan pertanyaan-pertanyaan dari para reporter yang berlanjut mengejarnya setelah dia beranjak pergi. Namun, ketika dia menuju pintu, mereka tidak lagi mengikutinya.
“Ckck. ckck. Masalahmu adalah kau itu terlalu ramah. Kenapa kau harus berurusan dengan semua itu?”
Dia bisa mendengar suara Anderson. Jo Minjoon menghembuskan nafas dengan lelah sebelum masuk ke aula. 40 kursi tergeletak tanpa pemilik. Dia tidak menyadari betapa dia akan menghargai kedamaian ini.
“Di mana Rachel?”
“Di kantornya. Omong-omong, apa kau melakukan apa yang aku minta?”
“Iya, aku sudah mendaftar.”
“Beri aku IDmu.”
Anderson dan Jo Minjoon membicarakan tentang akun Starbook. Jo Minjoon terus menunda-nunda untuk membuatnya. Anderson segera melihat ke pengaturan Jo Minjoon sebelum akhirnya mengerutkan dahi.
“…Kau sudah punya 800 penggemar?”
“Apa itu cepat?”
Anderson tidak menjawab. 800 orang hanya dalam sehari. Sedangkan Anderson mendapatkannya dalam waktu satu minggu. Dengan wajah masih mengernyit, Anderson menekan bagian atas layar ponselnya. Beberapa saat kemudian, pemberitahuan muncul di ponsel Jo Minjoon.
- Minjoon telah masuk ke ruang obrolan.
[Hugo: Oh, Minjoon, akhirnya kau membuat akun Starbook.]
[Anderson: Aku yang membuat dia mau.]
[Hugo: Jumlah penggemarnya bukan main. Dia mungkin bisa mencapai 1,000 orang di penghujung hari.]
[Minjoon: Ini agak aneh. Aku tidak pernah mengobrol seperti ini sebelumnya]
[Joanne: Minjoon! Senang berjumpa denganmu. Mengobrol seperti ini membuatku merasa seperti aku sungguh berjumpa denganmu]
[Minjoon: Tentu saja! Ini terasa seperti kita kembali pada saat kompetisi.]
[Joanne: Apa sebaiknya aku menceritakan padamu sebuah rahasia? Kaya memenangkan kompetisinya!]
[Minjoon: Ohhhhhh, itu mengejutkan.]
Jo Minjoon tertawa sembari melihat ponselnya. Mereka telah berkomunikasi melalui telepon dan berkirim pesan, tetapi mendapati semua orang dalam satu ruang obrolan terasa berbeda.
“Paham kan, aku sudah bilang buatlah akun Starbook.” kata Anderson sambil mendengus.
“Jikau kau bilang ada fitur obrolan grup, aku pasti segera membuatnya lebih awal.”
Alasan Jo Minjoon membuat akun Starbook setelah selama ini adalah karena ruang obrolan ini. Ini tahun 2010, sebelum aplikasi yang berfokus pada obrolan diciptakan. (TL: Halo? AIM ada sekitar sebelum 2010…dan MSN Messenger…juga sudah ada…)
[Ivanna: Aku iri pada kalian berdua. Aku ingin bekerja di Rose Island juga.]
[Minjoon: Aku belum bekerja. Ada banyak hal di restoran yang perlu kita atasi sebelum pembukaan, dan bahkan saat pembukaan, aku tidak bisa bekerja.]
[Joanne: Oh? Kenapa?]
[Ivanna: Apa kau sakit?]
[Minjoon: Tidak, bukan seperti itu. Hanya bermasalah dengan visaku. Perlu setidaknya dua bulan lagi atau sekitar itu untuk mendapat persetujuan.]
[Joanne: Jadi, kau hanya punya visa turis saat ini?]
[Minjoon: Yup. Jadi, aku tidak bisa bekerja saat ini.]
Meskipun saat ini Jo Minjoon tidak mendapat gaji, tidak ada masalah dengan kehidupan sehari-harinya. Terlebih Jo Minjoon saat ini tinggal di rumah Rachel. Jika dia harus membeli sesuatu, dia tetap tidak perlu khawatir, bukan hanya karena uang yang dia dapat dari syuting perjalanan kuliner. Di dompetnya ada kartu debit milik Rachel yang diberikan padanya.
