Dewa Memasak – Bagian 168: Juri yang ramah (4)
Alasan Jo Minjoon mengkritisi setiap hidangan masing-masig pelamar seperti ini bukan hanya karena dia tidak ingin melihat bahan-bahan terbuang. Itu juga untuk keuntungan pelamar. Jika mereka akan kehilangan poin, lebih baik mendapatkannya sekarang dan menyajikan hidangan yang baik alih-alih nanti setelah hidangan yang dibuat gagal.
Selain itu, jika bisa membantu mereka melihat kesalahan apa yang mereka tunjukkan, mereka pun bisa memperbaiki untuk kedepannya, yang berarti pula pada saat yang sama, mereka sedang diberi nasehat.
Pada akhirnya, Jo Minjoon berjalan mengelilingi meja masak hingga semua pelamar selesai memasak. Hal ini memungkinkan untuk memprediksi bagaimana seandainya dia menjadi chef demi, tidak, bukan hanya sebagai chef demi tetapi juga sebagai chef sous atau chef kepala di masa mendatang.
Javier bergumam.
“Syukurlah aku chef demi. Jika aku harus bekerja dengannya sebagai chef preparasi, telingaku bisa tuli.”
“Lebih tepatnya, kau bukan chef demi melainkan pelamar chef demi.”
“Tidak masalah, lagi pula aku akan terpilih. Apa kau berencana gagal pelamar Janet?”
“Aku sedang membicarakan tentang…”
“Apa kalian sedang bertengkar sekarang?”
Ella melihat mereka dengan ekspresi serius. Janet berhenti berbicara dan menghela napas. Ella membuka tas kulit berwarna merah muda miliknya lalu mengeluarkan kantong kecil dan menyodorkannya pada mereka berdua.
“Makan ini dan berhentilah bertengkar.”
“…Apa ini?”
“Ini jelly buatan pamanku. Jangan makan yang warna kuning. Yang itu kesukaanku.”
Makanan buatan Jo Minjoon. Mungkin hanya jeli, tetapi itu tetaplah makanan. Mata Javier mulai berbinar. Dia mengambil jeli dengan hati-hati lalu memasukkannya ke dalam mulut. Jeli yang dia ambil transparan.
“Rasa apel. Oh… fakta bahwa jeli ini tidak terlalu kenyal itu berarti bahwa dia tidak menggunakan gelatin.”
Saat Javier memberikan komentar, Janet buru-buru mengulurkan tangannya. Segera setelah itu, Ella berseru.
“Aku bilang jangan ambil yang warna kuning!”
Janet tidak tampak peduli dan memasukkan jeli ke dalam mulutnya dengan ekspresi santai. Persis seperti yang Javier katakan. Mungkin karena Jo Minjoon memikirkan gigi anak-anak, tetapi bisa dikatakan betapa besar perhatian yang dia curahkan berdasarkan fakta bahwa jeli ini lembut dan manis alih-alih kenyal. (TL: Siapa yang punya jeli kenyal selumnya? aku bingung…)
“Ini enak.”
“…Dia bilang enak. Setelah mencuri milik orang lain!”
“Kau yang memberikannya pada kami.”
“Yang rasa lemon milikku.”
Ella mengepalkan tangannya erat dan tubuhnya gemetar. Janet tersenyum samar, yang tak akan bisa terlihat kecuali jika kita sangat fokus memperhatikan wajahnya. Janet berkata pada Ella.
“Aku akan membuatkan jeli untukmu. Jeli yang lebih enak. Aku pintar membuat jeli.”
Ella tampak terpikat sejenak, tetapi cepat-cepat dia berkata dengan nada kesal.
“Ini tidak seperti kau akan kembali ke sini jika kau gagal. Aku pun tahu itu. Aku juga orang dewasa, kau tahu?”
“Orang dewasa?”
“Aku orang dewasa. Akubisa mencuci rambut bonekaku sendiri sekarang.”
Ella membusungkan dada seperti sedang pamer. Menonton itu, bahkan Janet tidak bisa mempertahankan lagi sikapnya yang dingin. Faktanya, dia bahkan dilema apakah dia sebaiknya menggapai dan menggosok kepala Ella. Pada saat itu, Javier berkata,
“Oh, penilaian dimulai.”
Mendengar itu, Janet menoleh. Rachel sedang berdiri di depan dan perlahan berkata.
