Dewa Memasak – Bagian 169: Juri yang ramah (5)
Jo Minjoon melihat para peserta. Kerutan di dahi mereka menunjukkan betapa cepat pergerakan di dalam kepala mereka saat ini.
Dia melihat ke arah aula. Pelamar chef demi yang sudah memasak pada kelompok pertama, serta semua chef magang dan chef preparasi yang telah terpilih duduk di sana. Ketika Ella, yang sedang duduk di depan meja membuat kontak mata dengan Jo Minjoon, dia tersenyum seperti bayi dan melambaikan tangannya dengan wajah suka cita. Jo Minjoon tersenyum sedikit lalu melihat ke sebelahnya.
‘Javier, kandidat teratas saat ini.’ Kecuali 13 yang tersisa punya keahlian yang lebih baik darinya, besar kemungkinan dia terpilih.
Hidangan yang dia tunjukkan bukanlah hidangan utama, melainkan hidangan pembuka. Sejujurnya, itu adalah hidangan yang cerdas untuk dibuat. Dalam waktu tes yang singkat, membuat hidangan pembuka lebih masuk akal dari pada hidangan utama untuk menunjukkan keahlian.
Hidangan pembuka Javier unik. Dia merebus cangkang pisau cukur gould sebentar lalu membungkusnya dengan cumi-cumi yang telah dipotong-potong dengan ukuran yang tepat, meletakkan carp roe di atasnya, kemudian menumbuk daun sage kering dan timi untuk membuatnya tampak seperti salju. Setelah itu dia mengasapi kuning telur lalu meletakkannya ke dalam lemari es untuk mendinginkannya. Selesai.
Pada pandangan pertama, hidangan itu tampak cukup sederhana. Faktanya, hidangan itu hanya berskor 7 poin. Namun, hidangan itu tidak kurang dalam rasa dibanding dengan hidangan dengan poin 8 atau 9. Aroma wangi herba dan aroma khas seafood selaras, kesannya…sangat segar hingga bisa dipertimbangkan sebagai salah satu hidangan pembuka terbaik yang Jo Minjoon pernah coba.
‘Kita bisa memasukkan ini dalam menu nantinya.’
Itu pendapat Rachel. Jo Minjoon sependapat. Dia juga merasa terstimulasi di saat yang sama. Hidangan 7 poin. Jika dia diminta untuk membuatnya, dia pasti bisa. Namun, jika dia diminta untuk membuat hidangan 7 pon yang bisa memperoleh pendapat yang sama, dia tidak yakin sama sekali.
Itu adalah efek sampingnya jika hanya berfokus pada poin hidangan hingga saat ini. Cangkang kosong yang mengandalkan kemegahan dan keahlian. Sifat yang cenderung sering ditunjukkan oleh penjahat di film atau drama memasak, itulah sifat yang dimiliki Jo Minjoon.
‘Aku harus memperbaikinya.’
Dia tidak cemas. Dia masih muda, dan karena dia bisa menemukan itu di awal, dia mampu memperbaikinya dengan cepat. Dia juga merasa sedikit segar kembali. Dia mampu menentukan penyebab frustasi yang tak dikenal yang merasukinya sejenak.
Sorot mata Jo Minjoon menjadi serius. Situasinya sangat berbeda sekarang dengan saat chef preparasi yag sedang memasak. Tidak seperti chef preparasi, Jo Minjoon tidak bisa membenahi resep chef demi. Terutama, misi ini tentang hidangan khas mereka. Dengan kata lain, terserah mereka semua, dan pada akhirya, mereka akan berada di level yang sama dengan Jo Minjoon sebaga chef demi. Jika dia berusaha mengungkapkan kesalahn mereka itu hanya akan menyebabkan perasaan tidak nyaman.
