Dewa Memasak – Bagian 161: Anggota yang diinginkan (2)
Pâtissier. Persepsi umum dari patissier adalah mereka yang disebut baker atau pemanggang roti, pada kenyataannya, mayoritas pekerjaan mereka memang berhubungan dengan memanggang. Lokasi asli patissier di depan oven. Semua proses memasak yang berhubungan dengan oven seharusnya melalui tangan patissier, namun, bergantung pada bagaimana perang wilayah di dapur untuk pembagian teritorial, ceritanya bisa berubah.
‘Seorang patissier yang bahkan sangat diinginkan oleh guru Rachel…’
Meskipun Jo Minjoon tidak tahu siapa, orang itu pastilah tidak biasa. Seolah Anderson bisa membaca antisipasi di mata Jo Minjoon, dia tertawa dengan santai.
“Jika kau sudah merasakan rotinya, kau tidak akan mau menyantap roti dari tempat lain.”
“Berhentilah melebih-lebihkan. Tidak peduli seberapa bagus rotinya, bagaimana mungkin ada roti yang membuatmu tidak ingin menyantap roti lain.”
“…Aku hanya mengilustrasikan.”
Setelah menjadi pembohong dalam sekejap, Anderson menggerutu.
Ini jelas bukan tugas yang mudah untuk keluar dari restoran. Kerumunan yang sama dari saat mereka masuk masih ada di sekeliling restoran, dan tatapan orang-orang berfokus pada pintu masuk utama. Syukurlah, hanya 10 orang sekarang, tetapi ketika Rachel dan yang lain melangkah keluar dari pintu, fokus orang-orang beralih pada mereka, dan pasti lebih banyak orang mulai berkumpul lagi.
“Bagaimana kita bisa melewati mereka?”
“Pertama, semuanya masuklah ke dalam mobil.”
Anderson menunjuk ke SUV berkapasitas 9 orang di area parkir. Sebelum mereka keluar, Rachel menoleh pada Isaac.
“Isaac, aku titip restoran padamu selagi kami pergi.”
“Apa kau yakin kau bisa meyakinkan Jack? Kau tahu betapa keras kepalanya dia.”
“Aku tidak yakin. Bagaimanapun, bukankah sudah biasa Jack marah-marah.”
“Situasinya berbeda dengan saat itu. Jack sudah marah selama 10 tahun.”
Jo Minjoon mulai mengingat-ingat memorinya setelah mendengar Isaac. Restoran pusat juga tutup 10 tahun yang lalu, jadi, mereka tidak pernah bertemu selama itu. Rachel mengerutkan dahi sesaat seolah dia tidak yakin, tetapi tidak lama kemudian, seolah dia telah mengatasi masalah di kepalanya, dahinya tidak berkerut lagi.
“Jika dia marah, aku hanya harus menerima kemarahannya.”
Dengan begitu, mereka berempat keluar pintu. Setelah menonton mereka melalui jendela, Isaac segera menghela napas dalam.
‘Itu tidak hanya akan menjadi masalahmu.’
€
[……Ini adalah berita selanjutnya. Rachel Rose telah kembali ke Rose Island, restoran yang telah disebut-sebut sebagai restoran berhantu di Venice selama 10 tahun. Bersama dengannya, runner-up Grand Chef Anderson Rousseau, dan Jo Minjoon, peraih juara ketiga.]
[Ini berita hebat! Ini seperti LA mendapat restoran bintang tiga lagi.]
[Yaa, ini bukan restoran bintang tiga yang sesuangguhnya. Setelah tutup selama 10 tahun, restoran itu kehilangan bintangnya. Jika kau berpikir tentang Rose Island dari 10 tahun yang lalu, bintang tiga tidak akan jadi masalah, tetapi hanya jika Rachel tidak kehilangan sentuhannya selama dia beristirahat. Selain itu, ketdiak hadiran almarhum suaminya, Daniel Rose, juga masalahnya.]
[Aku yakin Rose akan sukses. Bakat sejati tidak akan berkarat bahkan seiring waktu berlalu. Aku juga sangat tertarik pada dua muridnya, Anderson dan Minjoon. Secara pribadi, aku penggemar mereka berdua.]
