Dewa Memasak – Bagian 173: Bayangan yang tumpang tindih (4)
Translator : Hennay
Dia akhirnya paham kenapa Kaya mengatakan padanya untuk mendengarkan dengan polos dan tanpa dosa. Meskipun dia sudah memintanya demikian, mau tak mau, dia tetap berpikir yang bukan-bukan. Jo Minjoon melongo menatap Kaya lalu perlahan berkata.
“…Apa aku harus mengartikannya seperti seorang remaja puber?”
“Tidak. Buang kata pubernya.”
“Meski belum puber, anak laki-laki biasanya…”
Ekspresi Kaya mulai dingin seolah mengatakan dia paham. Kemudian, Minjoon menekan-nekan kentang goreng malang dengan jarinya dengan ekspresi sedih. Kaya mendorong badan Jo Minjoon untuk bergegas dan mengambil keputusan.
“Jadi, kau mau atau tidak? Kau mau bermalam denganku atau tidak?”
“Tunggu.”
Jo Minjoon mengeluarkan ponselnya. Kemudian, dia buru-buru mengirim pesan pada Rachel. [Aku: Aku tidak pulang malam ini.] Kaya menggeleng-gelengkan kepala.
“Apa kau masih anak kecil? Kenapa kau harus melaporkan setiap kegiatanmu?”
“Dia mungkin khawatir jika aku tidak menghubunginya dan bermalam di luar. Bagaimana denganmu? Apa kau akan menghubungi ibumu?”
“…Aku tidak tahu. Nanti saja. Jika aku menelponnya sekarang. Aku tidak tahu bagaimana menceritakan ini padanya.”
“Apa Ny. Grace masih di New York?”
“Kehidupannya keras, tapi dia menghabiskan separuh hidupnya di New York. Aku ingin membawanya pergi dari kerasnya wilayah timur lalu membawanya ke sini, ke California…tapi aku tunggu dulu dan lihat nanti saja.”
“Bagaimana denganmu? Apa kau akan terus tinggal di California?”
Kaya ragu-ragu sesaat. Dia belum memutuskan dan dia tidak bisa menjawab. Namun, fakta bahwa dia bisa meninggalkan California berarti bahwa dia harus meninggalkan Minjoon lagi pada saatnya nanti. Dia tidak mau mengatakan itu. Demi perasaan Jo Minjoon, demi perasaannya sendiri. Jika ini adalah sebuah perpisahan yang tidak pasti, dia tidak mau mengutarakannya dan tidak harus melakukannya pula.
“Aku akan tinggal di California setidaknya dalam 6 bulan ke depan. Tentu aku akan sering bepergian ke sana ke mari. Mereka bilang mereka akan mebayar sewanya, jadi, aku mungkin juga akan mencari rumah…tapi kenapa kita tiba-tiba membicarakan ini?”
“Lalu apa sebaiknya kita membicarakan malam yang akan kita habiskan bersama?”
“Jangan mengatakan dengan cara seperti itu. Aku sudah bilang jadilah polos.”
“Apa? Yang aku katakan hanya malam. Apa di telingamu itu terdengar tidak polos?”
“…Nuansanya sangat aneh.”
Saat Kaya mengatakan itu, dia mengambil kentang goreng dalam jumlah banyak. Saat Jo Minjoon bertanya-tanya apakah Kaya akan memakan semua itu, dengan cepat, Kaya meraih punggung Jo Minjoon dengan tangannya yang lain lalu menyodorkan tangannya yang penuh kentang.
“Buka mulutmu.”
“Tidak mau, aah!”
Dia hendak mengatakan tidak, tapi jika dipikir-pikir, dia harus membuka mulut untuk merespon. Kemudian, Kaya menjejalkan semua kentang itu ke dalam mulut Jo Minjoon lalu berbicara dengan nada menang.
“Telan pikiran remaja pubermu bersama dengan kentang itu.”
Jo Minjoon punya banyak hal yang ingin dia katakan, tapi tidak bisa mengutarakannya. Bukan hanya karena mulutnya tersumpal kentang goreng, tetapi wajah Kaya tepat berada di depan hidungnya. Bibirnya mendekat perlahan dan menggigit sebuah kentang goreng yang mencuat keluar dari mulut Jo Minjoon. Kepala Kaya beralih menghadap ke arah lain, lalu suara giginya yang mengunyah kentang goreng terasa seperti bergema di telinga Jo Minjoon. Dia berkata.