Karena itu, ketika mereka mulai memasak, Jo Minjoon tidak bisa mengalihkan sorot matanya dari ujung jari mereka. Cara mereka memilih bahan-bahan dan mempersiapkannya. Cara mereka menggunakan wajan dan pisau mereka, dan pengetahuan mereka yang terlihat di resep mereka.
Begitu dia mengakui mereka sebagai pesaing untuk belajar, hal-hal yang dia rasakan dari gerakan yang sama juga berbeda. Bahkan dari kebiasaan buruk yang mereka tunjukkan, Jo Minjoon bisa memikirkan tentang hal-hal yang perlu dia waspadai.
‘Orang bilang bahwa memasak adalah sesuatu yang kau pelajari dengan melihat dari balik bahu…’
Ungkapan itu sepertinya realistis. Jo Minjoon sangat tertarik pada Janet. Bukan karena levelnya yang tertinggi di antara para pelamar. Itu karena dia membuat beberapa pilihan menarik.
‘Mentega lemon dan buah pir. Sebuah risotto rasa mint dan salmon panggang di atasnya…’
Risotto adalah hidangan yang sensitif. Kita harus fokus dalam waktu yang lama, agar risotto sempurna, kau harus mengukur bahan-bahan dengan akurat sejak awal. Ketika kaldu siap, kau tidak bisa menambahkan apapun ke dalamnya karena nasi akan mengembang.
Olehkarena itu, sulit untuk menambahkan banyak bahan ke dalam risotto. Kau harus menemukan keseimbangan semua bahan-bahan sembari memastikan citarasa masing-masing tidak saling bertubrukan. Jo Minjoon lanjut memperhatikan hidangan Janet dengan penasaran.
Tidak butuh lama rasa penasaran itu berubah menjadi rasa takjub. Sebuah Risotto hijau berkilauan berada di atas piring, dan saat salmon panggang yang terselimuti dengan minyak zaitun dan mentega menggunakan metode arroser diletakkan di atasnya…hidangan itu berubah menjadi hidangan 9 poin.
‘…Aku tidak pernah melihat seorang pun membuat hidangan 9 poin dengan mudah.’
Anderson dan Kaya, keduanya berlevel 8. Namun, meskipun mereka berdiri di tempat yang sama, mereka tidak akan dengan mudah membuat sebuah hidangan yang sempurna seperti yang dia lakukan.
Pengalaman. Sudah lama sejak dia melihat seseorang yang sangat cocok dengan kata itu. Dia adalah sebuah pisau yang diasah dengan baik hingga sulit dipercaya dia berada di level chef demi.
“…Anderson, mana dokumen lamaran?”
“Tunggu. Oh, ini.”
Setelah menerima dokumen lamaran dari Anderson, Minjoon mulai membaca data diri Janet. Kemudian dia memekik ‘wow’ pelan. Nama restoran tempat dia dulu bekerja tidak asing baginya, ‘Pierro Garnish’. Itu adalah restoran yang telah mempertahankan tiga bintang selama hampir 20 tahun.
“Kenapa? Apa kau tertarik padanya?”
“Tentu saja. Berdasarkan apa yang aku lihat sejauh ini, masakannya yang paling mudah diingat.”
“…Risotto hijau itu? Entahlah. Sepertinya itu hidangan untuk vegan.”
“Jika itu untuk vegan, tidak mungkin dia akan menggunakan olahan susu atau ikan.”
“Maka paling tidak sebuah pesco?” (TL: Tebakan kilat untuk pescatarian)
“Meski begitu, itu bukan sesuatu yang akan mengurangi poin. Yang utama adalah cita rasanya.”
“Masalahnya adalah itu subyektif.”
“Kutebak kau tidak memperhatikan dia memasak.”
Jo Minjoon melihat Anderson dengan ekspresi ‘aku tahu itu’. Anderson merespon balik dengan nada jengkel.
“Tidak, kau pikir aku bisa menonton semua chef ini memasak?”
“Iya.”
“Kalian berdua. Berhenti dan kemarilah. Kita harus menilai.”