[Lucunya adalah Anderson Rousseau adalah anak dari pasangan Rousseau, chef pemilik dari restoran ‘Glouto’ yang berlokasi di dekat situ. Dia pasti mengalami perseteruan dengan orang tuanya. Saat ini, mereka…]
Klik. Radio dimatikan. Anderson terbatuk dengan canggung. Amelia mulai berbicara dengan ekspresi lembut. Tentunya, suaranya tidak lembut sama sekali.
“Apa kau dengar peyiarnya bilang apa?”
“Tidak, aku tidak dengar. Aku fokus menyetir.”
“Dia bilang bahwa kau tidak mau bekerja di Glouto?”
“Apa? tidak ada yang bilang begitu!”
“Karena kau tahu mereka tidak bilang begitu, kau pasti menyimak radio. Kau berani berbohong pada ibumu?”
Anderson mulai mengerutkan dahi. Jo Minjoon mulai tertawa sembari melihat Amelia.
“Jangan terlalu memarahinya. Aku yakin Anderson segera menjadi cukup dewasa.”
“Aku berharap Anderson tumbuh menjadi anak baik sepertimu. Mungkin karena kau tumbuh di keluarga Asia, kau sungguh anak yang baik. Orang tuamu membesarkanmu dengan baik.”
“…Mom, kau tahu itu rasis.”
“Apa generasi sekarang menyebut hal seperti ini rasis? Aku hanya membicarakan aspek positif.”
“Entah itu baik atau buruk, stigma tetaplah stigma.”
“Baiklah. Ibumu salah.”
Amelia mengangkat kedua tanganya seolah dia menyerah. Ini pertama kalinya Jo Minjoon melihat Anderson menang melawan ibunya. Setelah momen kecanggungan itu, Jo Minjoon perlahan menjawab.
“Sejujurnya, aku sangat iri pada Anderson. Aku yakin setiap hari pasti hebat, tumbuh besar bersama dengan chef-chef hebat seperti Amelia dan Fabio, setidaknya selama sesi makan.”
“Aku senang mendengar ucapanmu tetapi juga sedih karena aku tidak pernah mendengar hal yang sama dari mulut Anderson. Apa sebaiknya kau menjadi anakku saja, Minjoon? Bagaimana menurutmu? Ada yang bilang batu yang menggelinding bisa mendorong batu yang diam, barangkali kau bisa mendorong Anderson minggir dan menjadi pemilik Glouto di masa depan…”
“Kita sampai.”
Sela Anderson begitu dia menghentikan mobilnya. Amelia membelalak menatap belakang kepala Anderson karena dia menyelanya. Anderson tidak melihat tatapan galak Amelia.
Jo Minjoon perlahan keluar dari mobil. Santa Monica, sebuah jalan di sebelah Clover Park. Ada sebuah rumah yang tampaknya telah dimodifikasi menjadi toko. Ada papan yang hanya bertuliskan [Bread]. Sama sekali tidak menyiratkan karakter tertentu.
Lucunya adalah di sana ada banyak sekali pelanggan terlepas dari tulisan yang sederhana itu. Jo Minjoon meraba sakunya. Syukurlah, dia membawa dompetnya.
“Rachel, boleh aku membeli roti?”
“Ayo kita masuk dulu.”
Jo Minjoon mulai berjalan tergesa-gesa. Aroma roti di ujung hidungnya terlalu wangi. Ada juga beberapa layar sistem yang bermunculan. Banyak roti berskor 8 poin. Mereka tidak menambahkan bahan spesial apapun dan hanya sekedar memanggang adonan, tetapi bahkan tanpa krim apapun atau tambahan apapun, roti itu mendapat skor 8 poin.
Jika kau membandingkan dengan masakan, itu seperti membuat mie pasta tanpa saus apapun dan mendapat skor 8 poin. Roti dasar selevel dengan itu. Kau bahkan tidak perlu membahas roti dengan tambahan krim, keju, selai, ataupun tambahan lain. Ada banyak roti dengan skor 9 poin tetapi tidak tampak ada roti dengan skor 10 poin.
Ada beberapa hidangan yang masih bagus bahkan sengan skor rendah, tetapi Jo Minjoon tidak pernah melihat sebuah hidangan dengan skor tinggi yang terasa biasa saja, kecuali jika cita rasanya tidak disukai, mau tak mau, kau akan menyebut roti ini lezat.
Mata Jo Minjoon berbinar ketika dia memasukkan donat renyah, scone, dan croissant ke dalam keranjang. Kemudian dia menuju meja kasir. Kasirnya adalah seorang wanita berkulit putih yang wajahnya mudah diingat dengan iris mata berwarna hijau. Dia tampak berusia sekitar 30 tahun.
