Dewa Memasak – Bagian 174: Bayangan yang tumpang tindih (5)
Sendoknya diam tak bergerak di mangkok sup. Tangan dan tatapan Jo Minjoon gemetar. Dia memandangi Kaya sembari masih terus gemetar. Kaya sedikit menghindar dari tatapan Jo Minjoon lalu dia menambah keberaniannya untuk menatap balik mata Jo Minjoon. Kaya berkata.
“Aku sudah bilang. Saat kita bertemu lagi, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”
“…Aku tidak menduga sebegitu cepat.”
“Aku harap kau tidak berpikir seharusnya pria yang menyatakan cinta. Jika kau berencana mengatakan sesuatu di luar gaya dan kuno seperti itu-jangan. Atau aku akan menendang tulang keringmu.”
Kaya mengatakannya sambil bermain-main dengan kaki Jo Minjoon di bawah meja makan. Saat itu, kaki Kaya, yang dikelilingi sepatu hak tinggi, terpeleset karena tulang kering Jo Minjoon. Kaya mulai mengerutkan dahinya.
“Bulu kakimu terasa aneh.”
“Menurutku, tidak sepatutnya kau mengatakanhal semacam itu dalam suasana seperti ini dan aku pun…”
“Tunggu.”
Melihat wajah serius Jo Minjoon, Kaya menjulurkan jarinya untuk menghentikan dia berbicara. Kaya mulai berkata setelah menarik jarinya dari bibir Jo Minjoon.
“Jika apa yang akan kau katakan saat ini adalah respon terhadap apa yang baru saja aku katakan, kau perlu berpikir ulang. Ini adalah momen yang akan kukenang selamanya dalam hidupku. Jika isinya biasa saja, aku tidak akan memaafkanmu.”
“…Kau berharap terjadi sesuatu yang bagus sekali saat ini?”
“Iya. Itu PR-mu. Karena kau yang mengatakannya, maka cari tahu. Namun, batas waktumu adalah hari ini. Jika kau tidak melakukannya sebelum hari ini berakhir…”
Kaki Kaya sekali lagi menyentuh tulang kering Jo Minjoon. Ada senyum rayuan di wajah Kaya saat dia lanjut berbicara.
“Aku akan menghukummu.”
€
“Apa aku tampak aneh?”
“Aku sudah bilang, kau tampak cantik.”
“Aku tidak mau terlihat cantik. Aku ingin terlihat percaya diri dan keren. Tidak seperti anak kecil, tidak lusuh, tetapi semacam cerdas.” kata Kaya sambil melihat ke kaca. Dia mengenakan setelan yang tidak biasa dia pakai. Celana hitam dengan kaos putih tipis, dan jaket hitam. Kaya melihat kordinator di depannya dengan ekspresi cemas.
“Apa ini berlebihan? Apa setelan sebelumnya lebih baik?”
“Kaya, seperti yang kubilang, apapun yang kau pakai, ayahmu akan gembira melihatmu. Terlebih, kenapa pakaian begitu penting? Fakta kau akan bertemu dengannya itulah yang penting.”
“Itu bukan sesuatu yang seharusnya dikatakan oleh kordinator.”
“Entahlah. Kordinator bahkan juga akan berkomentar sesuatu setelah kau berganti pakaian 10 kali.”
Kordinator, Marilyn, menghela napas saat dia berbicara. Jo Minjoon melihatnya dengan ekspresi meminta maaf..
“Maaf aku menelponmu untuk alasan pribadi…”
“Kehidupan pribadi Kaya juga pekerjaan bagiku. Kau tidak perlu khawatir. Biarkan Kaya mengkhawatirkan dirinya sendiri sejenak. Ayo kita mengurus dirimu dulu, Minjoon-ssi. Kau tidak bisa mengenakan outfit itu.”
Jo Minjoon hanya mengenakan celana pendek dan kaos. Dia tidak datang ke pemadu gaya atau semacamnya. Pakaiannya tidak pantas untuk pergi menemui ayah kandung Kaya. Marilyn memegang kaos putih dengan mantel sport kasual berwarna coklat muda lalu mengagguk-anggukan kepala.
“Alih-aliah tampak terlalu sesak, outfit semi-formal ini seharusnya lebih baik. Aku yakin dia juga sangat gugup.”