“Pikiran remaja puber dalam diriku juga akan kutelan bersama kentang ini.”
€
Kaya belum punya rumah di California. Itu berarti saat ini dia menginap di hotel. Itu juga berarti tempat mereka berdua menghabiskan malam bersama tidak lain adalah hotel itu.
Tidak aneh suasananya menjadi canggung. Seorang pria dan wanita masuk ke hotel bersam-sama. Mereka berdua tahu biasanya itu berarti apa… Kaya menempatkan pantatnya di sofa lalu berkata.
“…Karyawan wanita di meja resepsionis tadi, sepertinya mengenali kita.”
“Jika dia tidak mengenali kita, aku yakin dia tidak akan memberikan tatapan berbinar itu pada kita.”
“Ya ampun…Apa yang akan aku lakukan jika mereka memosting ke internet? Apa aku perlu menuntut mereka?”
“Jika kau mengkhawatirkan itu, pertama, kau harus mengurus semua orang yang ada di kedai hot dog yang memotret kita.”
Kaya memeluk lututnya dengan ekspresi tertekan mendengar kata-kata Minjoon. Celana jeansnya yang ketat sepertinya akan robek. Jo Minjoon tiba-tiba merasa aneh dan mengalihkan pandangannya. Kaya mulai menggerutu.
“Orang itu…apa menurutmu dia juga melihatnya.”
Dia bahkan tidak perlu bertanya siapa yang dia maksud dengan orang itu. Jo Minjoon menjawab pelan.
“Aku tidak yakin. Yang aku bisa yakin adalah bahwa orang itu mungkin melihat semua video yang berkaitan tentangmu dan Grand Chef. Bahkan mungkin mereka mendorong Tess Gilly untuk mengungkapkannya.”
“…Sekarang jika aku pikir-pikir, ini sangat aneh. Orang yang mengatakan padaku bahwa orang itu mencariku adalah Gilly. Satu-satunya orang yang bisa mendapatkan informasi itu dari Gilly adalah reporter itu. Tapi kenapa harus wanita itu? Dia biasanya memosting kata-kata buruk tentang aku.”
“Aku tidak tahu. Tanyakan padanya sendiri nanti. Kau akan segera bertemu dengannya.”
“Hanya jika dia cukup perhatian lalu mencari tiket pesawat dan terbang ke mari.”
Pada saat itu, ponselnya berdering. Pesan dari managernya. Ekspresi Kaya tampak menakutkan saat dia menatap Jo Minjoon.
“…Jangan-jangan pesan bahwa dia tidak datang?”
“Jangan khawatir soal itu, buka saja.”
Kaya membuka ponselnya dengan tangan gemetar. Tatapannya yang gelisah terbaca melalui layar dan kemudian dia menghela napas dan bersandar ke sofa.
“Dia tidak butuh tiket pesawat. Rupanya dia tinggal di Orange County.”
“Dekat sekali. Itu bagus. Jika berjalan baik…kau bisa sering-sering bertemu dengannya.”
“Kenapa kau terus berkata seolah aku akan memaafkannya?”
“Jika ayahmu punya alasan yang cukup bagus atas apa yang telah dia lakukan, aku yakin kau akan memaafkannya. Kau lebih memilih menyukai seseorang dari pada membenci. Terlebih, aku yakin ayahmu punya alasan atas apa yang dia lakukan. Oh, bukan. Aku harap begitu. Itu satu-satunya cara bagimu untuk memahaminya. Satu-satunya cara untukmu punya seorang ayah.”
“…Aku tidak butuh seorang ayah.”
Kaya berkata dengan nada sedikit marah. Hal yang paling membuat dia marah adalah fakta bahwa Jo Minjoon tahu lebih baik dari orang lain bahwa yang dia katakan itu bohong. Orang itu adalah orang yang dia pikirkan berkali-kali sejak dia masih kecil. Ayahnya adalah seseorang yang dia yakin melihatnya dari suatu tempat yang tidak bisa dia lihat.
