Tranlator : Hennay
Dewa Memasak – Bagian 171: Bayangan yang tumpang tindih (2)
Umumnya, tugas untuk chef magang yang baru saja masuk dapur itu sederhana, yaitu menyiapkan bahan-bahan, membersihkan dapur, dan melakukan tugas apapun yang diminta oleh chef preparasi atau/dan chef di atasnya. Karena mayoritas tugas chef magang adalah tugas sehari-hari, ada banyak orang yang berpikir bahwa itu buang-buang waktu. Akan tetapi, tidak seperti itu.
Pertama, tugas itu membantu menemukan cara untuk membedakan bahan-bahan yang berbeda. Kondisi bahan-bahan, cara mempreparasinya, dan cara menyimpannya. Yang terpenting adalah chef magang juga perlu menggunakan pisau untuk preparasi bahan-bahan, jadi, gerakan mereka akan semakin tangkas.
Plus, menonton chef lain dan mengikuti perintah yang diteriakkan padanya juga membantu chef magang memahami alur dapur dan durasi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sesuatu.
Tentunya, itulah yang terjadi saat dapur beroperasi. Rose Island masih mempersiapkan pembukaannya kembali, jadi, di dapur tidak sibuk. Namun, mereka tidak hanya duduk bersandar dan bersantai. Meskipun mereka tidak dikejar waktu karena pelanggan, masing-masing dari mereka punya banyak hal yang harus dilakukan. Rachel sibuk berusaha membangun kembali hubungan dengan supplier yang tidak pernah lagi dia hubungi selama 10 tahun. Chef demi dan chef preparasi sibuk mempelajari resep Rachel yang dibagikan pada mereka.
Karena itu, Justin, chef magang, orang yang semestinya paling sibuk di dapur, akhirnya menjadi orang yang punya waktu luang paling banyak. Mau tak mau seperti itu. Karena tidak ada proses memasak yang berlangsung, tidak banyak bahan yang harus dia kerjakan, dan kedua tangannya pun tidak sibuk. Semua yang bisa dilakukan Justin adalah membersihkan apapun yang ada didapur, yang mana sudah dia bersihkan hingga mengkilap semuanya, dan juga mengobservasi lingkungan dapur. Sebenarnya ada sesuatu yang Justin bisa konfirmasi dengan pasti melalui itu.
‘…Apa terjadi sesuatu dengan Minjoon baru-baru ini?’
Jo Minjoon tenang dan lembut, tetapi karena dia sopan dan berterus terang seperti orang terpelajar, kadang-kadang dia terlihat kaku. Bahkan kadang kala, dia terlihat seperti robot pencicip makanan karena dia bisa menebak dengan benar apapun yang masuk ke dalam mulutnya. Tetapi akhir-akhir ini, dia tidak seperti itu. Mungkin sesuatu yang bagus terjadi, dia terlihat teramat sangat gembira dan bahkan tersenyum tanpa alasan.
Justin bukan satu-satunya orang yang memiliki pertanyaan itu. Suatu hari saat makan siang, Rachel berkata
“Minjoon, kau tampak sangat bahagia akhir-akhir ini. Apa karena kau akhirnya menyadari bahwa sekarang kau chef baru?”
“Apa aku sungguh terlihat bahagia?”
“Iya. Sangat. Orang-orang mungkin berpikir kau baru menang undian atau semacamnya.”
Mendengar respon Lisa, Jo Minjoon hanya diam dan mengusa-usap lehernya sebelah kanan. Dia merasakan sensasi aneh pada bekas luka bakarnya yang tersembunyi di balik kerah seragam chefnya. Biasanya, orang-orang akan merasa sedih dengan luka itu, tetapi tidak bagi Jo Minjoon. Baginya, itu terasa seperti benang takdir yang menghubungkan antara dia dan Kaya. Anderson mendecakkan lidah sambil berkata.
“Rupanya dia akan bertemu dengan Kaya hari ini.”
“Kaya…… KAYA YANG ITU?!”
Bukan Lisa yang merespon Anderson. Justin, yang menyimak pembicaraan dalam diam, tiba-tiba menaikkan suaranya dengan ekspresi suka cita. Jo Minjoon mengangguk dengan ekspresi ceria.
“Aku akan bertemu dengannya hari ini. Dia bilang akan sering berada dia LA selama beberapa bulan ke depan.”
“…Aku tidak suka wanita panda itu.”gerutu Ella dengan nada merajuk.
Jo Minjoon harus berpikir sejenak. Wanita Panda? Dia penasaran apakah Ella mengatakan itu karena riasan gotik di mata Kaya. Ketika Lisa menatap Ella dengan ekspresi galak, Jo Minjoon menghibur Ella dengan suara lembutnya.