“Berapa itu semua?”
“5 dollar dan 30 sen.”
“Ini uangnya.”
(TL: roti yang sangat mahal sekali. 3 roti seharga $5.30?)
Jo Minjoon mengeluarkan lembaran uang. Wanita itu membuka mesin kasir sebelum menjawab. Dia punya senyum yang lembut di wajahnya dan sepertinya tidak terganggu sama sekali. Suaranya yang manis dan lembut membuat Jo Minjoon terpikir tentang pramugrari.
“Apa Anda mau makan di sini?”
“Iya.”
Saat Jo Minjoon hendak menyantap roti setelah berbinar-binar penuh cinta menatap roti yang diletakkan di atas piring di depannya, ada suara dari belakang Jo Minjoon. Suara Rachel.
“Lisa?”
“……Rachel?”
Ini pertama kalinya ada kerutan di wajahnya yang tenang. Dia menatap Rachel dengan gugup. Rachel menengok ke belakang Lisa dengan tatapan penasaran.
“Apa…Jack di dalam?”
“Apa itu yang harus kau katakan setelah datang ke sini pertama kali setelah 10 tahun? Aku hanya…”
“Aku berharap aku bisa bertemu Jack.”
“Maaf, tapi menurutku, ayahku tidak ingin bertemu denganmu.” jawab Lisa dengan nada ketus.
Di matanya tidak ada nostalgia terhadap Rachel yang tidak pernah menghubungi mereka selama 10 tahun terakhir. Justru, matanya penuh dengan ketidakyakinan. Tepat ketika Rachel hendak menanyakan tatapan Lisa, Amelia, yang menonton mereka dari belakang, melangkah maju.
“Lisa, bukankah sebaiknya membiarkan mereka berdua setidaknya bertemu? Tidak ada alasan bagi mereka saling menghancurkan diri masing-masing. Kau tidak bisa hanya menempelkan perban pada luka terbuka dan menyebutnya baik-baik saja. Kau harus membiarkan luka itu terobati.”
“…Terobati? Baiklah. Tetapi pengobatan itu seharusnya datang 10 tahun yang lalu. Apa yang ingin dia dapatkan dengan menunjukkan diri sekarang? Amelia, kau tahu bagaimana ayahku akhir-akhir ini.”
“Apa …terjadi sesuatu pada Jack?”
Rachel segera bertanya setelah mendengar ucapan Lisa. Lisa tampak sedih sesaat sebelum melihat antrian pelanggan di belakang mereka dan menghela napas.
“…Baiklah. Pergilah melalui pintu di sebelah sana. Aku harus melayani pelanggan.”
“Maaf, Lisa. Mari kita segera bicara lagi nanti.”
Lisa tidak merespon. Ketika Rachel dan Amelia mulai beranjak, Jo Minjoon diam-diam melihat ke bawah kardus. Dia dengan licik mengambil scone dan menggigitnya. Senyum sangat gembira mengembang di mulutnya. Sedangkan Anderson hanya melihat Jo Minjoon dengan ekspresi mengejek.
Telinga Jo Minjoon mulai memerah seolah dia malu.
“Apa enak?” tanya Anderson.
Jo Minjoon mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
€
“Menurutku…yang terbaik bagiku adalah berbicara dengannya sendiri dulu.”
“Apa kau tidak masalah?”
“Ini masalah kami. Kami berdua harus menyelesaikannya. Akan tetapi, jika tampaknya diskusi kita berakhir lebih keruh, bolehkah aku meminta bantuanmu sebagai perantara pada saat itu?”
“Tentu saja.”
“Terima kasih.”
Di lorong aula, di depan ruang tamu, Rachel masih berdiri, menenangkan perasaannya. Jantungnya berdebar kencang. Ini pertama kalinya dia merasakan ini sejak Jo Minjoon setuju untuk bergabung di restorannya. Waktu itu badannya gemetar karena kebahagiaan, tetapi saat ini, karena kegelisahan. Itulah satu-satunya perbedaannya.
Ada pria tua yang sedang berdiri di sebelah perapian yang hanya tersisa abunya. Kaki Rachel terhenti. Pria tua itu adalah Jack, dia menatap Rachel. Normalnya Rachel akan melihat kemarahan pada sorot mata Jack, namun, ternyata tidak. Jack berkata dengan suara tenang.