“…Maaf.” sahut Anderson dengan wajah bersungut-sungut lalu berjalan dengan kesal.
Beberapa pelamar bahkan tertawa melihat tingkah Anderson. Rachel menuju pelamar pertama lalu bertanya.
“Berdasarkan apa yang aku lihat, kau merebus lama ayam dalam saus, kemudian merendamnya dalam meringue.”
“Iya. Aku membuat saus dengan jus jeruk dan sedikit kecap asin.”
Jo Minjoon memotong dada ayam lalu memasukkan potongan kecil itu ke dalam mulutnya. Rasanya cukup menyenangkan. Meringue yang lembap berpadu baik dengan dada ayam yang kering sehingga dada ayam tidak lagi terasa kering. Tekstur itu bukan karena dia merebusnya.
Orang-orang cenderung berpikir bahwa jika merebus daging, air akan masuk dan membuatnya lembab. Tidak seperti itu, gagasan itu benar-benar salah. Gagasan itu hanya berlaku untuk daging yang telah diasinkan dengan garam dan salinitas internalnya meningkat. Jika kau melakukan marinasi seperti itu, membuang garamnya, kemudian memasukkannya ke dalam saus, kaldu atau saus akan meresap dengan baik karena proses osmosis
‘Memasak itu juga sains.’
Seiring berjalannya waktu, bahkan mungkin orang-orang akan melakukan gastronomi molekuler di rumah. Jo Minjoon berkata.
“Ini adalah hidangan yang menunjukkan apa yang harus bisa dilakukan oleh chef dengan fondasi dasar yang kuat. Dada ayam ini sempurna dan meringuenya ringan. Keduanya menghasilkan kombinasi yang bagus.”
“Terima kasih.”respon pelamar itu samil tersenyum.
Terlepas dari sukses atau tidaknya untuk bergabung dengan Rose Island, bisa mendapat evaluasi dari Jo Minjoon adalah kesempatan besar. Itu adalah sebuah kesempatan untuk mendapatkan evaluasi dari seseorang yang secara resmi punya lidah paling sensitif di dunia. Plus, di sebelahnya ada Rachel yag legendaris. Mungkinkah ada ujian yang lebih mewah di tempat lain?
Akan bagus jika mereka semua bisa menerima evaluasi yang bagus, tetapi, ada juga hidangan yang sangat sulit untuk memberikan pujian. Tidak peduli apakah itu karena mereka gugup atau karena mereka kurang berbakat. Hanya hidangan di depan mereka itulah yang bisa mereka gunakan untuk mengevaluasi para pelamar.
“Mousse ketela dan mousse codfish…sejujurnya, saat aku menontonmu memasak, aku tidak sabar ingin mencicipinya. Namun, keduanya tidak selaras sama sekali. Mr. Chris, Apa alasannya? Apakah resepnya salah atau kau tidak sukses mengikuti resep?”
“Sejujurnya, stik ini dimasak dengan baik. Tetapi hanya itu saja. Saus yang terbuat dari cuka apel dan wine. Untuk disebut hidangan khas hanya dengan itu…Aku merasa sepertinya itu kurang. Itu juga bukan seperti kombinasi dari dua bahan dalam saus yang paling disoroti.”
“Masing-masing bahan berdiri sendiri. Namun, jika kau bertanya padaku apakah keduanya berpadu dengan baik, sulit bagiku menjawab iya.”
Kenapa itu terasa seperti mereka masih jauh sekali dari risotto Janet? Jo Minjoon melihat Janet dengan ekspresi lelah yang samar. Mungkin karena mereka berdua adalah orang Asia, sehingga dia merasa sensasi aneh pada ketidakasingan yang dia rasakan, tetapi Janet melihatnya balik dengan ekspresi dingin tanpa setitik pun keramahan. Rachel berkata.
“Sebuah kombinasi buah pir dan mint…Kaldunya pakai kaldu ayam?”
