Dewa Memasak – Bagian 162: Anggota yang diinginkan (3)
Kenapa dia melakukan itu?
Kenapa dia berpikir hanya dia yang semakin tua dan kesakitan selama 10 tahun terakhir? Tidak ada seorangpun yang bisa terbebas dari belenggu waktu.
Rachel, yang berdiri tegak karena dia merasa tak pantas duduk, terjatuh ke sofa seolah dia kehilangan kekuatan pada kakinya. Jack melihat Rachel dengan mata berkaca-kaca. Rachel menggelengkan kepala tidak percaya.
“Tidak mungkin. Kau jelas berjualan roti…”
“Lisa sekarang sudah 30 tahun. Jika kau mulai menghitung dari dia masih muda, sudah 20 tahun dia berkecimpung dengan adonan. Jika kau mencari bakat, tidak ada yang lebih baik dari pada dia.”
Pembicaraan terhenti. Rachel hanya menatap perapian kosong dengan wajah hampa. Pikirannya campur aduk, tidak, sebenarnya, tidak ada pikiran di kepalanya sama sekali. Hanya ada rasa tidak berdaya dan rasa bersalah yang sangat besar di sekelilingnya. Pada saat itu,
“Kakek…”
Seorang anak perempuan pendek berpipi gemuk memanggil dengan nada mengantuk. Rachel perlahan menoleh. Di ujung tatapannya ada anak perempuan kecil mengenakan piyama berwarna merah muda. Alisnya tebal, rambutnya coklat bergelombang, dan bibir kecilnya yang tertutup oleh tangannya tampak seperti boneka kecil. Anak perempuan itu menguap. Jack tersenyum lembut sembari menjulurkan tangannya.
“Ella, kau sudah bangun.”
Anak perempuan bernama Ella itu jatuh dalam pelukan Jack. Rachel merasa aneh menonton tangan Jack yang menepuk-nepuk punggung Ella dengan lembut. Tangannya tidak bisa menguleni adonan lagi, tetapi bisa memeluk cucu perempuannya. Kenyataan itu terasa hangat …tetapi juga dingin baginya.
“Apa dia anak Lisa?”
“Iya. Ella, katakan halo. Ini Rachel, teman…”
Jack berhenti berbicara sejenak. Dia membuat kontak mata singkat dengan Rachel sebelum melihat Ella lagi lalu tersenyum lembut.
“Teman lama kakek.”
Tidak ada kakek yang bisa mengatakan hal negatif di depan cucunya. Yaa, selama mereka punya cinta dalam hati mereka. Mendengar ucapan Jack, Ella melihat Rachel dan tersenyum ceria.
“Halo, aku Ella!”
“Ya, halo, kau mirip sekali dengan ibumu.”
“Iya, ibuku cantik. Oh, kakek, aku harus ke toilet.”“
“Oke, pergilah.”
Ella berlari dengan cepat menuju toilet seolah dia sedang dikejar sesuatu. Rachel, yang tersenyum melihat Ella dari belakang perlahan berkata.
“Siapa ayahnya?”
“Aku pun tak tahu.”
Rachel menatap Jack. Jack mulai bergumam dengan nada sedih.
“Tak peduli berapa kali aku bertanya, Lisa tidak akan mau menjawabku. Barangkali, dia juga tidak tahu siapa ayahnya.”
“…Lisa anak yang baik. Itu tidak mungkin.”
“Hmph. Mana ada gadis baik yang tinggal tanpa suami dan membuat hati ayahnya hancur berkeping-keping. Terlebih, Rachel, kau tidak melihat bagaimana hidupnya selama 10 tahun terakhir.”
“Tapi aku melihat hidupnya dua puluh tahun sebelumnya. Lisa yang aku lihat tumbuh, jelas belum dewasa. Bahkan sekarang, dia merawat kau dengan baik di sampingmu. Dia juga mengikuti langkahmu.”
“Jangan bertingkah sok baik setelah semua ini. Aku tidak mau hatiku goyah lagi.”
“…Hutangku, aku janji akan membayarnya.”
“Bagaimana caranya?” tanya Jack balik dengan segera.
Namun, Rachel tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan singkat itu. Jack tidak marah lalu lanjut berbicara dengan tenang.
