Dewa Memasak – Bagian 166: Juri yang ramah (2)
Ben menatap Jo Minjoon dengan wajah tidak puas, lalu melepas apron yangdia pakai dan berbalik dengan cepat. Saat dia berjalan keluar restoran, semua orang bisa melihat bahwa langkahnya penuh dengan amarah. Jo Minjoon menonton Ben pergi dengan tatapan dingin. Javier, yang menonton apa yang Jo Minjoon lakukan, berkaTa seolah dia tidak percaya.
“…Aku pikir dia malaikat, tetapi ternyata dia setan.”
“Dia bukan setan. Dia itu peri.”
Sebuah suara dengan nada tersinggung tiba-tiba menyela. Javier melonjak kaget dan melihat ke sekitarnya. Namun, satu-satunya orang yang duduk semeja dengannya adalah Janet. Javier melihat Janet dengan ekspresi serius.
“Dia seperti peri? Apa kau salah satu penggemar Jo Minjoon?”
“Apa yang sedang kau bicarakan?”
“Kau baru saja bilang. Dia adalah peri, bukan setan. Kau bahkan mengatakannya dengan nada tersinggung.”
“Aku tidak pernah bilang seperti itu. Apa yang sedang kau bicarakan?”
Janet melihat Javier seolah dia gila. Javier menutup mulutnya dengan ekspresi bingung. Dia yakin mendengar suara itu. Saat tengah memikirkannya, sebuah kepala kecil menyembul keluar dari balik taplak meja yang longgar.
“……!”
Javier hendak berteriak tetapi bisa menahannya dan badannya mulai gemetar. Ella menatap Javier yang menggigil dengan seringai di wajahnya.
“Pamanku bukan setan.”
“……Aaahhhh. Paman? Apa kau membicarakan soal Minjoon? Tunggu, yang paling penting, kau siapa?”
“Namaku Ella.”
Ella merespon dengan percaya diridan hendak duduk di sebelah Janet. Ketika Janet melihatnya dengan ekspresi gugup, Ella hanya duduk bersandar ke meja lalu kepalanya menghadap Jo Minjoon. Javier berusaha berbicara dengannya sekali lagi.
“Apa kau kenal Minjoon?”
“Iya. Dia pamanku.”
“……Paman?”
Janet bingung melihat Ella. Tak peduli bagaimana kau melihatnya, anak itu sama sekali tidak menunjukkan darah orang Asia. Segala silsilah keluarga yang rumit singgah dibenaknya. Namun, Javier dengan cepat menangkap bahwa itu hanya digunakan sebagai tanda hubungan keakrabannya. Javier menatap Ella lalu bertanya.
“Pamanmu pasti baik padamu.”
“Iya. Dia banyak bermain denganku, dia memasak makanan yang enak saat aku lapar, dan …mmm…”
Ella mengerutkan bibirnya seolah dia tejatuh dalam pikirannya. Namun, tidak ada yang perlu didengar lebih lanjut. Javier diam-diam memandang Jo Minjoon saat dirinya memikirkan jika seorang anak dapat memberikan penilaian positif terhadapnya, biasanya dia pasti orang yang sangat lembut.
“Kalau begitu saat ini, kenapa dia begitu kasar?”
Evaluasi Jo Minjoon tidah hanya kasar pada Ben, yang baru saja pergi. Dia harus melakukannya. Matanya terus melihat orang banyak yang tidak siap. Tentunya, mereka melamar menjadi chef magang karena mereka tidak siap, tetapi hanya ada 3 orang yang tampak seperti mereka telah berusaha keras berlatih sendiri.
Jo Minjoon berjalan di depan pria berkulit hitam dan kurus lalu melihat bawang putih di depannya. Semua irisan bawang putihnya tebal. Jika dia sungguh mencari-cari kesalahan, dia bisa, tetapi itu tidak akan membuat perbedaan. Jo Minjoon menatap pria itu. Pria itu menatap balik Jo Minjoon dan yang lain dengan ekspresi sangat gugup sekali.
“……Mr. Justin. Kau bilang kau berlatih sendiri cara memasak, benar?”
“Iya…iya!”
Anderson mengangkat irisan bawag putih untuk membandingkan lalu mulai berkata.
“Lamaranmu mengatakan bahwa kau adalah supir truk. Aku tahu jam kerja supir truk lama, lalu bagaimana kau berlatih?”
“Aku berlatih sebisanya dengan mengurangi semenit jatah tidurku dan bahkan memasak dalam waktu singkat itu. Kalau sempat, aku masak sendiri bekal makanan yang aku santap di jalan.
Itu terdengar seperti apa yang dikatakan Jo Minjoon pada Ben meninggalkan kesan mendalam baginya. Jo Minjoon berpura-pura batuk dengan ekspresi canggung ketika Rachel tersenyum dengan lembut lalu mulai berkata.