“Kali ini sedikit lebih sulit. Minjoon membantu kalian, tetapi memikirkan fakta bahwa ini semua adalah pertama kalinya bagi kalian mengerjakan hidangan ini, aku yakin kalian semua telah melakukan pekerjaan yang bagus. Jadi, agak mengecewakan bahwa kami hanya bisa mengambil empat orang saja dari kalian.”
Jo Minjoon hanya diam menatap ke arah hidangan yang tinggal separuh. Yang mendominasi pikirannya adalah
‘…Apa kita harus membuang semua itu?’
Saat dia masih kecil, orang tuanya sangat ketat. Mereka tipe orang tua yang mengatakan pada anaknya untuk memakan semuanya dan tidak menyisakan makanan sedikit pun bahkan sebutir nasi, dan mereka tidak suka pilih-pilih makanan. Ingat keringat para petani hingga kita bisa menyantap nasi. Itu nasihat yang klise, tetapi meski begitu, nasihat itu menancap di benaknya.
Sekarang berbeda dan dia lebih suka menyakiti badannya dengan makan berlebih meski dia sudah kenyang dari pada harus membuang makanan, tetapi…sebenarnya, pada akhirnya dia lebih perhatian terhadap pentingnya bahan makanan dari pada orang tuanya. Hal itu terasa seperti masing-masing bahan berbisik padanya. ‘Apa kau sungguh akan membuang kami meski kami berbentuk seperti ini?’
“Minjoon?”
“…Iya, iya?”
Jo Minjoon berbalik dan terkejut setelah mendengar suara Rachel di telinganya. Anderson mendecakan lidahnya kemudian berbicara.
“Guru bertanya padamu. Apa ada yang ingin kau sampaikan pada para pelamar?”
“Aaah…” seru Jo Minjoon saat melihat para peserta.
Ada perbedaan pada tatapan para pelamar yang mengarah padanya. Karena dia mengomel pada mereka sepanjang waktu selama mereka memasak, ada beberapa orang yang melihatnya dengan tatapan tidak nyaman …….. sementara ada beberapa orang menatapnya dengan ekspresi terima kasih sejak awal. (TL: Fiuuh…sungguh? haruskah seperti itu?)
Tatapan itu lebih baik dari pada saat mereka pertama kali melangkah masuk Rose Island. Mau tak mau, seperti itulah yang terjadi. Mereka melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri. Nilai dibalik nama Jo Minjoon bukan pencitraan semata dan tidak dilebih-lebihkan. Mereka melihat Jo Minjoon sebagai chef sejati.
Meskipun mereka enggan, mau tak mau, mereka harus menerima itu. Bahkan mereka yang mengira Jo Minjoon tidak hebat karena dia tidak memiliki pengalaman. Mereka tidak bisa lagi menganggap enteng Jo Minjoon. Dengan perhatian yang terfokus padanya, Jo Minjoon ragu-ragu sebelum mengatakan sesuatu.
“Entah bagaimana akhirnya aku banyak mengomel. Aku merasa aku telah mengeraskan suaraku, jadi, siapapun yang merasa tidak nyaman, aku minta maaf.”
Dia tidak mendapat respon. Dia lanjut berbicara dengan tenang.
“Empat dari kalan akan berakhir menjadi bagian dari keluarga ini dan sisanya tidak. Namun, meskipun restoran tempat kita bekerja tidak lagi sama, aku yakin kalian semua akan bekerja di dapur juga, aku yakin pada dasarnya kita berada di perahu yang sama. Mari kita nikmati perjalanan ini bersama.”
Dua tiga orang bertepuk tangan pelan. Rachel berkata.
“Aku akan mengumumkan pelamar yang terpilih.”
€
“…Inilah saatnya giliran kita.”
Chef magang dan chef preparasi telah terpilih. Pemanggang sedang menjalani tes oven mereka sendiri dengan Lisa. Sekarang saatnya tes untuk chef demi. Javier melihat Janet lalu berkata.
“Menurutmu apa tema misi berikutnya?”
“Aku tidak begitu peduli. Apapun itu, aku akan terpilih.”
“…Sekarang aku iri pada kepercayaan dirimu.”
Jika Javier melihat tangan Janet, tangan yang sedikit gemetar itu, dia tidak akan berkata seperti itu. Namun, Javier tidak melihatnya. Namun, Ella melihatnya. Ella mendengus sambil mengayunkan kakinya yang menggantung lalu melompat dari kursi. Kemudian, dia menghadap Janet lalu menodongkan kelingkingnya.