Karena Kaya berpikir, pemikiranya itu mungkin menyakiti Grace, dia tidak pernah mengekspresikan perasaannya, tetapi kata ‘ayah’ punya arti dalam, yang bergema dalam hatinya. Mau tak mau, dia semakin membencinya. Seseorang yang spesial… seseorang yang seharusnya spesial…tidak pernah menampakkan wajahnya di depan ibunya atau dirinya sendiri selama 20 tahun.
Pada saat itu, Jo Minjoon mendekat ke Kaya lalu perlahan dia meletakkan lengannya di bahu Kaya. Kaya menoleh lalu melihat wajah Jo Minjoon. Bibirnya berkerut hendak berkata.
“Bukankah sudah kubilang untuk membersihkan pikiran remaja pubertasmu?”
“Jika aku remaja puber, aku tidak akan puas hanya dengan merangkul bahumu.”
“…Sesat.”
Meskipun Kaya melotot pada Jo Minjoon, Dia menyandarkan kepalanya di bahu Jo Minjoon. Kemudian Kaya berkata.
“Praktikan dengan aku.”
“Praktek?”
“Momen saat aku bertemu dengan orang itu. Berpura-puralah jadi orang itu.”
Kaya menjauhkan badannya saat mengatakan itu. Saat Jo Minjoon mulai menatap Kaya dengan ekspresi sedikit bingung, mata Kaya berubah galak lalu berkata.
“Apa yang kau pikirkan?”
“…Apa?”
“Kau sungguh berpikir bahwa aku akan gembira melihatmu setelah sekian lama, hanya karena darahmu mengalir dalam nadiku?”
“Bagaimana sebaiknya aku merespon? Aku tidak yakin dengan keahlian berperanku.”
“……Minjoon. Kau diam saja. Kau membuatku keluar dari suasananya.”
“Ayahmu tidak akan hanya duduk tanpa berkata apa-apa.”
“Aku harus melakukan ini, agar aku tidak gemetar besok untuk mengatakan semua yang ada dalam benakku.”
“Kalau begitu kau harus bertemu orang itu dengan sedikit kelembutan. Jika kau marah-marah seperti itu, itu hanya akan membuatmu tampak lebih gugup. Kau ingin menunjukkan padanya kepercayaan dirimu, kan?”
Kaya mulai menghirup napas dalam-dalam setelah mendengar kata-kata Jo Minjoon. Seperti yang Jo Minjoon bilang, dia tidak mau menunjukkan penampilannya yang lusuh. Jo Minjoon melihat Kaya lalu berkata.
“Terima kasih.”
“…Untuk apa?”
“Untuk mencariku dan tidak menderita sendiri. Tapi apa yang membuatmu mengubah keputusan? Aku pikir kau tidak akan bergantung padaku.”
“Aku tidak mau bergatung padamu. Terlebih, saat ini, aku tidak sedang bergantung padamu.”
“Lalu?”
Kaya menatap lekat Jo Minjoon. Sepasang bola mata warna biru gelap. Biasanya, warna itu penuh dengan emosi dingin, tetapi Jo Minjoon bisa merasakan kehangatan dibalik tatapannya.
“Aku akan melewatinya bersamamu. Ini momen yang sangat penting dalam hidupku dan aku ingin melakukannya bersama denganmu.”
€
Kaya lanjut berlatih berinteraksi dengan bantuan Jo Minjoon hingga larut malam. Jo Minjoon tidak tahu seberapa berguna latiham itu, tetapi dia lanjut menemani Kaya berlatih.
Tentunya mereka berdua tidak menghabiskan malam seperti itu. Setelah mengatakan hendak beristirahat, mereka bersandar di sofa lalu memejamkan mata mereka…saat Jo Minjoon membuka mata, Jo Minjoon bisa melihat sinar matahari mulai menyinari kakinya. Jo Minjoon menoleh. Mungkan karena flu, tapi Kaya sepertinya masih tertidur, meringkuk di dadanya seperti bayi burung.
“…Kupikir dia tidak mau menularkan virus flunya.”