“Sopir truk. Aku kira tidak masalah bagimu untuk menyetir setiap kali kita pergi berbelanja.”
“Terima kasih!”
“Jangan terlalu senang. Itu hanya jika kau terpilih.”
Jo Minjoon berkata dengan nada dingin. Mau tak mau, wajah Justin kecewa. Ada satu tes lagi untuk chef magang. Minjoon khawatir Justin terlalu senang sehingga dia tidak mampu menunjukkan keahliannya yang sebenarnya di tes berikutnya.
‘Akhirnya aku bisa memahami kenapa Alan harus begitu keras pada kita.’
Keahlian menggunakan pisau. Setelah Ben, empat orang lagi tereliminasi. Hanya tersisa empat orang pelamar. Secara pribadi, Jo Minjoon menginginkan Justin, karena hanya dia pelamar dengan level memasak 5. Jo Minjoon menginginkan orang yang punya keahlian yang menjadi bagian dari keluarganya. Kita tidak bisa menebak karakter seseorang dalam satu hari, tetapi berdasarkan apa yang dilihatnya sejauh ini, dia tidak tampak terlalu buruk.
Bahan untuk tes berikutnya juga bawang putih. Tes terakhir berfokus pada presisi mereka dan keahlian mereka. Tes ini berfokus pada seberapa cepat mereka bisa mengupas semangkok bawang putih. Ketika Rachel mengumumkan detail tes selanjutnya, Jo Minjoon menyela.
“Seperti yang kalian tahu, kalian tidak boleh memasukkanya ke dalam mangkok lalu mengocoknya. Yang bisa kalian gunakan hanyalah pisau kalian karena kami akan menguji seberapa cepat tangan kalian. Kalian tidak boleh mengambil cara yang mudah.”
Ada masa di saat Jo Minjoon menjadi chef magang dan dengan bodohnya mengupas bawang putih saat itu dengan pisau. Kemudian, dia belajar bahwa bawang putih bisa mengelupas sendiri jika dimasukkan ke dalam wadah lalu mengocoknya…tetapi itu setelah dia menderita selama sebulan.
Namun, jika kau ingin menguji kecepatan tangan seseorang, dengan membuatnya menangani bahan-bahan, khususnya bahan kecil seperti bawang putih, itu adalah cara yang bagus.
Anderson meniup peluit dengan keras. Pelamar terkejut lalu dengan cepat mulai menggunakan punggung pisau untuk menumbuk bawang putih dan memisahkan kulitnya. Kemudian mereka menggunakan ujung pisau untuk melepaskan kulitnya satu per satu.
Dan hasilnya sesuai dugaan. Justin adalah orang tercepat ketiga dari empat orang yang selesai mengupas bawang putih. Pada pandangan pertama, dia kelihatannya kurang beruntung, tetapi Jo Minjoon dengan tenang melihat keadaan bawang putih pelamar. Kemudian, dia membuat keputusan final dalam benaknya.
Para juri membutuhkan beberapa saat untuk mendiskusikan penilain mereka. Semua keputusan mereka sama. Rachel akhirnya berbicara.
“Pada awalnya, kami berdebat untuk memberitahukan hasilnya pada kalian semua nanti, tetapi tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada menunggu. Para juri telah membuat keputusan bulat. Aku tidak akan berlama-lama lagi. Ini tidak seperti siaran atau semacamnya.
Dengan mengatakan itu, Rachel menghadap ke depan Justin. Bibir Justin gemetar dengan gelisah. Rachel menepuk bahu Justin dan mulai tersenyum.
“Selamat datang. Kita sekarang satu keluarga.”
“Terima kasih……TERIMA KASIH!”
Mata Justin memerah saat dia berteriak dengan suara gemetar. Jo Minjoon melihat ketiga pelamar yang lain. Pengupas yang paling lambat tampak paham bahwa dia tidak akan diterima, tetapi di wajah kedua pengupas tercepat ada banyak kekecewaan. Jo Minjoon menghadap ke arah kedua pelamar itu lalu bertanya.
“Apa kalian tahu kenapa kalian tereliminasi?”
“…Tidak, aku tidak yakin.”
“Lihatlah ini.”
Jo Minjoon meletakkan beberapa bawang pada talenan. Itu adalah bawang putih yang telah mereka kupas, dan bawang putih yang Justin kupas. Jo Minjoon mengangkat bawang outih itu saat dia berkata.
“Perbedaan level kalian, apa kalian bisa mengetahuinya?”
Mereka memperhatikan bawang putih itu. Setelah beberapa saat, akhirnya mereka menyadari perbedaannya dan mengeluarkan ‘Ah,’ Anderson mulai berpaling dari samping.