“Iya. Di risotto buah, aku yakin menggunakan kaldu ayam adalah cara terbaik untuk mengeluarkan rasanya.”
“Aku bisa merasakan citarasa menyegarkan dalam bulir nasi dari pada rasa buah pir dan mint…lebih lembut bukannya tajam. Hmmm…apa kau menggunakan mentega lemon?”
“Iya. Kau sungguh tahu semuanya.”
Ekspresi Janet saat Rachel berbicara tampak seolah dia kagum dan sangat lembut. Itu sangat berbeda dari ekspresi yang dia tujukan pada Jo Minjoon. Hal itu membuat Jo Minjoon sedikit kecewa. Namun, kekecewaan itu segera hilang saat dia memasukkan risotto dan salmon ke dalam mulutnya. Jo Minjoon berkata dengan nada suka cita. Ekspresinya luar biasa gembira, lebih gembira dibanding sebelum-sebelumnya yang dia tunjukkan pada pelamar lain.
“Ini sungguh enak! Aku bertanya-tanya bagaimana kau akan menangani rasa pahit mint, tetapi rasa manis buah pir membantu menghilangkan rasa pahit mint. Aroma lemon yang menyegarkan namun berminyak membuat nasi semakin lembut …… dan saya tidak perlu mengatakan apa-apa tentang salmon. Ini adalah arroser yang sempurna tanpa cacat. Itu menakjubkan.”
“Iya. Terima kasih.”
Dibanding ekspresi Jo Minjoon, suara Janet kaku. Anderson juga tidak ramah, tetapi Jo Minjoon merasa respon Janet padanya hampir menyakitkan. Terkesan seperti dia merasa dibenci, Jo Minjoon bertanya pada Anderson dengan nada kecewa.
“Apakah orang-orang cenderung punya kesan pertama yang buruk padaku?”
“Sejujurnya, aku tidak bisa mengatakan tidak.”
“…Semuanya tampak baik-baik saja hingga sekarang.”
Setelah mencicipi beberapa hidangan lagi, ini saatnya mereka mendiskusikan pendapat mereka. Janet tampak tidak begitu suka dengan Jo Minjoon, tetapi Jo Minjoon menyukai Janet. Dia juga suka dengan makanannya. Jo Minjoon dengan yakin melontarkan pendapatnya.
“Janet Pei. Menurutku kita harus merekrut orang ini. Resepnya bagus dan aku tidak bisa menemukan kesalahan apapun pada keahliannya. Ada banyak pelamar yang bagus, tetapi dia adalah satu-satunya orang yang aku yakin dia lebih baik dari aku.”
Itu dorongan yang cukup kuat. Melihat Minjoon bertingkah layaknya pengggemar Janet, Anderson merespon dengan blak-blakan.
“…Baik sekali kau. Kau sangat ngotot sekalipun dia bersikap dingin padamu.” (TL: Apa kau tidak tahu karakter Jo Minjoon?)
“Hal yangpaling penting adalah makanan. Jika mereka memasak dengan baik, aku bahkan tidak peduli jika mereka suka mengumpat.”
“Kukira itulah kenapa kau bersikap yang sama pada Kaya.”
Jo Minjoon tidak merespon. Dia melihat Rachel dan memintanya lagi.
“Ayo kita rekrut dia. Orang ini.”
€
“Kita pasti ditakdirkan untuk bertemu seperti ini lagi.”
Janet memicingkan mata ke arah Javier yang dengan senang hati mengulurkan tangan di depannya. Dia menjabat tangan Javier.
“Karena dipastikan bahwa kita bukan sekadar penumpang dalam kehidupan satu sama lain, kukira satu kali berjabat tangan, tidak masalah.”
“Selamat. sudah terpilih.”
“Miss Janet, kau juga terpilih. Kau berbicara seperti kau sendiri tidak diterima.”
“Panggil aku Janet saja. Dengan memanggilku ‘Miss Janet’ membuatku tidak nyaman.”