“Apa kau sungguh akan membuatkan jeli lemon untukku?”
“… hah?”
“Kau sudah bilang tadi. Kau bilang kau akan membuatkan aku jeli lemon. Meski tidak mungkin seenak jeli paman.”
Janet hanya diam menatap Ella setelah mendengarkan ucapannya yang blak-blakan. Ella membuka matanya lebar-lebar menatap Janet, seolah dia sedang mengikuti kontes menatap dengan Janet. Janet juga mengacungkan kelingkingnya.
“Aku akan membuatkan jeli untukmu. Bahkan yang lebih enak.”
Tangannya tidak lagi gemetar. Janet melepaskan kelingkingnya lalu beranjak. Pada saat itu, 27 pelamar berdiri bersamaan. Rachel berdiri di depan mereka saat dia berbicara.
“Karena ukuran dapur, menurutku sulit bagi semuanya menjalani tes bersamaan. 14 orang dari kalian yang berada di sebelah sini, silakan masuk ke dapur. Sisanya, silakan menunggu di kantor. Kalian tidak boleh tahu tema misi hingga tepat sebelum kalian mulai memasak.
Rachel menunjukkan ke tengah kelompok saat dia berbicara. Tepat di antara Javier dan Janet. Dengan melihat punggung Javier yang memasuki dapur, Janet mengikuti Isaac masuk ke kantor.
‘…Aku semestinya berdiri agak ke kiri.’
Dia hanya merasa mungkin tidak terlalu gugup jika selesai duluan. Tentunya, orang-orang yang sedang memasak sekarang juga harus menunggu sementara dia memasak…tetapi setidaknya mereka bisa menerka hasil tes mereka.
Janet duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan lalu menyandarkan punggungnya. Jantungnya berdegup kencang. Tentu saja, Rachel Rose, nama itu penuh arti dalam hidup Janet. Saat dia tidak bisa menemukan alasan untuk hidup keesokan harinya, nama itu memberinya harapan.
Alasan sebenarnya bukanlah hal yang besar. Justru, jelas terkait dengan hal yang kekanak-kanakan. Rachel Rose adalah seseorang yang membuktikan bahwa seseorang bisa berada di puncak sebagai wanita. Di dapur. Di sebuah ‘negara’ kecil yang penuh dengan hal-hal berbahaya seperti pisau dan api, Rachel Rose adalah…seorang chef yang mampu bergerak maju melewati pria-pria kasar dengan tubuhnya sendiri sebagai wanita.
Sejujurnya, saat dia pertama kali bermimpi menjadi chef, dia tidak sungguh tertarik dengan Rachel Rose. Ada banyak chef di dunia. Tidak terlihat tepat pula menjadi penggemarnya hanya karena tidak banyak chef wanita.
Namun, ketika dia mulai memperbanyak pengalaman di dapur, pemikirannya berubah. Pekerjaannya lebih berat dari yang dia perkirakan, dan stamina wanita lebih lemah dari yang dia percayai. Jika dia tampak seperti akan menunjukkan sedikit tanda kelelahan, chef di dapur akan mulai mengatakan: ‘apa kau bertingkah seperti seorang wanita lagi?’ Janet sangat membenci ucapan itu hingga dia merapatkan giginya lagi dan berusaha maju. Ketika dia merasa seperti akan mati, dia mengatakan pada dirinya sendiri ‘jika aku akan mati, mati saja’ ketika dia mengangkat barang-barang dan menyiapkan bahan-bahan.
Jadi, setiap kali dia merasa sangat ketakutan dan tidak bisa melakukannya lagi, dia berpikir, ‘bagaimana Rachel gigih melewati ini?” Tentunya, dia tidak mungkin tahu, tetapi dia yakin satu hal. Rachel gigih dalam berusaha. Jadi, dia pun harus gigih. Dia tidak bisa menggunakan fakta bahwa di sana ada banyak perlawanan kecil terhadap chef wanita sebagai sebuah pengecualian. Tak peduli betapa buruknya, mungkin itu tidak seburuk apa yang telah dilalui Rachel.
Dia bekerja seperti itu di restoran yang sama hingga dia dipromosikan menjadi chef demi. Ketika dia menjadi sangat hebat hingga semua orang di dapur mengatakan bahwa dia akan menjadi chef sous berikutnya, hasil kegigihannya sangatlah manis.
