Dewa Memasak – Bagian 164: Pengumuman (2)
‘Rose Island sejati’ telah muncul.
Nama Rose Island tidak asing bagi sebagian besar orang Amerika. Ada 12 lokasi di seluruh Amerika Serikat dan di seluruh dunia ada total 37 restoran dengan nama itu tergantung di pintu masuk mereka. Semua chef kepala adalah murid pasangan Rose. Mereka semua sangat akrab satu sama lain, bahkan mereka pun punya julukan ‘The Rose Division’.
Namun, hal yang membuat Rose Island terkenal adalah bukan karena keahlian mereka, bukan juga karena pertemanan mereka. Agar sebuah restoran dinamai Rose Island, mereka perlu mendapat persetujuan pasangan Rose. Murid-murid yang menjalankan restoran dengan nama itu tidak akan melakukan apa pun yang bisa mencemari merek gurunya. Pada artikel di Michelin Guide tentang restoran yang direkomendasikan, tidak ada satu pun restoran Rose Island tanpa bintang. Oleh karena itu, masuk akal jika masyarakat umum memiliki pandangan yang baik tentang Rose Island.
Jadi, restoran pusat yang tutup selama 10 tahun merupakan hal yang mengerikan. Generasi tua dan banyak epicurean, selalu mengklaim bahwa lokasi restoran pusat Rose Island adalah yang terbaik dari semuanya, dan para chef dari lokasi lain pun tidak membantahnya. Para epicurean yang tidak bisa pergi ke lokasi pusat, akan membayangkan betapa indah dan tingginya hasrat mereka pada cita rasa di restoran itu.
Situasinya sekarang berbeda. Publikasi Rose Island dikumandangkan pada semua orang yang berkumpul di depan Rose Island, yang berlokasi di Venice bahwa restoran akan buka kembali dengan audisi chef yang baru. Juri dari audisi adalah Rachel Rose sendiri, Anderson Rousseau, juara kedua kompetisi Grand Chef, dan Jo Minjoon yang terkenal dengan indera pengecapnya yang mutlak. Seperti semua orang yang berfokus apakah Rachel Rose bisa mengatasi jeda selama 10 tahun lamanya, di tengah-tengah itu…
Janine Fischer: Orang yang mengikuti audisi akan menghadapi neraka. Seorang chef terkenal kelas dunia, seorang dengan indera pengecap yang mutlak, dan Anderson sebagi juri audisi.
└Yulia Lott: Anderson tidak sesulit itu, bukan?
└Janine Fischer: @Yulia Lott Pikirkan bagaimana Anderson biasanya. Dia akan bersikap blak-blakan pada mereka.
“…Itu yang mereka katakan. Bagaimana menurutmu?”
Jo Minjoon tersenyum sambil menunjukkan layar ponselnya pada Anderson. Anderson membaca komentar-komentar itu lalu mendengus.
“Kapan sih aku blak-blakan? Aku itu tidak seblak-blakan dirimu.”
“Kapan aku aku blak-blakan?”
“Apa kau tidak ingat Peter?”
“Peter? Oh, dia.”
Dia harus berpikir sedikit, lalu dia teringat. Peter adalah pria India yang dia marahi setelah bertengkar dengan Kaya waktu itu. Jo Minjoon menyerukan ‘hmm’ lalu bertanya dengan serius.
“Apa kau tahu bagaimana kabarnya sekarang?”
“Dia sepertinya sangat terpuruk. Orang-orang tidak menganggap dia baik. Setelah menunjukkan kepribadian seperti itu, kecuali mereka berencana melakukan suatu pemasaran yang heboh, tidak ada restoran layak yang akan mempekerjakannya.”
“…Jika menurutmu seperti itu, aku turut sedih untuknya. Jika ditempat lain, itu hanya akan menjadi insiden kecil, tapi karena hal itu tersiar ke seluruh dunia, dia pasti mendapat stempel negatif selama hidupnya.”