“Terima kasih. Kau bahkan punya pakaian pria.”
“Aku mencuri pakaian agen Kaya. Syukurlah, ukuran kalian berdua sama.”
Sulit memastikan apakah dia bercanda atau tidak. Jo Minjoon tersenyum canggung lalu mengambil baju itu dan memasuki ruangan. Saat Jo Minjoon keluar setelah mengganti pakaiannya, Kaya pasti sudah memutuskan pakaian formal yang dia kenakan. Rambutnya bergelombang terjuntai turun di bahu dan punggungnya. Riasan wajahnya bersih dan rapi. Riasan gotik yang sangat disukainya tidak ada hari ini. Dia menggunakan sebuah masker, tetapi itu sangat cocok seolah dia mengenakannya untuk fashion. Jo Minjoon tersenyum ceria saat berkata. (TL: Masker yang hanya menutupi hidung dan mulut.)
“Kau tampak cantik.”
“Aku tahu.”
Kaya menjawab seolah itu sudah jelas dan hendak keluar ruangan. Dia cemas karena mereka tidak punya mobil, tapi itu tidak perlu. Sebelum mereka keluar dari hotel, sebuah mobil van berhenti di depan mereka.
“Masuklah. Kaya, Minjoon. Aku akan mengantar kalian ke sana.”
“Apa yang terjadi? Kau bersikap baik sekali.”
“Aku selalu bersikap baik.”
“…Aku tidak akan mengatakan apapun hari ini. Hanya mengobrol sudah membuatku lelah.”
Dia pasti sangat gugup akan pertemuannya sebentar lagi. Dalam perjalanan ke lokasi pertemuan, Kaya menggenggam tangan Jo Minjoon dengan erat dan tidak melepaskannya sedetik pun. Kaya bertanya dengan nada gugup.
“Apa yang akan aku katakan pertama kali? ‘Apa yang kau pikirkan?’ Tidak, itu baris kedua. ‘Jangan pikir aku datang ke sini karena aku ingin bertemu denganmu.’ Itu dia. …Tapi menurutku, itu agak aneh. Bukankah itu terdengar seperti aku sebenarnya mengatakan bahwa aku ke sini karena aku ingin bertemu dengannya?”
“Katakan saja apa yang ingin kau katakan, Kaya.”
“Aku bukan orang yang pandai berbicara. Aku sudah bilang. Jika aku hanya mengatakan apapun yang ada dalam benakku, bicaraku belepotan. Aku tidak mau menunjukkan bahwa aku tidak bisa berbicara dengan benar.”
“Kau tetap cantik meski kau bicara belepotan. Aku yakin kau juga akan tampak demikian di mata ayahmu.”
Tidak lama setelah Jo Minjoon selesai berbicara, mereka mendengar suara batuk aneh dari kursi supir. Agen Jang tidak bisa berhenti batuk selama beberapa saat, seolah ada dahak di tenggorokannya. Kaya melotot padanya.
“Apa. Apa masalahmu?”
“Tidak ada. Martin mengatakan padaku bahwa obrolan kalian berdua sangat murahan sekali, tetapi aku tidak tahu kalau separah ini.”
“Jangan menggoda calon pacarku ini. Aku akan marah.”
“Calon pacar? Hubungan ambigu macam apa itu? Calon suami mungkin.”
“Karena Minjoon belum merespon pengakuanku, aku belum bisa memanggilnya pacarku. Dan calon suami juga tidak buruk karena aku berencana menikah dengan Minjoon.”
Mendengar itu, Minjoon yang terbatuk kali ini. Lebih keras dan lebih lama dari batuk agen Jang. Setelah batuknya mereda, Kaya membelalak pada Jo Minjoon dan bertanya.
“Kenapa kau sangat terkejut?”
“…Kau sih. Ini karena kau terus mengatakan hal yang tak terduga.”
“Kenapa tak terduga? Kau berkencan tanpa berpikir untuk menikah?”
“Bukan itu yang kumaksud…”
“Aku akan menikah denganmu. Aku sudah bilang. Korea itu berbahaya. Aku bahkan memosting pertanyaan daring. Bayak orang berpikir aman di Korea, tetapi realitanya di sana sungguh berbahaya. Tinggal saja di AS denganku.”