“Kaya akan menyukaimu. Dia sungguh suka dengan anak menggemaskan sepertimu.”
“Apa yang menggemaskan dariku? Aku tidak menggemaskan. Aku sudah besar. (TL: Apapun yang kau katakan, sayang, itulah yang membuatmu menggemaskan.)
Meskipun dia berbicara seolah tidak suka, segera setelah itu, dia mulai tertawa. Kemudian Javier bertanya pada Jo Minjoon.
“Minjoon, boleh aku bertanya sesuatu yang agak pribadi?”
“Tidak.”
“…Bukankah orang-orang biasanya bertanya dulu apa pertanyaannya?”
“Jelas sekali apa yang akan kau tanyakan.”jawab Jo Minjoon dengan ekspresi seolah dia tahu yang Javier pikirkan.
Javier mungkin merasa bersalah, dia mengangkat kedua tangannya lalu berkata.
“Kalau begitu akau akan bertanya pertanyaan yang lain, boleh, kan?”
“Baiklah. Terserah. Tanya saja.”
“Apa kalian berdua berkencan?”
“…Javier.”
Jo Minjoon melihat Javier dengan ekspresi lebih lunak. Javier menjawab dengan ekspresi santai.
“Kenapa? Aku sebenarnya akan bertanya tentang sesuatu seperti siapa menurutmu yang akan jadi chef sous.”
“Kenapa itu pertanyaan pribadi?”
“Karena aku bertanya soal pendapat pribadimu, maka itu pertanyaan pribadi.”
Itu hanyalah alasan, tetapi sangat meyakinkan. Jo Minjoon meletakkan jempolnya pada bekas luka bakar sejenak sebelum menjawab dengan santai.
“Kita tidak berkencan.”
Itu tidak salah. Itu benar bahwa mereka berdua dalam suasana penuh cinta, tetapi mereka tidak pernah punya kesempatan untuk memiliki hubungan semacam itu. Javier tidak meragukannya dan menganggukkan kepala.
“Kau masih punya banyak sekali sesuatu yang harus terjadi. Aku yakin kau akan menikmatinya.”
“Ayo membicarakan chef sous saja. Menurutmu itu siapa?”
Sangat jelas bahwa Jo Minjoon berusaha mengalihkan topik. Kali ini, tidak masalah membiarkan Jo Minjoon keluar dari perangkap. Javier tersenyum ceria saat menjawab.
“Alih-alih siapa yang menjadi chef sous, pertanyaannya adalah berapa banyak calonnya.”
“Karena Rachel bilang dia tidak akan mendapatkan koki kedua, maka sous chef perlu menjalankan peran koki kedua juga …… jika dipikir-pikir …… apakah akan ada sekitar dua orang?”
“Aku tidak yakin…. Janet.”
Javier memanggil Janet. Janet berhenti makan puding buah buatan Lisa, lalu menoleh. Javier bertanya dengan nada jahat.
“Bagaimana kalau bertaruh pada berapa banyak chef sous nantinya?”
“Aku tidak punya uang untuk taruhan.”
“Kita bisa taruhan untuk sesuatu selain uang. Hidangan pembukan. Kita bisa menentukan siapa yang akan bertanggung jawab pada bagian itu dengan taruhan ini.”
“…Aku tidak masalah tidak mendapat bagian itu kalau keahlianku kurang, tapi aku tidak suka kehilangan posisi itu karena kalah taruhan. Silakan taruhan dengan yang lain saja.”
Itu pernyataan yang sangat dingin, tetapi Jo Minjoon terkesan. Ucapannya yang singkat menunjukkan keripadiannya sebagai seorang chef. Hanya keahlian. Dia, tipe orang yang ingin menentukan semuanya dengan keahlian saja. Mungkin itu kepribadian ideal sebagai seorang chef. Namun, pada saat yang sama, itu adalah kepribadian yang tidak akan pernah membuatmu santai. Jo Minjoon berbisik pada Anderson lalu bertanya.
“Ini pasti sulit, ya kan?”
“Apa?”
“Janet. setiap hari, hidupnya tidak santai. Menurutku, itu akan sangat sulit.”
“Aku bisa mendengar semua yang kau katakan.” Sela Janet pelan sambil tetap menatap piringnya.
Jo Minjoon sangat terkejut lalu melihat Janet. Dia yakin dia berbicara sangat pelan. Dia membalas dengan nada canggung.
“…Pendengaranmu baik sekali.”
“Semakin lemah dirimu, kau harus semakin menajamkan telingamu, seperti kelinci.”
“Janet, kenapa kau lemah?”
“Aku tidak tahu. Untuk mengatakannya sendiri, itu agak memalukan.”