[Joanne: Bagaimanapun juga, itu pasti hebat. Bekerja dengan Rachel Rose! Kau telah berhasil, Minjoon.]
[Minjoon: Seharusnya, kau tidak boleh mengatakan itu padaku. Aku dengar akhir-akhr ini kau dipandu untuk menjadi chef kepala.]
[Joanne: Itu restoran kecil dengan lima meja makan. Aku terlalu malu untuk menyebut diriku chef kepala.]
[Minjoon: Jangan bilang begitu. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, kau tetap chef kepala yang hebat.]
[Ivanna: Omong-omong, Kaya dan Chloe tidak di sini. Aku yakin mereka akan senang jika mereka tahu Minjoon bergabung.]
Ketika nama Chloe disebut, Jo Minjoon menatap layar ponselnya dengan ekspresi canggung. Meski teman-temannya tidak ada yang bisa melihatnya, dia tetap memperbaiki ekspresinya. Dia masih berhubungan dengan Chloe, tetapi melihat orang lain menyebut Chloe membuatnya merasa aneh. (TL: Aku yakin ini disebut perasaan bersalah, Minjoon. Apa yang telah kau lakukan di belakang Kaya?)
Tidak ada berita apapun tentang Kaya akhir-akhir ini. Awalnya, dia pikir dia marah karena ucapan ‘kau harus menguruskan badan’ yang terpaksa terucap karena Anderson…tetapi mungkin itu bukan satu-satunya alasan. Dia juga memiliki keterbatasan berkomunikasi dengan orang lain.
[Anderson: Dia pasti sedang di tengah syuting. Dia sibuk akhir-akhir ini.]
[Marco: Oh? Ada Minjoon.]
[Joanne: Kau telat, Marco.]
“Minjoon, Anderson?”
Mereka berdua yang sedang asyik berbincang dalam ruang obrolan lalu mendengar suara keras dari belakang mereka. Keduanya menoleh. Ada seorang pria tua dengan rambut putih tersisir rapi yang sedang menatap mereka dengan tatapan dingin. Jo Minjoon dan Anderson segera berdiri dari tempat duduknya.
“Mr. Diaz, kau di sini.”
Isaac Diaz adalah namanya. Awalnya, dia tampak keras seperti orang yang sulit dihadapi, dan memang dia seperti itu. Fakta bahwa Jo Minjoon masih tidak bisa memanggilnya Isaac tetapi Mr.Diaz membantu menjelaskan betapa sulit berbicara dengannya.
‘Chef kepala memanggil kalian.”
“Oh, oke.”
Hanya karena Isaac sulit dihadapi bukan berarti dia orang yang buruk. Dia hanya kaku. Dia akan membuat para tentara dalam perang berlari mengejar uang mereka dan dia selalu teliti. Kau bisa mengatakan itu hanya dengan melihat dari pakaiannya. Tidak ada bagian yang kusut, kemejanya disetrika dengan sangat licin. Sama seperti warna daging bakar yang mengubah cita rasanya, pakaiannya juga menunjukkan kepribadiannya.
Seperti itulah.
“Oh, kau di sini.”
“Iya, saya membawa mereka.”
Ketika dia di depan Rachel, dia seperti anak kecil atau mungkin seorang kakek yang lembut. Mendengar dia berbicara seperti itu sebenarnya terasa lebih asing karena sangat berbeda Sampai-sampai Anderson dan Minjoon yang tidak suka bergosip, membicarakan tentang dirinya. Ada kemungkinan bahwa dia memiliki cinta bertepuk sebelah tangan pada Rachel.
Ini sudah 4 hari sejak mereka tiba di LA dan sejak Perjalanan Kuliner berakhir. Tetapi Anderson dan Jo Minjoon tidak banyak mengubah rutinitas mereka. Lebih tepatnya, bagi Jo Minjoon, LA tetap area yang masih asing. Empat hari adalah waktu yang singkat untuk mempelajari suatu daerah, bagaimana hukum yang berlaku dan kehidupan sehari-hari orang-orang di sana.