Wajah Jo Minjoon memerah saat dia hendak berkata lalu menutup mulutnya kembali. Hanya memikirkan bagaimana ekspresi Jang yang duduk di kursi supir, membuat wajahnya terasa panas. Kemudian, mobil berhenti. Jang menoleh ke belakang lalu berkata.
“Waktunya keluar. Kita sampai.”
“Jang, apa kau tidak ikut juga?”
“Untuk apa aku ikut ke sana? Bersenang-senanglah.”
Saat Jo Minjoon keluar dari mobil, dia berkata.
“Jang tampaknya orang yang baik.”
“Orang baik pantatku. Dia melakukan apapun yang dia bisa untuk membuatku bekerja sedikit lebih banyak. Mengerikan…”
Kaya berhenti. Kedua matanya tertuju pada sisi jalan dan berhenti bergerak. Seolah waktu berhenti. Jo Minjoon mengikuti arah tatapan Kaya. Kaya melihat sedan mewah lebar yang berhenti di jalan.
Dengan melihat seorang pria kulit putih membuka pintu, lalu keluar, Jo Minjoon menyadari. Dialah ayah Kaya. Dia punya rambut hitam dan mata biru seperti Kaya. Hal yang membuatnya paling gugup adalah…
‘Aura di sekitarnya terasa…mewah.’
Bukan hanya mobil dan pakaian yang dia pakai, dia sendiri tampak bergaya. Normal bagi Kaya untuk gugup. Orange County. Mendengar dia tinggal di lingkungan yang elit, Kaya tahu hidupnya tidak sulit… tetapi dia tidak menduga ayahnya akan muncul dengan tampilan perlente.
Itu bukan satu-satunya alasan Kaya gelisah. Dia menduga dia akan bertemu dengan ayahnya saat berada di dalam cafe. Dia tidak pernah berpikir dia akan bertemu di luar secara kebetulan seperti ini.
Ayah Kaya, Bruce Croft, juga gelisah. Dia ragu sejenak lalu menghampiri Kaya dengan lengan terbuka. Kaya mundur sebelum menatapnya dengan sengit.
“Jangan ke sini.”
“…Maaf.”
“Jangan pura-pura minta maaf. Ayo masuk. Aku tidak berpikir akan memberimu pelukan. Aku tidak ke sini untuk itu.”
Dia berpura-pura keras saat berbicara, tetapi Jo Minjoon bisa merasakan tangan Kaya yang dia genggam gemetar. Apa karena dia marah, ataukah karena dia takut? Apa yang bisa Jo Minjoon lakukan untuk Kaya saat ini adalah menggenggam tangannya dengan erat.
Meski setelah masuk cafe, mereka berdua tidak bisa mulai mengobrol dengan mudah. Jo Minjoon dilema sejenak, apa sebaiknya dia saja yang memulai pembicaraan. Tetapi jika dia berusaha membuat suasana sedikit tidak canggung, saat mereka bahkan belum mengutarakan luka lama yang mereka miliki, hal itu mungkin justru membuat pikiran Kaya lebih berantakan.
Pada akhirnya, yang mulai pembicaraan adalah Bruce. Dia perlahan berkata.
“Kau tampak mirip dengan adikmu.”
“…Apa itu yang harus kau katakan setelah bertemu putrimu untuk yang pertama kali setelah 20, tidak, 18 tahun? ‘Kau mirip seperti adikmu?’ Aku kau berusaha menegaskan fakta bahwa aku punya hubungan darah denganmu?”
“Maaf, aku paham kau marah. Aku berlatih apa yang harus aku katakan berulang kali…tetapi saat benar-benar bertemu denganmu seperti ini, tampaknya aku hanya mampu mengatakan hal bodoh itu.
Itu jelas tidak terasa palsu. Setiap kata-kata yang terucap penuh dengan kesuraman, bahkan Jo Minjoon, yang bukan lawan bicaranya, mulai merasa sedih. Tentu Kaya juga merasakan hal yang sama. Tetapi dia membenci hal itu. Kaya ingin ayahnya terlihat sebagai seseorang yang buruk telah meninggalakan dirinya sendiri selama 18 tahun, Kaya ingin ayahnya menjadi seseorang yang menyesal tentang segala dendam yang Kaya punya di lubuk hatinya…
Akankah dia sungguh bahagia jika seperti ini?