Apa yang Jo Minjoon katakan pada Peter yang sangat teramat kecewa, yaitu jika orang-orang membencinya, ambil semua kebencian itu dan gunakanlah sebagai motivasi. Jo Minjoon sama sekali tidak tahu betapa dalam petuah itu masuk ke perasaan Peter, dan seberapa banyak dia berkembang sekarang.
(TL: Aku punya firasat buruk, Peter akan kembali…)
“Bagaimana dengan Kaya? Apa kau mengobrol dengannya beberapa hari terakhir?”
“…Apa yang merasukimu? Kau tidak pernah menayakan Kaya.”
“Aku bertanya karena aku khawatir kau mungkin kepikiran. Dia pun tidak ada di ruang obrolan.”
“Aku tidak yakin bagaimana kabarnya. Dia mungkin menderita seorang diri lagi. Tampaknya dia tidak menghubungi yang lain juga.”
Jo Minjoon menghela napas dengan wajah frustasi. Mungkin perasaan Kaya soal tidak ingin membuat Jo Minjoon khawatir semakin kuat dibanding sebelumnya. Namun, hal itu sesungguhnya tidak manis.
[Aku: Apa kau sibuk?]
Jo Minjoon melihat layar ponselnya dengan wajah hampa. Karena Kaya tidak menjawab bahkan saat dia menelponnya, dia merasa seperti kehilangan Kaya. Anderson melirik Jo Minjoon lalu teringat apa yang Amelia katakan padanya saat dalam perjalan kembali.
“Lihatlah, ada banyak penderitaan di luar rumah, bukan?”
“Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Apapun itu, setidaknya ibu dan ayahmu yang paling mencintai dan mendukungmu. Tetapi Rachel tidak seperti itu. Apa kau yakin kau bisa membalikkan pandangannya?”
Dia benci fakta bahwa…dia tidak yakin untuk menjawab pertanyaan itu.
€
Audisi tinggal empat hari lagi. Rutinitas Jo Minjoon saat ini sederhana. Selain berolahraga untuk menjaga kesehatannya, dia selalu tertahan berada di dapur Rose Island. Apa yang dia lakukan di dalam dapur hanya memasak dan mencicipi. Dari mereka berdua, Jo Minjoon yang lebih sering mencicipinya.
“Hmm…coba sup wortel dengan roti wine merah ini.”
“Kombinasi itu tidak tampak serasi. Wine merah punya aroma asam yang unik, jadi, jika sup tidak dibuat agak lebih manis, menurutku, cita rasanya kurang cocok.”
“Menurutmu, kita seharusnya memperbaiki supnya? atau sebaiknya aku memperbaiki rotiku?”
“Menurutku, tidak ada alasan untuk melakukannya. Berikan roti butter roll itu.”
Lisa memberikan roti butter roll yang berbentuk keong yang indah. Jo Minjoon membelah roti lalu menuangkan sup wortel ke atasnya lalu menyantapnya.
“Bagaimana?”
“Ini sempurna. Jika kita memperbaiki supnya sedikit lagi, seharusnya kita bisa memberikan ini pada pelanggan. Untuk saat ini, aku merasa ini sedikit terlalu sederhana.”
Setelah mendengar Jo Minjoon, Lisa juga mencoba roti butter roll dan sup wortel. Bedanya, Lisa mencelupkan roti ke dalam sup, alih-alih menuangkan sup ke atas roti. Lisa mengangguk-angguk.
“Ini jelas lebih baik. Rasa lembut mentega dan rasa manis wortel sepertinya menciptakan harmoni yang sempurna. Kau sungguh memenuhi julukanmu sebagai orang dengan indera pengecap yang mutlak.”
“..Ini sesuatu yang bisa dilakukan chef manapun di dunia, Lisa. Ini hanya tampak lebih alami karena julukan yang aku dapat.”
“Aku suka kesederhanaanmu. Aku juga berpikir itu menakjubkan. Jika itu aku, kupikir aku akan sangat arogan.”
Meskipun dia berbicara dengan ekspresi kaku dan tanpa senyum sedikit pun, ucapan Lisa terdengar manis dan enak di Jo Minjoon. Jo Minjoon tersenyum ceria.