Pada tahap ini, virus itu tidak hanya datang bermain-main, tapi sudah membangun sarang di tubuh Jo Minjoon. Dengan hati-hati, Jo Minjoon mengangkat Kaya dan merebahkan badannya di tempat tidur lalu menutupinya dengan selimut. Kaya menggeliat seperti bayi beruang lalu menarik selimut. Melihat tingkah Kaya, mau tak mau Minjoon tersenyum.
Dia ingin berdiri saja di situ dan hanya memandangi wajah pulas Kaya, tapi dia tidak bisa melakukannya. Jo Minjoon menuju ke dapur. Setelah melihat ke dalam lemari pendingin, Jo Minjoon punya beberapa pertimbangan. Biasanya, dia akan memasak bubur, tapi Kaya bukan orang Korea. Setelah mencemaskan apa yang orang Barat santap saat mereka sakit, Jo Minjoon mengeluarkan ponselnya. Layar ponselnya yang menunjukkan pukul 5:43 pagi tidak bisa menghentikannya. Dia menekan tombol panggil. Setelah berdering beberapa kali, suara mengantuk dan kesal terdengar menjawab telepon.
[…Apa-apa ini. Ini bahkan belum jam 6 pagi. Apa terjadi sesuatu?]
“Ini sangat darurat. Bangun dan dengarkan aku.”
[Kenapa kau serius? Apa sungguh terjadi sesuatu?]
Mendengar suara kaku Minjoon, pikiran Anderson tersadar dengan sangat cepat dan dia juga mulai berbicara dengan gugup. Jo Minjoon tertawa lalu berkata.
“Kau sarapan apa saat kau sakit?”
[……Apa?]
“Kaya sakit. Dia bilang dia terserang flu. Dia punya hal penting yang harus dia lakukan hari ini jadi dia harus punya banyak energi…”
[Tunggu. Kau membangunkan aku sepagi ini gara-gara si bodoh Kaya?]
“Kita ini chef. Jika seseorang sakit, kita perlu membuatkan mereka makanan yang bisa memberi mereka energi.
[Astaga si brengsek ini, apa kau…]
Seolah dia tidak punya energi untuk marah, suara bernada lemah datang darinya. Jo Minjoon bisa dengan mudah membayangkan ekspresi Anderson saat ini. Jo Minjoon tersenyum dan berkata.
“Maaf. Tolong aku kali ini.”
[…Sup ayam dengan mie. Itu. Pergi sana. Aku mau tidur lagi.]
“Terima kasih. Kawan, aku mencintaimu.”
[Ah, …tolong. Tolong? Tolong dengan sangat. Aku memohon padamu. Enyahlah dari pagiku.]
“Selamat malam.” (TL: Ayo jangan bohong. Dia ingin Anderson tahu dia menghabiskan malam dengan Kaya. Dia bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu dari Google…)
Jo Minjoon tersenyum ceria saat dia mengakhiri telepon. Setelah menutup telepon, dia menyadari bahwa dia hanya perlu mencari di internet untuk jawabannya, tetapi dia tidak peduli.
Dengan mudah, dia menemukan resep di internat. Jo Minjoon mengenakan jaket lalu pergi dari hotel. (TL: Secara teknis, terjemahan secara literal bisa juga bahwa dia mengenakan pakaiannya, tapi kita kan polos! xD) Dia berpikir hendak meminta ke dapur hotel untuk membuatkan itu, tetapi jika memungkinkan, dia ingin memasak itu sendiri.. Seorang chef adalah seseorang yang bisa melakukan itu.
Saat dia kembali dari supermarket terdekat dengan bahan-bahan ditangannya, Kaya masih tidur. Dia pasti kelelahan. Beristirahat dengan tenang tidaklah buruk. Jika dia akan membuat kaldu dengan benar, dia perlu sekitar dua jam. Itu lama sekali, tetapi prosesnya sendiri tidak rumit ataupun sulit. Buang jeroan ayam dan rebus daging ayam bersama dengan seledri, wortel, bawang bombay, bawang putih, dan lobak cina. Setelah kau memmbiarkannya mendidih sejenak, tambahkan daun timi, daun salam, dan lada hitam.
Setelah itu, saatnya kesabaran dibutuhkan. Selama hampir satu jam, Jo Minjoon membung kotoran yang mengapung di atas kaldu. Setelah kaldu hampir selesai, dia mengeluarkan ayam dan melepaskan daging dari tulang.
