Dewa Memasak – Bagian 165: Juri yang ramah (1)
[Jadi, dalam kontainer ini kami punya pengemulsi dan nitrat oksida. Jika kau memasukkan jus stroberi ke dalam kontainer ini seperti ini, lihatlah, apa yang terjadi? Terbentuk busa stroberi.]
“…Hmmm, jika kau meletakkan saus busa di atasnya, bukankah metode busa ini akan mereduksi rasa stroberi dan membuatnya sulit dirasakan?”
Jo Minjoon, yang sedang menonton video di ponselnya sejak tadi, bertanya dengan nada bingung. Dia sedang menonton siaran populer gastronomi molekuler. Dia setuju bahwa sebagian besar masakan yang dilakukan dengan gastronomi molekuler itu segar dan menawarkaan pengalaman makan cita rasa yang bergaya. Namun, dia tidak terlalu yakin dengan saus busa ini.
(TL: Ini utas untuk gastronomi molekuler busa stroberi: https://www.youtube.com/watch?v=1i9mBkGF504)
Tentu epicurean mungkin mampu merasakan cita rasa tipis-tipis yang keluar, tetapi itu sulit bagi pelanggan rata-rata untuk menyadarinya. Jo Minjoon menoleh pada Anderson.
“Apa kau tertarik pada gastronomi molekuler?”
“Kenapa kau tiba-tiba membahas soal itu?”
“Karena aku tidak tahu banyak soal itu. Maka dari itu, aku penasaran duluan sebelum mempelajarinya.”
“Kita tidak akan melakukannya. Gastronomi molekuler populer di restoran-restoran saat guru Rachel sudah pensiun.”
Lebih spesifik lagi, permen kapas juga termasuk dalam molekuler gastonomi, tetapi seperti yang disebutkan Anderson, restoran mulai mencoba gastornomi molekuler hanya setelah Rachel pensiun. Jo Minjoon mengangkat bahu.
“Kau tidak akan tahu. Guru mungkin telah melakukan penelitian terhadap gastronomi molekuler selama 10 tahun terakhir.”
“Apa kau pikir dia perlu melakukannya? Dia menjadi salah satu yang terbaik di dunia hanya dengan hidangan tradisional.”
Jo Minjoon hanya diam sambil mengangkat bahunya. Anderson mengganti topik.
“Bagaimana menurutmu audisinya nanti?”
“Apa maksudmu dengan bagaimana nanti?
“Apa menurutmu akan ada banyak orang? Peserta audisi.”
“Aku tidak yakin. Minimal ada lebih banyak orang dari yang berkemah di luar restoran, menurutku.”
Jo Minjoon merasa aneh. Hanya beberapa bulan yang lalu dia berada di posisi dinilai oleh para juri, tetapi sekarang dia adalah juri yang menilai keahlian dan potensi seseorang.
“Apa ini berarti kita telah sukses?”
“Sukses adalah orang yang namanya tertulis di buku Michelin Guide dan orang-orang yang rumahnya ada di Beverly Hills atau Hollywood. Semua yang kita punya hanyalah jabatan demi chef.”
“Tetapi setidaknya kita sudah pegang kemudi.”
“Itu benar.”
Anderson tersenyum untuk pertama kali setelah sekian lama. Pada saat itu, Rachel muncul di depan pintu dapur dan berbicara pada mereka lalu dia pergi lagi. Anderson dan Jo Minjoon saling berpandangan sebelum menuju ke aula. Rachel bukan satu-satunya yang berada di dalam aula. Isaac, Lisa, dan juga Ella juga ada di sana.
“Audisi dimulai besok. Isaac, apa kau bisa menjelaskan pada mereka?”
“Tentu saja. Ada total 49 peserta. Di luar itu, 15 orang mendaftar sebagai chef preparasi dan 27 orang untuk chef demi, sisanya mendaftar sebagai magang. Sembilan dari mereka mendaftar untuk divisi memanggang dan kita akan memilih dua di antaranya untuk menjadi asisten Lisa. Kita akan memilih dua chef demi lagi dan empat chef preparasi. Dan terakhir, kita akan memilih hanya satu orang magang.”