“Lisa kau juga menakjubkan. Kau bangun lebih awal untuk memasukkan roti ke dalam oven lalu membuat adonan untuk hari berikutnya. Setelah itu, kau datang ke sini untuk bekerja hingga setelah jam makan malam. Aku bahkan tidak tahu kapan kau bisa tidur.”
“Aku mungkin tampak sangat berdedikasi, tetapi aku tidur sebanyak yang aku perlu. Aku bisa tidur saat roti dipanggang, saat sembari menunggu adonan mengembang, aku memanfaatkan waktu menunggu itu.”
“Itulah definisi dedikasi.”
Lisa hanya mengangkat bahunya mendengar kata-kata Jo Minjoon. Dari bar yang menghadap ke aula, mereka mendengar suara ketukan. Ketika mereka pergi menengok, Ella, yang memakai terusan warna kuning, sedang menopang dagu dan mengetuk-ngetuk meja di ujung bar sembari melihat mereka.
“Ada apa, Ella?”
“Aku lapar.”
“Hmm. Lisa, apa yang sebaiknya kita lakukan?”
“Kalau begitu, kita sebaiknya makan siang juga. Kapan Anderson dan Rachel seharusnya kembali?”
“Untuk berbelanja harusnya selesai dalam waktu satu jam..jadi mungkin lebih baik kita makan duluan.”
Dengan itu, makanan sudah siap, tetap yang sudah siap disantap hanyalah sup. Namun, Jo Minjoon adalah seorang chef, tidak sulit baginya untuk membuat stik atau dua piring pasta dalam sepuluh menit.
“Hidangan itu sangat sederhana. Salad Caesar, sup wortel, spaghetti alle Vongole, dan stik tenderloin dengan saus krim keju. Jo Minjoon harus bolak balik antara dapur dan meja beberapa kali di tengah dia memasak, tetapi, melihat senyum Ella dengan saus di bibirnya membuat seluruh rasa lelahnya terasa sirna.
“Kau pasti senang. Kau punya putri yang cantik seperti ini. Aku harap aku bisa seperti ini juga.”
“Apa yang perlu kau khawatirkan? Kau tampan dan pacarmu juga cantik. Aku yakin bahwa jika kalian berdua punya anak, mereka akan tampan/cantik.”
“…Pacar?”
“Oh. Anderson bilang kalau aku membahas Kaya Lotus di depanmu, kau pasti akan membantahnya.”
Mendengar Lisa, Jo Minjoon memasukkan potongan stik seukuran dadu ke mulutnya dengan ekspresi canggung. Dikelilingi oleh tekstur lembut krim keju, cita rasa spesial dari stik tenderloin yang menyebar ke seluruh mulutnya cukup menbuatnya nyaman.
“Apa kau baik-baik saja? Itu mengandung keju. Kau bilang bahwa keju tidak baik untuk perutmu.” kata Lisa.
“Aku perlu melatihnya. Bagaimana mungkin seorang chef punya sesuatu yang tidak bisa dia makan? Karena ini hanya sakit perut dan bukan alergi, aku yakin aku akan terbiasa semakin sering aku makan keju.”
Pada saat itu, ketika Jo Minjoon tak sengaja menoleh, dia menyadari bahwa Ella menatapnya dengan ekspresi sedih seperti dunia akan berakhir. Mata Jo Minjoon terbelalak saat melihat ekspresi Ella.
“Ada apa, Ella? Apa kau tersedak?”
Tanpa merespon, Ella mulai menangis dan dia mengusap air matanya dengan tangannya. Kemudian, dia melihat Lisa sambil terisak. Ella bertanya. Suaranya gemetar, seolah dia baru saja mengalami syok.
“Ibu!. Minjoon..punya pacara…”
“Iya. dia punya pacar.”
Meski saat itu masuk akal untuk berbohong pada anak kita saat mereka bertanya dengan air mata di pipinya seperti itu, tetapi Lisa menjawab dengan terang-terangan. Jawaban Lisa jelas membuat tangisan Ella berlanjut. Jo Minjoon, yang baru menyadari situasinya, tidak tahu apakah dia sebaiknya gembira atau tidak saat melihat Ella.