“Hanya karena kami meminta kalian melakukan dengan cepat, bukan berarti kalian bisa melakukannya setengah-setengah. Aku yakin kalian semua gugup. Itu membuat kalian fokus pada waktu dan membuat tangan kalian bergerak cepat. Namun, kalian tetap tidak boleh membiarkan bahan-bahan menjadi rusak. Bahan-bahan adalah fondasi semua masakan, dan nantinya chef magang yang bertanggung jawab terhadap fondasi itu.”
Bawang putih Justin bersih tanpa sehelai kulit pun. Namun, bawang putih yang lain tidak tampak sama. Bawang putih mereka ada yang teriris di bagian samping oleh mata pisau dan ada pula yang memiliki bekas goresan, sehingga getah bawang putih keluar dan membuatnya juga terasa lengket. Jo Minjoon berkata dengan nada lembut.
“Aku paham kau merasa terburu-buru. Namun, hanya satu alasan bagi seorang chef terburu-buru. Pelanggan. Yaitu saat pelanggan sedang menunggu. Namun, kalian tetap tidak boleh menggunakan bahan-bahan yang rusak hanya karena pelanggan sedang menunggu. Jika kau mengingat itu, aku percaya kau akan mampu terpilih di restoran manapun di masa mendatang.”
Meski dia tidak memiliki pengalaman nyata bekerja sebagai chef, kata-katanya tetap berbobot. Alasannya sederhana. Setiap kali Jo Minjoon memasak, dia memikirkan tentang orang-orang yang akan memakannya. Perasaannya juga tercurah pada setiap kata yang diucapkannya.
Salah satu pelamar yang tereliminasi mendatangi Jo Minjoon. Dia adalah seorang wanita kulit putih yang sedikit lebih muda dari Jo Minjoon. Dia menatap Jo Minjoon dengan berbinar-binar.
“Terima kasih telah mengucapkan kata-kata yang manis. Pasti lucu bagiku mengatakan ini, tapi aku mulai bermimpi ingin menjadi chef setelah menontonmu memasak. Kau satu-satunya orang yang menunjukkan padaku betapa keren dan bergayanya memasak itu. Hari ini, aku merasa seperti aku belajar hal lain darimu, yaitu perasaan seorang chef. Aku pasti akan mengingatnya.”
“…Terima kasih telah melihatku dari sudut pandang yang bagus. Mari kita berusaha keras bersama. Bagi kita berdua, perjalanan masih panjang.”
Wanita itu tersenyum dengan ekspresi kecewa lalu perlahan berbalik dan melangkah pergi. Rachel menonton pelamar yang pergi itu lalu berkata.
“Jangan membiarkan hal ini membuat kalian merasa rendah diri. Tidak ada kegagalan dalam sebuah tantangan kecuali jika kau menyerah.”
Dia mengatakan itu untuk menyemangati para pelamar yang gagal , tetapi orang yang terkena dampak paling banyak sebenarnya adalah Anderson. Tidak ada kegagalan kecuali kau menyerah. Seringkali dia merasa dunia berlanjut hanya berfokus pada Minjoon yang menurutnya Jo Minjoon adalah sebuah dinding yang tidak bisa dia lalui.
‘Kau tidak kalah…hingga kau menyerah.’
€
Mereka telah memutuskan chef magang yang diterima. Audisi berikutnya jelas chef preparasi. Dari 15 pelamar, empat dari mereka nanti akan menjadi bagian dari keluarga. Mungkin karena mereka berada pada level untuk melamar sebagai chef preparasi, sebagian besar dari mereka punya keahlian yang lumayan. Hanya satu dari mereka punya level memasak 4, 9 dari mereka punya level memasak 5, dan sisanya berlevel 6.
‘Sepertinya terlalu berlebihan bagi seseorang dengan level 4 melamar sebagai chef preparasi.’
Orang itu terlihat berusia sekitar 30-an tahun, dan Minjoon pikir dia mungkin pernah bekerja di restoran berdasarkan pengalamannya alih-alih keahliannya. Jo Minjoon mulai fokus pada orang-orang dengan level 6. Tidak ada yang bisa dia lakukan. Tidak seperti sistem poin untuk hidangan, dia lebih dulu tahu perbedaan tingkat memasak dari kenaikan levelnya sendiri.
Bahkan ada perbedan antara orang-orang yang berada di penghujung level 5 dan orang-orang yang baru saja berlevel 6. Tentunya, jika kau hampir sampai di penghujung level, kau bisa naik level dengan sedikit wawasan, tetapi kau tidak akan pernah tahu kapan wawasan itu akan kau dapatkan.
Rachel berkata.