“…Guru, boleh aku bertanya sesuatu?”
“Tentu, katakanlah.”
“Bagaimana kita mengatur kriterianya?”
Dengan santai rachel menjawab.
“Itu terserah padamu.”
€
“…Apa sungguh tidak masalah jika terserah pada kita?”
Hari audisi. Jo Minjoon mulai menggerutu sembari melihat barisan antrian orang-orang di luar restoran. Bahkan dari jauh, Jo Minjoon bisa melihat semua kegelisahan dan antisipasi di wajah mereka. Dia akan menentukan nasib mereka, tetapi untuk mengatur kriteria sesuka hatinya…
Di sisi lain, Anderson tidak tampak terganggu sama sekali. Dengan tampilan cuek seperti biasanya dan bahkan ekspresi yang sedikit dingin, dia melihat ke arah peserta.
“Standard kita akan sama dengan standar untuk mayoritas chef-chef lain. Tidak ada alasan untuk terlalu tegang. Kau tampak lebih tegang sekarang dari pada selama Grand Chef.”
“…Aku kira begitu. Situasinya membuat demikian. Waktu itu, keputusanku berdampak pada hidupku, tetapi sekarang, keputusanku bisa berdampak pada hidup orang lain.”
“Jangan ragu. Jika mereka tidak membuatmu terkesan, berarti hanya itulah yang mereka punya. Entah itu bakat atau kerja keras, jika mereka hanya punya satu saja, mereka pasti mampu menarik perhatian.”
Jo Minjoon hanya lanjut melihat ke luar jendela alih-alih merespon. Dia bisa melihat teman atau keluarga peserta yang menyemangati mereka di sebelah mereka. Namun, mayoritas dari mereka harus meminum wine yang beracun hari ini. Terlebih lagi, dialah yang akan meminumkan wine beracun itu pada mereka.
Anderson diam-diam melihat Jo Minjoon dari samping. Itu sangat mengejutkan bahwa Jo Minjoon susah dibaca. Pada pandangan pertama, senyum lembutnya membuatnya tampak tak berdosa dan polos, tetapi saat kau telah banyak menghabiskan waktu dengannya, kau juga menyadari bahwa dia bukan orang yang terbuka dengan mudah. Dia tidak masalah masuk ke dalam perasaan orang lain, tetapi sepertinya, dia susah membiarkan orang lain masuk ke dalam perasaannya.
Itulah kenapa pada satu titik, bahkan Anderson pun sempat bingung. Dia tidak bisa mengatakan entah Minjoon sungguh menganggapnya sebagai teman atau tidak. Tentunya, sekarang dia tidak punya kekhawatiran bodoh semacam itu. Sekarang, Anderson bisa menentukan orang seperti apa Jo Minjoon.
Jo Minjoon punya hati yang dalam dan punya banyak kasih sayang. Namun, saat dibutuhkan, dia mampu menjadi lebih tegas dari pada orang lain. Dia seperti itu saat ini. Cahaya lembut di mata Jo Minjoon, perlahan mulai redup. Tidak lama kemudian, tidak ada lagi jejak kelembutan pada ekspresinya. Dia telah mengatur emosinya. Anderson berkata dengan nada seolah merasa takut.
“Kau takut yaa.”
“Untuk apa aku takut?”
“Tidak ada. Jangan khawatir soal itu.”
Anderson mengalihkan pandangan seolah dia tidak mau menjelaskan alasannya. Jo Minjoon melihat ke cermin dan memperbaiki syal pada seragam chefnya. Seragam putih dengan syal hitam. Chef sous akan mengenakan warna kuning, chef preparasi akan mengenakan warna abu-abu, chef magang akan mendapat syal putih, dan syal Rachel berwarna merah.