Beda cerita dengan Anderson. Dia telah tumbuh di sini sejak dia kecil. Orang tua Anderson, Fabio dan Amelia, mempunyai restoran dan rumah yang berjarak lima menit dari lokasi Rose Island di Venice. Dan itu…
“Oh, Rachel. Kau sudah buka. Minjoon, kau juga di sini. Lama tak jumpa.”
Itu berarti mereka bisa datang ke Rose Island kapanpun mereka mau. Jo Minjoon menjawab dengan nada kaku.
“……Hmm, ini baru sekitar 10 jam sejak terakhir aku melihat anda datang untuk mengantar pulang Anderson kemarin malam.”
“Itu tampak seperti aku harus menjelaskan padamu betapa lamanya 10 jam itu. 10 jam adalah waktu yang cukup untuk dada ikan di letakkan di mesin Sous Vide untuk berubah menjadi harta karun yang tak bisa dijelaskan. Dan bagi sebuah kaldu dalam panci…”
“Mom! Tolonglah! Aku mohon. Apa sekarang kau berencana mengomeli Minjoon seperti ini juga?”
“Anderson, aku sudah katakan soal ini padamu setiap kali. Tidak peduli betapa kau tidak ingin mendengarnya, kau tidak bisa menganggap semua ucapan orang tuamu adalah omelan.”
Anderson menghela nafas. Kemudian, sama seperti semua anak yang harus menghadapi omelan orang tuanya, Anderson berhenti merespon. It metode yang sangat efektif. Amelia lanjut berbicara pada Anderson sedikit lebih lama sebelum menoleh pada Rachel.
“Ini menakjubkan. Ada ribuan orang berkemah di luar.”
“Separuh dari mereka berada di sini untuk melihat lokasi atau mungkin pelanggan tetap. Dan sisanya adalah reporter dan chef. Akhir-akhir ini banyak orang bertanya padaku apa aku menerima orang magang.”
Jika ini sebuah perusahaan, orang magang berarti calon pegawai tetap. Membantu memasak, mencuci piring, dan bahkan mengusap keringat chef adalah tugas pemagang. Masalahnya adalah orang-orang itu bahkan punya kualifikasi sebagai chef demi di restoran lain, tetapi mereka rela menurunkan diri mereka sendiri sebagai pemagang demi bekerja di sini.
Jo Minjoon perlahan menoleh ke jendela dan melihat ke luar ke arah pintu masuk. Kemudian dia mengekpresikan kekaguman mereka. Ada banyak sekali orang-orang yang berkumpul di sana. Setidaknya jelas ada 50 orang di sana.
‘Guru Rachel…benar-benar menakjubkan.’
“Kalian berdua tahu kalian belajar dari guru seperti apa, bukan?”
“Iya, aku pun masih terkagum-kagum.”
“Tetapi kau sebaiknya juga sedikit khawatir. Rose Island, lebih tepatnya, yang berlokasi di Venice ini, terkenal dengan mempekerjakan chefnya secara berlebihan.”
“….Begitu kah?”
Jo Minjoon melihat Rachel dengan malu-malu, Rachel masih menatap mereka dengan ekspresi santai. Namun, hal itu seharusnya tidak membuat dia takut.
“Omong-omong, untuk apa Ibu datang ke sini? Meski sekarang belum jam buka, bukankah sebaiknya ibu mulai bersiap-siap?” tanya Anderson
“Jangan khawatir. Ayahmu akan segera kembali untuk memeriksanya.”
“…Apa? Kenapa aku yang harus pergi?”
Fabio merespon seolah ini pertama kali dia mendengarnya. Amelia hanya diam dan membelalak pada Fabio. Fabio berekspresi sedih lalu menundukkan kepalanya seolah dia mengalami kekalahan. Rachel mulai berbicara.
“Aku yang memanggil mereka. Aku butuh jembatan.”
“Jembatan?”
“Ada beberapa orang yang sangat marah padaku. Aku perlu seseorang membantuku mediasi dengan mereka.”
“…Boleh aku tahu siapa itu?”
“Jack Hudson.” jawab Rachel dengan segera.
Tentunya Jo Minjoon tidak kenal siapa itu. Rachel lanjut berbicara dengan nada lemah dan pelan.
“Dia dulu patissier di sini.”
< Keinginan peserta pesta (1) > Selesai