“Ada alasan sederhana kenapa kami memilih 4 chef preparasi. Minjoon dan Anderson , serta 2 chef demi yang baru yang akan kami pilih hari ini. Kami ingin masing-masing chef demi punya asisten. Apa yang akan kami minta hari ini pada kalian bukanlah kreativitas. Apa yang kami harapkan dari kalian sangat sederhana. Kalian harus mampu menyelesaikan hidangan yang diminta dengan mengikuti resep tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Tetapi sebelum kita mulai…”
Rachel tersenyum nakal saat bertanya.
“Aku ingin bertanya sesuatu. Jika kalian terpilih dan berakhir mengikuti salah satu chef demi, kalian ingin bekerja dengan chef demi siapa? Karena kami belum memilih dua chef demi lain, ku kira saat ini pilihannya hanya antara Minjoon dan Anderson.”
(TL: Oooh, Rachel, kau menyulut api.)
Dia membuat itu terdengar seperti lelucon untuk menghidupkan suasana, tetapi Jo Minjoon dan Anderson sama-sama menajamkan sorot mata mereka. Pria cenderung mudah tersulut api kekanak-kanak. Jo Minjoon maupun Anderson tidak ada bedanya.
Anderson menatap Rachel dengan tatapan penuh daya saing.
“Guru, sebelum mereka memutuskan, boleh aku mengatakan sepatah dua patah kata?”
“Tentu saja. Silakan.”
“Ehem……”
Anderson berdehem lalu melangkah maju mendekati kerumunan. Tatapan Jo Minjoon pada Anderson seolah bertanya perlukah hal itu dia lakukan. Tatapan Jo Minjoon membuat Anderson mempertanyakan kembali keputusannya sesaat, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ingin menang. Anderson mulai berbicara dengan nada seramah mungkin yang bisa dia kerahkan, meski hanya terdengar canggung.
“Aku punya kepribadian yang kaku. Namun, ini juga berarti aku tidak akan mengatur secara detail pada kalian. Aku hanya akan mengurusi sesuatu yang menurutku perlu diatur untuk memastikan semuanya tidak bermasalah. Plus…”
Anderson tersenyum penuh arti.
“Aku akan berjanji satu hal. Jika kalian memilihku dan pada akhirnya terpilih, aku secara pribadi akan memasak makan malam yang lezat untuk kalian.”
Pelamar bersorak dan berseru ‘huuuuuu.’ Tak peduli apapu itu, dia adalah runner-up kompetisi Grand Chef. Di tambah lagi, untuk bisa menyantap makan malam lezat buatan Anderson, yang telah menerima edukasi memasak khusus di Glouto sejak kecil, itu terasa mimpi jadi kenyataan. Mereka penasaran dan penuh antisipasi. Pada saat itu, Jo Minjoon menatap Anderson sebelum dia melangkah maju untuk berpidato.
“Karena Anderson sudah maju dengan semacam komitmen, kukira aku tidak punya pilihan lain. Aku juga akan membuatkan kalian makan malam. Dan sejujurnya…”
Jo Minjoon mulai menyeringai ketika dia melihat Anderson.
“Bagaimana mungkin kalian bisa menilai dengan mencobanya sekali? Kalian perlu mencoba setidaknya dua kali untuk membandingkan dan membedahnya. Aku akan mentraktir kalian dua kali.”
“…Aku setuju. Kalau begitu aku akan mentraktir kalian tiga kali.”
“Empat kali.”
“Lima kali.”
Mereka berdua saling bertatapan dengan sengit. Javier, yang menonton dapur dari aula, tersenyum saat hendak berkata.
“Pria jadi seperti anak-anak setiap kali berkompetisi.”
“Apa?! Kalau begitu pamanku jadi lebih muda?”
Ella mengambil napas dalam lalu matanya terbelalak. Pada semacam serangan yang datang entah dari mana, Javier tidak tahu bagaimana dia harus merespon. Janet menjawab mewakili Javier.
“Dia mungkin nanti jadi lebih muda darimu.”
“Mmm…mungkinkah wanita bisa jadi lebih muda?”
“Aku tidak yakin. Kukira bisa, bergantung pada masing-masing orang.” jawab Janet dengan nada santai.
Ekspresi Ella berubah ceria seolah-olah mengatakan bahwa dia akhirnya menemukan jawaban untuk salah satu pertanyaan dalam hidupnya. Dia mulai bergumam dengan ekspresi yang rumit.
“Menurutku, ibuku jadi lebih muda juga.”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
Ella terdiam tidak mau menjawab. Dia tidak bisa menjawab. Dia ingin menjaga harga diri ibunya. Ella mengisap kedua pipinya saat berpikir.
‘Itulah kenapa ibu menggunakan pasta gigi rasa stroberi.’
< Juri yang ramah (2) > Selesai