Setelah itu, dia membuang semua sayuran dan herba pelengkap dalam kaldu. Kemudian, dia menambahkan minyak zaitun ke wajan lalu menumis bawang bombay, bawang putih, wortel, seledri, daun timi, dan daun salam. Dia harus memastikan sayurannya lunak tetapi tidak sampai terkaramelisasi. Kepalanya sangat lelah setelah berbelanja bahan-bahan dan memasak beberapa jam dengan perut kosong seperti ini, tetapi dia tidak membenci proses ini sama sekali. Setelah menumis bahan-bahan itu, kaldu di tuang, saat akan mendidih lagi, Minjoon memasukkan pasta. mie telur lebar. Mirip dengan fusilli, tetapi mie telur ini tidak melintir.
Setelah merebus mie telur selama lima menit, masukkan daging ayam yang terpisah tadi dan biarkan mendidih selama beberapa menit untuk menyelesaikan seluruh proses. Sebuah pesan muncul, mengatakan itu adalah hidangan 7 poin, tetapi dia puas. Itu adalah masakan rumahan yang penuh kasih sayang. Setelah sekian waktu dia memasak sepertiitu.
“Kaya, bangun.”
“……Hmm. Apa. Jam berapa ini.”
“Sekitar jam 8.”
“Boleh aku tidur lebih lama lagi?”
“Jangan. Aku membuatkanmu sup ayam dengan mie. Ayo makan.”
“Hmm. Baunya sedap… Apa kau bisa membawakannya ke sini? Aku seorang pasien.”
Jo Minjoon tidak merespon lalu hanya menatap Kaya. Dia perlahan berkata.
“Wajahmu benar-benar bengkak.”
“Mm. ……Hmm? Ah, tidak! Tutup matamu!”
“Aku sudah melihat semuanya.”
Kaya menenggelamkan wajahnya dalam selimut dan hanya membiarkan bagian matanya terbuka saat melihat Minjoon dengan enggan.
Minjoon mulai tertawa lalu lanjut berkata.
“Matamu juga bengkak.”
Pada akhirnya, Kaya menuju ke wastafel untuk membasuh mukanya, mengoleskan lotion ke wajahnya, lalu akhirnya muncul di depan Jo Minjoon. Dia mulai berkata dengan nada kecewa.
“Mienya akan lembek.”
“..Terima kasih. Sudah membuatkan sarapan.”
“Makanlah dulu sebelum berterima kasih dan mengucapkan selamat pagi.”
Kaya mengangkat sendoknya. Setelah menyeruput kuah sup, ada senyum ceria di wajahnya.
“Senang punya seseorang yang membuatkanku sup lezat seperti ini.”
“Apa ini membuatmu merasa lebih baik?”
“Jangan terburu-buru. Sup macam apa yang bisa memberimu kekuatan hanya setelah sesuap.”
“Karena kau bisa berbicara seperti itu, kukira kau sudah punya energi.”
Jo Minjoon tertawa sambil menyantap sup. Dia yang membuatnya, dan terasa enak. Setelah menyantap beberapa suap, Jo Minjoon mulai bertanya. Suatu pertanyaan yang ingin dia tanyakan secara khusus pada Kaya.
“Hei, nanti, saat kita bertemu dengan ayahmu…”
“Iya.”
“Bagaimana aku memperkenalkan diriku?”
Dia tidak sepenuhnya yakin bagaimana cara memperkenalkan dirinya. Kaya menatap sup saat merespon.
“Seorang teman yang menginap di hotel bersamaku. Seorang teman yang membuatkan aku sup di pagi hari. Kukira itu sangat bagus.”
“…Menurutku, dia akan punya kesan buruk padaku.”
“Lalu haruskah aku memutuskan dengan jelas?”
Perlahan Kaya mengangkat kepalanya. Mungkin karena dia tidak memakai riasan, tetapi kelopak matanya dan alisnya yang rapi tampak lebih cantik dari biasanya. Dia spontan berkata. Suaranya masih terdengar seperti mengantuk dan sakit…tapi Jo Minjoon mendengar dengan jelas makna ucapannya.
“Pacarku, yang sangat aku cintai. Bagaimana…?”
<Bayangan yang tumpang tindih (4)> Selesai