Akan tetapi ada alasan sederhana dia mengajukan resign dan datang ke sini. Ketika dia mendengar bahwa Rachel mencari keluarga baru, badannya terasa sangat gatal hingga tidak bisa menahannya. Dia ingin menjadi bagian dari keluarga Rachel seolah dia ingin menuliskan babak baru dalam sejarah. Itulah alasan Janet.
‘…Jadi, itu Minjoon.’
Janet memikirkan tentang jeli yang baru saja dia makan. Itu lumayan. Hanya dengan merasakan jeli itu, dia bisa menilai tingkat fondasi Jo Minjoon. Cara dia memasak di depan pelamar chef preparasi juga terlihat sangat lihai dan tanpa cacat.
‘Namun, posisi murid favorit Rachel akan menjadi milikku.’
Janet mampu gigih dalam berkarir memasak berkat dorongan yang dia dapat dari Rachel. Rachel sudah menjadi guru dalam hati Janet. Itulah kenapa dia ingin diterima oleh Rachel. ‘Kau tumbuh menjadi chef yang hebat. Itu menakjubkan.’ Janet ingin mendengar itu dari Rachel.
Oleh karena itu, ekspresi Janet sangat sengit ketika dia masuk ke dalam dapur sejam kemudian. Jo Minjoon melirik Janet. Ketika Janet tidak menghindari tatapannya dan justru membalas menatapnya, Jo Minjoon tersentak dan berbisik pada Anderson.
“Gadis itu terus menatapku.”
“…Buang penyakit pangeranmu itu.” (TL: Bagaimana orang Korea menyebut narsisme?) , Aku akan mengatakan pada Kaya.)
“Tidak, bukan seperti itu… Dia terus menatapku. Apa aku melakukan kesalahan?”
“Bagaimana aku tahu bahkan kau sendiri tidak tahu?” jawab Anderson kesal.
Namun, mau tak mau, Jo Minjoon lanjut melirik gadis itu berkali-kali. Fakta bahwa gadis itu menatapnya dengan ekspresi sengit seolah berusaha menantangnya bukanlah satu-satunya alasan.
‘Level memasaknya…8.’
Dia satu-satunya pelamar hari ini yang mempunyai level memasak 8. Itu berarti, jika dia mampu menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya, ada kesempatan sangat besar mereka akan bekerja sama.
Dengan memperhatikannya, mau tak mau, dia takjub. Jo Minjoon paham bagaimana dia memiliki level memasak 8. Gadis itu belum berusia 30 tahun dengan level seperti itu. Tentunya, Anderson dan Kaya juga punya level memasak 8, tetapi … Anderson yang menerima kursus memasak elit sejak kecil dari orang tuanya yang merupakan chef terkenal, dan Kaya, yang berbakat secara alami bisa dengan mudah menggulingkan Anderson karena jenius. Dua orang ini tidak bisa dibandingkan dengan orang rata-rata.
“Aku akan mengumumkan tema misi kalian terlebih dahulu. Hidangan khas. Oh, melihat tidak ada dari kalian yang terkejut, kukira semua orang sudah menduganya.”
Itu dapat dipahami. Chef demi adalah level seorang chef disebut chef yang sebenarnya. Menjadi seorang chef berarti bakat pribadi, serta filosofi memasak, telah berkembang hingga tingkat tertentu. Tentunya, itu belum lengkap, seorang chef demi perlu cukup visi dan pengetahuan untuk mendiskusikan sebuah resep dengan chef sous atau chef kepala.
Itulah kenapa banyak restoran sering meminta membuat hidangan khas ketika mereka mencari seorang chef demi yang baru. Mereka ingin melihat sebuah hidangan yang mengandung bakat pribadi chef tersebut. Jo Minjoon berkata.
“Kalian boleh menggunakan bahan apa saja dalam ruang persediaan kami.”
Saat Jo Minjoon mengatakan itu, Isaac, yang berdiri di aula, mengirimkan isyarat dengan tangannya pada Rachel. Setelah melihat Isaac sejenak, Rachel baru menyadari lalu berseru ‘Ah’ dan berbisik di telinga Jo Minjoon.. Ekspresi Jo Minjoon berubah kikuk, dia berpura-pura terbatuk lalu lanjut berbicara.
“…Hmmm, ternyata apa pun kecuali kaviar dan foie gras.”
< Juri yang ramah (4) > Selesai