“Jika kau tidak tahu, aku akan mengatakan padamu caranya. Entah kau mau mengikutinya atau tidak, terserah padamu, Rachel.”
Rachel tidak khawatir soal itu. Dia tidak berhak mengkhawatirkannya. Rachel menjawab.
“Aku akan mengikuti caramu. Apapun itu.”
€
“…Apa kau tidak bisa membaca suasana hati atau kau tidak mau membaca suasana hati?”
Di meja. Jo Minjoon sudah menyantap habis roti yang tadi dia pesan, dan sekarang membeli beberapa roti lain, seperti tortilla, hot dog, dan sandwich sambil terus makan. Anderson tidak paham dengan Jo Minjoon saat ini. Jo Minjoon bukan tipe orang yang acuh, tetapi dengan melihat Rachel yang serius seperti ini, bagaimana mungkin dia tetap santai?
Dengan santai, Jo Minjoon membuka mulut. Namun, bukan untuk menjawab Anderson, melainkan hendak melahap tortila yang berisi saus tomat dan keju.
“Jawab pertanyaanku!” kata Anderson dengan nada kasar.
“Apa yang harus dijawab? Itu bukan soal tidak bisa membaca ataupun tidak ingin membaca.”
“Lalu bagaimana kau bisa sesantai itu?”
“Tidak akan ada yang berubah dengan aku menjadi serius. Bagaimana sikapmu saat orang tuamu bertengkar? Apa kau menjadi serius dan mulai meninggikan suaramu?”
“…Aku tidak akan melakukan itu.”
“Sekarang pun sama. Guru Rachel dan …ah, Mr. Jack Hudson. Terlepas dari apa yang mereka bicarakan, dengan kita pergi ke sana dan membuang-buang energi kita, itu tidak akan ada gunanya. Asal kau tahu, saat para orang dewasa bertengkar, peran anak-anak adalah tersenyum ceria tanpa dosa.”
“Aku paham yang kau katakan…”
“Jadi, makanlah. Aku sudah melihatmu menatap roti itu sejak awal. Jujurlah. Kau ingin menyantapnya juga, kan?”
Wajah Anderson memerah. Roti itu memang tampak lezat. Karena dia melewatkan sarapan, aroma karbohidrat dan mentega lebih manis dari biasanya. (TL: Aroma seperti apa yang dimiliki karbohidrat?)
Pada akhirnya, Anderson mengambil kue ubi. Begitulah, dia mengosongkan piringnya dua kali lagi, dan saat dia beranjak membeli kue untuk yang kelima kalinya, Lisa menatap mereka seolah mereka tampak mencurigakan.
“Toko kami tidak ingin membuat pelanggan menderita karena sakit perut. Apa kau yakin ingin makan kue lagi?”
“Apa menurutmu makanan yang lezat akan membahayakan seseorang?”
“Aku tidak yakin. Orang bilang obat terasa pahit sedangkan racun terasa manis.”
“Aku juga tidak yakin karena aku belum pernah makan racun.”
“…Aku juga tidak pernah. Semuanya $4.40.”
Ketika mereka kembali ke meja mereka, jumlah pelanggan mulai berkurang. Alasannya sederhana. Toko itu mulai kehabisan roti. Sebelumnya, ada banyak roti hingga kau penasaran apakah roti-roti itu akan terjual semua sekalipun toko buka sepanjang hari. Namun, saat ini, dengan bisa melihat bagian dasar rak, Jo Minjoon mulai menggelengkan kepalanya.
“Apakah semua toko roti di AS sebagus ini?”
“Tentu saja tidak. Kau sudah tahu karena kau telah mencicipi roti mereka. Toko ini berbeda dari toko roti pada umumnya.”
“Sekarang karena kau bilang begitu, kau harus sering datang kesini. Apa kau juga kenal dengan nona Lisa?”
“Kami saling tahu tapi tidak dekat.”
“Tidak mengejutkan. Kau bukan tipe orang yang ramah dengan orang.”
Anderson mengerutkan dahi tetapi tidak menjawab karena memang benar.