Dia tidak bisa menjawabnya. Saat dia menempatkan frustasinya pada nada suaranya, secara alami suaranya mulai terdengar lebih keras.
“Kenapa kau menghilang? Kenapa kau tidak berada di sisi kami? Aku sungguh berpikir Anda bukan siapa-siapa. Namun, aku salah. Orang di depanku tampak seperti seorang CEO sukses bagaimanapun dilihat. Apa kau tahu bagaimana keluargaku hidup tanpamu? Setiap hari, ibuku sedih karena kesehatannya memburuk, dan aku harus menghabiskan setiap hari melihat ibuku seperti itu. Saat teman-temanku bergandengan tangan dengan ayahnya dan bergembira, aku hidup dengan memilah buah yag rusak. Bagaimana bisa kau melakukannya? Putrimu. Keluargamu. Bagaimana bisa kau membuang mereka?”
Mungkin hal yang bagus dia terserang flu. Jika tidak, dia mungkin akan berteriak sekuat tenaga. Hal yang membuat dia marah adalah…
“Pada saat itu, aku dikejar-kejar penagih utang. Alih-alih melindungimu dan ibumu, aku akan semakin menyakiti kalian jika aku bertahan di sisi kalian. Aku harap kau jangan menganggap ini sebagai alasan. Aku tahu aku ayah yang buruk. Itu karena kekuranganku yang membuatmu tumbuh tanpa seorang ayah. Aku tahu tidak ada yang bisa membenarkan keputusan itu. Tetapi aku tidak pernah membuangmu. Aku selalu memikirkan dan merindukanmu. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan mencarimu saat aku telah sukses, dan bekerja keras layaknya hidupku tergantung pada itu. Namun…hanya melihat masa lalu, saat ini, aku kira itu proses berpikir yang kejam.”
Hal yang membuat Kaya paling marah adalah bahwa segala jawaban Bruce terdengar sangat bijak… dan bahwa setiap situasinnya punya alasan yang harus Kaya terima.
Kaya benci itu. Dia ingin berteriak lagi. Dia ingin semakin marah. Namun, untuk melakukan itu, Bruce adalah orang yang lebih baik dari yang dia bayangkan.
“Betapa keras ibumu harus bekerja, aku bisa paham dengan bertemu denganmu. Kau tumbuh dengan sangat baik. Itu bahkan membuatku sangat menyesal. Aku menyesal tidak berada di sisimu. Aku menyesal telah membuat hidupmu tanpa tahu siapa ayahmu.”
Namun, sorot mata Kaya tidak melunak. Dia tidak bisa membiarkan sorot matanya lembut. Selama 18 tahun, dia hidup sambil merindukan ayahnya yang tidak pernah dia temui. Dia memikirka ayahnya, dan dia mencintai ayahnya dalam benaknya. Mungkin itulah kenapa dia merasa semakin sakit dan semakin kecewa. Pada saat itu, Kaya sungguh bersyukur dia memakai masker. Masker itu membantunya menyembunyikan ekspresi wajahnya yang buruk.
Pembaptisan pertanyaan Kaya tidak berakhir di sana. Dia mengulang pertanyaan yang sama kadang, dan juga mengungkapkan kemuramannya karena tidak bisa ikut dalam kegiatan anak-anak dan orang tua yang bahkan tidak bisa dia ingat. Dan Bruce, dia hanya merespons dengan segala jawaban yang membuatmu berpikir dia adalah orang yang baik.
Bruce adalah orang yang baik, lebih baik dari yang dia pikirkan. Jo Minjoon merangkul bahu Kaya saat dia hendak berkata.
“Kaya, tenangkan perasaanmu dan lihatlah orang di depanmu. Setidaknya di mataku, ayahmu adalah orang yang baik. Bahkan lebih baik dari yang kuharapkan.”
“…Kau berpihak pada siapa?”
“Tentu aku berpihak padamu. Saat ini, aku mengatakan ini sebagai seseorang yang berada di sisimu. Membenci seseorang itu sulit. Ayahmu…mari pahami dari sisi dia.”
Sejujurnya, pada saat Jo Minjoon mengatakan itu, Kaya sudah menerimanya. Meskipun Bruce bukan ayah ynag baik, dia bukan orang yang buruk.. Dan dia paham situasinya.