“Tidak masalah. Janet. Ah, Mr. Minjoon, dan Mr. Anderson.”
Javier menghampiri mereka dengan ekspresi ceria. Jo Minjoon mengangkat bahu.
“Panggil saja Minjoon.”
“Oke. Minjoon. Kalau begitu, panggil aku Javier.”
“Kerang Gould dan cumi-cumi itu tadi…aku tidak yakin bagaimana menyebutnya, Pokoknya, hidangan itu sungguh enak. Mari kita bekerja dengan baik bersama-sama.” kata Jo Minjoon sambil tersenyum.
Di aula, kesembilan anggota keluarga baru saling berkenalan satu sama lain. Bak pesta kecil. Anderson tidak ingat nama mereka semua dan sungguh tidak merasa butuh mengingatnya, tetapi Jo Minjoon berbeda. Mengingat adalah spesialisasinya. Memperhatikan Jo Minjoon menyapa satu per satu mereka, Anderson berkata sambil menggelengkan kepala.
“Aku takkan bisa bersikap seperti itu.”
“Kau tidak tampak seperti orang yang buruk di siaran.”
“Memangnya ada yang melakukan sesuatu yang buruk saat siaran? Selain buruk, itu juga kebodohan.” (TL: Peter, ditambah hampir separuh kontestan di dapur neraka. kontestan Master Chef, tidak terlaluburuk. Kontestan Master Chef Junior lebih memukau)
Anderson menggerutu ketika menjawab. Namaun tanggapan seperti itu justru tampak menyenangkan. Javier tersenyum saat dia berbicara.
“Aku akan senang jika kau memanggilku Javier. Boleh aku memanggilmu Anderson saja?”
“Itu tidak boleh.”
Itu bukan suara Anderson. Javier menengok ke bawah, mengikuti suara kekanak-kanakan yang terdengar di telinganya. Ella dengan angkuh menaikkan dagunya, seolah dia adalah pemilik pesta yang sederhana ini. Bagian yang mengecewakan adalah dia sedang tidak mengenakan gaun, hanya kaos oblong berpola bunga-bunga dan celana pendek kuning. Anderson bertanya dengan suara gemetar.
“Kenapa tidak?”
“Paman Minjoon bilang bahwa kau harus memanggil orang dengan nama yang paling mereka sukai.”
“…Lalu apa nama yang aku suka?”
Anderson merasakan sensasi aneh dari kegelisahan yang merayap di kakinya. Ella terkikik nakal lalu menjawab.
“Paman dduksam!” (TL: Sungguh paman Mochi ini!)
“……Aku tahu akan seperti ini. Kenapa bocah tengik itu selalu…”
“Apa yang dia bicarakan? Dduksam?”
“…Bukan apa-apa. Lupakan itu. Juga…”
Anderson bimbang apakah dia harus menceritakan tentang duksam atau tidak, sebelum menutup mulutnya. Dengan menceritakan hal itu, tidak akan menjadi keuntungan baginya. Pada saat itu, Janet menyeruput air soda lalu mulai ikut mengobrol.
“Kalian semua sangat ramah. Meski lebih baik untuk tidak menjadi sangat ramah lebih dulu.”
“Kenapa tidak?”
“Rose Island. Tempat ini mulai berbunga lagi. Itu berarti belum ada yang ditentukan. Hal yang belum ditentukan adalah…”
Janet berbicara dengan nada keras seperti prajurit wanita.
“Bagian mana yang menjadi tanggung jawab masing-masing demi chef. Seharusnya itu juga belum ditentukan, bukan? Sebagai info saja, aku siap menangani hidangan pembuka.”
“..Apa yang akan kau lakukan jika aku tertarik menangani hidangan pembuka juga?”
Anderson bertanya dengan nada menantang. Janet menjawab dengan yakin.
“Kau harus bersaing denganku.”
< Juri yang ramah (5) > Selesai