Perbincangan Rachel berakhir lebih lama dari dugaan. Ketika pintu terbuka, Anderson dan Jo Minjoon menoleh bersamaan. Akan tetapi, hanya Amelia yang keluar. Amelia duduk di sebelah mereka sebelum berbicara.
“Huuuh, ini melelahkan. Boleh aku ambil satu?”
“Tentu saja. Silakan. Bagaimana situasinya?”
“Aku tidak yakin. Entah bagus atau tidak. Rekonsiliasi selalu seperti ini. Perasaan ditinggalkan selalu seperti ini juga.”
Jo Minjoon paham soal rekonsiliasi, tetapi tidak paham apa yang Amelia maksuddengan ‘ditinggalkan’. Seolah Amelia bisa membaca apa yang Jo Minjoon pikirkan, Amelia menggigit roti gandum dengan krim keju lalu menjelaskan..
“Oh, kau mungkin belum tahu soal itu. Mr. Jack sudah pensiun, bukan karena keinginannya, tetapi karena badannya tidak bisa bekerja lagi. Dia tidak lagi dalam keadaan bisa memanggang.”
“…Sedih sekali. memangnya kenapa…?”
Jo Minjoon berhenti di tengah pertanyaannya seolah sudah tahu jawabannya. Tatapannya tertuju pada roti yang ada di mulut Amelia. Amelia mengangguk.
“Lisa seorang pemanggang yang brilian. Jack tidak mampu lagi berdiri di depan oven. Dalam kasus ini, ada maksud putrinya yang akan memenuhi impian terakhir ayahnya menggantikan posisi ayahnya. Plus, untuk melewati itu, keduanya harus bertemu setidaknya sekali,…benar kan Lisa?” jelas Amelia sambil tersenyum ceria saat dia berbalik.
Lisa menghampiri mereka dan menatap Amelia dengan ekspresi datar.
“Amelia, kau tidak bisa melakukan ini.”kata Lisa.
“Meskipun kau tahu ini adalah PR yang harus dikerjakan hingga selesai?”
“…Ayahku sangat lelah.”
“Setelah hari ini, mungkin saja ayahmu justru mendapat kekuatan kembali.”
“Minimal, kau bisa menelponku dulu soal situasinya.”
“Sepertinya itu benar. Maaf. Itu salahku.”
Permintaan maaf terlalu cepat. Lisa tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa mengatakannya dan hanya bisa menghela napas. Amelia memasukkan potongan terakhir ke mulutnya dan melihat ke belakangnya. Tidak ada pelanggan dan tidak ada roti yang tersisa di etalase. Dia mulai berbicara dengan nada kecewa.
“Apa kau masih punya roti lagi?”
“Aku punya adonan. Apa kau mau?”
“…Aku makan selai saja biar kenyang.”gerutu Amelia.
Pada saat itu, pintu terbuka dan gadis kecil, Ella, berjalan dengan cepat seolah teringat sesuatu. Kemudian, dia membungkuk sedemikian rupa sehingga tampak seolah akan terjatuh sebelum memeluk kaki Lisa.
“Ibu!”
“…Ella, ibu sudah bilang jangan keluar dengan memakai piyama.”
“Iya..tapi aku suka pakai piyama.”
“Kau punya putri yang cantik.”
Jo Minjoon berkata dengan jujur. Gadis kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. Dia seperti model anak-anak di TV. Kemudian, Ella mengintip Jo Minjoon. Dengan malu-malu, dia tertawa lalu bersembunyi di belakang kaki Lisa. Lisa menghela nafas.
“Ella, tolong jangan tarik baju ibu. Baju ibu nanti melar.”
Meski Anderson bukan tipe orang yang suka pada anak kecil, tatapannya bahkan sangat lembut saat melihat Ella. Pada saat itu, terdengar suara langkah kaki menuju mereka. Saat dia berdiri dari tempat duduknya, senyum Jo Minjoon menghilang dari wajahnya.
“Perbincangannya….apa berjalan baik?”
“Berjalan baik, tapi…”
Rachel menatap Jo Minjoon dengan ekspresi aneh. Jo Minjoon tidak paham dengan maksud tatapan Rachel. Pada saat itu, Jack menyodorkan tangannya setelah menatap Jo Minjoon.
“Aku Jack Hudson.”
“Jo Minjoon.”