Ella berusaha untuk turun dari kursi saat dia menuju ke Jo Minjoon dan menatapnya. Kenapa dia menatap Jo Minjoon seperti itu meski dia tidak melakukan kesalahan? Ella menggenggam tangan Jo Minjoon dengan erat saat dia bertanya.
“Minjoon, Apa kau akan menikah dengan gadis itu?”
“Apa menurutmu sebaiknya begitu?”
“Ella tidak mau Minjoon pergi…tapi jika kau sungguh harus pergi, aku akan melepaskanmu. Ella bisa mengatasinya.”
“Ayo buang ingusmu dulu. Ini. Ayo keluarkan.”
Jo Minjoon mengeluarkan serbet lalu mendekatkan ke hidung Ella. Ella mendengus mengeluarkan ingusnya, lalu, dengan hidung dan pipi yang memerah, bibirnya tampak mengerut.
Ekspresinya sungguh menggemaskan. Apa sih yang dibicarakan anak ini? Ketika Jo Minjoon mengangkat Ella untuk duduk bersandar di kursi, Lisa berkata dengan santai, seolah dia membicarakan seseorang yang tak ada.
“Sepertinya kau telah mencuri hati putriku.”
“Ini mengejutkan, ternyata aku populer juga di mata anak-anak.”
“Orang bilang anak kecil suka orang yang polos. Minjoon, kau pasti orang yang seperti itu. Kaya pasti gembira. Meskipun aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya.”
“Bahkan Aku tidak ingat kapan terakhir aku melihatnya. Ini hampir sebulan dan sudah lebih dari seminggu kita tidak berkomunikasi.”
“Kau tidak bisa menghubunginya?”
“Aku tidak tahu. Mungkin dia sibuk atau…Aku tidak bisa mengatakannya. Jika aku mengatakannya, aku akan membicarakan tentang kehidupan Kaya tanpa persetujuannya.”
Jo Minjoon menjawab dengan suara masam. Lisa menyimak ucapan Jo Minjoon, kemudian dia menenggak air minum.
“Jangan terlalu memperumit suatu hal. Hanya ada dua alasan seorang wanita tidak menghubungimu. Dia tidak lagi tertarik padamu…atau itu sebuah tanda kau yang harus menghubunginya. Apa kau telah melakukan kesalahan sebelumnya?” tanya Lisa.
“Tidak seingatku.”
“Kalau begitu kau sudah tahu jawabannya. Telepon dia.”
(TL: Kau brengsek. Apa kau tidak ingat bagaimana kau mengatakan pada seorang wanita muda yang cantik bahwa dia harus diet?!
“Aku berusaha menelpon dan mengirim pesan padanya, tetapi dia tidak merespon. Entah dia sibuk, atau menghindariku… Mungkin benar dia menghindariku. Tidak peduli betapa sibuknya, dia tidak mungkin tidak melihat ponsel selama seminggu.”
Dia bisa menebak alasannya. Kaya mengatakan sendiri waktu itu. Dia tidak ingin bergantung lagi padanya. Dia tidak mau menjadi beban baginya. Dia tidak bisa menemukan jawaban yang benar. Apakah dia sebaiknya menghargai keiginan Kaya, atau sebaiknya dia terus mencoba untuk melindunginya? Lisa justru tertawa alih-alih menjawab.
“Setidaknya aku mendapat konfirmasi tentang satu hal. Tidak ada pria yang akan berjuang sekeras ini jika tidak ada hubungan. Kenapa kau terus mengatakan tidak ada hubungan? Tidak ada yang akan berubah sekalipun kau mengakuinya.”
“…Jika tidak ada hubungan, tidak perlu berjuang hingga sekeras ini selagi berjauhan sebab tidak ada apa-apa di antara kalian berdua.”
“Logika itu agak aneh. Saat ini, kau tampak seperti kau sedang sedikit berjuang.”