Hubungan warna syal dengan level chef berbeda pada masing-masing restoran. Pada beberapa restoran, chef kepala menggunakan syal warna hitam. Di beberapa restoran lain, mereka menggunakan topi chef, alih-alih syal untuk menentukan levelnya.
‘Warna hitam tampak bagus’ (TL: Meskipun dengan ini menjadi spinoff Master Chef, hitam akan menjadi warna apron selama tes dengan tekanan.)
Dia tidak punya keluhan. Melihat Jo Minjoon tersenyum saat dia melihat ke cermin, Anderson berkata dengan nada tidak percaya.
“Semenit yang lalu, kau gusar karena akan menjatuhkan impian seseorang, tetapi sekarang kau bahkan tersenyum.”
“tidak sampai ingin menangis. Lagipula, selain sedih, aku juga penuh ekspektasi.”
“Ekpektasi seperti apa?”
Jo Min Joon tersenyum.
“Aku harus membiarkan lidahku banyak bekerja juga.”
“Lidahmu nanti saja, sekarang ayo ke dapur dulu. Kita perlu inspeksi final.”sela Lisa dengan Ella tertidur di punggungnya.
Jo Minjoon mengikuti Lisa dengan ekspresi canggung. Menginspeksi dapur itu sederhana. Pertama, cek status wajan, kompor, dan pisau. Selanjutnya, cek kesegaran bahan-bahan, memastikan lantai tidak licin, dan selesai sudah.
“Tidak ada masalah di sini. Bagaimana ovennya?”
“Semuanya baik-baik saja di sini. Oh, bisakah kau menggendong Ella sebentar?”
“Oh, iya.”
Lisa membelakangi Jo Minjoon untuk menyerahkan Ella yang berada di punggungnya. Insting Ella pasti terbangun bahkan ketika dia tidur, Ella merasa nyaman dan memeluk leher Jo Minjoon. Lisa meregangkan bahunya sebelum mengambil Ella dan merebahkannya di sofa kantor. Karena merasa kecewa pada kehangatan yang lepas dari pelukannya, Jo Minjoon berkata.
“Setidaknya Ella adalah gadis yang baik. Pasti membosankan datang ke restoran seperti ini, tetapi dia tidak mengeluh.”
“Bagaimana mungkin dia bosan bila ada paman peri impiannya berada di depannya?”
“Tentu, aku tidak mengatakan Ella bukan anak yang baik. Dia anak yang baik. Seorang putri yang hebat juga.”
“…Menurutku kau juga ibu yang baik, Lisa.” kata Jo Minjoon sembari menatap Lisa yang tersenyum sambil memandangi Ella.
Namun, kata-katanya menyebabkan wajah Lisa berubah suram. Dia berkata dengan nada mencela diri sendiri.
“Ibu yang baik tidak membuat putrinya hidup tanpa seorang ayah.”
“..Aku tahu seseorang yang tumbuh besar dengan situasi yang mirip dengan Ella. Dia juga tumbuh tanpa ayah, hidup sendirian hanya dengan ibunya, tetapi dia tanpa ragu sedikit pun mengatakan bahwa ibunya adalah ibu yang baik. Aku yakin Ella juga sama.”
Lisa terdiam saat menatap Jo Minjoon. Saat dia hendak merespon, mereka bisa mendengar suara Isaac.
“Chef kepala meminta kalian untuk datang ke aula.”
“Aku kira kita akan mulai.”
Di aula. Rachel sedang menunggu mereka, dia mengenakan seragam chef dengan rapi. Dia tersenyum lembut saat melihat semua orang.
“Kalian semua tampak seperti akan bersiap perang atau semacamnya. Tidak perlu seperti itu. Jangan gugup. Santai saja. Tidak ada alasan menjadi gugup.”
Jo Minjoon melirik jam tangannya saat Rachel berbicara. 9:55. Hanya tersisa 5 menit. Rachel perlahan lanjut berbicara.