“Sudah 10 tahun.”
“Maaf.”
“Jangan berpikir untuk meminta maaf karena aku pun tidak berencana menerima permintaan maafmu. Alasan aku tidak menaikkan suaraku saat ini adalah bukan karena aku memaafkanmu, tetapi karena aku tidak punya energi untuk melakukannya. Di Rose Island 10 tahun yang lalu, kau meninggalkan segalanya dengan mengatakan kau tidak bisa menjalankan Rose Island tanpa Daniel.”
“…Iya, benar.”
“Kau egois.”
Jack berbicara dengan nada lelah. Rachel menyadari bahwa temannya telah menua seiiring berjalannya waktu. Perlahan, Jack lanjut berbicara.
“Rose Island adalah restoran untukmu dan Daniel. Namun, aku juga punya memori tentang masa-masa yang aku habiskan bersama kalian berdua, serta impian-impian tentang masa-masa yang akan datang. Momen saat kau hancur, aku pun hancur. Kau seharusnya gigih. Tidak peduli betapa sedih dan beratnya beban yang kau tanggung, kau harus gigih…!”
“Waktu itu, aku…jatuh ke dalam rawa. Aku tidak punya kepercayaan diri ataupun hasrat untuk berenang keluar. Maaf.”
“Jadi? Apa kau sudah menemukannya sekarang? Apa itu? Katakanlah. Apa yang membuatmu akhirnya keluar mencariku setelah sama sekali tidak menghubungiku selama 10 tahun?”
“Harapan.”
Alis Jack mengerut. Rachel buru-buru melanjutkan.
“Aku menemukan anak yang mirip dengan Daniel. Dunia yang dia lihat, aku percaya anak ini bisa merasakannya dan membuat itu menjadi miliknya. Dengan itu, dia bisa membantu mengembalikan kejayaan Rose Island waktu itu.”
“Pada akhirnya, ini masih tetap soal Daniel. Aku tahu. Dia jenius. Dia bersinar terang. Namun, apa kau berencana mencurahkan hidupmu untuk mengimitasi sinarnya?”
“Ini bukan imitasi. Jika aku berencana membuat imitasinya sebelum menyebut itu bagus, aku tidak akan bisa berdiri di depanmu dan menunjukkan wajahku. Percayalah padaku.”
Jack terdiam sembari menatap Rachel. Tatapannya berat dan penuh luka. Rachel ingin berpaling dari tatapan itu, tetapi dia tidak bisa menghindarinya. Dia harus menghadapinya. Perlahan Jack mulai berbicara. Suaranya penuh dengan dengan rasa sakit. Kesuramannya tergema.
“Ini sudah terlambat, Rachel. 10 tahun itu waktu yang sangat lama.”
“Aku tahu. Aku juga tahu ini akan berat bagiku mendapatkan maafmu. Itulah kenapa aku mohon padamu. Sekali saja… Pejamkanlah matamu kali ini saja. Kita bisa mengembalikan dapur kita waktu itu.” (TL: Pejamkanlah matamu kali ini sama seperti menyuruhnya untuk mengenang masa lalu.)
“Seperti yang aku bilang. Rachel, 10 tahun itu waktu yang sangat lama.”
Jack mengangkat tangannya. Saat dia mengangkat tangannya keluar dari balik selimut, mata Rachel syok. Bukan karena terlalu banyak kerutan di tangannya. Tangan Jack gemetar. Sangat gemetar hingga mau tak mau kau penasaran apakah dia mampu memegang sebuah cangkir. Itu bukan tangan yang bisa menguleni adonan. Jack berbicara dengan suara gemetar.
“Jika kau muncul sedikit lebih awal, beberapa tahun lebih awal, jika kau sudah datang lalu…Aku akan marah, tetapi pada akhirnya, aku bisa kembali padamu. Namun, Rachel, sekarang aku tidak bisa kembali padamu.”
“Jack, ini…bagaimana…”
“Kenapa kau datang lama sekali, Rachel. Kenapa butuh waktu lama sekali?”
Air mata mengalir turun di pipinya. Kekecewaan dan penyesalan, mimpi-mimpinya yang hancur, semuanya melebur dalam tetesan air mata itu. Air matanya membasahi bibirnya dan juga kata-katanya.
“Sepuluh tahun ….. Itu terlalu lama.”
<Anggota yang diinginkan (2)> Selesai