Jo Minjoon menjabat tangan Jack Apa dia menderita arthritis? Meskipun tangannya gemetar, itu tidak aneh. Setelah berjabat tangan, Jack berkata.
“Rachel bilang kau adalah harapan barunya?”
“Guru memang selalu mengatakan hal baik tentang aku.”
“Lalu, apa menurutmu, itu tidak benar?”
Itu pertanyaan yang santai, tetapi tidak ada yang bisa menjawabnya dengan mudah. Jo Minjoon membuka matanya lebar-lebar sebelum menjawab.
“Tidak peduli ekspektasi seperti apa yang guru punya padaku, aku pastikan aku akan berusaha memenuhi ekspektasi itu.”
“…Meski dia berekspektasi pada hal yang tidak realistis seperti mengambilkannya bintang dari langit?”
“Guru bukan tipe orang yang mempunyai ekspektasi tidak realitis seperti itu.”
“Tidak, itulah kesalahanmu. Aku jadi sangat amat serius saat aku mengatakan ini, tapi temanku ini gila.”
Bibir Rachel berkedut. Tampak seperti dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi karena dia merasa bersalah tentang sikapnya selama 10 tahun terakhir, dia tidak bisa mengatakan apapun. Jo Minjoon menahan tawanya sebelum berbicara.
“Aku tahu guru sangat buruk di masa lalu.”
“…Satu-satunya yang tidak bisa ditentang gadis nakal ini adalah Daniel. Daniel punya sesuatu yang Rachel tidak punya. Aku tidak tahu entah bisa disebut intuisi atau apapun itu. Lagipula, aku benci wanita tua yang kejam ini, namun, aku harus mengakui satu hal, dia adalah salah satu dari 5 chef terbaik di dunia. Kau…harus mengisi area yang kurang dimiliki oleh orang seperti itu. Lalu, apa kau masih yakin kau mampu memenuhi ekspektasinya?”
“Iya.”
Jo Minjoon tidak ragu bahkan sedetik pun. Jack mulai mengerutkan dahi. Namun, ucapan Jo Minjoon tidak terdengar arogan layaknya anak muda yang kurang pengetahuan.
“Aku dengar kau punya indera pengecap yang mutlak. Baiklah, itu jelas bakat yang spesial. Aku yakin suatu hari nanti, kau akan menjadi chef yang dikenal semua orang.” kata Jack.
“Mr. Jack, aku tidak pernah menganggap indera pengecapku yang mutlak ini spesial, hanya lebih sensitif dari rata-rata. Namun, seperti yang terjadi, alasan aku tidak khawatir untuk memenuhi ekspektasi guru Rachel bukan karena lidahku.”
“…Lalu apa alasanmu?”
“Fakta bahwa hidangan akan terasa lebih enak semakin kita mendedikasikan diri pada hidangan itu.”
Setelah mengatakan itu, Jo Minjoon melihat ke samping. Masih ada sedikit brioche yang tersisa. Hidangan itu bernilai 8 poin. Jo Minjoon buru-buru memasukkan brioche ke dalam mulutnya. Kemudian, mulai membaca layar sistem yang perlahan terbuka dihadapannya.
“Aku bisa mengatakan banyak bahan hanya dengan memakan brioche ini. Setelah membuat adonan, setiap kali kau mengoleskan mentega, kau akan membiarkannya selama tiga menit. Aku juga bisa mengatakan bahwa kau menggunakan empat putih telur dan 5 kuning telur saat kau membuat adonan.”
“Seketika, mata Jack gemetar. Begitu juga dengan Lisa yang berada di sebelahnya. Mereka telah mendengar rumor soal Jo Minjoon. Namun, untuk membuktikannya pada roti yang mereka buat, itu terkesan aneh. Bahkan Ella, yang masih memeluk kaki Lisa, tampak syok.
“Namun, semua ini memberiku informasi. Di dapur, sebagai chef, hal-hal yang harus aku pikirkan tidak begitu berbeda dari orang lain. Indera pengecap yang mutlak? Aku bisa melihat dunia yang sangat berbeda dengan kekuatan indera pengecap yang mutlak? Tentunya itu sangat membantu. Namun, pelanggan yang kami layani adalah orang-orang dengan indera pengecap yang normal. Aku tidak berbeda dengan chef lain.”