“Ini adalah hari penting untuk peserta audisi, tapi hari yang penting juga bagi kita. Restoran pusat Rose Island secara resmi menjalankan agenda bisnis pertamanya. Aku gembira kalian berada di sini bersamaku. ……Baiklah, Isaac.”
“Iya, chef!”
“Bukalah Dapur Neraka.”
(TL: Oke, dia memang tidak mengatakannya, hanya saja aku terpikir tentang Gordon Ramsey yang membuka dapur neraka miliknya.)
“Ayo mulai.”
Isaac mengangguk dengan ekspresi yakin lalu membuka pintu. Mereka bisa mendengar semua suara hingar bingar dari balik pintu, tetapi segera setelah itu, semua peserta audisi masuk ke dalam aula dengan ekspresi gugup. Jo Minjoon memperhatikan peserta audisi.
‘Level memasak 5. 4. 4. 5. ……2? Apa yang dia rencanakan dengan keahlian serendah itu?’
Level memasak menunjukkan level kemampuan seseorang. Pasti ada orang-orang seperti Yamamoto, yang mereka temui di Jepang yang berlevel 7 seperti Jo Minjoon, yang mampu mengeluarkan rasa yang lebih dalam. Namun, itu hanya terjadi ketika seseorang hanya berfokus pada satu bidang. Jika level mereka serendah ini, sulit untuk berharap kemampuan khusus mereka.
Dahi Jo Minjoon mulai berkerut secara otomatis. Dia yakin bahwa orang-orang dengan keahlian memasak yang rendah mungkin adalah pelamar chef magang. Bahkan untuk chef magang sekalipun, dia tidak yakin dengan orang-orang ini. Mungkin mereka tidak akan pernah memasak dengan benar dalam usahanya masuk ke dapur. Memasak bukan sesuatu yang hanya bisa kau pelajari di restoran keren. Jika kau mencurahkan sedikit waktumu di rumah, keahlian memasakmu akan berkembang. Tetapi bahkan tidak berlevel 5, ataupun 4….itu bukti bahwa mereka tidak mencurahkan usaha sama sekali pada memasak.
Tidak mengejutkan, ekspresi Jo Minjoon menjadi dingin. Jalur ini adalah sesuatu yang sangat teramat berharga baginya hingga dia rela mendedikasikan seluruh hidupnya pada jalur ini. Jadi, dia tidak suka ada orang-orang yang datang ke sini yang tidak menunjukkan ketulusannya dalam memasak. Tidak hanya itu, hal itu juga menghina pelamar lain yang datang ke sini.
Namun, meskipun dia merasa demikian, dia menyambut kontestan dengan ekspresi yang berbeda. Seorang pria kulit putih dengan rambut hitam bergelombang yang berdiri di barisan belakang, mulai berbicara dengan wanita di sebelahnya dengan logat spanyol yang kental.
“Ehh, Jo selalu tersenyum selama siaran, jadi, aku pikir dia akan terkesan baik hati, tetapi ternyata tidak. Ekspresinya sangat dingin. Kukira yang di TV dan realita sungguh berbeda.”
Wanita yang memiliki rambut hitam panjang dikepang menoleh dengan ekspresi serius. Ekspresinya sangat sengit dan menakutkan bagi pria yang berbicara dengannya, hingga dia merinding sejenak. Namun, suara yang kemudian keluar dari mulu wanita itu secara mengejutnya terdengar santai dan indah.
“Mungkin dia berusaha memberi tekanan pada kita.”
“Aku jelas merasa tertekan. Oh, Aku Javier Diego.”
“Janet Pei.” Jawab Janet dengan nada santai. Javier tersenyum saat dia berbicara.
“Hai, Aku harap kita berdua terpilih. Ah, aku melamar sebagi chef demi. Kau?”
Tidak ada jawaban dari Janet. Sebelum dia bisa berkata, suara Rachel menggema ke seluruh aula.