Janet menghentikan ucapannya lalu lanjut makan. Dia sangat tenang, seolah tidak mendengar apapun yang luar biasa. Mungkin dia sudah terbiasa mendengar hal-hal semacam itu di restoran tempat dia biasa bekerja.
“Aku merasa aneh, padahal aku tidak mengatakan hal yang buruk tentang dirinya.” gerutu Jo Minjoon sembari memasukkan ravioli ke dalam mulutnya.
Janet yang membuat Ravioli. Ravioli itu baru dibuat dari tepung sagu, sehingga mengandung daya serap tinggi dari pada ravioli yang dibuat dari pasta pra-masak. Saus yang terbuat dari sage dan mentega membuat pasta tampak jauh lebih lunak, udang dan daging domba di dalamnya dapat ditelan dengan mudah tanpa rasa berminyak dari bawang yang dicampur dengan macam-macam herba. Jo Minjoon segera lupa tentang apa yang baru saja terjadi dan mulai tersenyum.
“Janet, ravioli ini sungguh enak.”
“Tidak ada yang lebih baik dari ravioli sebagai makanan pembuka.”
Javier menyela dengan cepat.
“Oo, aku kenyang sekali. Satu gigitan dan aku sudah kenyang. Ini sangat mengenyangkan hingga lebih cocok sebagai hidangan utama dari pada makanan pembuka.”
€
Pada malam hari, Jo Minjoon sedang dalam perjalanan menuju bandara. Meski ke bandara, jaraknya sangat dekat hanya butuh 20 menit pergi ke sana. Anderson menyupir dengan menggerutu.
“Kau harus membuat SIM Internasional. Apa-apaan ini? Aku bukan supirmu.”
“Meski aku punya SIM Internasional, ketika visa kerjaku nanti keluar, aku tidak bisa menggunakannya lagi. Itu yang Hukum katakan. Imigran harus membuat SIM baru.”
“Itu tidak seperti orang berubah haya karena status mereka berubah dari turis menjadi imigran. Peraturan tidak berguna macam apa itu?”
“Kenapa? Kau bisa bertemu Kaya bersamaku.”
“Aku tidak mau mati jadi obat nyamuk di antara kalian berdua.”
Menurutku, kau bukan obat nyamuk. Setidaknya bagiku.”
“Hmph. Sungguh?”
Meskipun Anderson menggerutu, dia tetap memacu mobilnya dengan lebih cepat. Jo Minjoon bertanya dengan suara cemas..
“Aku tidak bilang pada Kaya bahwa aku akan menemuinya di bandara. Bagaimana jika kita muncul dan dia bilang tidak punya waktu untuk berbincang denganku?”
“Kalau begitu, katakan padanya sekarang. Oh, kukira dia sedang tidak terhubung ke internet, dia kan masih di pesawat.” (TL: Waktu itu, tidak ada wifi di pesawat. Hanya ada camilan…)
“Baiklah, jika dia sungguh tidak sempat, aku akan pulang setelah melihat wajahnya.”
“Haaah? Menempuh 40 menit pulang-pergi hanya untuk melihat wajah seorang wanita yang bukan pacarmu?”
“Bahkan kau pun seperti ini? Selain itu, meski kau yang datang, aku jelas akan muncul menyambutmu.”
Anderson tidak bisa memahami bagaimana perasaannya. Haruskah dia merasa merinding pada ucapan yang murahan itu ataukah merasa hangat dengan pemikirannya. Dia tidak tahu jawabannya.
“…Fokus saja untuk memberi kejutan pada Kaya. Kau tidak perlu melakukan itu padaku juga.”
Dia terdengar seperti seorang anak laki-laki yang tidak bisa jujur. Jo Minjoon hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa.
Saat mereka tiba di bandara, masih ada 30 menit hingga jam kedatangan Kaya.
“Aku tidak akan datang lagi untuk menjemputmu. …Tidak. Mungkinkah kau pulang nanti malam? Barangkali akan seperti waktu itu di Florence…”
“Berhentilah mengejekku. Omong-omong terima kasih sudah mengantarku ke sini.. Apa ada sesuatu yang kau ingin aku sampaikan pada Kaya? Aku akan mengatakannya pada Kaya.”
“Katakan padanya untuk menurunkan berat badan.”
“…Itu mungkin agak sulit.”
Anderson tertawa sambil menggeser persneling kemudian melesat pergi. Di dalam bandara, ada banyak orang-orang mendorong koper dan banyak juga orang-orang yang memegang papan nama. Jo Minjoon mengeluarkan ponselnya.
[Aku: Kabari aku saat kau mendarat.]
[Kaya: Aku baru saja mendarat. Kenapa?]
[Aku: Kau sudah mendarat?]