(TL: Tulisan asli pada bagian ini benar-benar tidak masuk akal. Itu terkesan seperti Minjoon mengatakan tidak ada alasan untuk berjuang jika tidak ada hubungan ketika dia sedang berjuang. Mungkin ada kesalahan, tapi aku tetap menerjemahkan apa adanya.)
Jo Minjoon tersenyum ala kadarnya. Ucapan Lisa bahwa dia terlihat sedang berjuang membuatnya merasa lebih baik. Itu menunjukkan bahwa perasaannya tulus.
Iya. Dia harus menerimanya. Jo Minjoon menyukai Kaya, sebagai seorang chef, panutan, dan seorang wanita. Awalnya, bahkan dia tidak yakin apakah perasannya sebatas penggemar. Namun, sekarang dia yakin. Bahkan jika perasaannya sebagai penggemar, semembara ini, maka itu sudah…
“Kau benar.”
“Bahwa kau sedang kesulitan?”
“Perasaanku. Kau benar soal perasaanku.”
“Aku tahu bahkan jika kau tidak mengatakannya.”
Lisa tersenyum ceria untuk pertama kali. Namun. Ella tidak bisa. Setelah mengunyah sepotong daging dengan ekspresi suram pada wajahnya, dia buru-buru menjauhkan piringnya dan menempelkan dahinya di atas meja. Ini tampaknya cara Ella menunjukkan kekesalannya.
Melihat putrinya menderita seperti ini padahal dia masih sangat kecil. Lisa menghela napas lalu mengangkat Ella ke dalam pelukannya.
“Bersabarlah dan percayalah padanya. Aku tidak tahu kenapa dia tidak menghubungimu, tetapi dia mungkin lebih ingin kau mempercayainya alih-alih menghiburnya. Tentunya, saranku jangan diambil mentah-mentah, karena aku tidak tahu tentang dia sebanyak dirimu mengenalnya.”
“Iya.”
Jo Minjoon mengangkat ponselnya. Dia perlahan mengetik huruf demi huruf dengan segenap perasaannya. Lalu dia menutup ponselnya. Jo Minjoon tersenyum saat melihat Lisa.
“Terima kasih ya saranya.”
“Boleh aku tahu apa yang kau tulis?”
“Tidak, kau tidak boleh.”
Jo Minjoon menunjuk Ella lalu dia berbicara pelan dengan nada jahil.
“Ini tidak sesuai untuk anak-anak di bawah 7 tahun.”
€
“Apa yang sebaiknya kita lakukan?”
Agen itu menatap Kaya dengan ekspresi dingin. Kaya hanya diam sambil menatap bayangannya di cermin. Pada satu titik dalam hidupnya, dia berpikir bahwa wajahnya cantik, tetapi sekarang, ini mengganggu.
‘Apakah jejaknya…ada di wajahku?’
“Nona Kaya?”
“…Tolong usir dia. Aku sama sekali tidak mau bertemu dengannya.”
“Apa kau yakin? Ini akan menjadi yang kedua kalinya.”
“Kalau begitu aku akan mengatakannya lagi untuk yang kedua kalinya. Ayahku sudah lama mati. Tolong katakan pada penipu itu untuk menyerah!”
“…Baiklah.”
Agen itu meninggalkan dapur dengan ekspresi cemberut. Kaya menggigit bibirnya. Dia pikir dia bisa menjauh dari masalah dengan menghidari telepon darinya, tetapi ayah biologisnya bahkan muncul pada acara jumpa penggemar. Dua kali.
Teleponnya berdering. Setelah melihat ke layar, dia mulai tersenyum gembira. Nama yang familiar baginya, mengatakan kata-kata yang menghangatkannya seperti biasa.
[Jo Minjoon: Aku mungkin tidak percaya pada Santa Claus, tapi aku percaya kau bisa mengatasinya.]
Kaya menggenggam ponselnya dan mendekapnya di dada. Kemudian, dia bersandar di kursi. Mungkin dia lelah. Akan tetapi, matanya yang terpejam, mulai gemetar.
“Iya…aku bisa mengatasinya.”
< Pengumuman (2) > Selesai