“Pertama, aku ingin berterima kasih pada kalian semua yang telah berkumpul hari ini atas keinginan kalian menjadi bagian dari keluargaku dan untuk mengatakan pada kalian bahwa kalian sangat mempercayaiku. Sayangnya, aku tidak bisa bersama kalian semua. Satu chef magang, dua chef demi, empat chef preparasi, dan dua chef pemanggang. Itulah semua posisi yang akan kalian isi. Dari 58 orang, 48 orang dari kalian akan ……”
(TL: Penulis mengubah jadi 59 dari sebelumnya 49….Aku kira 9 chef pemanggang belum masuk hitungan.)
Jo Minjoon berbisik cepat.
“Empat puluh sembilan.”
“…Ehem. 49 akan pulang dengan tangan kosong. Aturan audisinya sederhana. Pertama kita akan mulai dengan kandidat chef magang. Tesnya adalah mempersiapkan dapur. Bagi pelamar yang lain, tolong tunggu di dalam aula. Tidak masalah jika kalian ingin menyimak apa yang terjadi di dapur, lagipula ini dapur terbuka. Baiklah, ayo.”
Dengan itu, Rachel berputar. Anderson menaikkan suaranya.
“Kandidat chef magang, silakan menuju dapur.”
Tujuh orang merespon dan mengikuti mereka masuk ke dapur. Hal yang mereka tangani di dalam dapur sederhana. Sebuah talenan, bawang putih, dan sebuah pisau. Dengan santai, Rachel mulai berkata.
“Tes pertama mudah. Tolong iris bawang putih untuk Aglio Olio. Minjoon, tolong beri contoh pada mereka.”
“Tentu.”
Jo Minjoon meraih pisau dapur. Bawang putih terbelah tipis pada setiap gerakan pisau Jo Minjoon. Dia tampak tidak terlalu fokus, tetapi setiap kali dia menurunkan pisaunya, bawang putih teriris sama tipisnya, bahkan sulit melihat perbedaan ketebalan di setiap irisannya. Jo Minjoon mengangkat irisan bawang putih itu lalu berkata.
“Irisannya tidak boleh lebih tebal atau lebih tipis dari ini. Baiklah, silakan mulai mengiris.”
Ketika Jo Minjoon selesai bicara, para kandidat segera memulai pertarungannya mengiris bawang putih. Ada beberapa yang menunjukkan tingkat keterampilan pisau yang layak, tetapi mayoritas biasa saja. Itu masuk akal. Untuk kandidat chef magang, hanya ada satu orang dengan level memasak lebih tinggi dari 4.
Tidak ada yang bagus dikatakan tentang orang dengan level memasak 2. Dalam diam, Jo Minjoon melangkah menuju ke hadapan seorag pria muda. Entah apakah dia multirasial. Pria muda berkulit hitam itu mengiris bawang putih menggunakan pisau setipis yang dia bisa…meski tampak tidak mudah. Beda ceritanya jika mereka memotong daun bawang. Sayangnya, bawang putih sangat kecil sebagai permulaan. Bawang putih sulit diposisikan dengan kokoh di atas talenan. Jika memegang pisau terlalu erat, kita tidak bisa merasakan pergerakan pisau, dan mengiris bawang putih akan terasa sulit.
Selain itu, mengiris bawang puting bukan terhitung sebuah keahlian lanjutan. Jika seseorang tertarik dalam memasak, siapapun bisa mencapai level mengiris bawang putih dengan mudah seperti ini. Akan tetapi bukan itu masalahnya bagi pria muda ini. Terlepas dari fakta bahwa irisannya tidak sama tebal, fakta bahwa dia memegang pisau seperti sebatang baja menunjukkan bahwa dia tidak ada pengalaman memasak seumur hidup.
Jo Minjoon menghela nafas dan melihat ke belakangnya. Rachel, Anderson, dan bahkan Lisa sedang menonton pria muda ini dengan ekspresi cemberut.