Kaya menurunkan masker di wajahnya. Bagi Bruce, sikap Kaya itu tampak seolah Kaya sedang menurunkan dinding yang ada di antara mereka berdua.
“…Baiklah. Aku akan menerimanya. Aku akan berusaha mengerti dari sisimu. Aku tidak bilang aku sudah memaafkanmu sepenuhnya…aku sudah tidak menyalahkanmu lagi. Namun, aku punya permintaan.”
“Katakan apapun itu. Jika ada sesuatu yang bisa aku lakukan, aku akan melakukan apapun. Apa itu?”
“Ada sesuatu…yang selalu membuatku iri. Orang-orang yang pergi ke restoran. Bukan, Keluarga yang pergi ke restoran. Ibu dan adikku akan datang ke LA dalam waktu dekat. Pada saat itu, makan malamlah bersama kami, dengan keluargaku…Aku ingin makan bersama keluargaku.”
“……Oke. Mari kita lakukan itu. Aku pasti datang. Telepon aku kapan saja.”
Untuk bersama dengan ibu Kaya semestinya agak membuat Bruce terbebani, tetapi dia tidak menolaknya. Kaya berdiri dari tempat duduknya lalu berkata.
“Berdirilah.”
“Hmm.? Oh, maaf. Aku terlalu banyak mengambil waktumu.”
“Tidak, bukan itu. Berdirilah.”
Bruce berdiri dengan ekspresi bingung di wajahnya. Kaya menggigit bibirnya sedetik lalu perlahan mendekatinya lalu memeluknya. Saat Bruce yang berdiri dan membeku karena syok, Kaya berbisik pelan.
“…Sekarang, menurutku, aku bisa memelukmu, ayah.”
€
Setelah mengantar Bruce kembali, Kaya dan Jo Minjoon hanya duduk diam di cafe tempat mereka mengobrol dengan Bruce. Mereka tidak membutuhkan perbincangan khusus apapun. Sering kali, Kaya mulai tertawa tidak jelas, lalu hidungnya menjadi merah dan dia mulai terisak, dan saat itu dia juga menangis. Setiap kali itu terjadi, Jo Minjoon menepuk-nepuk bahunya dan menggenggam tangannya. Setelah beberapa waktu, Kaya berkata.
“..Terima kasih. Sudah berada di sini.”
“Aku kan pacarmu.”
“Kau belum menyelesaikan PR mu. Kau masih calon. Calon.”
“PR itu. Saat ini, menurutku, aku bisa menyelesaikannya.”
Kaya menatap Jo Minjoon. Mata dan hidungya bersemu merah. Wajah yang membuatmu ingin memeluknya. Dia terisak lalu bertanya.
“Apa kau yakin?”
“Kau harus menyiapkan respon yang bagus sekali.”
“Dasar dari pidato adalah perasaan kita.”
“Kalau begitu cobalah. Jika kualitasnya bagus, aku akan melepaskan embel-embel calon.”
Jo Minjoon tersenyum lalu fokus melihat Kaya. Kaya memutar bola matanya seolah dia gugup, tetapi dia segera menatap Jo Minjoon lagi dengan tatapan keras, seolah dia tidak mau menghindari tatapannya.
Pada saat itu, Jo Minjoon perlahan-lahan mendekatkan kepalanya. Kaya dengan gugup mengangkat masker dari bawah bibirnya lalu menggelengkan kepala.
“Tidak. Menurutku, aku tahu apa yang akan kau lakukan, tetapi tidak. Kau akan terserang …”
Kaya tidak lanjut mengatakannya. Tanpa berkata apapun, Jo Minjoon mendaratkan bibirnya di atas masker Kaya. Napas panas mereka terhembus di selembar lapisan tipis itu. Selembar kain yang di antara bibir mereka, tetapi kesan lembut dari bibir masing-masing bisa terasa dengan jelas.
Mata Kaya membulat dan gemetar seperti kelinci yng syok. Jo Minjoon mengangkat tangannya dan membelai wajah Kaya. Maskernya turun, dan napas mereka saling menghangatkan bibir masing-masing. Jo Minjoon berkata.
“Aku sudah terserang flu.”
Bayangan mereka bersama-sama saling tumpang tindih.”
<Bayangan yang tumpang tindih (5)> Selesai