[Kaya: Iya. Aku di bandara. Tapi kenapa kau bertanya?]
[Aku: Aku juga ada di bandara sekarang.]
Setelah itu, tidak ada balasan bahkan setelah beberapa menit berlalu. Hampir seolah jaringan internetnya terputus. Mungkin dia terkejut. Saat dia hendak mengirim pesan lagi pada Kaya. Sebuah pangilan muncul. Panggilan dari Kaya. Jo Minjoon mendekatkan ponselnya ke telinganya lalu menggerutu.
“Kenapa kau tiba-tiba tidak membalas dan menghilang? Aku pikir terjadi sesuatu padamu.”
[Memangnya kau siapa. Kenapa kau tiba-tiba muncul di sini.]
“Aku ingin mengejutkanmu. Apa kau terkejut?”
[Jika kau hendak memberi kejutan pada seseorang, setidaknya perlihatkan wajahmu dulu.]
“Bagaimana aku bisa menunjukkan wajahku padamu, sedangkan di sini banyak sekali orang-orang.”
[Keluargaku tidak kesulitan menemukanku di keramaian pasar, di tengah ratusan orang.].]
“Itu keluarga.”
Tiba-tiba hening. Jo Minjoon tidak bisa melihat, tetapi dia bisa membayangkan betapa tajamnya sorot mata Kaya saat ini. Jo Minjoon terkikik lalu bertanya.
“Jadi, di mana kau sekarang?” Apa kita bisa bertemu saat ini? Apa kau harus melakukan sesuatu?”
[Ini malam hari. Apa yang akan dilakukan chef pada malam hari? Baiklah, kukira aku harus membongkar koperku di hotel…tapi aku bisa menitipkannya pada agenku. Agenku meminta ini dan itu banyak sekali, jadi seharusnya, aku juga boleh meminta dia melakukan ini untukku]
“Jadi kau di mana?”
[Bandara LA.]
“……Aku sangat yakin setidaknya ada ribuan orang di sini saat ini.” (TL: Pada malam hari di bandara LA? Barangkali puluh ribu orang.)
[Datanglah ke meja info. Aku memakai hoodie putih dan celana jins. Juga pakai kaca mata dan masker.]
Jo Minjoon mengernyit. Dia penasaran fashion macam apa itu. Saat dia menuju meja informasi dan melihat sendiri penampilan Kaya, dia sungguh bisa melihat betapa anehnya itu. Jo Minjoon mengakhiri panggilan. Kaya pasti belum melihat Jo Minjoon karena dia masih mendengarkan suara di ponselnya.
“Halo. Halo? Hah, dia memutus panggilan?”
“Kaya.”
“……Ah. Kau sudah datang.”
Kaya menurunkan kaca matanya sedikit untuk memastikan itu adalah Jo Minjoon dan menganggukkan kepala. Suara Kaya sangat kasar. Di telepon, Jo Minjoon berpikir mungkin karena masalah sinyal, suara Kaya sangat berat di banding biasanya. Jo Minjoon mulai melontarkan pertanyaan dengan ekspresi cemas.
“Kenapa kau berpakaian seperti ini? Tidak. Pakaianmu tidak masalah. Tetapi ada apa dengan masker dan kaca mata? Kau bukan selebritas atau semacamnya. Plus, kenapa suaramu seperti itu? Apa kau sakit? Kau terkena flu? Apa kau memakai masker karena terserang flu? Apa kau sudah minum obat?”
“Duuuh, berisik. Berhentilah bertanya. setelah sekian lama dan akhirnya bertemu, bukankah seharusnya suasananya lebih baik?
“Suasana?”
Mendengar itu, Jo Minjoon perlahan menoleh lalu melihat ke sekitarnya. Di antara orang-orang yang lewat, ada banyak orang yang tampak mengenali mereka. Tentu itu adalah misteri apakah mereka juga mengenali Kaya, tetapi…ada banyak orang yang memotret mereka.
Namun, dia tidak bisa selalu memperhatikan itu. Jo Minjoon meraih tangan Kaya. Jari-jemarinya yang membelai telapak tangan Kaya perlahan masuk di antara jari-jemari Kaya. Kaya melihat Jo Minjoon. Karena Kaya memakai kaca mata hitam dan masker yang menutupi wajahnya, makan Jo Minjoon harus membayangkan ekspresinya. Bagaimana ekspresi Kaya? Apakah dia mengernyit, tersenyum, ataukah terkejut? Masker Kaya mulai meregang. (TL: Ooh la la.)
“…Jangan salahkan aku jika kau terserang flu.”
“Jika itu terjadi, kau bisa merawatku.” jawab Jo Minjoon.
< Bayangan yang tumpang tindih (2) > Selesai