‘…Aku kira aku harus menembaknya.’ Keputusan diambilnya dengan cepat.
“Mr. Ben?” sapa Jo Minjoon
“Iya!”
“Apa kau suka memasak?”
“I, iya, suka.”
“Kau berbohong padaku.”
“… Hah?”
Ben melihat Jo Minjoon dengan ekspresi bingung. Jo Minjoon mengambil pisau dari tangan Ben dan menggenggam pisau dengan cara yang sama seperti Ben.
“Apa menurutmu masuk akal bagi seseorang yang suka memasak memegang pisau seperti ini? Apa kau memasak dengan normal?” (TL: Akankah Minjoon menyalurkan batin Gordon Ramsey?)
“……Aku tidak sering memasak. Tetapi aku ingin memasak.”
“Ada banyak orang di dunia ini yang ingin sesuatu. Masalahnya adalah apakah iya atau tidak mereka mencurahkan waktu dan usaha mereka, dan menunjukkan hasrat pada hal yang mereka inginkan. Bagiku, ini seperti kau datang ke sini hanya untuk bermain-main, Mr. Ben.”
“Itulah kenapa aku melamar sebagai chef magang. Aku melakukannya dengan tujuan mencurahkan usaha seperti yang kaubicarakan. Bukankah level chef magang berfokus untuk belajar?”
Mungkin dia tidak terima saat diberi tahu bahwa dia ada di sini untuk bermain-main, suara Ben terdengar menantang dan sengit. Jo Minjoon menghela nafas dan menggelengkan kepala.
“ Usaha bukan sesuatu yang datang dan pergi bergantung di mana kau berada. Jika kau sungung-sungguh berusaha memasak kau bisa melakukannya sendiri sebelum datang ke sini. Apa itu masuk akal dengan mengatakan kau ingin menjadi chef tanpa pernah memasak?”
“Aku tidak punya waktu…”
“Aku paling benci kata-kata itu. Bagaimanapun, kau pasti makan di rumah. Satu, dua makanan. Tidak peduli betapa sibuknya kau, kau pasti makan. Kau juga harus tidur. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang sangat sibuk hingga mereka tidak bisa bahkan untuk menyentuh pisau sekali saja. Kau punya waktu berlatih dengan pisau jika waktu tidurmu berkurang satu menit saja. Tentunya, aku akan paham jika kau saaaaaangat sibuk hingga kau bahkan tidak tidur barang semenit setiap malam. Apa kau sesibuk itu?”
Ben tidak bisa merespon. Tidak mungkin dia sesibuk itu. Jo Minjoon mengangkat bawang putih potong yang dia iris.
“Kau bilang bahwa menjadi chef magang adalah tahapan untuk belajar. Seandainya ini soal belajar bahasa Inggris, bukankah pertama yang harus kau tahu adalah huruf? Dari semua orang di sini, menurutku, kau satu-satunya orang yang bahkan tidak tahu tentang huruf, Mr. Ben.”
Suaranya pelan. Sepertinya dia berbicara dengan sopan dan lembut, namun, isinya tajam dan kritis. Ben menggigit bibirnya dan menundukkan kepalanya. Jo Minjoon melihatnya dengan tatapan sengit saat berbicara.
“Sulit bagiku untuk membayangkan bahwa hasrat yang tidak kau punya di dapurmu sendiri tiba-tiba muncul karena kau sedang berdiri di dapur restoran. Ada terlalu banyak balok penghalang yang terlihat bagi kami untuk bersama denganmu.”
Tangan Ben tidak menunjukkan sedikit pun keringat, seolah mengejek usaha kandidat chef magang lain. Jo Minjoon menatap Rachel. Dia mengangguk. Keputusan telah dibuat.”
“Terima kasih atas waktumu. Silakan pergi.”
< Juri yang ramah (1) > Selesai