“…Baiklah. Mari kita anggap seperti itu. Lalu, apa alasan Rachel harus percaya dan bergantung padamu jika lidahmu yang spesial itu benar-benar tidak ada nilainya? dengan sifat Bagian mana dari dirimu yang harus dimiliki oleh Rachel?”
“Ketulusanku.”
Itu jawaban yang tak terduga. Jack berpikir akan ada bakat-bakat spesial yang akan diungkapkan Jo Minjoon, tetapi ternyata tidak. Jo Minjoon tidak bisa melakukannya. Jika bakat menentukan segalanya, jika batasmu ditentukan dari kapan kau mulai,…dia tidak mungkin bisa menghadapi realita.
Dia memang punya bakat. Bahkan tanpa sistem, lidahnya memang sensitif, dan intuisinya pada resep sangat kreatif, tetapi masih realistis. Namun, ini bukan bakat yang luar biasa. Bakat yang luar biasa ada pada Kaya.
Oleh karena itu, bakat harus menjadi dinding yang bisa kau lampaui, yaitu Kaya. Jo Minjoon tidak bisa menerima bahwa itu bisa berakhir tanpa dia sampai di sana. Jo Minjoon lanjut bebicara dengan nada marah.
“Saya yakin banyak orang hidup dengan menaruh ketulusan di piring mereka, namun, saya juga memiliki vitalitas, jiwa muda, dan keinginan untuk maju. Sama seperti sebuah hidangan yang terasa lebih baik dengan semakin banyak waktu yang kita curahkan, aku pun percaya itu pasti sama bagi semua chef.”
“Tapi kau harus tahu bahwa hal itu bukan alasan Rachel menyukaimu.”
Jo minjoon merasa jantungnya mengeras. Iya benar, meskipun Rachel sedang menatap Jo Minjoon, dia tidak melihat Jo Minjoon yang sebenarnya. Dia melihat Jo Minjoon yang tergambar di benaknya, Jo Minjoon dengan indera pengecap yang mutlak. Jo Minjoon menggigit bibirnya sejenak. Pada saat itu, Rachel meletakkan tangannya di pundak Jo Minjoon.
“Tidak, Jack, kau salah. Bukan lidah Jo Minjoon yang aku hargai tinggi.”
“Lalu apa itu?”
“Minjoon sendiri. Orang ini.”
Jawaban yang tak terduga ini, baik Jo Minjoon dan Jack kehilangan kata-kata. Ella, yang melihat mereka bertiga dengan mata terbuka lebar, menarik baju Lisa. Ketika Lisa menengok ke bawah, Ella memberi isyarat padanya untuk mendekatkan telinganya. Dia berbisik pelan di telinga Lisa.
“Ada apa, Ella? Apa kau lapar?”
“Mommy, bagaimana orang itu bisa menebak bagaimana kita membuat roti?”
“…Iya, benar. Apa kau terkejut?”
Ella mengangguk-angguk. Enam tahun. Dia masih sangat muda, namun dia telah melihat banyak orang yang datang mencari Lisa untuk bertanya tentang resepnya dan kembali tanpa hasil. Resep roti adalah pertanyaan misterius yang tidak ada seorang pun bisa tahu. Bagi Ella, Jo Minjoon yang bisa mengetahuinya terlihat…
“Apa dia seorang peri?”
“Hah?”
“Ibu bilang tidak ada yang bisa mengetahui resep roti. Karena dia mengetahui sesuatu yang tidak seorang pun bisa tahu, dia pastilah seorang peri. Benar kan, Bu?”
Jo Minjoon tidak tahu jenis logika apa yang terjadi di dalam kepala Ella, tetapi sebenarnya, aneh jika seorang anak menarik kesimpulan dengan realistis. Lisa mengangguk-angguk. Pada saat itu, kesimpulan nonrealistis terbentuk di benak Ella. Jo Minjoon adalah seorang peri dan hanya ada satu peri yang Ella tahu yang menggiringnya pada sebuah kesimpulan. Ella bertanya dengan wajah syok.
“Orang itu…adalah Tinkerbell?”
<Anggota yang diinginkan (2)> Selesai